Pembagian al-‘urf TINJAUAN UMUM
kemudian ia memakan daging ikan, maka menurut adat masyarakat Arab, orang tersebut tidak melanggat sumpah.
2. „Urf fi’li
Yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Umpamanya, kebiasaan jual beli barang-barang yang enteng murah dan kurang begitu bernilai transaksi
antara penjual dan pembeli cukup hanya menujukan barang serta serah terima dan uang tanpa ucapan transaksi akad apa-apa. Hal ini tidak menyalahi aturan akad
dalam jual beli, kebiasaan saling mengambil rokok di antara sesama teman tanpa adanya ucapan meminta dan memberi, tidak dianggap mencuri.
13
Ditinjau dari segi jangkauannya, „urf dapat dibagi dua macam, yaitu: 1.
Al-‘Urf al-Amm Yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi, sebagian besar
masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas. Misalnya, membayar ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu, tanpa perincian jauh atau dekatnya jarak
yang ditempuh, dan hanya dibatasi oleh jarak tempuh maksimum. Demikian juga, membayar sewa penggunaan tempat pemandian umum dengan harga tiket masuk
tertentu, tanpa membatasi fasilitas dan jumlah air yang digunakan, kecuali hanya membatasi pemakaian dari segi waktunya saja.
2. Al-‘Urf al-Khash
Yaitu adat kebiasaan yang berlaku secara khusus pada suatu masyarakat tertentu, atau wilayah tertentu saja. Misalnya, kebiasaan masyarakat Jambi
13
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana, 2009, cet. 5, h. 390.
menyebut kalimat “satu tumbuk tanah”, untuk menunjuk pengertian luas tanah 10 x 10 meter.
Demikian juga kebiasaan masyarakat tertentu yang menjadikan kuintansi sebagai alat bukti pembayaran yang sah, meskipun tanpa disertai dengan dua
orang saksi. Selanjutnya ditinjau dari segi keabsahannya, „urf dapat pula dibagi
menjadi dua macam, yaitu: 1.
Al-‘Urf ash-Shahihah „Urf yang Absah Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang sesuai dan tidak bertentangan
dengan aturan- aturan hukum Islam. Dengan kata lain, „urf yang tidak mengubah
ketentuan yang haram menjadi halal, atau sebaliknya, mengubah ketentuan halal menjadi haram. Misalnya, kebiasaan yang terdapat dalam suatu masyarakat,
hadiah hantaran yang diberikan kepada pihak wanita ketika peminangan, tidak dikembalikan kepada pihak laki-laki, jika peminangan dibatalkan oleh pihak laki-
laki. Sebaliknya, jika yang membatalkan peminangan adalah pihak wanita, maka “hantaran” yang diberikan kepada wanita yang dipinang dikembalikan dua kali
lipat jumlahya kepada pihak laki-laki yang meminang. Demikian juga, dalam jual beli dengan cara pemesanan inden, pihak
pemesan memberi uang muka atau panjar atas barang yang dipesannya.
14
2. Al-‘Urf al-Fasidah „Urf yang Rusak Salah
Yaitu adat yang berlaku di suatu tempat meskipun merata pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama, undang-undang negara dan sopan santun.
14
Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011, cet. 2, h. 210.
Umpamanya berjudi untuk merayakan suatu peristiwa, pesta dengan menghidangkan minuman haram, membunuh anak perempuan yang baru lahir,
kumpul kebo hidup bersama tanpa nikah.
15
Adapun yang berkaitan dengan mu‟amalah perdata adalah kebiasaan yang berlaku di kalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti peminjaman uang
antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah dalam tempo satu bulan, harus dibayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo,
dengan perhitungan bunganya 10. Dilihat dari segi keuntungan yang diraih peminjam, penambahan utang sebesar 10 tidaklah memberatkan, karena
keuntungan yang diraih dari sepuluh juta rupiah tersebut mungkin melebihi bunganya yang 10. Akan tetapi, praktik seperti ini bukanlah kebiasaan yang
bersifat tolong- menolong dalam pandangan syara‟, karena pertukaran barang
sejenis, menurut syara‟ tidak boleh saling melebihkan HR. al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad Ibn Hanbal, dan praktik seperti ini adalah praktik peminjaman yang
berlaku di zaman Jahiliyah, yang dikenal dengan sebutan riba al- nasi‟ah riba
yang muncul dari hutang-piutang. Oleh sebab itu, kebiasaan seperti ini, menurut Ulama Ushul Fikih, termasuk dalam kategori al-
‘urf al-fasid. Contoh lain adalah dalam “penyuapan”. Untuk memenangkan perkaranya,
seseorang menyerahkan sejumlah uang kepada hakim, atau untuk kelancaran urusan yang dilakukan seseorang, ia memberikan sejumlah uang kepada orang
yang menangani urusannya. Hal ini juga termasuk al- ‘urf al-fasid.
16
15
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana, 2009, cet. 5, h. 392.
16
Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta: Elsas, 2008, cet. 1, h. 213.