Pandangan Ulama tentang ‘Urf

sebagai dalil. Dalam hal ini, ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah adalah yang paling banyak menggunakan al- „urf sebagai dalil, dibandingkan dengan ulama Syafi‟iyyah dan Hanabilah. Ulama Hanafiyyah menggunakan istihsan dalam berijtihad, dan salah satu bentuk istihsan itu adalah itihsan al- „urf istihsan yang menyandarkan pada „urf. Oleh ulama Hanafiyyah, „urf itu didahulukan atas qiyas khafi dan juga didahulukan atas nash yang umum, dalam arti „urf itu men-takhsis umum nash. Contoh dalam hal ini adalah tentang jual beli lebah dan ulat sutra. Imam Abu Hanafi pada awalnya menetapkan haramnya menjual lebah dan alat sutra dengan menggunakan dalil qiyas, yaitu meng-qiyas-kannya kepada kodok dengan alasan sama- sama “hama tanah”. Namun kemudian terlihat bahwa kedua serangga itu ada manfaatnya dan telah terbiasa orang untuk memeliharanya sehingga telah menjadi „urf. Atas dasar ini muridnya, yaitu Muhammad ibn Hasan al-Syaibani membolehkan jual beli ulat sutra dan lebah tersebut, berdasarkan „urf. Ulama Malikiyyah menjadikan „urf atau tradisi yang hidup di kalangan ahli Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari hadis ahad. Ulama Syafi‟iyyah banyak menggunakan „urf dalam hal-hal tidak menemukan ketentuan batasannya dalam syara’ maupun dalam penggunaan bahasa. Mereka mengemukakan kaidah sebagai berikut: م ا دب ف علا ئلا ف عج ةغ لا ئفال ف ل طباضال ا م ع لا Artinya : Setiap yang datang dengannya syara’ secara mutlak, dan tidak ada ukurannya dalam syara’ maupun dalam bahasa, maka dikembalikan kepada ‘urf. Contoh dalam hal ini, umpamanya menentukan arti dan batasan tentang tempat simpanan dalam hal pencurian, arti berpisah dalam khiyar majelis, waktu dan kadar haid, dan lain-lain. Adanya qaul qadim pendapat lama Imam Syafi‟i di Irak, dan qaul jadid pendapat baru-nya di Mesir, menunjukan diperhatikannya „urf dalam istinbath hukum di kalangan Syafi‟iyyah Dalam menanggapi adanya penggunaan „urf dalam fiqh, al-Suyuthi mengulasnya dengan mengembalikannya kepada kaidah: ةمكحم ةداعلا 39 Artinya : Adat ‘urf itu menjadi pertimbangan hukum. Alasan para ulama mengenai penggunaan penerimaan mereka terhadap „urf tersebut adalah hadis yang berasal dari Abdullah ibn Mas‟ud yang dikeluarkan Imam Ahmad dalam musnadnya yaitu: م ملا ا ام ٌ ح ها ع فا ح Artinya : Apa-apa yang dilihat oleh umat Islam sebagai suatu yang baik, maka yang demikian di sisi Allah adalah baik. HR. Ahmad Di samping itu adalah pertimbangan kemaslahatan kebutuhan orang banyak, dalam arti orang banyak akan mengalami kesulitan bila tidak menggunakan „urf tersebut. Bahkan ulama menempatkannya sebagai “syarat yang disyaratkan”. اط ش ط ل ا ٌف ع ٌف عملا 40 Artinya : Sesuatu yang berlaku secara ‘urf adalah seperti suatu yang telah disyaratkan. 39 Taj al-Din Abd al-Wahab al-Subki, Al-Asybah wa al-Nadzair JIlid 1, Beirut: Dar al- Kutub al-Ilmiyah, 1991, h. 50. 40 Abdul Karim Zidan, al-wajiz fil usulil fiqh, Baghdad: Maktabh batsair, 1976, h. 255 Bila hukum telah ditetapkan berdasarkan kepada „urf, maka kekuatannya menyamai hukum yang ditetapkan berdasarkan nash. 41

F. Contoh-contoh ‘Urf yang sudah teradopsi di Indonesia

Keberadaan suatu kebudayaan tidak bisa dipisahkan dari masyarakat dan dengan demikian kehadiran syari‟at dalam hal ini hukum Islam fikih tidak serta merta menggantikan posisi kebudayaan yang telah melekat pada masyarakat. Di dalam masyarakat yang sangat kental dengan nilai-nilai budayanya sangat sulit untuk diterapkan nilai-nilai agama terutama sudut fikihnya. Beberapa contoh kebiasaan yang tidak baik timbul dalam masyarakat antara lain: a. Masalah pembagian harta warisan pada daerah tertentu b. Upacara sesajen untuk keselamatan dan berkah c. Budaya dangdutan yang dipaksakan demi kehormatan sampai-sampai menghutang untuk resepsi pernikahan d. Budaya tukar cincin sebelum sebelum khitbah lamaran yang dianggap telah sah bergaul bebas, dan lain-lain 42 Selain itu juga, pembidangan hukum Islam itu sejalan dengan perkembangan pranata sosial, sebagai norma yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam kehidupan individual dan kolektif. Oleh karena itu, semakin beragam kebutuhan hidup manusia dan semakin beragam pranata sosial, maka semakin berkembang pula pemikiran fuqaha dan pembidangan hukum Islam 41 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana, 2009, cet. 5, h. 399. 42 Ahmad Sudirman Abbas, Dasar-dasar Masail Fiqhiyyah, Jakarta: CV Banyu Kencana, 2003, h. 27. pun mengalami perkembangan. Hal itu menunjukan, terdapat korelasi positif antara perkembangan pranata social dengan pemikiran ulama secara sistematis. 43 Adapun contoh adat kebiasaan yang berlaku secara umum dan dijalankan oleh masyarakat, se lama tidak bertentangan dengan syar‟i maka bisa dijadikan hujjah, misalnya: 1. Apabila seseorang diberikan hadiah berupa makanan yang diletakkan di atas piring misalnya, maka ia wajib mengembalikan piring tersebut apabila menurut kebiasaan yang berlaku secara umum, piring tersebut harus dikembalikan. 2. Apabila seseorang disewa tenaganya untuk bekerja harian di kebun atau di sawah, maka ketentuan lamanya kerja sehari itu, dikembalikan keapada kebiasaan yang berlaku dimasyarakat. 44 Fikih telah dipandang sebagai identik dengan hukum Islam dan wahyu, ketimbang sebagai produk pikiran manusia dan produk sejarah. Fikih telah dipandang sebagai ekspresi kesatuan hukum Islam yang universal ketimbang sebagai ekspresi keragaman yang particular. Fikih telah mewakili hukum dalam bentuk cita-cita ketimbang sebagai respon atau refleksi kenyataan yang ada secara realis. 45 43 Taufiq dkk, Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Jakarta: Logos, 1998, h. 115. 44 Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, Jakarta: Radar Jaya Offset, 2004, h. 178. 45 M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Pres, 1998, h. 101. Untuk melihat bagaimana aplikasi teori penalaran fikih yang ditempuh oleh ulama dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul, salah satu caranya adalah dengan menelisik berbagai produk pemikiran hukum yang dikeluarkan oleh para ulama, khususnya fatwa hukum mereka. 46 Untuk melihat pengaruh factor social budaya terhadap ulama, baiklah kita lihat kasus Indonesia modern dalam hal ini fatwa-fatwa Majlis Ulama Indonesia MUI. Sejak berdirinya pada tahun 1975 hingga tahun 1988, MUI telah mengeluarkan lebih dari 38 buah fatwa yang isinya mencakup banyak bidang kehidupan: Ibadah, perkawinan dan keluarga, makanan, kebudayaan, soal hubungan antar agama, soal-soal kedokteran, keluarga berencana, soal gerakan sempalan, dll. Beberapa diantara fatwa itu akan kita sebut di bawah ini. Fatwa MUI tentang keluarga berencana khususnya tentang kebolehan menggunakan IUD spiral dalam ber-KB, juga memperlihatkan bagaimana faktor social budaya telah berpengaruh terhadap produk pemikiran hukum Islam. Bahkan untuk ini MUI berani membatalkan fatwa ulama sebelumnya yang mengharamkan penggunaan IUD. Sebagaimana diketahui, pada tahun 1971 sejumlah ulama terkemuka Indonesia mengeluarkan fatwa tentang haramnya penggunaan IUD dalam KB karena pemasangannya menyangkut penglihatan aurat wanita. Kemudian pada tahun 1983 MUI membatalkan fatwa ulama tahun 1971 itu dan menyatakan bahwa IUD boleh dipakai dalam KB asalkan pemasangannya dilakukan oleh dokter wanita atau dokter laki-laki dengan disaksikan oleh si suami. Meskipun untuk fatwanya itu MUI mempunyai alasan-alasan metodologis 46 M. Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, Cipayung Ciputat: Gaung Persada Press Jakarta, 2007, h. 147.