60
BAB IV ANALISIS HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI
BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Pandangan Ulama Tentang Hukum Adat Betawi yang Menggunakan
Roti Buaya dalam Seserahan Pernikahan
Sesungguhnya agama Islam ini sudah sempurna dan sudah cukup sebagai pedoman hidup manusia di dunia. Sebab Allah, telah menerangkan kepada umat
manusia kadah-kaidah agama dan kesempurnaannya yang meliputi segala aspek kehidupan. Firman Allah dalam Q.S Al-Maidah 5 3:
نيد ْمكل تْلمْكأ ْويْلا اًنيد اْسإْا مكل تيضرو يتمْعن ْمكْيلع تْممْتأو ْمك
Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi
agamamu. Ayat tersebut secara eksplisit menjelaskan bahwa agama Islam itu telah
sempurana dan tidak memerlukan tambahan secara pengurangan sedikitpun juga. Apapun bentuk atau alasannya dari tambahan-tambahan tersebut meskipun
disangka baik oleh sebagian manusia, atau dari siapa saja datangnya meskipun dianggap besar oleh sebagian manusia, adalah satu perkara yang sangat dibenci
oleh Allah dan Rasul-Nya, tetapi sangat dicintai oleh iblis dan bala tentaranya. Dan pelakunya secara tidak langsung telah menbantah firman Allah di atas dan
telah menuduh Rasulullah berkhianat dalam menyampaikan risalah.
1
1
M. Irfan Juliansah, “Tata Cara Khitbah dan Walimah pada Masyarakat Betawi Kembangan Utara Jakarta Barat Menurut Hukum Islam,” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, h. 1.
Kebudayaan yang merupakan hasil budi daya manusia adalah suatu adat kebiasaan yang sudah melekat pada satu masyarakat, sehingga masyarakat tidak
dipengaruhi oleh adat kebiasaan lain. Dihubungkan dengan fikih, struktur dan pola budaya masyarakat saling terkait satu sama lainnya. Masyarakat yang pluralis
akan berbenturan dalam penetapan aspek hukumnya, terutama dari sisi hukum Islam fikih.
2
Rasanya tak perlu diperpanjang kalam tentang bagaimana para ulama fikih dipengaruhi factor lingkungan sosial budaya dalam menghasilkan karya fikih
mereka. Bukti yang paling banyak dikenal masyarakat adalah riwayat tentang bagimana Imam Syafi‟i mempunyai qaul qadim pendapat lama dan qaul jadid
pendapat baru. Pendapat lama diberikan ketika beliau berada di Baghdad dan pendapat baru dikemukakan ketika beliau telah pindah ke Mesir. Puluhan bahkan
mungkin juga ratusan pendapat lama Imam syafi‟i diubah dan diganti dengan pendapat baru yang lebih sesuai dengan lingkungan social budaya barunya itu.
Kalau kita membaca kitab Fiqh Mahalli, misalnya, kita akan berjumpa dengan sejumlah kenyataan tentang qaul qadim dan qaul jadid.
Kita juga mengenal dalam tarikh tasyri’ bagaimana ulama ahl ar-ra’yi dan
ahl al-hadis berkembang dalam dua wilayah geografis yang berbeda. Ulama ahl ar-
ra’yi dengan pelopornya Imam Abu Hanifah berkembang di Kota Kuffah dan Baghdad yang metropolitan sehingga harus menghadapi secara rasional sejumlah
persoalan baru yang muncul akibat kompleksitas kehidupan kota. Ditambah dengan kenyataan bahwa Baghdad terletak jauh dari pusat kota hadis yaitu
2
Ahmad Sudirman Abbas, Dasar-dasar Masail Fiqhiyyah, Jakarta: CV Banyu Kencana, 2003, h. 27.
Madinah, maka Imam Abu Hanifah dan para muridnya menulis kitab-kitab fikih yang lebih mendasarkan kepada
ra’yu akal daripada hadis yang tidak mansyhur dalam hal tidak ada nash al-
Qur‟an. Sebaliknya Imam Malik bin Anas yang hidup di Madinah yang tingkat kompleksitas hidup masyarakatnya lebih sederhana dan
ditambah kenyataan banyaknya hadis-hadis yang beredar di kota-kota itu, cenderung banyak menggunakan hadis ketimbang rasio atau akal.
3
Islam merupakan agama yang amat mengedepankan kemaslahatan. Sebagai al-din way of life yang datang dari Allah, pencipta manusia, tentunya
syariah Islam yang diturunkan-Nya memperhatikan keperluan dan maslahat kehidupan manusia dan seluruh makhluknya. Dalam merealisasikan pelaksanaan
syariah Islam ini, para ulama dan cendikiawan muslim memainkan peranan yang amat penting agar ajaran Islam itu benar-benar dapat dilaksanakan sebagaimana
yang dikehendaki oleh pencipta syariah tersebut. Sebab semua tindakan manusia dalam tujuannya mencapai kehidupan yang baik di dunia ini, harus tunduk kepada
Allah dan Rasul-Nya, kehendak Allah dan Rasul itu sebagian tertulis dalam kitab- Nya yang disebut syariah, sedangkan sebagian besar lainnya tersimpan dibalik apa
yang tertulis itu. Untuk mengetahui keseluruhan apa yang dikehendaki Allah tentang tingkah laku manusia itu memerlukan pemahaman yang intens tentang
syariah sehingga secara amaliah syariah tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan manusia.
Di zaman modern ini, yang dicirikan dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, tampak kemaslahatan manusia terus berkembang dan
3
M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Pres, 1998, h. 107.