Sejarah Roti Buaya dalam Seserahan Pernikahan

kuno ketulah itu artinya karma atau akibat tindakan, sikap, perilaku yang ada dihari lampau. Selanjutnya, karena si buaya itu sudah menunggu sumber kehidupan masyarakat yaitu sumber mata air. Maka oleh masyarakat Betawi buaya itu dimanfaatkan sebagai simbol kehidupan. Adapun pemanfaatannya digunakan dalam acara pernikahan tepatnya pada saat seserahan dari pihak calon pengantin pria terhadap pihak calon pengantin wanita. Perkawinan itu sendiri adalah bagian salah satu siklus kehidupan yaitu suatu rangkaian aktivitas secara alami yang dialami oleh individu-individu dalam populasi berkaitan dengan perubahan tahap-tahap dalam kehidupan. Seperti manusia yang bertujuan menciptakan, melanjutkan kehidupan yang baru. Perkawinan atau pernikahan juga bukan sekedar yang berarti ingin melampiaskan nafsu biologis atau menghalalkan bersenang-senangnya antara laki- laki dan perempuan, tetapi dengan memiliki tujuan yaitu melanjutkan generasi yang baru. Maka dari itu masyarakat Betawi mengwajibkan adanya dalam seserahan pernikahan sebagai simbol melanjutkan kehidupan yang baru. Adapun zaman sekarang masyarakat sudah menggunakan roti sedangkan, dahulu istilah roti buaya ini bukan dikenal dari rotinya melainkan buayanya. Karena dahulu, belum menggunakan roti tetapi dari kayu, daun kelapa atau semacamnya yang dapat dibentuk menjadi buaya. Dimana buayanya itu sendiri dipajang di depan rumah yang menandakan bahwa si wanita sudah dinikahi oleh pria lain. Roti itu sendiri ada pada saat pemerintahan kolonel Belanda memiliki alat untuk membuat roti yang dapat dibentuk dengan berbagai macam sesuai keinginan. Sejak saat itulah yang kemudian masyarakat Betawi memanfaatkan tekhnologi tersebut menjadi roti berbentuk buaya yang digunakan dalam seserahan pernikahan. Semakin majunya tekhnologi sekarang ini roti buaya bisa dikemas dalam berbagai rasa, sebab dahulu hanya terasa tawar pada roti tersebut. Bentuknya pun, dua sepasang buaya. Karena, dahulunya roti buaya itu hanya untuk dipajang depan rumah sebagai simbol melanjutkan kehidupan yang baru. Oleh agama Islam, mendapat pertentangan karena dianggap mubazir yaitu sifat pemborosan atau hal-hal yang berlebihan dimana itu termasuk perbuatan tercela dalam agama. Makanya sekarang roti tersebut dipotong-potong dan dapat dibagi-bagi dengan sanak saudara. Secara mekanisme ia tidak memiliki cara-cara tertentu dalam penyerahan roti buaya tersebut.Karena, itu hanya orang-orang tertentu saja yang ingin ada roti buaya dalam seserahan pernikahannya. 3

C. Opini masyarakat terhadap roti buaya dalam seserahan pernikahan

Terjadinya roti buaya dalam seserahan pernikahan merupakan adat kebiasaan masyarakat Betawi yang sudah ada sejak zaman dahulu. Roti buaya ini merupakan lambang setia yaitu yang menunjukan bahwa seumur hidup itu hanya menikah sekali. 3 Wawancara Pribadi dengan Bapak Yahya Andi Saputra. Jakarta, 29 Juni 2015. Dengan adanya roti buaya dalam seserahan pernikahan maka ini merupakan bagian dari mempertahankan adat istiadat Betawi. Sehingga adat kebudayaan Betawi tetap terjaga dan terlestari. 4 Sedangkan menurut warga lainnya memiliki pandangan juga bahwa roti buaya itu hanya beberapa yang menyertakan dalam pernikahannya atau dengan kata lain yang mampu karena adapun jumlah harga yang diperlukan untuk membeli roti buaya cukup mahal. Sehingga tak semua warga Betawi meyertakan ke dalam seserahan pernikahannya. 5 Adapun, mitos yang mengatakan roti buaya itu lambang setia yaitu yang membuktikan bahwa dari pihak calon pengantin pria menunjukan hanya nikah sekali dalam seumur hidup. Itu tidak semuanya mempercayai ada yang percaya memang setia, ada yang percaya tidak percaya, dan ada juga yang tidak percaya dengan mitos tersebut. 4 Wawancara Pribadi dengan Ibu Hanisah. Jakarta, 12 April 2015. 5 Wawancara Pribadi dengan Ibu Tika. Jakarta, 12 April 2015. 60

BAB IV ANALISIS HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI

BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A. Pandangan Ulama Tentang Hukum Adat Betawi yang Menggunakan

Roti Buaya dalam Seserahan Pernikahan Sesungguhnya agama Islam ini sudah sempurna dan sudah cukup sebagai pedoman hidup manusia di dunia. Sebab Allah, telah menerangkan kepada umat manusia kadah-kaidah agama dan kesempurnaannya yang meliputi segala aspek kehidupan. Firman Allah dalam Q.S Al-Maidah 5 3: نيد ْمكل تْلمْكأ ْويْلا اًنيد اْسإْا مكل تيضرو يتمْعن ْمكْيلع تْممْتأو ْمك Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu. Ayat tersebut secara eksplisit menjelaskan bahwa agama Islam itu telah sempurana dan tidak memerlukan tambahan secara pengurangan sedikitpun juga. Apapun bentuk atau alasannya dari tambahan-tambahan tersebut meskipun disangka baik oleh sebagian manusia, atau dari siapa saja datangnya meskipun dianggap besar oleh sebagian manusia, adalah satu perkara yang sangat dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, tetapi sangat dicintai oleh iblis dan bala tentaranya. Dan pelakunya secara tidak langsung telah menbantah firman Allah di atas dan telah menuduh Rasulullah berkhianat dalam menyampaikan risalah. 1 1 M. Irfan Juliansah, “Tata Cara Khitbah dan Walimah pada Masyarakat Betawi Kembangan Utara Jakarta Barat Menurut Hukum Islam,” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, h. 1.