Pandangan Ulama Tentang Hukum Adat Betawi yang Menggunakan

Madinah, maka Imam Abu Hanifah dan para muridnya menulis kitab-kitab fikih yang lebih mendasarkan kepada ra’yu akal daripada hadis yang tidak mansyhur dalam hal tidak ada nash al- Qur‟an. Sebaliknya Imam Malik bin Anas yang hidup di Madinah yang tingkat kompleksitas hidup masyarakatnya lebih sederhana dan ditambah kenyataan banyaknya hadis-hadis yang beredar di kota-kota itu, cenderung banyak menggunakan hadis ketimbang rasio atau akal. 3 Islam merupakan agama yang amat mengedepankan kemaslahatan. Sebagai al-din way of life yang datang dari Allah, pencipta manusia, tentunya syariah Islam yang diturunkan-Nya memperhatikan keperluan dan maslahat kehidupan manusia dan seluruh makhluknya. Dalam merealisasikan pelaksanaan syariah Islam ini, para ulama dan cendikiawan muslim memainkan peranan yang amat penting agar ajaran Islam itu benar-benar dapat dilaksanakan sebagaimana yang dikehendaki oleh pencipta syariah tersebut. Sebab semua tindakan manusia dalam tujuannya mencapai kehidupan yang baik di dunia ini, harus tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya, kehendak Allah dan Rasul itu sebagian tertulis dalam kitab- Nya yang disebut syariah, sedangkan sebagian besar lainnya tersimpan dibalik apa yang tertulis itu. Untuk mengetahui keseluruhan apa yang dikehendaki Allah tentang tingkah laku manusia itu memerlukan pemahaman yang intens tentang syariah sehingga secara amaliah syariah tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan manusia. Di zaman modern ini, yang dicirikan dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, tampak kemaslahatan manusia terus berkembang dan 3 M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Pres, 1998, h. 107. meningkat seiring dengan urgensitasnya, tidak terbatas jenis dan kuantitasnya, mengikuti situasi dan ekologi masyarakat. Hal itu dapat membawa dinamisasi dalam aplikasi syariah Islam. Sebab diferensiasi waktu, tempat, dan lingkungan dapat memberi pengaruh yang sangat besar terhadap syariah hukum-hukum Islam. Suatu kaedah menegaskan bahwa “Fatwa hukum itu berubah karena perubahan waktu, tempat, keadaan tradisi dan niat.” 4 Salah satu peristiwa yang berhubungan dengan kehidupan manusia dalam berbagai suku adalah masalah pernikahan, karena pernikahan merupakan suatu sistem sosial yang tidak hanya menyangkut dua manusia yang berkepentingan saja tetapi juga menyangkut orang tua, kerabat, dan masyarakat. 5 Roti buaya adalah model roti yang dibentuk menyerupai buaya yang memiliki ekor, badan, kepala, gigi, dan taring. 6 Ia juga merupakan simbolik yang dijadikan adat istiadat oleh orang Betawi. Filosofinya dari binatang buaya ini ialah ia termasuk binatang yang tahan dan kuat, maka karena itu menurut orang Betawi dengan simbol tersebut diharapkan sang calon pengantin laki-laki memiliki sifat yang kuat dalam hal mencari nafkah kemudian juga kuat secara fisik dan bertanggung jawab terhadap keluarga. Adapun dari sisi calon pengantin perempuan mengharapkan terhadap calon pengantin laki-laki yang akan menjadi suaminya memiliki sifat yang setia dan tidak berkhianat. 7 Selanjutnya, binatang 4 M. Hasbi Umar, Nalar Fiqh Kontemporer, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007, cet. 1, h. 1. 5 Suryowingjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung, 1982, h. 122. 6 Wawancara Pribadi dengan Bapak Fuad Thohari. Ciputat, 24 Agustus 2015. 7 Wawancara Pribadi dengan Bapak Abdul Jalil. Jakarta, 7 Oktober 2015. buaya juga termasuk binatang yang memiliki sifat yang liar, dengan adanya sang buaya betina maka sang buaya jantan lebih terarah hidupnya. 8 Adapun roti buaya tersebut diserahkan pada saat seserahan. Selain itu juga dilengkapi dengan pakaian, peralatan dapur, uang, permata, salah satu yang diserahkan adalah roti buaya. Semua peralatan itu dibawa oleh pihak calon mempelai laki-laki secara beriringan dan terbuka, sehingga orang-orang dapat melihatnya dan mengetahuinya barang-barang apasaja yang dibawanya, semakin banyak barang bawaannya, maka pihak calon mempelai laki-laki akan semakin meningkat pula derajatnya dimata masyarakat. 9 Filosofi yang lain mengatakan buaya itu simbol dari kesetiaan, maka itu maksud dari si calon pengantin laki-laki siap mengorbankan untuk menjaga anak- anaknya, ketika calon pengantin dari pihak laki-laki menyerahkan roti yang dibentuk serupa dengan buaya itu sebenarnya tidak lain ingin mengatakan ketika nanti sudah menikahi, ia tidak hanya siap menjadi suami tetapi juga bertanggung jawab dalam hal melindungi, mengamankan, menjaga, merawat istri dan anak- anak seperti bagaimana buaya melindungi telurnya, anaknya, dan lain-lain. Dari sisi lain yaitu ketika laki-laki yang memberikan roti buaya itu selain menggambarkan seserahan juga sebagai gambaran siap menjaga istrinya sampai menutup usia. Meskipun, faktanya orang-orang Betawi yang uangnya banyak istrinya tidak hanya satu, bahkan dua, tiga, empat. Memberikan roti buaya itu 8 Wawancara Pribadi dengan Bapak Muhammad Ishak. Jakarta, 7 Oktober 2015. 9 Andy Pathoni, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Khutbah Penyerahan dan Khutbah Penerimaan dalam Perkawinan Adat Betawi Studi Kasus di Setu Babakan Kelurahan Srengseng Sawah”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, h. 49. mengingatkan saja bahwa ia pernah janji hanya memiliki satu istri saja dengan kesetiaannya. Dengan maksud menahan diri saja. 10 Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan oleh Stacey Lance sebanyak selama 10 tahun hasil yang didapatkannya bahwa jumlah dari 70 binatang buaya yang berjenis kelamin betina akan terus kawin dengan binatang buaya yang berjenis kelamin jantan yang sama saat musim kawin tiba. Maka, hal ini yang dijadikan sebagai ikon oleh masyarakat Betawi dalam hal pernikahan tepatnya pada bawaan-bawaan seserahan. Jika ada seorang pria yang akan menikah diharuskan membawa roti buaya, dengan filosofinya adalah bahwa pengantin laki- laki akan selalu setia dengan pengantin perempuannya. 11 Dalam hukum islam tidak ada ketentuan yang harusmenggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan. Di dalam kaidah ushul fikih yaitu yang berbunyi: عل ا د ا ة م ح ك م ٌة Artinya : “Adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat dapat menjadi hu kum.” Oleh karena itu, tradisi yang sudah menjadi kebiasaan orang Betawi. Maka, bisa menjadi hukum terhadap orang Betawi. Secara hukum Islam roti buaya tidak menduduki hukum sebagai kewajiban ataupun, hukum sunnah. Tetapi, karena hukum beredar sesuai zamannya. Apabila, adat istiadat tersebut 10 Wawancara Pribadi dengan Bapak Fuad Thohari. Jakarta, 7 Oktober 2015. 11 Kusnendar, “Hewan yang Setia dengan Pasangannya”, Artikel diakses pada 13 Oktober 2015 dari http:www.kusnendar.web.id201309hewan-yang-setia-dengan-pasangannya.html tidak diberlakukan mengakibatkan ketidak harmonisan atau adanya pembicaraan di luar. Maka bisa menjadi kewajiban, tetapi bagi yang mampu. Bagi masyarakat Betawi dalam mengaitkan simbol buaya yaitu adanya pelajaran-pelajaran berharga yang dapat diambil. Jadi dengan membawakan roti buaya ini sekaligus menunjukan sikap optimis terhadap doa dan harapan semoga si calon pengantin laki-laki yang akan menjadi suami dapat menerapkan sisi positif yang ada pada binatang buaya. Bila ditinjau secara kulturalistik, masyarakat Betawi memiliki berbagai macam bentuk kebudayaan daerah. Budaya lokal ini dicerminkan dari kebiasaan yang berkembang di lingkungan warganya. Satu tuntunan pola hidup turun- temurun yang kuat. Keanekaragaman itu nampak jelas terlihat pada saat penyelenggaraannya. Sebuah khasanah daerah berkelanjutan dari akar budaya setempat. Mengaitkan dengan cerita masyarakat atau legenda pada umumnya tidak hanya satu pandangan, tetapi banyak. Karena pandangannya tidak hanya ada satu cerita, maka tidak tunggal ceritanya. Jadi, bisa saja dipahami semacam keinginan laki-laki yang ingin bertanggung jawab seperti wataknya buaya, agar tidak keliru. 12 Budaya pernikahan dan aturannya yang berlaku pada masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan masyarakat itu berada, serta pergaulan masyarakat yang dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan keagamaan yang dianutnya serta kebiasaan setempat. 12 Wawancara Pribadi dengan Bapak Fuad Thohari. Ciputat, 24 Agustus 2015. Sebagaimana, telah disinggung di pembahasan yang terdahulu, bahwa efektifitas al-adat, hanyalah pada masalah-masalah yang tidak tercover olah Al- Qur‟an dan al-Hadits. Dalam pengertian lain, sesuatu yang telah ditetapkan oleh syar‟i, tidak semunya selalu disertai oleh batasan-batasan dan ukuran-ukuran. Demikian pula lughah atau bahasa. Seringkali bahasa tidak mampumen jawab hal ini. Solusi yang bisa ditawarkan adalah, menegembalikan permasalahan ini kepada adat atau kebiasaan masyarakat. 13 Pada dasarnya agama Islam tidak memberatkan tetapi mempermudah bukan berarti sembarang memudahkan. Lebih menekankan dari segi agama yaitu hal-hal yang memang disyaratkan dalam sahnya pernikahan dan tidak menyalahi syariat. 14 Jika terjadi perbedaan pendapat, maka dapat dimusyawarahkan antar keluarga untuk menemukan titik temu. Kalau memang tradisi itu sudah mengakar atau yang sifatnya hukum tidak tertulis. 15 Dengan demikian, mengaitkan sebuah perilaku manusia dengan sebuah legenda itu bisa saja, karena legenda itu tidak absolut atau dengan kata lain tidak relatif maka tafsirannya banyak tidak tunggal. Bila hanya tradisi tidak ada pelarangan adapun kalau ada yang menganggapnya sebagai sesajen atau sebagai dewa maka tidak diperbolehkan dalam Islam. 16 13 Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, Jakarta: Radar Jaya Offset, 2004, h. 180. 14 Wawancara Pribadi dengan Bapak Muhammad Ishak. Jakarta, 7 Oktober 2015. 15 Wawancara Pribadi dengan Bapak Abdul Jalil. Jakarta, 7 Oktober 2015. 16 Wawancara Pribadi dengan Bapak Fuad Thohari. Ciputat, 24 Agustus 2015.

B. Analisis Penulis mengenai Adat Betawi yang Menggunakan Roti

Buaya dalam Seserahan Pernikahan Masyarakat hukum adat Indonesia dapat dibedakan atas dua golongan menurut dasar susunannya, yaitu yang berdasarkan pertalian suatu keturunan genealogi dan yang berdasarkan lingkungan territorial. Menurut sejarah dan sifatnya, masyarakat Betawi mempunyai dasar genealogis yang tegas, baru kemudian faktor territorial menampakan diri sebagai faktor yang penting juga. Jadi bisa ketahui bahwa segala sesuatu yang menyangkut tentang adat itu sudah tertanam turun temurun di dalam masyarakat, karena secara struktur sosial; 17 Setiap komunitas selalu mempunyai adat dan tradisi khas sesuai dengan peradaban dan falsafah hidup mereka. Adat dan tradisi tersebut lahir sebagai akibat dari dinamika dan interaksi yang berkembang di suatu komunitas lingkungan masyarakat. Oleh karenanya, bisa dikatakan, adat dan tradisi merupakan identitas dan ciri khas suatu komunitas. Dalam upacara perkawinan terdapat acara-acara pokok dan acara-acara pelengkap yang betalian dengan tradisi atau adat kebiasaan. Yang pertama seperti akad nikah dan walimah, sudah cukup dimaklumi, sedangkan yang kedua, kebanyakan bertalian dengan adat yang dapat dikaitkan dengan ‘urf. 18 Bagi Masyarakat Betawi roti buaya merupakan istilah yang tidak asing lagi untuk didengar ditelinga mereka. Sekelompok kalangan masyarakat Betawi 17 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2003, cet. 6, h. 360. 18 Andy Pathoni, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Khutbah Penyerahan dan Khutbah Penerimaan dalam Perkawinan Adat Betawi Studi Kasus di Setu Babakan Kelurahan Srengseng Sawah”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, h. 36. ini, baik dikalangan muda, tua, bahkan tokoh ulama sudah cukup memahami benda roti yang berbentuk buaya itu. Kedudukannya yang cukup merajai adat istiadat Betawi ini, bukan hanya membuat kalangan orang Betawi sendiri yang ingin mempertahankan kebiasaan budayanya. Tetapi juga membuat sejumlah masyarakat yang bukan asli keturunan Betawi, juga merasa tertarik untuk mengikut sertakan roti buaya dalam seserahan umumnya yang calon pasangan pengantinnya berasal dari Betawi, baik dari pihak calon pengantin laki-laki ataupun, calon pengantin perempuan. Jadi, bukan benda yang aneh lagi untuk ditelinga masyarakat tentang keberadaan bentuk roti tersebut khususnya yang berasal dari adat Betawi. Perbedaan kelompok atau perbedaan suku merupakan bagian dari ciri khas adanya tradisi-tradisi tertentu. Karena sebagian besar masyarakat Betawi mengikut sertakan adanya roti buaya dalam seserahan pernikahan, maka upacara- upacara pernikahan mereka umumnya bercorak adat istiadat Betawi. Itu menandakan bahwa masyarakat Betawi telah menjadi satu kesatuan dengan budaya mereka. Kenyataan ini dapat dilihat oleh sekelompok masyarakat Betawi yang masih mempertahankan adat kebiasaannya yang sudah ada sejak lama dengan menyertakan roti buaya dalam seserahan pernikahannya. Maka dapatlah kita lihat sekarang ini bentuk-bentuk pernikahan yang beraneka ragam, masing-masing memiliki cara-caranya sendiri serta memiliki adat yang berbeda-beda dari daerah yang satu ke daerah yang lain. Dalam pengertian roti buaya menurut masyarakat Betawi yaitu sebuah harapan para calon pengantin ini hanya nikah sekali dalam seumur hidupnya. Dengan alasan bahwa binatang buaya termasuk binatang yang memiliki sifat setia pada pasangannya. Pernyataaan itu tidak hanya terbatas pada satu sifat setia saja, tetapi juga turut bertanggung jawab dalam menjaga istri dan anaknya. Alasan masyarakat Betawi pada umumnya karena status keturunan mereka menjadi orang Betawi mengikuti adat kebiasaan orang tua mereka sejak dahulu meskipun tidak tahu apa tujuannya dari pribadinya sendiri. Karena, adat kebiasaan sudah lahir sejak lama, wajar saja calon-calon pengantin zaman sekarang mungkin tidak enak untuk meninggalkannya sekaligus melestarikan adat kebudayaannya. Pada umumnya memang pihak calon pengantin perempuan tidak mengetahui bila si calon pengantin laki-laki mengikut sertakan roti buaya dalam seserahannya, katena itu sifatnya hanya bawaan-bawaan yang memang mampu dibawa olehnya bukan dari permintaan perempuan. Dari segi bentuknya roti buaya ini ada jantan, betina, dan terakhir di atasnya ada anak dari buaya itu sendiri, selain itu juga ia memiliki variasi rasa yang berbeda-beda sesuai dengan pesanan si calon pengantin. Meskipun, dahulu roti buaya tersebut tidak memlliki rasa atau tawar. Mengenai penyerahan roti buaya ini dilakukan di rumah kediaman calon pengantin perempuan. Pada umumnya diserahkan pada saat detik-detik menjelang kesiapaan akad pernikahan. Dimana, keluarga besan atau calon pengantin laki-laki sudah mulai berjalan dengan bentuk formasi barisan yang rapi menuju rumah kediaman calon pengentin perempuan. Sesampainya di depan halaman rumah kediaman calon pengantin perempuan. Sang calon pengantin laki-laki beserta sanak keluarga, saudara dan