Keterangan Tidak Mampu SKTM, dan macam-macam surat lainnya yang dibutuhkan masyarakat.
B. Sejarah Roti Buaya dalam Seserahan Pernikahan
Keberadaan tradisi di Indonesia ini merupakan sudah hal biasa. Selain menjadi kebiasaan, juga menjadi ciri khas di beberapa wilayah yang ada di
Indonesia dengan maksud membedakan tradisi yang satu dengan tradisi yang lain atau sebagai karya seni. Adapun contohnya seperti Roti Buaya yang menjadi
tradisi Betawi dalam seserahan pernikahan. Yahya Andi Saputra adalah salah satu tokoh budayawan yang memulai
kecintaannya pada kesenian Betawi sejak masih anak-anak. Meski masih berusia Sembilan tahun dan bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah Al-Hurriyah, ini sudah
ikut pementasan lenong. Beliau menamatkan studi pada Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra kini Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, tahun
1988. Jiwa seninya kian menggelegak saat remaja. Mulai menulis puisi, cerpen, resensi maupun opini sejak SMA.
Tulisannya pernah dipublikasikan Media Indonesia, Bisnis Indonesia, Republika, Pelita, Majalah Panji Masyarakat, Jurnal Puisi, dan lain-lain.
Sebelumnya pernah menjadi redaksi Majalah Kita Sama Kita dan Tabloid Bens, majalah FUHAB, dan majalah Jembatan. Ia pun aktivis Lembaga Kebudayaan
Betawi LKB, Ketua Umum Badan Pemberdayaan Budaya Betawi BPBB, dan Ketua Bidang Pariwisata dan Kebudayaan DPD Forkabi Jakarta Selatan.
1
1
http:kampungbetawi.comgerobogdedengkot-2yahya-andi-saputra diakses pada 29
Juni 2015
Spirit kebetawian yang dimilikinya dari waktu ke waktu kian membesar dan hal itu dipelihara serta dipupuknya dengan baik. Baginya tradisi roti buaya
merupakan sebuah kewajiban yang dijadikan sebagai salah satu syarat bagi calon pengantin pria yang harus menghidangkan di dalam seserahan pernikahan adat
Betawi yang hingga kini masih dilestarikan oleh masyarakat Betawi dan sudah berlangsung sejak lama karena tidak tahu jelas kapan datangnya tradisi roti buaya
ini. Bahkan, terasa kurang lengkap apabila dalam seserahan pernikahan adat Betawi tidak ada roti buaya. Pembahasan tentang siapa yang menciptakan tradisi
roti buaya ini tidak ada yang tahu, yang jelas tradisi roti buaya ini milik masyrakat Betawi.
Di masa lalu, tradisi ini pada mulanya buaya adalah sebuah simbol dimana dalam cerita rakyat Betawi dikenal dengan buaya siluman. Entah yang dimaksud
buaya merah, buaya buntung, ataupun buaya putih. Buaya-buaya siluman ini oleh masyrakat Betawi dianggap pemelihara atau
penunggu sebuah entuk.
2
Dalam Bahasa Betawi kuno entuk diartikan sebagai sumber mata air. Maka pada zaman dahulu kalau ada kegiatan masyarakat yang
mengganggu seperti kebersihan, keasrian, keindahan entuk itu akan mendapat sanksi. Contohnya seperti “kalau lewat situ yang ada sumber mata airnya harus
mengucapkan numpang- numpang karena di situ ada makhluk penjaganya”.
Adapun sumber mata air itu adalah sumber kehidupan manusia, kalau kamu membuang sampah maka akan mendapat ketulah. Di mana dalam Bahasa Betawi
2
Entuk adalah Bahasa Kuno yang ada di Betawi zaman dahulu yang diartikan sebagai sumber mata air.
kuno ketulah itu artinya karma atau akibat tindakan, sikap, perilaku yang ada dihari lampau.
Selanjutnya, karena si buaya itu sudah menunggu sumber kehidupan masyarakat yaitu sumber mata air. Maka oleh masyarakat Betawi buaya itu
dimanfaatkan sebagai simbol kehidupan. Adapun pemanfaatannya digunakan dalam acara pernikahan tepatnya pada saat seserahan dari pihak calon pengantin
pria terhadap pihak calon pengantin wanita. Perkawinan itu sendiri adalah bagian salah satu siklus kehidupan yaitu
suatu rangkaian aktivitas secara alami yang dialami oleh individu-individu dalam populasi berkaitan dengan perubahan tahap-tahap dalam kehidupan. Seperti
manusia yang bertujuan menciptakan, melanjutkan kehidupan yang baru. Perkawinan atau pernikahan juga bukan sekedar yang berarti ingin
melampiaskan nafsu biologis atau menghalalkan bersenang-senangnya antara laki- laki dan perempuan, tetapi dengan memiliki tujuan yaitu melanjutkan generasi
yang baru. Maka dari itu masyarakat Betawi mengwajibkan adanya dalam seserahan pernikahan sebagai simbol melanjutkan kehidupan yang baru.
Adapun zaman sekarang masyarakat sudah menggunakan roti sedangkan, dahulu istilah roti buaya ini bukan dikenal dari rotinya melainkan buayanya.
Karena dahulu, belum menggunakan roti tetapi dari kayu, daun kelapa atau semacamnya yang dapat dibentuk menjadi buaya. Dimana buayanya itu sendiri
dipajang di depan rumah yang menandakan bahwa si wanita sudah dinikahi oleh pria lain.