Syarat dan Rukun Perkawinan

banyak berkenaan dengan unsur-unsur atau rukun perkawinan 17 . Di dalam Bab II pasal 6 ditemukan syarat-syarat perkawinan sebagai berikut: 1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum 21 dua puluh satu tahun harus mendapat izin kedua orang. 3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mammpu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. 4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. 5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini. 17 Amir Syarifudin, h. 61 6. Ketentuan tersebut ayat 1 sampai dengan ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. KHI secara jelas membicarakan rukun perkawinan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 14; Untuk melaksanakan perkawinan harus ada : 1. Calon Suami; 2. Calon Isteri; 3. Wali nikah; 4. Dua orang saksi dan; 5. Ijab dan Kabul. Y ang keseluruhan rukun tersebut mengikuti fiqh Syafi’i dengan tidak memasukkan mahar dalam rukun. Syarat- syarat Perkawinan dalam Hukum Perdata, terdiri dari 18 : 1. Syarat Materil Syarat Materil adalah syarat yang dihubungkan dengan keadaan pribadi orang yang hendak melangsungkan perkawinan, yaitu : a. Kedua belah pihak masing-masing harus tidak dalam keadaan kawin sehingga tidak terjadi bigami pasal 27 KUH.Perdata. 18 R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata BW, Jakarta: PT Pradnya Pramita, 2002, Cet. Ke-32, h. 8 b. Persetujuan sukarela antara kedua belah pihak pasal 28 KUH.Perdata. Memenuhi ketentuan umur minimum yakni pria 18 tahun dan wanita 15 tahun pasal 29 KUH.Perdata. c. Bagi wanita yang putus perkawinan harus telah melewati 300 hari sejak putus perkawinan sebelumnyapasal 34 KUH.Perdata. Izin atau persetujuan pihak ketiga bagi : 1 Orang yang belum dewasa minderjaring dari orang tua atau walinya pasal 35 – 37 KUH.Perdata. 2 Orang yang berada dibawah pengampuan curandus pasal 38 dan 151 KUH.Perdata. 3 Perkawinan tidak dilakukan dengan orang-orang yang dilarang oleh undang-undang yaitu: a Larangan perkawinan antara orang-orang yang ada hubungan darah atau keluarga. b Antara keluarga dalam satu garis lurus keatas dan kebawah dan antara keluarga dalam garis lurus kesamping,misalnya saudara laki-laki dengan saudara perempuan baik sah maupun tidaksah pasal 30 KUH.Perdata c Antara ipar laki-laki dengan ipar peremuan,antara paman dan bibi dengan kemenakan paal 31 KUH.perdata. d Larangan perkawinan antara mereka yang karena putusan hakim terbukti melakukan overspel pasal 32 KUH.Perata e Larangan kawin karena perkawinan yang dahulu atau sebelumnya,selama belum lewat waktu satu tahun pasal 33 KUH.Perdata. Syarat Materil dalam poin a,b,c,d dan e disebut syarat Material Mutlak,yaitu syarat yang apabila tidak dipenuhi maka orang tidak berwenang melakukan perkawinan atau perkawinan tidak dapat terjadi atau batal demi hukum. 2. Syarat Formil Syarat Formil adalah syarat yang dihubungkan dengan cara-cara atau formalitas –formalitas melangsungkan perkawinan, yaitu : a. Pemberitahuan oleh kedua belah pihak kepada Kantor Catatan Sipil pasal 50 KUH.Perdata. b. Pengumuman kawinhuwelijks afkondiging dikantor Catatan Sipil pasal 28 KUH.Perdata. c. Dalam hal kedua belah pihak calon suami istri tidak bersiam di daerah yang sama maka pengumuman dilakukan di Kantor Catatan Sipil tempat pihak-pihak calon suami istri tersebut masing-masing pasal 53 KUH.Perdata. d. Perkawinan dilangsungkan setelah sepuluh hari pengumuman kawin tersebut pasal 75 KUH.Perdata e. Jika pengumuman kawin Huwelijks afkondiging telah lewat satu tahun, sedang perkawinan belum juga dilangsungkan, maka perkawinan itu menjadi kadaluarasa dan tidak boleh dilangsungkan kecuali setelah diadakan pemberitahuan dan pengumuman baru pasal 57 KUH.Perdata. 40

BAB III DISPENSASI PERKAWINAN

A. Pengertian Dispensasi Perkawinan

Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dispensasi berarti pengecualian dari peraturan umum untuk suatu keadaan khusus, pembebasan dari suatu kewajiban atau larangan. Dalam hal dispensasi dibenarkan apa-apa yang biasanya dilarang oleh pembuat undang-undang 1 . Dan menurut C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, dispensasi adalah suatu penetapan yang bersifat deklaratoir, yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang memang tidak berlaku bagi kasus sebagai di ajukan oleh seorang pemohon 2 . Yang dimaksud dengan dispensasi kawin adalah dispensasi dari Pengadilan Agama untuk melangsungkan perkawinan bagi calon mempelai baik pria maupun wanita yang belum mencapai umur minimal yang disyaratkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 3 . B. Landasan Hukum Dispensasi Nikah Adapun ketentuan landasan hukum dispensasi nikah bagi calon mempelai yang belum mencapai usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi wanita, Undang- Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mengatur tentang dispensai perkawinan 1 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1998, Cet ke-2, h. 209 2 C.S.T Kansil, dan Christine S.T Kansil, Kamus Istilah Aneka Ilmu, Jakarta: PT. Surya Multi Grafika, 2001, Cet. Ke-2, h. 52 3 Taufiq Hamami, Peradilan Agama Dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Jakarta: Tatanusa, 2013, h. 181 dalam Pasal 7; 1 Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 Sembilan belas tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 enam belas tahun. 2 Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan. 3 Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat 3 dan 4 undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat 2 pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat 6 4 . Begitu pula Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang dispensasi perkawinan dalam Pasal 15 ayat 1 dan 2 yaitu; Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang- kurangnya berumur 16 tahun. 5 Kemudian ayat 2 juga menyatakan bahwa bagi calon mempelai yang belum mencapai 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang di atur dalam pasal 6 ayat 2, 3, 4 dan 5 UU No. 1 Tahun 1974. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebelum adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menggariskan batas umur perkawinan. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 29 menyatakan bahwa laki- 4 Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-undang perdata Islam dan peraturan pelaksanaan lainnya di Negara hukum Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004, h. 331 5 Abdul Manan, M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang Perdailan Agama, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, h. 10 laki yang belum mencapai umur delapan belas tahun penuh dan perempuan yang belum mencapai umur lima belas tahun penuh, tidak dapat mengadakan perkawinan. Sedangan batas kedewasaan seseorang berdasarkan KUHPerdata pasal 330 adalah umur 21 dua puluh satu tahun atau belum pernah kawin. Namun, berdasarkan Ketentuan Penutup Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 66 bahwa untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan tidak berlaku.

C. Batas Usia Minimal Kawin Dalam Hukum Islam dan Hukum Positif

1. Ketentuan Batas Usia Minimum untuk Menikah dalam Hukum Islam Islam dalam hal ini al- Qur‟an dan Hadis tidak menentukan batas minimal umur untuk kawin 6 . Para ulama mazhab pda umumnya dahulu membolehkan seorang bapak sebagai „wali mujbir‟ mengawinkan anaknya lelakiwanita yang gadis dan masih dibawah umur tanpa harus meminta persetujuan anaknya terlebih dahulu, dengan alasan bahwa Nabi Muhammad mengawini Aisyah r.a pada waktu usia 7 dan mulai berumah tangga pada usia 9. Peristiwa ini yang terjadi lebih kurang 14 abad yang lalu dan tidak ada keterangan yang otentik dari Nabi bahwa perkawinannya dengan Aisyah itu termasuk tindakan yang khusus untuk Nabi, maka faktakejadian 6 Masjfuk Zuhdi, Studi Islam jilid 3: Muamalah, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1993, Cet. Ke-2, h. 32 tersebut lalu dijadikan dalil oleh para Ulama mazhab tentang boleh dan sahnya perkawinan anak-anak. Rasulullah pun menganjurkan umatnya terutama bagi para pemuda untuk segera kawin apabila segala sesuatunya sudah memungkinkan. Dan berpuasa menjadi solusi bagi para pemuda yang belum mampu untuk kawin. Sebagaimana dalam sabdanya: ر دوعسم نب هادبع نع ىض اَيُُ : ملس و هيلع ها ىلص ها لوسر انل لاق : لاق هنع ها َو ,ِجْرَفْلِل ُنَصْحَأَو ,ِرَصَبْلِل ضَغَأ ُهنِإَف ,ْجّوَزَ تيْلَ ف َةَءاَبْلا ُمُكْنِم َعاَطَتْسا ِنَم ,باَبشلا َرَشْعَم ْنَم ََْ ٌََءاَجِو ُهَل ُهنِإَف ,ِمْوصلاِب ِهْيَلَعَ ف ْعِطَتْسَي 7 . Artinya: “Wahai para pemuda, barangsiapa yang sudah mampu mengongkosi perkawinan di antara kalian, maka segeralah kawin Karena dengan kawin itu akan menjaga kehormatan dan pandangan mata. Barangsiapa yang belum mampu kawin, hendaklah ia berpuasa, karena dengan puasa dapat menekan hawa nafsu .” Apabila kita perhatikan hadis Nabi di atas, maka kita tidak menemui pernyataan Nabi tentang batasan umur, tetapi yang ditekankan adalah masalah ongkos kawin membiayai rumah tangga, dan kesiapannya termasuk fisik maupun mentalnya 8 . Nasroen Harun menyatakan dalam bukunya, bahwasanya seorang manusia belum dikenakan taklif pembebanan hukum sebelum ia cakap untuk bertindak hukum. Dan kemampuan untuk memahami taklif tersebut hanya bisa dicapai melalui akal manusia, akan tetapi, karena akal adalah sesuatu yang abstrak dan sulit di ukur, 7 Ibnu Hajar Al-Asqolani, Bulughul Maram Jam’I Adillatil Ahkam, Kairo: Darul Hadis, 2003, h. 168 8 Musifin, h. 29