5. Membentuk rmah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah Keluarga yang
tenteram, penuh cinta kasih dan kasih sayang. 6.
Ikatan perkawinan sebagai mitsaqan ghalizan sekaligus mentaati perintah Allah SWT bertujuan untuk membentuk dan membina tercapainya ikatan lahir batin
antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dalam kehidupan rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan syarat Hukum Islam.
D. Syarat dan Rukun Perkawinan
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua
kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan umpama rukun dan
syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah apabila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahasa, bahwa rukun ituadalah sesuatu yang berada didalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur
yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada diluarnya dan tidak merupakan unsurnya
13
. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku
untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun.
13
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2007, h. 59
Di dalam memahami jumlah rukun nikah, ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Syarat dan rukun nikah dalam sebuah hukum fiqh merupakan hasil ijtihad
ulama yang diformulasikan dari dalil-dalil nash serta kondisi objektif masyarakat setempat. Menurut jumhur ulama, rukun nikah itu ada 4, yaitu: 1 shighah ijab dan
qabul, 2 calon isteri, 3 calon suami dan 4 wali. Berbeda dengan Hanafiyah, yang mengatakan bahwa rukun nikah itu hanya ada dua yaitu ijab dan qabul, tidak
ada yang lain. Al-Jaziri mengatakan bahwa, sebenarnya menurut Malikiyah rukun nikah itu ada lima yaitu 1 wali, 2 mahar harus ada tetapi tidak harus disebutkan
pada akad, 3 suami, 4 isteri suami dan isteri ini di syaratkan bebas dari halangan menikah seperti masih dalam masa iddah atau sedang ihram dan 5 sighah.
Sedangkan Syafi’iyah juga mengatakan rukun nikah ada lima namun sedikit berbeda dengan Malikiyah, yaitu 1 suami, 2 isteri, 3 wali, 4 dua saksi dan 5 sighah.
Ulama sepakat mengatakan bahwa ijab dan qabul adalah rukun nikah. Pada hakikatnya rukun nikah yang hakiki adalah kerelaan hati kedua belah pihak laki-laki
dan wanita. Karena kerelaan tidak dapat diketahui dan tersembunyi dalam hati, maka hal itu harus dinyatakan melalui ijab dan qabul.ijab dan qabul adalah merupakan
pernyataan yang menyatukan keinginan kedua belah pihak untuk mengikatkan diri masing-masing dalam suatu perkawinan
14
. Sementara, selain pada dua hal tersebut, mereka berbeda pendapat. Jumhur ulama mengatakan, rukun nikah selain ijab dan
14
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Jakarta: SIRAJA, 2003, h. 55
qabul adalah suami, istri, wali dan dua saksi. Adapaun menurut Malikiyah, selain ijab dan qabul yang termasuk rukun nikah adalah suami, isteri, wali dan mahar.
Sementara yang dipakai oleh penduduk Indonesia yang mayoritas bermadzhab Syafi’i adalah yang lima, yakni: 1 suami, 2 isteri, 3 wali, 4 dua saksi dan 5
sighah
15
. Dipandang dari segi hukum, perkawinan adalah suatu perbuatan hukum.
Setiap perbuatan hukum yang sah akan menimbulkan akibat hukum, berupa hak dan kewajiban baik bagi suami istri itu sendiri maupun bagi orang ketiga. Menurut
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya itu
16
. Ini berarti untuk menentukan sah tidaknya perkawinan seseorang, ditentukan oleh ketentuan hukum
agama yang dipeluknya. Bagi seorang Islam, misalnya, sah tidaknya perikahan yang dilakukan tergantung pada dipenuhi tidaknya semua rukun nikah menurut hukum
agama Islam. Adapun kalau kita perhatikan bahwasanya Undang-Undang Perkawinan sama
sekali tidak berbicara tentang rukun perkawinan. Undang-Undang Perkawinan hanya membicarakan syarat-syarat perkawinan, yang mana syarat-syarat tersebut lebih
15
Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, h. 125
16
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama Kumpulan Tulisan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2002, h. 28
banyak berkenaan dengan unsur-unsur atau rukun perkawinan
17
. Di dalam Bab II pasal 6 ditemukan syarat-syarat perkawinan sebagai berikut:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum 21 dua puluh satu
tahun harus mendapat izin kedua orang. 3.
Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mammpu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat 2
pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat
2, 3 dan 4 pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat
tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang
tersebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini.
17
Amir Syarifudin, h. 61