Tata Hukum Nasional Analisa Kedudukan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan

6 Keputusan Presiden yang bersifat mengatur dibuat oleh Presiden untuk menjalankan fungsi dan tugasnya berupa pengaturan pelaksanaan administrasi negara dan administrasi pemerintahan. 7 Peraturan Daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan. a Peraturan daerah propinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi bersama dengan Gubernur. b Peraturan Daerah KabupatenKota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah KabupatenKota bersama BupatiWalikota. c Peraturan Daerah atau yang setingkat, dibuat oleh Lembaga Perwakilan Desa atau yang setingkat, sedangkan tata cara pembuatan Peraturan Desa atau yang setingkat diatur oleh Peraturan Daerah KabupatenKota yang bersangkutan. Pasal 4 1 Sesuai dengan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan ini, maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi. 2 Peraturan atau Keputusan Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, Menteri, Bank Indonesia, Badan atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang termuat dalam Tata Urutan Peraturan Perundang- undangan ini. Pasal 5 1 Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya, dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. 2 Mahkamah Agung berwenang menguji Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-undang terhadap Undang-Undang. 3 Pengujian dimaksud ayat 2 bersifat aktif dan dapat dilaksanakan tanpa melalui proses peradilan kasasi. 4 Keputusan Mahkamah Agung mengenai pengujian sebagaimana dimaksud ayat 2 dan ayat 3 bersifat mengikat. Pasal 6 Tata cara pembuatan Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah dan pengujian Peraturan Perundang-undangan oleh Mahkamah Agung serta pengaturan ruang lingkup Keputusan Presiden diatur lebih lanjut dengan Undang-undang. Pasal 7 Dengan ditetapkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan ini, maka Ketetapan MPRS Nomor XXMPRS1966 tentang Memorandum DPR- GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang Republik Indonesia dan Ketetapan MPR Nomor IXMPR1978 tentang Perlunya Penyempurnaan yang Termaktub dalam pasal 3 ayat 1 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VMPR1973 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 8 Ketetapan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 7 1 Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c Undang-UndangPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d Peraturan Pemerintah; e Peraturan Presiden; f Peraturan Daerah Provinsi; dan g Peraturan Daerah KabupatenKota. 2 Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat 1. Pasal 8 1 Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat 1 mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah KabupatenKota, BupatiWalikota, Kepala Desa atau yang setingkat. 2 Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Dapat digambarkan bahwasanya, dalam hierarki urutan pembentukan peraturan perundang-undangan Buku II tidak dikenal sebagai sumber hukum sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Ketentuan pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 di atas terlihat adanya dominasi undang-undang dalam tataran utama sebagai sumber hukum, harus ada pemilihan antara sumber hukum dalam ranah tata hukum nasional dengan sumber hukum dalam kajian ilmu hukum. Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menegaskan: bahwa selain tujuh aturan perundangan yang termaktub di atas, juga terdapat beberapa aturan lain yang berlaku dan mengikat. Salah satunya adalah peraturan yang dikeluarkan Mahkamah Agung. Wujudnya adalah Keputusan KMA. Dapat di artikan, Buku II merupakan salah satu jenis aturan perundangan yang diakui dan berlaku. Buku II mulai diberlakukan melalui Keputusan Ketua Mahkamah Agung nomor: KMA032SKIV2006. Selanjutnya disempurnakan lagi dengan Keputusan KMA nomor: 012KMASKII2007. Yang menetapkan: 1. Memberlakukan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan. 2. Memerintahkan kepada semua pejabat structural dan fungsional beserta aparat peradilan untuk melaksanakan Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan sebagaimana tersebut dalam Buku II secara seragam, disiplin, tertib dan bertanggung-jawab. 3. Pimpinan Mahkamah Agung, Hakim Agung, semua pejabat structural dan fungsional ditugaskan untuk mengawal pelaksanaan Buku II tersebut serta melaporkan secara periodic kepada Ketua Mahkamah Agung. 4. Pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam butir kedua tersebut di atas berlaku sejak tanggal Keputusan ini ditetapkan. Jika rumusan pasal 8 tersebut kita kaji berdasarkan fungsi dan kewenangan dari lembaga Negara atau pejabat yang dirumuskan didalamnya, bahwa tidak semua lembaga Negara dan pejabat tersebut mempunyai kewenangan untuk membentuk peraturan yang bersifat umum, dan berlaku ke luar sebagai Peraturan Perundang- undangan. Mahkamah Agung dalam kewenangannya, pasal 24A Ayat 1 dirumuskan bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Berdasarkan fungsi dan wewenang tersebut, maka keputusan yang dibentuk oleh Mahkamah Agung adalah keputusan dibidang peradilan, sehingga keputusan tersebut bersifat suatu penetapan yang individual, konkret, dan sekali-selesai final. Dengan demikian Mahkamah Agung tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan perundang-undangan atau peraturan yang mengikat umum, namun demikian Mahkamah Agung tetap berwenang membentuk peraturan yang mengikat kedalam interne regeling 12 .

c. Kekuatan Hukum Produk-produk Mahkamah Agung

Kekuasaan Kehakiman dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 yang baru, disebutkan dalam Pasal 11 ayat 4 ditegaskan bahwa Mahkamah Agung RI berhak melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan yang berada dibawahnya berdasar ketentuan undang-undang 13 . 12 Maria F, h. 104 13 Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Pustaka Kartini, 1997, h. 94 Telah diletakkan kebijakan bahwasanya segala urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut teknik yudisial maupun urusan organisasi, administrasi dan finansial berada dibawah satu atap dibawah kekuasaan Mahkamah Agung 14 . Kedudukan MA sebelum amandemen adalah pemegang dan pelaksana tunggal kekuasaaan yudisial Pasal 24 1. Namun, stelah amandemen: Pemegang dan pelaksana kekuasaan yudisial dilakukan bersama dengan Mahkamah Konstitusi Pasal 24 2. Mahkamah Agung juga melakukan pengelolaan lembaga-lembaga peradilan: umum, agama, militer dan Tata Usaha Negara Pasal 24 2. Pengadilan pada tingkat kasasi dan berhak melakukan Judicial review atas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap UU 15 . Kedudukan wewenang dan fungsi. Pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi dan finansial Peradilan Agama dilakukan oleh Mahkamah Agung, berdasarkan ketentuan yang digariskan Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama 16 . Secara garis besar makna pembinaan teknis peradilan meliputi masalah-masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan jalannya peradilan yang meliputi penerimaan perkara, pemeriksaan, putusan dan pelaksanaan putusan. Pokoknya segala persoalan yang meliputi fungsi dan kewenangan mengadili perkara adalah masalah yang berkenaan dengan teknis peradilan. Hal-hal inilah yang termasuk pembinaan Mahkamah Agung, demi 14 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006, h. 199. 15 Zainal Asikin, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Rajawali Pres, 2012, h. 163 16 Amandemen Undang-Undang Peradilan Agama, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, Cet-4, h. 3 terwujudnya pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang sesungguhnya, agar penegakan hukum dan keadilan dapat terwujud dalam kehidupan masyarakat. Pada umunya pembinaan teknis peradilan dilakukan Mahmakah Agung dalam berbagai bentuk dan cara, yang paling umum melalui Surat Edaran atau Peraturan Mahkamah Agung, dan lainnya berupa penyebaran himpunan yurisprudensi, penataran, lokakarya dan rapat kerja teknis antar semua lingkungan peradilan yang dilakukan sekali setahun. Dalam rangka pengawasan dan pembinaan itulah Mahkamah Agung RI berwenang memberikan petunjuk apabila di anggap perlu agar suatu masalah hukum tidak menyimpang dari aturan yang telah ditentukan. Jadi, bukan mencampuri kemandirian hakim dalam menyelesaikan suatu perkara yang di ajukan kepadanya 17 . Untuk melihat produk-produk hukum Mahkamah Agung, kita harus melihat bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur dan memberi kewenangan kepada MA. Pasal 24 A UUD 1945 mengatur Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan undang-undang. 17 Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum Hukum Islam, Hukum Barat dan Hukum Adat dalam rentang sejarah bersama pasang surut lembaga Peradilan Agama hingga lahirnya Peradilan Syariat di Aceh, Jakarta: Kencana, 2010, Cet-2, h. 164 Mari kita lihat Undang-Undang yang mengatur Mahkamah Agung, UU No. 3 Tahun 2009. Ada beberapa kewenangan dan tugas yang diberikan Undang-Undang kepada MA, antara lain 18 : 1 Mahkamah Agung memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden dalam permohonan grasi dan rehabilitasi Pasal 14 ayat 1 UUD joPasal 35 UUMA. 2 Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada lembaga tinggi negara yang lain Pasal 37 UUMA. 3 MA berwenang memberikan petunjuk di semua lingkungan peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan UU Kekuasaan Kehakiman Pasal 38 UUMA. 4 MA berwenang memberikan petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan. Dalam literatur kewenangan dan tugas demikian disebut sebagai fungsi pengaturan Mahkamah Agung. Ini juga sejalan dengan rumusan Pasal 79 UU Mahkamah Agung , yang mengatur “Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Un dang ini”. 18 Hukum Online, di akses pada tanggal 12232014, dari http:www.hukumonline.comklinikdetailcl6102kekuatan-hukum-produk-produk-hukum-ma- perma,-sema,-fatwa,-sk-kma