Batas Usia Minimal Kawin Dalam Hukum Islam dan Hukum Positif

Mimpi dan menstruasi adalah tanda bahwa baik pria maupun wanita telah dewasa atau akil baligh. Bila mimpi dan menstruasi datang tergantung pada kondisi alam dan situasi di suatu tempat dan masyarakat tertentu. Pada umumnya pada usia 13 atau 14 tahun. Kini keluarga dalam masyarakat kontemporer menentukan batas umur untuk dapat melangsungkan perkawinan, disandarkan pada kondisi Negara masing- masing 11 . Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat para ahli, sebagai berikut : Saat paling ideal dalam menikah adalah saat dimana kedewasaan biologis telah merekah bersamaan dengan kedewasaan psikologis, dimana kedewasaan biologis di ukur dengan „baligh‟ dan kedewasaan psikologis di ukur dengan tanggung jawabnya, mereka yang sudah memenuhi ukuran itu, sesungguhnya sudah wajib menikah 12 . Terdapat perbedaan besar dalam soal umur dikalangan kelompok masyarakat yang berbeda-beda pula. Para tamatan perguruan tinggi dan orang-orang yang terjun dalam dunia professional biasanya kawin lebih kasip dibandingkan dengan golongan lainnya dalam masyarakat. Akan tetapi kini banyak mahasiswa perguruan tinggi 11 Moh. Daud Ali, h. 96 12 Ashad, h. 76 kawin sebelum mereka meraih gelar sarjana 13 . Tidak ada satu usia pun yang dapat kita tetapkan sebagai patokan yang cocok bagi semua orang untuk dipertimbangkan. Muncul tanggapan dari seorang psikolog yang cenderung mendukung pelaksanaan perkawinan dibawah umur. Ia mengatakan bahwa faktor kesiapan mental untuk menikah bukan ditentukan dengan usia. Lagi pula pernikahan bukan penghambat dan penghalang untuk mencapai prestasi dalam pendidikan. Bahkan dengan menikah di usia bawah umur akan mempercepat proses aktualisasi diri seseorang 14 . 2. Batas Usia Perkawinan Menurut Hukum Positif Pada umumnya Negara-negara di dunia ini mempunyai Undang-undang Perkawinan yang menetapkan batas umur minimal untuk kawin bagi warga negaranya. Indonesia dengan Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 7 1 menetapkan bahwa : “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun”. Pasal 7 1 ini erat sekali hubungannya dengan Pasal 6 2 yang menerangkan bahwa : “Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai usia 21 harus mendapat izin kedua orang tua”. Dan sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang dispensasi perkawinan dalam Pasal 15 ayat 1 dan 2; “Untuk kemaslahatan keluarga dan 13 Penerjemah Wimanjaya K. Liotohe, R.T Sirait, Before You Marry-Question to ask and answer, Di Ambang Pernikahan, Jakarta: Penerbit Mitra Utama, 1993, h. 65 14 Syahrul Anam, dkk, Kado Untuk Sang Tunangan ‘Risalah Nikah Untuk Remaja’, Bata- bata: M2KD PP. Mambaul Ulum, 2010, h. 136 rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang- kurangnya berumur 16 tahun.” Sebelum pemberlakuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, KUH Perdata telah memberikan gambaran tentang batasan usia minimal perkawinan, ditegaskan “Seorang jejaka yang belum mencapai umur genap delapan belas tahun, sepertipun seorang gadis yang belum mencapai umur genap lima belas tahun, tak diperbolehkan mengikat dirinya dalam perkawinan. Sementara itu, dalam hal adanya alasan-alasan yang penting, Presiden berkuasa meniadakan larangan ini dengan memberikan dispensasi.” pasal 29 BW 15 . Di Indonesia praktek manipulasi umur untuk dapat menyegerakan perkawinan dibawah umur masih banyak terjadi, baik dilakukan oleh petugas kelurahan maupun oleh pihak keluarga pengantin 16 . Meskipun telah ditentukan batas umur minimal, undang-undang perkawinan tetap memperbolehkan penyimpangan terhadap syarat umum tersebut, melalui pasal 7 ayat 2 yang berbunyi; “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini dapat 15 Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional Cetakan Pertama, Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1991, h. 7 16 Masyfuk Zuhdi, h. 31 meminta dispensasi kepada Pengadilan dan Pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. 17 ” D. Faktor Penyebab Terjadinya Perkawinan Dibawah Umur Di negara kita masih banyak terjadi perkawinan di bawah umur 18 . Semua itu terjadi karena pengaruh lingkungan atau karena didikan orang tua sejak kecil yang ditanamkan kepada anak-anak mereka hingga mendekati masa dewasa. Dari banyak kasus perkawinan dibawah umur yang terjadi umumnya disebabkan karena: 1. Faktor Pendidikan. Peran pendidikan anak-anak sangat mempunyai peran yang besar. Jika seorang anak putus sekolah pada usia wajib sekolah, kemudian mengisi waktu dengan bekerja. Saat ini anak tersebut sudah merasa cukup mandiri, sehingga merasa mampu untuk menghidupi diri sendiri. Hal yang sama juga jika anak yang putus sekolah tersebut menganggur. Dalam kekosongan waktu tanpa pekerjaan membuat mereka akhirnya melakukan hal- hal yang tidak produktif. Salah satunya adalah menjalin hubungan dengan lawan jenis, yang jika diluar kontrol membuat kehamilan di luar nikah. Disini, terasa betul makna dari wajib belajar 9 tahun. Jika asumsi kita anak masuk sekolah pada usia 6 tahun, maka saat wajib belajar 9 tahun terlewati, anak 17 Muh, Amin Suma, h. 524 18 Penerjemah Musifin As‟ad, Salim Basyarahil, Perkawinan dan Masalahnya, judul asli Al- Ziwaaj wa al-Muhuur Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad, Najhul Shalih, Kholid bin Ali bin Muhammad Al-Anbari, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993, h. 28 tersebut sudah berusia 15 tahun. Di harapkan dengan wajib belajar 9 tahun atau jika di kemudian hari bertambah menjadi 12 tahun, maka akan punya dampak yang cukup signifikan dalam menekan laju pertumbuhan angka pernikahan dini. 2. Faktor Pemahaman Agama. Sebagian dari masyarakat kita yang memahami bahwa jika anak menjalin hubungan dengan lawan jenis, telah terjadi pelanggaran agama. Dan sebagai orang tua wajib melindungi dan mencegahnya dengan segera menikahkan anak-anak tersebut. 3. Faktor telah melakukan hubungan biologis. Diajukannya pernikahan karena anak-anak telah melakukan hubungan biologis layaknya suami istri. Dengan kondisi seperti ini, orang tua anak perempuan cenderung segera menikahkan anaknya, karena menurut orang tua anak gadis ini, bahwa karena sudah tidak perawan lagi, dan hal ini menjadi aib. 4. Hamil sebelum menikah Jika kondisi anak perempuan itu telah dalam keadaan hamil, maka orang tua cenderung menikahkan anak-anak tersebut. Walau pada dasarnya orang tua anak gadis ini tidak setuju dengan calon menantunya, tapi karena kondisi kehamilan si gadis, maka dengan terpaksa orang tua menikahkan anak gadis tersebut. Ada anak gadis pada dasarnya tidak mencintai calon suaminya, tapi karena terlanjur hamil, maka dengan sangat terpaksa mengajukan permohonan dispensasi kawin. Ini semua tentu menjadi hal yang sangat dilematis. Baik bagi anak gadis, orang tua bahkan hakim yang menyidangkan. Karena dengan kondisi seperti ini, jelas-jelas perkawinan yang akan dilaksanakan bukan lagi sebagaimana perkawinan sebagaimana yang diamanatkan UU bahkan agama. Karena sudah terbayang di hadapan mata, kelak rona perkawinan anak gadis ini kelak. Perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan rasa cinta saja kemungkinan di kemudian hari bias goyah,apalagi jika perkawinan tersebut didasarkan keterpaksaan. Universitas Dipenegoro bekerja sama dengan Kantor Dinas Kesehatan Jawa Tengah melaksanakan penelitian perilaku siswa SMA pada tahun 1995, hasilnya, sekitar 60.000 siswa SMA se Jawa Tengah dari 600.000 orang yang dilibatkan dalam survey atau sekitar 10-nya pernah mempraktikkan sex intercourse pranikah. Majalah Gatra, pada tahun 1999 melaporkan hasil surveinya bahwa 7,7 responden menganggap „kumpul kebo‟ sebagai hal yang wajar sebelum menikah 19 . 19 Nurul Huda Haem, Awas Ilegal Wedding dari penghulu liar hingga perselingkuhan, Jakarta: PT Mizan Publika, 2007, h. 47 50

BAB IV DUALISME LEGALITAS PEMOHON DALAM DISPENSASI

PERKAWINAN A. Studi Kasus Dispensasi Perkawinan Pemohon di Banjarnegara dan Pacitan Skripsi ini membahas tentang legal standing pemohon dalam mengajukan permohonan dispensasi perkawinan dimana penulis menganalisa terhadap putusan hakim pada tahun 2012 dan 2013 pada kasus dispensasi perkawinan yang dalam kesemuanya permohonan dispensasi perkawinannya di ajukan oleh pemohon calon pengantin sendiri dibawah umur, berlawanan dengan ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, dimana legalitas pemohon dispensasi perkawinan hanya kepada orang tuawali keluarga dengan arah garis lurus ke atas. Oleh karena itu penulis akan menganalisa putusan-putusan hakim Pangadilan Agama Banjarnegara tahun 2012 dan Pengadilan Agama Pacitan tahun 2013, di antaranya yaitu putusan berikut : 1. Putusan Nomor : 0129Pdt.P2012PA.Ba 2. Putusan Nomor : 60Pdt.P2013PA.Pct Pertama, dalam Putusan Nomor : 0129Pdt.P2012PA.Ba telah di ungkapkan bahwasanya pemohon yang berusia 17 tahun 7 bulan, beragama Islam, yang bertempat tinggal di Kecamatan Banjarnegara, Kabupaten Banjarnegara. Adapun duduknya perkara didalam putusan ini, bahwa pemohon telah meminang ke orang tua gadis tersebut pada 06 September 2012 yang lalu, dan pemohon ingin melangsungkan pernikahan dan numpang nikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan Kejobong, Kabupaten Purbalingga. Sedangkan secara hukum syarat-syarat untuk melaksanakan pernikahan tersebut baik menurut ketentuan hukum Islam maupun peraturan perundang- undangan yang berlaku telah terpenuhi 1 , kecuali syarat usia bagi Pemohon belum mencapai 19 tahun, dan karenanya maka maksud tersebut ditolak oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Kejobong, Kabupaten Purbalingga. Antara pemohon dan calon istrinya tersebut tidak ada larangan untuk melakukan pernikahan 2 , orang tua calon istrinya setuju dan telah mengetahui tentang usia Pemohoncalon suami sekarang ini dan menyadari serta akan ikut membimbing rumah tangga dengan penuh pengertian. Pemohon mengajukan sendiri permohonan dispensasi perkawinannya kepada ketua Pengadilan Agama Banjarnegara, dikarenakan ayah kandung dan ibu kandung pemohon sudah bercerai dan masing-masing sudah menikah lagi, pemohon dibawah pengampuan kakeknya yang sudah lanjut usia. Harusnya, orang-orang anak-anak dibawah pengampuan yang tidak mungkin bertindak sendiri, maka pengurusnya menjadi pihak formal yang mendapat kuasa terlebih dahulu oleh yang bersangkutan untuk dapat mengajukan gugatan ke pengadilan 3 . Pemohon juga telah berpenghasilan 1 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan , h. 61 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 8 3 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam kerangka Fiqh Qadha, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012, Cet. Ke-1, h. 5 dan mandiri, bekerja sebagai buruh tetap untuk mencukupi kebutuhan hidup berumah tangga. Pemohon sanggup membayar seluruh biaya yang timbul akibat perkara ini. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dalam petitumnya, pemohon memohon kepada ketua Pengadilan Agama Banjarnegara segera memeriksa dan mengadili perkara ini, dan setelah itu ketua Pengadilan Agama menjatuhkan yang amarnya berbunyi sebagai berikut: 1. Mengabulkan Permohonan Pemohon; 2. Menetapkan, memberikan dispensasi kawin kepada Pemohon bernama CALON MEMPELAI LAKI-LAKI untuk menikah dengan CALON MEMPELAI PEREMPUAN; 3. Membebankan biaya perkara ini menurut hukum; 4. Atau menjatuhkan penetapan lain yang seadil-adilnya; Ketika hari persidangan yang ditetapkan untuk Pemohon datang sendiri menghadap ke persidangan, majelis hakim telah berusaha menasehati Pemohon agar mengurungkan niatnya untuk menikah dibawah umur, tetapi tidak berhasil, karena pemohon sudah sangat berkeinginan untuk menikah dengan CALON MEMPELAI PEREMPUAN dan telah siap secara mental, begitupula dengan CALON MEMPELAI PEREMPUAN yang juga berkeinginan untuk menikah dan telah siap secara rohani maupun jasmani untuk berkeluarga. Untuk memperkuat dalil-dalil permohonannya, pemohon telah mengajukan surat-surat bukti tertulis, berupa: Foto copy Akta Kelahiran calon mempelai laki-laki, Nomor 2331TP1998 tanggal 27 Agustus 1998 bukti P-1. Selain bukti tertulis, pemohon juga telah mengajukan dua orang saksi di persidangan, keduanya adalah tetangga pemohon., dibawah sumpah saksi tersebut telah menerangkan sebagai berikut: Bahwa saksi I adalah tetangga pemohon, menjelaskan antara calon mempelai laki-laki dengan calon mempelai perempuan tidak ada larangan menurut agama untu melangsungkan pernikahan. Dan secara fisik dan mental keduanya sudah mampu untuk melangsungkan pernikahan. Bahwa saksi II adalah tetangga pemohon, menjelaskan antara calon mempelai laki-laki dengan calon mempelai perempuan tidak ada hubungan keluarga atau sesusuan. Antara calon mempelai laki-laki dengan calon mempelai perempuan tidak ada larangan menurut agama untuk melangsungkan pernikahan. Secara fisik dan mental keduanya sudah mampu untuk melangsungkan pernikahan. Setelah para saksi dihadirkan, kemudian pemohon menyatakan telah cukup memberikan keterangan dan alat bukti, selanjutnya pemohon berkesimpulan tetap dengan permohonannya dan memohon Majelis Hakim segera menjatuhkan penetapannya. Kedua, dalam Putusan Nomor : 60Pdt.P2013PA.Pct telah di ungkapkan bahwa Pemohon berusia 14 tahun, beragama Islam, bertempat tinggal di Kabupaten Pacitan,telah mengajukn Dispensasi Kawin untuk dirinya.