Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Dispensasi Perkawinan Pemohon

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 majelis hakim memberikan dispensasi kepada pemohon untuk menikah dengan kekasihnya. Penetapan ini dijatuhkan oleh Majlis Hakim Pengadilan Agama Banjarnegara pada hari kamis tanggal 27 September 2012 M, bertepatan dengan tanggal 11 Dzul Qo’dah 1433 H, oleh Drs. Khotibul Umam sebagai Ketua, didampingi oleh Drs. Ahmadi MH dan Drs. H. Muh Amir, SH, masing-masing sebagai Anggota dibantu Ayani, S.Ag sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri pemohon. Kedua, Pengadilan Agama Pacitan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata tingkat pertama telah menjatuhkan penetapan dalam perkara permohonan dispensasi perkawinan yang diajukan oleh pemohon: yang berusia 14 tahun, beragama Islam, bertempat tinggal di Kabupaten Pacitan. Bahwa pemohon telah mengajukan permohonannya tertanggal 7 Mei 2013 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Pacitan dengan register Nomor: 60Pdt.P2013PA.Pct., tertanggal 7 Mei 2013. Dalam positanya pemohon mengajukan hal-hal sebagai berikut: bahwa pemohon hendak menikah dengan calon suami pemohon bernama calon suami, 23 tahun, agama Islam, tempat tinggal di Kabupaten Pacitan, yang akan dilaksanakan dan akan dicatatkan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kabupaten Pacitan. Sebenarnya syarat-syarat untuk melaksanakan pernikahan tersebut baik menurut ketentuan Hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku telah terpenuhi kecuali syarat usia bagi pemohon belum mencapai umur, dan karenanya maka maksud tersebut ditolak oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Pacitan. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari penjelasan saksi bahwa pernikahan tersebut sangat mendesak, karena calon istri dan calon suami sudah berhubungan badan layaknya suami istri Begitupun dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam sebuah ikatan pernikahan, saksi menjelaskan pula bahwa antara pemohon yang bernama calon istri dan calon suami pemohon yang bernama calon suami berstatus perjaka tidak terikat dalam suatu pernikahan dan telah akil balig serta sudah siap untuk menjadi isteri atau ibu rumah tangga begitu juga dengan kesiapan daripada pemohonan dispensasi nikah ini, pemohon telah sanggup membayar seluruh biaya yang timbul akibat perkara ini. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dalam petitumnya, pemohon memohon kepada Ketua Pengadilan Agama Pacitan, Majlis Hakim berkenan untuk segera memeriksa dan mengadili dalam persidangan untuk selanjutnya menjatuhkan penetapan. Selanjutnya Hakim Pengadilan Agama memberikan pertimbangan hukum kepada Pemohon dispensasi kawin yang belum cukup umur. Hakim Pengadilan Agama Pacitan memberikan pertimbangan berdasarkan kaidah Fiqhiyah yang berbunyi: َ دَ رَ ءَ َ لاَ م َ ف َ سَا َ دَ َ أَ وَ َ ل َ َِ َ نَ َ جَ ل َ ب ََ لا َ م َ ص َ لَا َ ح 4 Artinya : “Menolak segala yang merusak lebih di utamakan dari pada menarik segala yang bermaslahat ”. Kaidah ini merupakn kaidah kunci karena pembentukan kaidah fikih adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya, ia mendapatkan maslahat 5 . Hakim Pengadilan Agama Pacitan memberikan pertimbangan demikian karena beralasan Pemohon yang mengajukan sendiri dispensasi perkawinannya telah menjalin hubungan yang sangat intim dan sulit dipisahkan lagi. Sedangkan usia Pemohon belum mencapai batas usia yang dibolehkan untuk menikah sesuai ketentuan yang berlaku. Karenanya Pemohon mohon ditetapkan. Oleh karenanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, majelis Hakim berpendapat bahwa permohonan Pemohon terbukti beralasan sesuai ketentuan pasal 7 ayat 2 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 dan Pasal 15 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam. Karenanya permohonan Pemohon patut dikabulkan. Penetapan ini dijatuhkan oleh Majlis Hakim Pengadilan Agama Pacitan pada hari kamis tanggal 23 Mei 2013 M, bertepatan dengan tanggal 12 Rajab 1434 H, oleh Dra. Nur Habibah sebagai Ketua, didampingi oleh Mukhtar, S.Ag. dan Suharno, S.Ag, masing-masing sebagai Anggota, dan pada hari itu juga di ucapkan dalam 4 Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, Cet. Ke-1, h. 104 5 Ibid siding terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua Majlis tersebut, dibantu Moch. Muti, SH. sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri pemohon.

C. Analisis Penulis

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam al- Qur’an secara konkrit tidak menjelaskan tentang usia perkawinan. Para ahli fiqh umumnya berpendapat usia baligh adalah yang ditandai dengan kemampuan untuk menunaikan tugas-tugas biologis seseorang, baik suami atau istri. Pada dasarnya putusan pengadilan itu merupakan representatif dari rasa keadilan yang didapat oleh para pihak. Oleh karena itu untuk memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya kepada para pencari keadilan, hakim dalam memutuskan perkaranya harus benar-benar memegang teguh pada prinsip keadilan sesuai dengan dasar dan pertimbangan hukum yang ada. Hukum adalah tidak sebatas pada hukum positif yang dikodifikasikan saja, tetapi meliputi nilai kesadaran yang hidup dari nilai-nilai sosial, budaya, ekonomi, agama dan sopan santun, dengan dasar itu warna dan rasa keadilan dapat terwujud 6 .

1. Analisa Pertimbangan Hakim dalam Dispensasi Perkawinan

Seorang yang hendak mengajukan perkara permohonan dispensasi kawin, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 7 ayat 2 dengan bunyi: 6 Muhlas, Yurisprudensi antara teori dan implementasinya, Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2010, h. 102 “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal itu dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau kepada pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”. Sebagaimana tercantum dalam pasal tersebut, pemohon tidak dibatasi alasan dalam hal pengajuan dispensasi pernikahan tersebut, maka pemohon mempunyai hak dan kebebasan untuk mencantumkan alasan-alasan apapun dalam surat permohonan dispensasi pernikahannya kepada Pengadilan Agama, karena undang-undang tidak menjelaskan atau menentukan alasan-alasan dalam pengajuan perkara permohonan dispensasi. Sebelum Ketua Majelis menetapkan penetapan, Ketua Majlis mempunyai pertimbangan. Apakah permohonan tersebut dapat dikabulkan atau tidak: a. Pemohon Majlis Hakim didalam persidangan akan meneliti apakah orang yang mengajukan perkara permohonan dispensasi tersebut berhak mengajukan atau tidak. Pasal 7 Ayat 1,2, dan 3 yang berbunyi: 1 Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 sembilan belas tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 enam belas tahun. 2 Dalam hal penyimpangan dalam ayat 1 pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita. Pada kedua kasus yang sedang diteliti, jelas dinyatakan bahwa pemohon adalah calon pengantinnya sendiri dibawah umur. Sebagaimana Undang- undang Perkawinan mengatur hanya orang tua, wali atau keluarga dengan garis lurus ke atas, yang berhak mengajukan dispensasi perkawinan. b. Alasan Majelis Hakim meneliti alasan pemohon disurat permohonannya. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 7, pemohon tidak dibatasi alasan dalam hal pengajuan dispensasi pernikahan tersebut, maka pemohon mempunyai hak dan kebebasan untuk mencantumkan alasan-alasan apapun dalam surat permohonan dispensasi pernikahannya kepada Pengadilan Agama, karena undang-undang tidak menjelaskan atau menentukan alasan- alasan dalam pengajuan perkara permohonan dispensasi. c. Adanya larangan kawin atau tidak Sebagaimana di atur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada pasal 8 yang menyebutkan: Perkawinan dilarang antara dua orang yang: 1 berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas; 2 berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; 3 berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibubapak tiri; 4 berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibipaman susuan; 5 berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang; 6 mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. KHI juga melarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita yang disebabkan karena pasal 39 sampai dengan pasal 44. Adapun bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut: LARANGAN KAWIN Pasal 39 Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan : 1 Karena pertalian nasab : a dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya; b dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu; c dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya 2 Karena pertalian kerabat semenda :