2. Perkawinan dilihat dari segi sosial
Dalam masyarakat setiap bangsa, diitemui penilaian yang umum bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang
lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin. 3.
Perkawinan dipandang dari segi agama. Dalam agama, perkawinan di anggap sebagai suatu lembaga yang suci, yang kedua pihak dihubungkan menjadi
pasangan suami isteri atau saling minta menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah sebagai diingatkan oleh al-
Qur’an surat an-Nisa ayat 1;
ّثَب َو اهَجْوَز اهْنِم َقَلَخ َو ٍةَدِحاو ٍسْفَ ن ْنِم ْمُكَقَلَخ يذّلا ُمُكّبَر اوُقّ تا ُساّنلا اَهُ يَأ اي َهّللا ّنِإ َماحْرَْْا َو ِهِب َنوُلَ ئاسَت يذّلا َهّللا اوُقّ تا َو ًءاسِن َو ًارثَك ًااجِر امُهْ نِم
َناك ًابيقَر ْمُكْيَلَع
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan- mu yang
telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan
laki- laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan nama- Nya kamu saling meminta satu sama lain,
dan peliharalah hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
”
Rumusan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pasal 1 ayat 2 berbunyi : “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena Negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan
Yang Maha Esa. Dengan ini, tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan
saja mempunyai unsur lahirjasmani tetapi juga memiliki unsur batinrohani
7
. Demikianlah Allah SWT mengokohkan bangunan keluarga dan masyarakat
dengan pondasi yang kuat sebagaimana firman Allah SWT dalam al- Qur’an surat an-
Nur ayat 32:
ىمايَْْا اوُحِكْنَأ َو ْنِم ُها ُمِهِنْغُ ي َءارَقُ ف اوُنوُكَي ْنِإ ْمُكِئامِإ َو ْمُكِدابِع ْنِم َِِْاّصلا َو ْمُكْنِم
ٌميلَع ٌعِساو ُها َو ِهِلْضَف
Artinya: “Dan kawinlah laki-laki dan perempuan yang janda di
antara kamu, dan budak-budak laki-laki dan perempuan yang patut buat berkawin. Walaupun mereka miskin, namun Allah akan memampukan
dengan kurniaNya karena Tuhan Allah itu adalah Maha Luas pemberianNya, lagi Maha Mengetahui akan nasib dan kehendak
hambaNya.
”
Kompilasi Hukum Islam memberikan definisi lain yang tidak mengurangi arti-arti definisi Undang-Undang tersebut di atas, namun bersifat menambah
penjelasan, dengan rumusan Pasal 2 sebagai berikut : “Perkawinan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.”
7
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No.11974 sampai KHI, Jakarta: Kencana, 2004, h. 43
Kata miitsaqan ghalizan ini ditarik dari firman Allah SWT
8
. Yang terdapat pada surat an-Nisa ayat 21 yang artinya:
ًقاَثيِم ْمُكْنِم َنْذَخَأَو ٍضْعَ ب ََِإ ْمُكُضْعَ ب ىَضْفَأ ْدَقَو ُهَنوُذُخْأَت َفْيَكَو اًظيِلَغ ا
Artinya: “Dan bagaimana kalian akan mengambilnya kembali, padahal
kalian telah bergaul satu sama lain dan mereka telah mengambil janji yang kuat dari kalian?”.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan pengertian tentang
perkawinan, pada pasal 26 yang menyebutkan bahwa undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.
Artinya, bahwa suatu perkawinan yang ditegaskan dalam pasal diatas hanya memandang hubungan perdata saja, yaitu hubungan pribadi antara seorang pria dan
seorang wanita yang mengikatkan diri dalam suatu ikatan perkawinan.
B. Hukum Perkawinan
Dalam perspektif fiqh, nikah disyariatkan dalam Islam berdasarkan al- Qur’an,
suna h dan ijma’. Dan dari segi ijma’. Para ulama sepakat mengatakan nikah itu di
syariatkan
9
. Hukum asal suatu pernikahan adalah mubah, namun bisa berubah menjadi sunnah, wajib, makruh dan haram.
1. Wajib hukumnya menurut jumhur ulama bagi orang yang mampu untuk
menikah dan kuatir akan melakukan perbuatan zina. Alasannya, dia wajib menjaga dirinya agar terhindar dari perbuatan haram.
8
Ibid
9
Amir Nurudin, h. 5
2. Haram hukumnya bgi orang yang yakin akan menzalimi dan membawa
mudarat kepada isterinya karena ketidakmampuan dalam member nafkah lahir dan batin.
3. Sunnah hukumnya menurut jumhur ulama bagi orang yang apabila tidak
menikah, sanggup menjaga diri untuk tidak melakukan perbuatan haram dan, apabila ia menikah, ia yakin tidak akan menzalimi dan membawa mudarat
kepada isterinya. 4.
Makruh hukumnya apabila seorang secara jasmani cukup umur walau belum terlalu mendesak. Tetapi belum mempunyai penghasilan tetap sehingga bila ia
kawin akan membawa kesengsaraan hidup bagi anak dan istrinya
10
. C.
Tujuan Perkawinan
Di antara tujuan dan hikmah perkawinan adalah agar tercipta suatu keluarga atau rumah tangga yang harmonis, penuh kedamaian, saling terjalin rasa kasih sayang
antara suami-isteri. Untuk membangun rumah tangga ideal tersebut, harus melalui ikatan perkawinan yang sah sesuai dengan ketentuan-ketentuan ajaran Islam
11
. Hanya dengan cara demikian, konsekuensi adanya hak dan kewajiban serta rasa tanggung-
jawab antara pasangan suami-isteri dapat muncul dalam membina dan membangun keluarga yang sejahtera dan bahagia, sebagaimana dalam surat ar-Rum ayat 21:
10
Mardani, h. 12
11
Hasanudin AF, Perkawinan dalam perspektif al- Qur’an: nikah, talak, cerai, ruju, Jakarta:
Nusantara Damai Press, h. 12
َو َقَلَخ ْنَأ ِهِتاَيآ ْنِم
ْمُكَن ْ يَ ب َل َعَجَو ا َهْ يَلِإ اوُنُك ْسََِل ا ًجاَوْزَأ ْمُكِسُفْ نَأ ْنِم ْمُكَل ِ ّنِإ ً َْمَرَو ًةّدَو َم
َنوُرّكَفَ ََ ي ٍمْوَقِل ٍتاَيآ َكِلَذ
Artinya : “Dan di antara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-
istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman kepadanya, dan dijadikan- Nya di antaramu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [Ar-Rum 21].
Dan melalui ikatan perkawinan tersebut diharapkan lahirnya generasi penerus yang berkualitas dan dapat melangsungkan keturunan umat manusia sebagai khalifah
dimuka bumi ini. dalam surat an-Nahl ayat 72:
َل َل َعَج ُه ّللاَو َن ِم ْم ُكَقَزَرَو ًةَد َفَحَو َْ ِنَب ْم ُكِجاَوْزَأ ْن ِم ْم ُكَل َل َعَجَو ا ًجاَوْزَأ ْمُك ِسُفْ نَأ ْن ِم ْم ُك
َنوُرُفْكَي ْمُه ِهّللا ِ َمْعِنِبَو َنوُنِمْؤُ ي ِلِطاَبْلاِبَفَأ ِتاَبّيّطلا
Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri
dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada
yang bathil dan mengingkari nikmat Allah. “
Secara rinci tujuan perkawinan yaitu sebagai berikut
12
: 1.
Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan.
2. Membentuk rumah tangga keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. 3.
Memperoleh keturunan yang sah. 4.
Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang halal, memperbesar rasa tanggungjawab.
12
Mardani, h. 11
5. Membentuk rmah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah Keluarga yang
tenteram, penuh cinta kasih dan kasih sayang. 6.
Ikatan perkawinan sebagai mitsaqan ghalizan sekaligus mentaati perintah Allah SWT bertujuan untuk membentuk dan membina tercapainya ikatan lahir batin
antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dalam kehidupan rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan syarat Hukum Islam.
D. Syarat dan Rukun Perkawinan
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua
kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan umpama rukun dan
syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah apabila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahasa, bahwa rukun ituadalah sesuatu yang berada didalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur
yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada diluarnya dan tidak merupakan unsurnya
13
. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku
untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun.
13
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2007, h. 59