3 berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan
ibubapak tiri; 4
berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibipaman susuan;
5 berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
6 mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku, dilarang kawin. KHI juga melarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dan
seorang wanita yang disebabkan karena pasal 39 sampai dengan pasal 44. Adapun bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut:
LARANGAN KAWIN Pasal 39
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan :
1 Karena pertalian nasab :
a dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya
atau keturunannya; b
dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu; c
dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya 2
Karena pertalian kerabat semenda :
a dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas
isterinya; b
dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya; c
dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al
dukhul; d
dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya. 3
Karena pertalian sesusuan: a
dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;
b dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus
ke bawah; c
dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah;
d dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke
atas; e
dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya. Pasal 40
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn seorang wanita karena keadaan tertentu:
1 karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan
pria lain;
2 seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
3 seorang wanita yang tidak beragama islam.
Pasal 41 1
Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seoarang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya;
a saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya;
b wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
2 Larangan tersebut pada ayat 1 tetap berlaku meskipun isteri-isterinya
telah ditalak raj`i, tetapi masih dalam masa iddah. Pasal 42
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 empat orang isteri yang keempat-
empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang
yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i. Pasal 43
1 Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria :
a dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali;
b dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili`an.
2 Larangan tersebut pada ayat 1 huruf a. gugur, kalau bekas isteri tadi
telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya.
Pasal 44 Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria
yang tidak beragama Islam. d.
Kemaslahatan dan Kemudharatan Apabila dua insan yang saling mencintai, terlebih telah melakukan
hubungan badan layaknya suami istri, maka harus segera dinikahkan. Karena dikhawatirkan akan terjadi perkawinan dibawah tangan, dimana perkawinannya
tidak tercatat dan akan mengakibatkan hilangnya hak-hak anak yang akan dilahirkan nanti.
e. Fakta dan Bukti
Para pihak memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang akan memeriksa perkara yang bersangkutan guna member kepastian hukum tentang
kebenaran suatu peristiwa atau fakta yang telah di ajukan. Adapun bukti-bukti yang disyaratkan menurut peraturan undang-undang
adalah sebagai berikut: 1
Bukti Surat a
Fhoto copy Surat Kelahiran atas nama pemohon yang dikeluarkan oleh Kepala DesaKelurahan
b Surat Pemberitahuan Penolakan melangsungkan pernikahan yang
dikeluarkan oleh KUA 2
Bukti Saksi
Bukti saksi yang dihadirkan oleh hakim dalam persidangan adalah dua orang.
2. Analisa Penetapan Hakim dalam Dispensasi Perkawinan
Tugas utama hakim salah satunya adalah melakukan rechtsvinding artinya menyelaraskan undang-undang pada tuntutan zaman aanpassen van de wet de eisen
van de
tijd
7
. Caranya
dengan; melakukan
penafsiran undang-undang
wetsinterpretatie, melakukan analogi abstraksi dan membuat pengkhususan dari suatu azas yang terdapat dalam undang-undang yang mempunyai arti luas
Determinatie. Setiap penerapan hukum atau keputusan hukum yang dibuat oleh hakim
hendaklah sejalan deng an tujuan hukum yang hendak dicapai oleh syari’at.
Berkaitan dengan permohonan dispensasi perkawinan seperti yang telah di uraikan dalam duduknya perkara dan dasar hukum putusan pengadilan di atas.
Putusan pertama, perkara Nomor: 0129Pdt.P2012PA.Ba, permohonan dikabulkan dengan pertimbangan hakim hanya didasarkan kepada kesiapan kedua belah pihak
untuk melangsungkan pernikahan. Jika dilihat dari sudut kesediaan, memang ini dapat dibenarkan untuk dikabulkannya permohonan tersebut.
Antara mempelai wanita dan pria tidak terjadi kehamilan diluar nikah, namun hakim mendasarkan persetujuan hanya kepada tidak ada ketentuan mengenai larangan
perkawinan syar’i yang dilanggar, mempelai pria siap menjadi kepala rumah tangga
7
Mulhas, h. 125
karena sudah berpenghasilan tetap sebagai buruh, dan kedua orang tua dari masing- masing mempelai telah sutuju akan rencana perkawinan tersebut.
Putusan kedua, perkara Nomor: 60Pdt.P2013PA.Pct, permohonan dikabulkan
dengan pertimbangan hakim yang didasarkan pada kaidah Fiqhiyah yang berbunyi:
َ دَ رَ ءَ
َ لاَ م َ ف
َ سَا َ دَ
َ أَ وَ َ ل
َ َِ َ نَ
َ جَ ل َ ب
ََ لا َ م
َ ص َ لَا
َ ح
َ 8
Artinya : “Menolak segala yang merusak lebih di utamakan dari pada menarik
segala yang bermaslahat ”.
Jika melihat dasar hukum hakim dan melihat fakta persidangan putusan
tersebut dapat dibenarkan juga. Karena hakim melihat kemaslahatan jika para pihak dikabulkan permohonannya, yaitu untuk memberikan izin menikah supaya dalam
melakukan hubungan badan menjadi halal dengan adanya ikatan perkawinan dan para pihak ingin menikah yang sah menurut agama dan negara dan menghindari hal-hal
yang tidak di inginkan atau dilarang oleh agama. Mengingat berdasarkan pengakuan para saksi, para pihak sudah melakukan hubungan badan layaknya suami-istri.
Perkara dispensasi nikah sangat memerlukan ijtihad hakim dalam putusannya, karena didalam UU tidak ada aturan yang memberikan landasan hukum kriteria apa
yang dapat dikabulkannya dispensasi nikah.
3. Legal Standing Pemohon Dispensasi Perkawinan
Penulis menemukan sedikitnya dua ketentuan yang mengatur tentang siapa pihak yang berwenang untuk mengajukan perkara dispensasi kawin:
8
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asasi, h. 104
a. Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Ketentuan tersebut
termaktub dalam Pasal 7 Ayat 1,2, dan3 yang berbunyi: 1
Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 sembilan belas tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 enam belas
tahun. 2
Dalam hal penyimpangan dalam ayat 1 pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua
pihak pria atau pihak wanita. 3
Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut pasal 6 ayat 3 dan 4 Undangundang ini, berlaku juga
dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat 2 pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat 6.
Adapun bunyi Pasal 6 Ayat 3 dan 4 sebagaimana dimaksud Ayat 3 pasal di atas adalah sebagai berikut:
1 Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih
hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. 2
Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari
wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan
darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.
Artinya, menurut undang-undang perkawinan: Dispensasi kawin hanya dapat diajukan oleh kedua orang tua calon pengantin.
Atau, dalam kondisi tertentu, juga dapat diajukan oleh wali, dan atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka
masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya. Namun, yang perlu ditegaskan adalah, undang-undang tersebut tidak memberikan celah bagi calon
pengantin dibawah umur untuk mengajukan dispensasi kawin sendiri
9
. b.
Buku II tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama 2013, pada halaman 138, disebutkan:
Calon suami istri yang belum mencapaiusia 19 tahun dan 16 tahun yang ingin melangsungkan perkawinan, orang tua yang bersangkutan harus mengajukan
permohonan dispensasi kawin kepada pengadilan agamamahkamah syar’iyah. 1
Permohonan dispensasi kawin di ajukan oleh calon mempelai pria yang belum berusia 19 tahun, calon mempelai wanita yang belum berusia 16
tahun danorang tua calon mempelai tersebut kepada Pengadilan AgamaMahkamah Syar’iyah dalam wilayah hukum dimana calon
mempelai danorang tua calon mempelai tersebut bertempat tinggal.
9
Ahmad, Z. Anam, Mempertanyakan Legal Standing Calon Pengantin Studi Perkara Dispensasi Kawin, diakses pada tanggal 20 Desember 2014, pukul 10:45 WIB dari Badilag.net