Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

pihak pria sudah mencapai umur 19 sembilan belas tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 enam belas tahun.” 5 Walaupun telah di atur dengan sedemikian rupa kemungkinan terjadinya penyimpangan selalu terjadi, oleh sebab itu ditambahkan dengan ayat 2 dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal itu dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau kepada pejabat lain yang ditunjuk oleh ke dua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”. Dan seiring perkembangan kehidupan manusia, muncul suatu permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, lunturnya moral value atau nilai-nilai akhlak yaitu pergaulan bebas di kalangan remaja dan hubungan zina menjadi hal biasa sehingga terjadi kehamilan di luar nikah. Perkawinan pada anak di bawah umur bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Praktik ini sudah lama terjadi dengan begitu banyak pelaku, tidak hanya di kota besar tetapi juga di daerah pedalaman. Sebabnya pun bervariasi, antara lain karena masalah ekonomi, rendahnya pendidikan, pemahaman budaya dan nilai-nilai agama tertentu, juga karena hamil terlebih dahulu. Idealnya dasar pertimbangan hakim dalam penetapan dispensasi perkawinan usia anak di bawah umur sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yaitu membatasi usia pernikahan minimal 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Usia dan kedewasaan menjadi hal yang harus diperhatikan dalam pernikahan bagi pria dan wanita yang ingin melangsungkan pernikahan. Tetapi realitanya, meskipun ketentuan umur berdasarkan pasal yang telah disebutkan tidak 5 Undang-Undang Perkawinan Pasal 7 ayat 2 terpenuhi, oleh karena sebab-sebab yang telah terjadi, para pihak-pihak di dalamnya tetap bersikeras menginginkan adanya perkawinan. Islam dalam hal ini al-Quran dan Hadis tidak menentukan batas minimal umur untuk kawin 6 . Para ulama madzhab umumnya dahulu membolehkan seorang bapak sebagai „wali mujbir’, mengawinkan anaknya lelaki atau perempuan yang gadis dan masih dibawah umur tanpa harus meminta persetujuan mereka terlebih dahulu. Adapun sebagai alasan bahwa nabi Muhammad SAW mengawini Aisyah r.a pada waktu usia 7 dan mulai berumah tangga pada waktu usia 9 tahun, peristiwa ini yang terjadi lebih kurang 14 abad yang lalu dan tidak ada keterangan yang otentik dari Nabi bahwa perkawinannya dengan Aisyah itu termasuk tindakan yang khusus untuk nabi. Berdasarkan fakta atau kejadian tersebut telah dijadikan dalil oleh para ulama madzhab tentang boleh dan sahnya perkawinan anak-anak. Demikian juga dalam hukum adat tidak ada ketentuan batas umur untuk melakukan pernikahan. Biasanya kedewasaan seseorang dalam hukum adat diukur dengan tanda-tanda bagian tubuh, apabila anak wanita sudah haid datang bulan, buah dada sudah menonjol berarti ia sudah dewasa. Bagi laki-laki ukurannya dilihat dari perubahan suara, postur tubuh dan sudah mengeluarkan air mani atau sudah mempunyai nafsu seks. Bagi seorang pemuda, usia untuk memasuki gerbang perkawinan dan kehidupan berumah tangga pada umumnya dititik beratkan pada kematangan jasmani 6 Masjfuk Zuhdi, Studi Islam jilid 3: Muamalah, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993, Cet. Kedua, h.32. dan kedewasaan pikiran serta kesanggupannya untuk memikul tanggung jawab sebagai suami dalam rumah tangganya. Hal itu merupakan patokan umur bagi para pemuda kecuali ada faktor lain yang menyebabkan harus dilaksanakannya pernikahan lebih cepat. Bagi sorang gadis usia perkawinan itu akan berkaitan dengan kehamilan maka perlu memperhitungkan kematangan jasmani dan ruhaninya yang memungkinkan ia dapat menjalankan tugas sebagai seorang istri dan sekaligus sebagai seorang ibu yang sebaik-baiknya 7 . Apabila memang perkawinan itu tidak dapat dihindari dan berkeinginan untuk dilaksanakan sesegera mungkin, maka melalui ketentuan Pasal 7 ayat 2 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 15 Kompilasi Hukum Islam pihak orang tua dari calon mempelai baik pihak laki-laki maupun perempuan dapat mengajukan permohonan dispensasi kawin kepada pengadilan atau pejabat lain yang ia tunjuk. Namun, jika kedua orang tua telah meninggal atau tidak dapat menyatakan kehendak, Pasal 6 Ayat 4 dan Pasal 7 Ayat 3 memberikan kelonggaran. Menurut pasal itu, perkara dispensasi kawin juga dapat diajukan oleh wali yang memelihara, atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas. Pada kenyataannya, ada beberapa penetapan dimana hakim mengabulkan dispensasi perkawinan yang di ajukan oleh calon pengantinnya sendiri dibawah 7 Sutan Marajo Nasaruddin Latif, Problematika Seputar keluarga dan Rumah Tangga, Bandung: Pustaka Hidayah, 2001, h. 23 umur. Yaitu, Putusan hakim PA Pacitan Nomor : 60Pdt.P2013PA.Pct dan PA Banjarnegara Nomor : 0129Pdt.P2012PA.Ba. Penulis mengkaji regulasi lain yang mengatur tentang keabsahan pemohon dalam pengajuan Dispensasi Perkawinan, dan ditemukan ketetapan yang memberikan ketentuan berbeda pada Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II. Pada halaman 138 dijelaskan, bahwa selain orang tua, calon pengantin pun juga diperkenankan untuk mengajukan dispensasi kawinnya sendiri. Buku pedoman ini dilaksanakan oleh semua pejabat struktural dan fungsional beserta aparat peradilan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor: KMA032SKIV2006, hingga Sepintas terdapat kontradiksi atau dualisme hukum pada kedua ketentuan tersebut di atas. Mengingat semakin kompleksnya masalah seputar dispensasi kawin diluar faktor-faktor yang menyebabkan perkawinan dibawah umur harus segera dilaksanakan, tapi juga karena persoalan legislasi pemohon, apakah hanya orang tua wali dari para pihak saja yang berhak mengajukan dispensasi kawin atau calon pengantinnya pun punya hak yang sama. Bagaimanapun tetap ada saja calon pengantin yang tidak mempunyai orang lain yang secara hukum harus bertanggung- jawab sebagai pengampunya. Berangkat dari permasalahan di atas, penulis merasa perlu untuk meneliti lebih lanjut mengenai legal standing para pemohon untuk proses pengajuan dispensasi kawin. Dan penulis akan menuangkan didalam tugas akhir dalam rangka memenuhi standar kelulusan Strata satu SI dengan judul : DUALISME LEGALITAS PEMOHON DALAM PROSES PENGAJUAN DISPENSASI PERKAWINAN Kajian yuridis terhadap penerapan buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II

B. Identifikasi Masalah

Perkawinan adalah merupakan suatu lembaga suci yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir-batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga rumah-tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pertimbangan dari pasal tersebut adalah bahwa sebagai negara yang berdasarkan kepada Pancasila, sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahirjasmani, tetapi juga memiliki unsur batinrohani yang mempunyai peranan penting. Perkawinan usia dini adalah sebuah perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang berusia di bawah usia yang dibolehkan untuk menikah dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat 1, yaitu disebutkan bahwa perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria mencapai umur 19 sembilan belas tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 enam belas tahun. Adapun yang dimaksud dengan dispensasi adalah penyimpangan atau pengecualian dari suatu peraturan 8 . Dispensasi usia kawin diatur dalam Pasal 7 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dispensasi sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 artinya penyimpangan terhadap batas minimum usia kawin yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang yaitu minimal 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk perempuan. Dispensasi merupakan penetapan pengadilan mengenai pembolehan perkawinan yang dilakukan oleh pasangan pengantin yang salah satunya atau keduanya belum berumur 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Sehingga jika laki-laki maupun perempuan yang belum mencapai usia kawin namun hendak melangsungkan perkawinan, maka pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh orang tua kedua belah pihak dapat memberikan penetapan Dispensasi Kawin, hal ini sesuai dengan Pasal 7 Ayat 1 UU No.1 Tahun 1974. Disisi lain Buku II tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama. Pada halaman 138, disebutkan: “Permohonan dispensasi kawin diajukan oleh calon mempelai pria yang belum berusia 19 tahun, calon mempelai wanita yang belum berusia 16 tahun danatau orang tua calon mempelai tersebut kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syariyah dalam wilayah hukum dimana 8 R. Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta: PT. Pradnya Paramitha, 1996, h. 36 calon mempelai danatau orang tua calon mempelai tersebut bertempat tinggal 9 . Membaca ketentuan tersebut, jelas: calon mempelai pria maupun wanita dapat dibenarkan secara sendiri atau bersama dengan orang tuanya untuk mengajukan perkara dispensasi kawin. Kedua ketentuan ini sangat berpengaruh besar kepada para hakim atas pertimbangan dan implementasi penetapan dispensasi perkawinan, bertolak dari faktor apa yang telah terjadi pada calon pengantinnya. Seperti yang ditemukan pada putusan hakim Nomor : 60Pdt.P2013PA.Pct dan Nomor : 0129Pdt.P2012PA.Ba.

C. Pembatasan Masalah

Dalam uraian tersebut di atas, terlihat betapa luas cakupan yang terkandung dalam perkara dispensasi perkawinan. Hak untuk mengadakan perkawinan adalah hak bagi seluruh manusia dan makhluk Allah lainnya, yang telah disebutkan ketentuannya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Begitu pula apabila seorang yang masih dibawah umur tapi karna satu dan lain hal, perkawinannya harus segera dilaksanakan, baik calon pengantin mempunyai orang tuawali dan yang tidak mempunyai orang lain yang secara hukum harus bertanggung-jawab sebagai pengampu, hal seperti ini tentunya akan berpengaruh besar terhadap kebijakan dirinya untuk menyelenggarakan urusannya sendiri. Agar pembahasan terarah dan lebih spesifik, maka pembahasan dalam penelitian ini dibatasi hanya pada analisa putusan hakim yang mengabulkan 9 Mahkamah Agung, Buku II tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama 2013, h. 138. permohonan dispensasi perkawinan yang diajukan oleh pemohon calon pengantinnya sendiri dibawah umur. Namun penulis hanya membatasi pada Putusan Nomor : 60Pdt.P2013PA.Pct dan Nomor : 0129Pdt.P2012PA.Ba.

D. Perumusan Masalah

Untuk memperjelas tulisan skripsi ini, penulis merumuskan masalah ini sebagai berikut: Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI, yang berwenang menjadi pemohon dalam dispensasi perkawinan adalah orang tua calon mempelai baik pihak laki-laki maupun perempuan, wali atau keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas. Tetapi kenyataanya, masih ada Peradilan Agama yang mengabulkan permohonan dispensasi kawin yang di ajukan oleh pemohon calon pengantinnya sendiri dibawah umur. Rumusan masalah tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana batasan usia minimal perkawinan menurut Hukum Islam dan Hukum Positif? 2. Bagaimana pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Dispensasi Perkawinan Pemohon Dibawah Umur? 3. Bagaimana posisi Buku II tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama dalam tata hukum nasional?