Model Grindle Definisi Konsep

a. Model Goggin

Goggin Tangkilisan, 2003:20 mengimplementasikan kebijakan dengan mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tujuan formal pada keseluruhan implementasi, yakni : 1 Bentuk dan isi kebijakan, termasuk di dalamnya kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi 2 Kemampuan organisasi dengan segala sumber daya berupa dana maupun insentif lainnya yang akan mendukung implementasi secara efektif 3 Pengaruh lingkungan dari masyarakat dapat berupa karakteristik, motivasi, kecenderungan hubungan antara warga masyarakat, termasuk pola komunikasinya.

b. Model Grindle

Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle Subarsono, 2005:93 dipengaruhi oleh dua variabel besar, yaitu : 1 Variabel Isi Kebijakan content of policy mencakup : a. Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target group termuat dalam isi kebijakan b. Jenis manfaat yang diterima oleh target group c. Sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan d. Apakah letak sebuah program sudah tepat e. Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci 2 Variabel Lingkungan Kebijakan mencakup : a. Seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan b. Karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa c. Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran

c. Model Meter dan Horn

Model implementasi kebijakan ini dipengaruhi 6 enam faktor, yaitu : 1 Standar kebijakan dan sasaran yang menjelaskan rincian tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh 2 Sumber daya kebijakan berupa dana pendukung implementasi 3 Komunikasi inter organisasi dan kegiatan pengukuran digunakan oleh pelaksana untuk memakai tujuan yang hendak dicapai 4 Karakteristik pelaksanaan, arrtinya karakteristik organisasi merupakan faktor krusial yang akan menentukan berhasil tidaknya suatu program 5 Kondisi sosial ekonomi dan politik yang dapat mempengaruhi hasil kebijakan 6 Sikap pelaksanaan dalam memahami kebijakan yang akan ditetapkan.

1.5.2.3 Pendekatan Model George C. Edwards III

Pendekatan yang digunakan oleh George C. Edwards III terhadap implementasi kebijakan ada empat faktor atau variabel kritis dalam mengimplementasikan kebijakan publik, yaitu: komunikasi, sumberdaya, disposisi atau sikap, dan struktur birokrasi. 1 Komunikasi Secara alami, komunikasi ini membutuhkan keakuratan, dan komunikasi mesti secara akurat pula diterima oleh para implementor. Jika kebijakan harus diimplementasikan secara tepat, ukuran implementasi mesti tidak hanya diterima, namun mereka mesti juga jelas. Aspek lain dari ukuran implementasi adalah konsistensinya. Keputusan kontradiksi mengacaukan dan membuat frustasi staf administratif dan memaksa kemampuannya untuk mengimplementasikan kebijakan secara efektif. Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran target group sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi reistensi dari kelompok sasaran. Secara umum, semakin terdesentralisasi implementasi kebijakan publik, semakin mungkin terjadi distorsi ketika proses transmisi terjadi, sehingga informasi yang berkembang menjadi kurang akurat di tangan implementator. Desentralisasi biasanya berarti bahwa sebuah keputusan mesti dikomunikasikan melalui beberapa level otoritas sebelum mencapai mereka yang akan melakukannya. Lebih banyak langkah sebuah komunikasi mesti bertentangan dari sumber aslinya, semakin lemah sinyal yang utama yang akan diterima. 2 Sumber Daya Sumberdaya bisa menjadi suatu faktor kritis di dalam mengimplementasikan kebijakan publik. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor dan sumberdaya finansial. Kemungkinan sumberdaya yang paling esensial dalam mengimplementasikan kebijakan adalah staf. Dalam sebuah era dimana “pemerintah besar” berada dalam serangan dari semua arahan, hal ini mungkin nampak mengejutkan untuk belajar bahwa sebuah sumber pokok kegagalan implementasi adalah staf yang tidak cukup. Informasi merupakan sumber esensial kedua dalam implementasi kebijakan. Informasi ini datang dalam dua bentuk. Pertama adalah informasi berkenaan dengan bagaimana melakukan sebuah kebijakan. Implementasi perlu tahu apa yang harus dikerjakan ketika mereka diberikan petunjuk untuk bertindak. Bentuk informasi esensial kedua adalah data dalam bentuk peraturan pemerintah. Para implementor mesti tahu apakah orang lain yang terlibat di dalam mengimplementasikan kebijakan melengkapi undang-undang yang dipelukan sebagai dasar legitimasi. Sumber lain yang penting dalam implementasi adalah kewenangan otoritas. Kewenangan ini beragam dari program ke program dan masuk dalam berbagai bentuk berbeda, hak untuk mengeluarkan jaminan, membawa kasus ke pengadilan, mengeluarkan perintah untuk para pejabat lain, menarik dana dari sebuah program, memberikan dana, staf, dan bantuan teknik untuk yuridiksi pemerintah tingkat lebih rendah, mengeluarkan cek untuk para warga, membeli barang dan jasa, atau memungut pajak. Kebijakan yang memerlukan pengawasan atau peraturan pemerintah dari yang lainnya di dalam sektor publik atau private adalah pengawasan atau peraturan, karenanya kewenangan merupakan faktor yang krusial juga. Berbagai fasilitas fisik mungkin juga menjadi sumber kritis dalam implementasi. Seorang implementor mungkin memiliki staf cukup, mungkin memahami apa yang ia duga harus dikerjakan, memiliki otoritas untuk mengamalkan tugasnya, namun tanpa bangunan perlu, peralatan, persediaan, dan bahkan implementasi ruang hijau tidak akan berhasil. 3 Disposisi Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Banyak kebijakan jatuh dalam “sone apathi”. Kebijakan ini kemungkinan akan diimplementasikan secara meyakinkan karena para implementor tidak memiliki perasaan kuat mengenainya. Kebijakan lain, bagaimanapun juga, akan mengalami konflik langsung dengan tinjauan kebijakan atau kepentingan implementor secara pribadi atau organisasional. Disposisi implementor menimbulkan rintangan serius terhadap implementasi kebijakan. Namun jika personalia yang ada tidak mengimplementasikan kebijakan dengan cara dimana para pejabat puncak kehendaki, mengapa mereka tidak digantikan dengan orang-orang yang lebih responsif terhadap para pemimpin. Salah satu cara untuk meningkatkan berbagai kesempatan bahwa kebijakan akan diimplementasikan secara tepat adalah memilih implementor yang bernilai yang memungkinkan terhadap kebijakan itu. Dangan kata lain, mengesampingkan personalia yang tengah ada yang mungkin menolak terhadap sebuah kebijakan dan memakai yang lain. Teknik potensial lainnya untuk berhubungan dengan masalah disposisi implementor adalah untuk merubah disposisi implementor yang tengah ada melalui manipulasi insentif. Karena orang pada umumnya bertindak dalam kepentingannya, manipulasi insentif oleh pembuat kebijakan tingkat tinggi mungkin mempengaruhi berbagai tindakannya. Dengan meningkatkan keuntungan atau biaya perilaku khusus mungkin membuat para implementor lebih atau kurang memungkinkan untuk memilihnya sebagai suatu cara memajukan kepentingan kebijakan pribadi, organisasional, dan substantif. 4 Struktur Birokrasi Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Dua karakteristik utama dari birokrasi ini adalah prosedur pengoperasian standar sandard operating procedureSOP dan fragmentasi. SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red- type, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel. Aspek kedua dari struktur birokrasi yang dipertimbangkan adalah fragmentasi. Fragmentasi merupakan pembagian tanggungjawab untuk sebuah bidang kebijakan diantara unit-unit organisasional. Kelanjutan fragmentasi pemerintah tersebar luas. Dalam bidang kesejahteraan, lebih dari 100 program pelayanan manusia federal diselenggarakan oleh 10 departemen dan dinas berbeda. Departemen Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat memiliki tanggungjawab untuk program Bantuan atas Anak-Anak Tanggungan, Departemen Perumahan dan Pembangunan Perkotaan memberikan bantuan perumahan untuk orang miskin, Departemen Pertanian menjalankan program merk pangan, dan Departemen Tenaga Kerja mengelola program pelatihan tenaga kerja dan memberikan bantuan dalam mendapatkan pekerjaan. Semakin banyak aktor dan dinas yang terlibat dengan kebijakan khusus dan semakin seling bergantung keputusannya, semakin sedikit probabilitas implementasi berhasil. Sifat dari kebijakan publik juga merupakan sebuah faktor dalam memproduksi fragmentasi. Kebijakan luas, semacam yang berhubungan dengan proteksi lingkungan, adalah multidimensional dan rancu dengan dimensi kebijakan lain, semacam pertanian, transportasi, rekreasi, dan energi. Dengan begitu, agen-agen pemerintah tidak bisa dengan mudah diorganisir seputar suatu bidang kebijakan. Komunikasi Sumberdaya Implementasi Disposisi Struktur Birokrasi Gambar : 1.1 Bagan Faktor Penentu Implementasi menurut G.Edwards III 1.5.3 Pelayanan Publik 1.5.3.1 Pengertian Pelayanan Publik Pengertian pelayanan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah hal, cara, atau hal kerja melayani, sedangkan melayani adalah menyuguhi orang dengan makanan atau minuman; menyediakan keperluan orang; mengiyakan, menerima; menggunakan. Pelayanan menurut Moenir adalah kegiatan yang diteruskan oleh organisasi atau perseorangan kepada konsumen yang bersifat tidak berwujud dan tidak dapat dimiliki, konsumen yaitu masyarakat yang mendapat manfaat dan aktivitas yang dilakukan oleh organisasi yang memberikan pelayanan. Pelayanan publik menurut Kurniawan adalah pemberian layanan melayani keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Berdasarkan KEMENPAN No.63KEPM.PAN72003, pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggaraan pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang- undangan. Secara garis besar jenis-jenis layanan publik menurut Kepmenpan No. 63 tahun 2003 dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : 1. Kelompok pelayanan administratif, yaitu jenis pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik, misalnya status kewarganegaraan, sertifikat kompetensi, kepemilikan atau penguasaan terhadap suatu barang dan sebagainya. Dokumen-dokumen ini antara lain Kartu Tanda Peduduk KTP, Kartu Keluarga KK, Akte Pernikahan, Akte Kelahiran, Akte Kematian, Buku Pemilik Kendaraan Bermotor BPKB, Surat Izin Mengemudi SIM, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor STNK, Izin Membangun Bangunan IMB, Paspor, Sertifikat KepemilikanPenguasaan Tanah, dan lain-lain. 2. Kelompok pelayanan barang, yaitu jenis pelayanan yang menghasilkan berbagai bentukjenis barang yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan telepon, penyediaan tenaga listrik, air bersih, dan lain-lain. 3. Kelompok pelayanan jasa, yaitu jenis pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk jasa yang dibutuhkan oleh publik, misalnya pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan transportasi, pos, dan lain-lain. Berdasarkan Undang-Undang No. 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik, yang dimaksud dengan pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggaraan pelayanan publlik. Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pelayanan publik adalah seluruh kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh aparatur pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan dalam suatu organisasi atau instansi dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat yang pelaksanaannya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

1.5.3.2 Pengertian Pelayanan Kesehatan

Kesehatan adalah faktor paling utama dalam kehidupan manusia. Pelayanan kesehatan adalah sebuah konsep yang digunakan dalam memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat. Definisi pelayanan kesehatan menurut Prof. Dr. Soekidjo Notoatmojo adalah sebuah sub sistem pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah pelayanan preventif pencegahan dan promotif peningkatan kesehatan dengan sasaran masyarakat. Sedangkan menurut Levey dan Loomba, Pelayanan Kesehatan adalah upaya yang diselenggarakan sendirisecara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah, dan mencembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan peroorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat. Menurut Departemen Kesehatan RI 2009, pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan atupun masyarakat. Sesuai dengan batasan seperti di atas, mudah dipahami bahwa bentuk dan jenis pelayanan kesehatan yang ditemukan banyak macamnya. Karena kesemuanya ini ditentukan oleh: • Pengorganisasian pelayanan, apakah dilaksanakan secara sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi. • Ruang lingkup kegiatan, apakah hanya mencakup kegiatan pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, pemulihan kesehatan atau kombinasi dari padanya. Menurut pendapat Hodgetts dan Casio, jenis pelayanan kesehatan secara umum dapat dibedakan atas dua, yaitu : 1. Pelayanan kedokteran : Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan kedokteran medical services ditandai dengan cara pengorganisasian yang dapat bersifat sendiri solo practice atau secara bersama-sama dalam satu organisasi. Tujuan utamanya untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan, serta sasarannya terutama untuk perseorangan dan keluarga. 2. Pelayanan kesehatan masyarakat : Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok kesehatan masyarakat public health service ditandai dengan cara pengorganisasian yang umumnya secara bersama-sama dalam suatu organisasi. Tujuan utamanya untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit, serta sasarannya untuk kelompok dan masyarakat.

1.5.4 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial BPJS

1.5.4.1 Visi dan Misi BPJS Kesehatan

Adapun yang menjadi visi BPJS Kesehatan adalah : CAKUPAN SEMESTA 2019. Paling lambat 1 Januari 2019, seluruh penduduk Indonesia memiliki jaminan kesehatan nasional untuk memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatannya yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang handal, unggul dan terpercaya. Sedangkan misi BPJS Kesehatan adalah : 1. Membangun kemitraan strategis dengan berbagai lembaga dan mendorong partisipasi masyarakat dalam perluasan kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional JKN. 2. Menjalankan dan memantapkan sistem jaminan pelayanan kesehatan yang efektif, efisien dan bermutu kepada peserta melalui kemitraan yang optimal dengan fasilitas kesehatan. 3. Mengoptimalkan pengelolaan dana program jaminan sosial dan dana BPJS Kesehatan secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel untuk mendukung kesinambungan program. 4. Membangun BPJS Kesehatan yang efektif berlandaskan prinsip-prinsip tata kelola organisasi yang baik dan meningkatkan kompetensi pegawai untuk mencapai kinerja unggul. 5. Mengimplementasikan dan mengembangkan sistem perencanaan dan evaluasi, kajian, manajemen mutu dan manajemen risiko atas seluruh operasionalisasi BPJS Kesehatan. 6. Mengembangkan dan memantapkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mendukung operasionalisasi BPJS Kesehatan.

1.5.4.2 Hak dan Kewajiban BPJS

Berdasarkan UU Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial BPJS ada 2 dua hak menentukan dalam melaksanakan kewenangannya, BPJS berhak: a. Memperoleh dana operasional untuk penyelenggaraan program yang bersumber dari Dana Jaminan Sosial danatau sumber lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. Memperoleh hasil monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program jaminan sosial dari DJSN. UU BPJS tidak memberikan pengaturan mengenai berapa besaran “dana operasional” yang dapat diambil dari akumulasi iuran jaminan sosial dan hasil pengembangannnya. UU BPJS tidak juga mendelegasikan pengaturan lebih lanjut mengenai hal tersebut kepada peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang. “Dana Operasional” yang digunakan oleh BPJS untuk membiayai kegiatan operasional penyelenggaraan program jaminan sosial tentunya harus cukup pantas jumlahnya agar BPJS dapat bekerja secara optimal, tetapi tidak boleh berlebihan apalagi menjadi seperti kata pepatah “lebih besar pasak daripada tiang”. Besaran “dana operasional” harus dihitung dengan cermat, mengunakan ratio yang wajar sesuai dengan best practice penyelenggaraan program jaminan sosial. Mengenai hak memperoleh hasil monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program jaminan sosial dari DJSN setiap 6 bulan, dimaksudkan agar BPJS memperoleh umpan balik sebagai bahan untuk melakukan tindakan korektif memperbaiki penyelenggaraan program jaminan sosial. Perbaikan penyelenggaraan program akan memberikan dampak pada pelayanan yang semakin baik kepada peserta. Tentunya DJSN sendiri dituntut untuk melakukan monitoring dan evaluasi secara objektif dan profesional untuk menjamin terselenggaranya program jaminan sosial yang optimal dan berkelanjutan, termasuk tingkat kesehatan keuangan BPJS. UU No. 24 tahun 2011 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menentukan bahwa untuk melaksanakan tugasnya ada 11 kewajiban, BPJS berkewajiban untuk: a. Memberikan nomor identitas tunggal kepada Peserta; Yang dimaksud dengan ”nomor identitas tunggal” adalah nomor yang diberikan secara khusus oleh BPJS kepada setiap peserta untuk menjamin tertib administrasi atas hak dan kewajiban setiap peserta. Nomor identitas tunggal berlaku untuk semua program jaminan sosial. b. Mengembangkan aset Dana Jaminan Sosial dan aset BPJS untuk sebesar- besarnya kepentingan peserta; c. Memberikan informasi melalui media massa cetak dan elektronik mengenai kinerja, kondisi keuangan, serta kekayaan dan hasil pengembangannya; Informasi mengenai kinerja dan kondisi keuangan BPJS mencakup informasi mengenai jumlah asset dan liabilitas, penerimaan, dan pengeluaran untuk setiap Dana Jaminan Sosial, danatau jumlah aset dan liabilitas, penerimaan dan pengeluaran BPJS. d. Memberikan manfaat kepada seluruh peserta sesuai dengan UU SJSN; e. Memberikan informasi kepada peserta mengenai hak dan kewajiban untuk mengikuti ketentuan yang berlaku; f. Memberikan informasi kepada peserta mengenai prosedur untuk mendapatkan hak dan memenuhi kewajiban; g. Memberikan informasi kepada peserta mengenai saldo JHT dan pengembangannya 1 kali dalam 1 tahun; h. Memberikan informasi kepada peserta mengenai besar hak pensiun 1 kali dalam 1 tahun; i. Membentuk cadangan teknis sesuai dengan standar praktik aktuaria yang lazim dan berlaku umum; j. Melakukan pembukuan sesuai dengan standar akuntasi yang berlaku dalam penyelenggaraan jaminan sosial; dan k. Melaporkan pelaksanaan setiap program, termasuk kondisi keuangan, secara berkala 6 bulan sekali kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN. Jika dicermati ke 11 kewajiban BPJS tersebut berkaitan dengan governance BPJS sebagai badan hukum publik. BPJS harus dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip transparency, accountability and responsibility, responsiveness, independency, dan fairness. Dari 11 kewajiban yang diatur dalam UU BPJS, 5 diantaranya menyangkut kewajiban BPJS memberikan informasi. UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik memang mewajibkan badan publik untuk mengumumkan informasi publik yang meliputi informasi yang berkaitan dengan badan publik, informasi mengenai kegiatan dan kinerja badan publik, informasi mengenai laporan keuangan, dan informasi lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dengan keterbukaan informasi tersebut diharapkan ke depan BPJS dikelola lebih transparan dan fair, sehingga publik dapat turut mengawasi kinerja BPJS sebagai badan hukum publik yang bertanggung jawab kepada pemangku kepentingan.

1.6 Definisi Konsep

Konsep Singarimbun, 1995:33 merupakan istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan kelompok, atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Tujuannya adalah untuk memudahkan pemahaman dan menghindari terjadinya interpretasi ganda dari variabel yang diteliti. Oleh karena itu, untuk mendapatkan batasan-batasan yang jelas dari masing-masing konsep yang akan diteliti, maka definisi konsep dalam penelitian ini adalah : 1. Kebijakan Publik Kebijakan publik adalah sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah. Kebijakan publik berfungsi untuk mengatur, mengarahkan, dan mengembangkan interaksi dalam sebuah komunitas. 2. Implementasi Program BPJS Kesehatan Implementasi adalah suatu tindakan atau pelaksanaan dari sebuah rencana yang sudah disusun secara matang dan terperinci. Implementasi biasanya dilakukan setelah perencanaaan sudah dianggap fix. BPJS Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan merupakan Badan Usaha Milik Negara yang ditugaskan khusus oleh pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama untuk Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun PNS dan TNIPOLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta keluarganya dan Badan Usaha lainnya ataupun rakyat biasa. Implementasi Program BPJS Kesehatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bagaimana kegiatan dan pelaksanaan program BPJS Kesehatan yang dikeluarkan oleh pemerintah sesuai dengan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Adapun variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan model George Edwards III, yaitu : a. Komunikasi Komunikasi dalam implementasi kebijakan harus jelas dan tepat sasaran agar tercapai keberhasilan dari implementasi kebijakan tersebut. Keberhasilan Program BPJS Kesehatan dapat dilakukan oleh BPJS Kesehatan dengan mensosialisasikan tujuan dan manfaat Program BPJS Kesehatan kepada masyarakat melalui berbagai media baik secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu, BPJS Kesehatan juga harus berkoordinasi dengan Rumah Sakit yang menerima pelayanan BPJS Kesehatan agar Implementasi Program BPJS Kesehatan tersebut dapat terlaksana dengan baik. b. Sumberdaya Sumberdaya adalah faktor penting dalam implementasi kebijakan agar kebijakan tersebut dapat terlaksana dengan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kemampuan pelaksana kebijakan dan sumberdaya finansial, yaitu dana yang dibutuhkan untuk mendukung keberhasilan implementasi suatu kebijakan. Dalam penelitian ini sumberdaya yang dimaksud adalah kemampuan para implementor atau pelaksana Program BPJS Kesehatan dan dana yang dibutuhkan serta fasilitas yang mendukung untuk melaksanakan Program BPJS Kesehatan. c. Disposisi Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor atau pelaksana kebijakan, seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis. Yang akan dilihat dari penelitian Implementasi Program BPJS Kesehatan ini adalah komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis dari pelaksana kebijakan sesuai dengan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. d. Struktur Birokrasi Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau Kesdam IBukit Barisan Medan menjadi tempat sasaran pelaksanaan Implementasi Program BPJS Kesehatan yang dipilih oleh peneliti. Peneliti memilih Rumah Sakit Putri Hijau karena Rumah Sakit ini menyediakan pelayanan BPJS Kesehatan bagi pasien pengguna BPJS Kesehatan dari kalangan prajurit TNI dan keluarga maupun masyarakat umum dengan melihat SOP dan Fragmentasi sebagai pedoman implementor dalam melaksanakan kebijakan.

1.7 Sistematika Penulisan

Dokumen yang terkait

Kedudukan Hukum Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Kesehatan Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)

7 149 101

Implementasi Kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Studi Pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai)

6 127 174

Implementasi Program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) (Studi Pada Rumah Sakit Tingkat Ii Putri Hijau Kesdam I/Bukit Barisan Medan)

15 148 118

Kebijakan Pemerintah Terhadap Pelaksanaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Kesehatan Di Rumah Sakit Jiwa (Rsj) Provinsi Sumatera Utara

4 100 108

Karakteristik Penderita Hepatitis B Rawat Inap Di Rumah Sakit Putri Hijau Kesdam I/Bukit Barisan Medan Tahun 2010-2013

0 66 129

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Implementasi Kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Studi Pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai)

0 0 38

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Implementasi Program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) (Studi Pada Rumah Sakit Tingkat Ii Putri Hijau Kesdam I/Bukit Barisan Medan)

0 1 33

Kebijakan Pemerintah Terhadap Pelaksanaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Kesehatan Di Rumah Sakit Jiwa (Rsj) Provinsi Sumatera Utara

0 0 28

Kebijakan Pemerintah Terhadap Pelaksanaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Kesehatan Di Rumah Sakit Jiwa (Rsj) Provinsi Sumatera Utara

0 0 25

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Hepatitis B - Karakteristik Penderita Hepatitis B Rawat Inap Di Rumah Sakit Putri Hijau Kesdam I/Bukit Barisan Medan Tahun 2010-2013

0 0 26