Penggunaan dan Fungsi Ensambel Chui Ko dalam Upacara Bing Yi Guan pada Masyarakat Tionghoa di Yayasan Balai Persemayaman Angsapura Medan

(1)

PENGGUNAAN DAN FUNGSI ENSAMBEL CHUI KO DALAM UPACARA BING YI GUAN PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI YAYASAN BALAI PERSEMAYAMAN ANGSAPURA MEDAN

SKRIPSI SARJANA DISUSUN

O L E H

NAMA : HERBERT F. S NIM : 020707019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

JURUSAN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(2)

PENGGUNAAN DAN FUNGSI ENSAMBEL CHUI KO DALAM UPACARA BING YI GUAN PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI YAYASAN BALAI PERSEMAYAMAN ANGSAPURA MEDAN

SKRIPSI SARJANA DISUSUN

O L E H

NAMA : HERBERT F. S NIM : 020707019

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Kumalo Tarigan, M.A Drs. Frida Deliana, M.Si

NIP : 131 571 756 NIP : 131 785 636

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra USU untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana seni dalam bidang Etnomusikologi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA


(3)

KATA PENGANTAR

Pertama sekali penulis mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan karunia-Nya sehingga penyusunan dan penulisan skripsi dapat terlaksana dengan baik dan sesuai dengan apa yang ditulis harapkan sebelumnya.

Penulis merasa bahwa skripsi yang berjudul “Penggunaan dan Fungsi Ensambel Chui Ko dalam Upacara Bing Yi Guan pada Masyarakat Tionghoa di Yayasan Balai Persemayaman Angsapura Medan” ini masih belum lengkap, baik dari segi isi, susunan maupun tutur kata dan bahasanya. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan dan daya serap penulis yang terbatas. Untuk itu, penulis masih tetap terbuka untuk menerima saran dan kritik yang dapat memperbaiki dan melengkapi isi dari skripsi ini dengan segala kerendahan hati.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis memahami banyak hambatan mulai dari perencanaan sampai penyelesaiannya. Tetapi berkat ketekunan serta dorongan bagi berbagai pihak baik moril dan materil, skripsi ini dapat penulis selesaikan.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1. Ayahanda T. Simanjuntak dan ibunda F. Sitohang yang penulis cinta dan

sayangi yang telah mendidik dan membesarkan penulis.

2. Saudara-saudariku Marni R. Simanjuntak, S.Pd, Petro Berlin Simanjuntak dan adikku Dedy Hendra Simanjuntak yang tak pernah luput memberiku semangat dan nasehat agar tidak pernah menyerah dalam menyusun skripsi ini, semoga kita semua menjadi anak yang taat pada orang tua dan berguna bagi nusa dan bangsa.

3. Bapak Drs. Kumalo Tarigan, M.A selaku dosen Pembimbing I dan ibu Drs. Frida Deliana, M.Si selaku pembimbing II yang telah banyak memberi masukan serta saran-saran mulai dari proposal sampai dengan selesainya skripsi ini.


(4)

4. Bapak A Heng (seorang pendeta dalam aliran kepercayaan Tao), bapak A Pheng seorang pemusik yang telah banyak memberikan informasi kepada penulis.

5. Rekan–rekan team terbang 2002 etnomusikologi Irfas, Intan, Irbet, Senovian, Tommy, Decy, Epenk, Alex, Via, Hotma, Elisabet yang senantiasa memacu dan memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

6. Rekan-rekan, sahabat serta adik-adik yang ada di Medan yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu yang selalu mengingatkan untuk sesegera mungkin menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih buat dukungan serta doanya.

Demikianlah skripsi ini diperbuat semoga skripsi ini ada manfaatnya dan dapat dipergunakan dalam pengembangan ilmu pengetahuan terutama ilmu Etnomusikologi.

Medan, Juni 2008 Penulis

HERBERT F. S NIM : 020707019


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ... BAB I PENDAHULUAN ...

1.1 Latar Belakang ... 1.2 Pokok Permasalahan ... 1.3 Tujuan dan Manfaat ... 1.4 Konsep dan Teori ... 1.5 Metode Penelitian... 1.6 Pemilihan Lokasi Penelitian ... BAB II LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA

MASYARAKAT TIONGHOA ... 2.1 Sejarah Masuknya Etnis Tionghoa di Indonesia ... 2.2 Sejarah Tionghoa di Kota Medan ... 2.3 Sistem Kekerabatan ... 2.4 Bahasa ... 2.5 Agama dan Kepercayaan... 2.5.1 Aliran Kepercayaan Tao ... 2.5.2 Aliran Kepercayaan Kong Hu Cu ... 2.5.3 Agama Budha ... BAB III DESKRIPSI PENYAJIAN ENSAMBEL CHUI KO PADA

UPACARA BING YI GUAN ... 3.1 Upacara Bing Yi Guan ... 3.2 Komponen Upacara ... 3.2.1 Tempat Upacara ... 3.2.2 Waktu Upacara ... 3.2.3 Benda-Benda Upacara ... 3.2.4 Orang-Orang dan Pemimpin Upacara ...


(6)

3.3 Jalannya Upacara Bing Yi Guan ... 3.4 Penyajian Ensambel Chui Ko ... BAB IV PENGGUNAAN DAN FUNGSI ENSAMBEL CHUI KO... 4.1 Penggunaan Ensambel Chui Ko ... 4.1.1 Penggunaan Musik dengan Kebudayaan Material ... 4.1.2 Penggunaan Musik dengan Manusia dan Alam ... 4.1.3 Penggunaan Musik dengan Bahasa ... 4.2 Fungsi Ensambel Chui Ko ... 4.2.1 Fungsi Pengungkapan Emosional ... 4.2.2 Fungsi Pengungkapan Estetis ... 4.2.3 Fungsi Hiburan ... 4.2.4 Fungsi Komunikasi ... 4.2.5 Fungsi Perlambangan ... 4.2.6 Fungi Reaksi Jasmani ... 4.2.7 Fungsi yang Berkaitan dengan Norma Sosial ... 4.2.8 Fungsi Pengesahan Lembaga Sosial ... 4.2.9 Fungsi Kesinambungan Masyarakat ...

BAB V KESIMPULAN dan SARAN... 5.1. Kesimpulan ... 5.2. Saran ... DAFTAR PUSTAKA ...


(7)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kota Medan merupakan salah satu kota yang sangat heterogen dari segi penduduknya, tidak hanya dari suku bangsa yang ada di nusantara tetapi juga suku bangsa yang ada di luar nusantara. Keragaman suku bangsa tersebut membuat kota Medan kaya akan bentuk-bentuk kebudayaan yang mewakili masing-masing suku bangsa. Di kota Medan selain kita dapat menemukan kebudayaan suku-suku pribumi juga dapat menemukan kebudayaan India, Tionghoa, Arab, dan suku-suku lainnya. Kebudayaan masing-masing suku-suku bangsa ini dapat berdampingan, tumbuh dan berkembang secara bersama-sama tanpa ada persaingan budaya.

Dari sekian banyak kebudayaan yang terdapat di kota Medan, satu yang menjadi perhatian saya adalah kebudayaan Tionghoa. Walaupun banyak budaya Tionghoa yang mempunyai kaitan yang sangat erat antara kepercayaan dengan kesenian, salah satu diantaranya yang menjadi fokus penelitian adalah Bing Yi

Guan. Dalam bahasa Mandarin, Bing Yi Guan artinya “persemayaman”. Oleh

kerena dalam pelaksanaan Bing Yi Guan terdapat rangkaian aktivitas secara bertahap, maka Bing Yi Guan merupakan suatu upacara persemayaman.

Upacara persemayaman Bing Yi Guan berasal dari ajaran “Tao” atau “Dao” yang dipelopori oleh Lao Tzu-Zhuangzi. Ajaran “Tao” atau “Dao” berkembang menjadi suatu aliran kepercayaan yang dikenal dengan nama Taoisme. Kepercayaan ini banyak orang hingga saat ini, terutama dari etnis Tionghoa.


(8)

Sebenarnya ajaran Tao menurut suku bangsa Tionghoa merupakan aliran kepercayaan yang tertua dan diyakini telah ada sejak 7000 tahun yang silam. Namun ajaran ini lebih berkembang sejak masa Lao Tzu-Zhuangzi.

Catatan tentang riwayat hidup Lao Tzu-Zhuangzi yang paling awal ditemukan pada tulisan sejarawan China Ssu-ma Chi'en (145 - 86 S.M), itupun tidak banyak. Disebutkan bahwa Lao Tzu-Zhuangzi dilahirkan sekitar tahun 571 S.M di desa Chu Jen di kecamatan Lai, kabupaten Hu di negara bagian Ch'u pada awal dinasti Zhou Timur. Marganya Li bernama Erh alias Tan.

Lao Tzu-Zhuangzi menulis tiga buah kitab, yaitu, 1) Tao Te Ching, 2) Daode Jing, dan 3) Zhuangzi. Ketiga kitab ini berisi ajaran Tao dan menjadi kitab suci tambahan dalam kepercayaan Taoisme yang sudah ada sebelumnya. Oleh kerena Lao Tzu-Zhuangzi telah menghasilkan tiga kitab yang menjadi kitab suci dalam kepercayaan Taoisme maka penganut kepercayaan tersebut mendewakan Lao Tzu-Zhuangzi sebagai Tai Shang Lao Jun yaitu dewa yang paling tinggi.

Di dalam kepercayaan Taoisme terdapat misteri bagaimana Lao Tzu-Zhuangzi menjadi dewa disamping dia mempunyai sifat kemanusiaan dan berpotensi memenuhi keperluan rohaniah manusia.

Kepercayaan Taoisme ini menyebar ke negara-negara lain seiring dengan penyebaran etnis Tionghoa yang mengamalkan kepercayaan tersebut, yang sebagian sampai ke Indonesia khususnya di Sumatera Utara.

Pelaksanaan upacara persemayaman Bing Yi Guan dipimpin oleh seorang Chaikong (pendeta dalam kepercayaan Taoisme).

Waktu pelaksanaan upacara persemayaman Bing Yi Guan pada malam hari yang dimulai kira-kira sekitar jam delapan malam. Rangkaian pelaksanaan


(9)

upacara ini terdiri dari empat bagian. Bagian pertama yaitu doa yang disampaikan kepada para dewa-dewa agar kiranya dewa-dewa tersebut turun ke bumi untuk merestui pelaksanaan upacara tersebut. Bagian kedua adalah doa untuk mengundang arwah yang disemayamkan dan menyebutkan nama-nama anak, cucu, dan istri yang hadir pada saat itu. Bagian ketiga doa yang dibacakan kepada dewa terhadap orang yang disemayam agar dosa dan kesalahan berat dapat kiranya diperingan, dan dosa serta kesalahan kecil dapat kiranya dihapuskan. Bagian terakhir merupakan doa penutup sekaligus mengantarkan arwah yang disemayamkan agar kembali ke dunianya. Upacara ini biasanya berlangsung setiap malam, sampai kepada hari baik yang telah ditentukan untuk pemakaman atau di kremasi1

1 Kremasi adalah pembakaran mayat, pada sebahagian kepercayaan agama yang ada khususnya

agama-agama yang berkembang pada masyarakat Tionghoa.

. Masa persemayaman ini dapat berlangsung selama satu minggu atau lebih, hal ini tergantung pada hari baik untuk pemakaman atau kremasi.

Dalam pelaksanaan upacara Bing Yi Guan memakai satu ensambel musik tradisi pada masyarakat Tionghoa yang dikenal dengan istilah Chui Ko. Chui Ko disajikan untuk mengiringi Chaikong dalam pembacaan doa. Ensambel Chui Ko terdiri dari tujuh buah alat musik, yaitu : 1). Loko sejenis gendang berbentuk barel (membranofon), 2). Tita alat musik tiup (aerofon), 3). Hie sejenis rebab (kordofon), 4). Tang Ling sejenis lonceng (idiofon), 5). Lak Buak dua buah simbal kecil (idiofon), 6). Hun Lo gong tanpa pencu (idiofon), dan 7). Boak dua buah kayu persegi empat yang saling dibenturkan (idiofon). Ensambel Chui Ko dimainkan oleh tiga orang pemusik, dimana salah seorang pemusiknya adalah Chaikong.


(10)

Setelah beberapa kali menyaksikan upacara ini penulis merasa tertarik untuk mengkaji dari aspek penggunaan dan fungsi ensambel tersebut.

Kajian penggunaan akan menjelaskan tentang konteks penyajian Chui Ko dalam upacara Bing Yi Guan. Hal ini memerlukan pembahasan yang meliputi deskripsi pelaksanaan upacara Bing Yi Guan secara menyeluruh.

Sementara kajian mengenai fungsi ensambel Chui Ko dalam upacara Bing Yi Guan akan menjelaskan tujuan penyajian musik dalam upacara tersebut.

Dengan demikian penulis membuat judul penelitian ini : Penggunaan

Dan Fungsi Chui Ko Dalam Upacara Bing Yi Guan Pada Masyarakat

Tionghoa Di Yayasan Balai Persemayaman Angsapura Medan.

1.2Pokok Permasalahan

Pokok permasalahan yang ingin dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Deskripsi penyajian Chui Ko dalam upacara Bing Yi Guan pada masyarakat Tionghoa.

2. Tujuan penggunaan ensambel Chui Ko dalam upacara Bing Yi Guan pada masyarakat Tionghoa.

3.

1.3Tujuan dan Manfaat

1.3.1 Tujuan

Tujuan penulis dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui unsur-unsur yang terkait langsung dalam upacara Bing Yi Guan pada masyarakat Tionghoa.


(11)

2. Untuk mengetahui, tujuan ensambel Chui Ko pada upacara Bing Yi Guan.

1.3.2 Manfaat

Adapun manfaat yang dapat dilihat dari penelitian ini adalah:

1. Menambah wawasan mengenai budaya musikal dari berbagai etnis di luar pribumi yang terdapat di Indonesia.

2. Sebagai salah satu sumber informasi dan dokumentasi tentang Chui Ko sebagai suatu ensambel yang khusus digunakan dalam upacara Bing Yi Guan.

3. Sebagai salah satu bahan perbandingan dalam kajian budaya musikal yang berkaitan dengan upacara ritual dalam arti luas.

1.4Konsep dan Teori

1.4.1 Konsep

Konsep merupakan definisi dari apa yang kita amati, konsep menentukan variabel-variabel mana yang kita inginkan, untuk menentukan hubungan empiris2

Untuk memahami penggunaan dan fungsi yang penulis maksud dalam penelitian ini, mengacu kepada pandangan oleh Alan P. Merriam (1964:210) mengenai penggunaan dan fungsi alat musik. Dimana diartikan bahwa use (penggunaan) menitik beratkan pada masalah situasi atau cara bagaimana musik itu digunakan, sedangkan function menitik beratkan pada alasan penggunaan atau .


(12)

tujuan pemakaian musik, terutama maksud yang lebih luas, sampai sejauh mana musik itu mampu memenuhi kebutuhan yang memerlukannya.

Ensambel adalah kumpulan dua atau lebih alat musik yang dimainkan secara bersama-sama sehingga menjadi suatu komposisi. Masing-masing alat musik yang tergabung dalam satu ensambel memiliki kapasitas dan porsi masing masing yang biasanya diatur menurut pola tertentu.

Chui Ko adalah istilah untuk seperangkat alat musik/ensambel tradisional Tionghoa yang terdiri dari Loko sejenis gendang berbentuk barel luar dan dalam (membranofon), Tita alat musik tiup (aerofon), Hie sejenis rebab (kordofon), Tang Ling sejenis lonceng (idiofon), Lak Buak dua buah simbal kecil (idiofon) Hun Lo gong tanpa pencu (idiofon), Boak dua buah kayu persegi empat yang saling dibenturkan (idiofon). Menurut hasil wawancara penulis dengan informan bapak A Pheng, ensambel ini dipakai khusus dalam upacara persemayaman bagi masyarakat Tionghoa yang mengamalkan kepercayaan Taoisme.

Pengertian upacara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:994) adalah 1. tanda-tanda kebesaran, 2. peralatan menurut adat-istiadat, 3. rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat kepada aturan-aturan tertentu menurut adat atau agama, 4. perbuatan atau perayaan yang dilakukan atau diadakan sehubungan dengan peristiwa penting.

Istilah upacara pada penelitian ini merupakan sebuah kegiatan yang bersifat ritual. Hal ini penulis sesuaikan dengan pendapat Aryono Suyono dalam Hutahaen (1955:17) yang menguraikan tentang pengertian upacara ritual (ceremony) adalah:


(13)

1. Sistem aktifitas atau rangkuman tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat pada berbagai macam peristiwa wujud dari adat istiadat yang berhubungan dengan segala peristiwa tetap yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan.

2. Suatu kegiatan pesta tradisional yang diatur menurut tata adat atau hukum yang berlaku dalam masyrakat dalam rangka memperingati peristiwa-peristiwa penting atau lain-lainnya dengan ketentuan adat yang berlaku.

Bing Yi Guan berasal dari bahasa Mandarin yang artinya “persemayaman”. Bing Yi Guan ini merupakan tradisi yang dilaksanakan apabila salah satu anggota keluarga masyarakat Tionghoa ada yang meninggal dunia. Upacara ini bisa dilangsungkan di rumah duka atau balai persemayaman. Biasanya karena pertimbangan praktis dan demi ketentraman lingkungan biasanya upacara ini dilangsungkan di balai persemayaman.

Masyarakat adalah suatu kesatuan manusia yang berinteraksi dan bertingkah laku sesuai dengan adat istiadat tertentu yang bersifat kontiniu, di mana setiap anggota masyarakat terikat suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat, 1985:60).

Tionghoa adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang di Indonesia berasal dari kata zhonghua dalam bahasa mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.

Suku bangsa Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun


(14)

lalu. Catatan-catatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.

Suku bangsa Tionghoa di Indonesia terbiasa menyebut diri mereka sebagai Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Sedangkan dalam dialek Mandarin disebut Tangren (bahasa Indonesia : Orang Tang). Ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa Indonesia mayoritas berasal dari Tiongkok Selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sedangkan Tiongkok Utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi, hanyu pinyin : hanren, bahasa Indonesia: Orang Han3).

Balai persemayaman Angsapura merupakan sebuah Yayasan Sosial masyarakat Tionghoa Medan yang terletak di jalan Waja No 2-4. Balai ini dibangun untuk wadah masyarakat Tionghoa terutama untuk persemayaman. Balai persemayaman Angsapura merupakan salah satu balai persemayaman yang terbesar dan tertua yang ada di kota Medan.

1.4.2 Teori

Teori dapat digunakan sebagai landasan kerangka berfikir dalam membahas permasalahan. Pembahasan yang utama dalam penelitian ini adalah berbicara tentang penggunaan dan fungsi musik ensambel Chui Ko dalam upacara Bing Yi Guan.


(15)

Dalam mendeskripsikan upacara Bing Yi Guan penulis memperhatikan yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1980:241) pengertian upacara adalah suatu kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan yang baku sesuai dengan komponen keagamaan. Ada empat komponen upacara yaitu : tempat upacara, waktu upacara, benda-benda dan alat-alat upacara, orang-orang yang melaksanakan dan memimpin upacara.

Untuk memahami penggunaan dan fungsi musik yang disajikan dengan ensambel Chui Ko penulis berpedoman pada pendapat Alan P Merriam (1964:209-226) yang mengatakan bahwa penggunaan musik meliputi pemakaian musik dalam konteksnya atau bagaimana musik tersebut digunakan. Sedangkan fungsi menyangkut tujuan pemakaian musik dalam pandangan luas : mengapa musik tersebut digunakan demikian.

Menurut pendapat Alan P. Merriam (1964:217-218) ada beberapa yang berkenaan dengan penggunaan yaitu :

1. Penggunaan musik dengan kebudayaan material 2. Penggunaan musik dengan kelembagaan sosial 3. Penggunaan musik dengan manusia dan alam 4. Penggunaan musik dengan nilai-nilai estetika 5. Penggunaan musik dengan bahasa.

Sedangkan menurut pendapat beliau sedikitnya ada sepuluh fungsi musik yaitu :

1. Fungsi pengungkapan emosional 2. Fungsi pengungkapan estetis 3. Fungsi hiburan


(16)

4. Fungsi komunikasi 5. Fungsi perlambangan 6. Fungsi reaksi jasmani

7. Fungsi yang berkaitan dengan norma sosial 8. Fungsi pengesahan lembaga sosial

9. Fungsi kesinambungan kebudayaan 10.Fungsi pengintegrasian masyarakat.

1.5 Metode Penelitian.

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam meneliti ensambel Chui Ko dalam upacara Bing Yi Guan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian yang bersifat deskriptif, bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala atau frekwensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala lain dalam masyarakat. Dalam hal ini mungkin sudah ada hipotesa-hipotesa, mungkin juga belum, tergantung dari sedikit banyaknya pengetahuan tentang masalah yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1991:29) Sedangkan menurut Hadari dan Mimi Martini (1994:176) penelitian yang bersifat kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring data atau informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Penelitian ini tidak mempersoalkan sampel dan populasi sebagaimana dalam penelitian kuantitatif.

Dalam mengumpulkan data-data yang nantinya dapat digunakan untuk menjawab segala permasalahan yang ada, Nettl (1963:62-64) menawarkan dua


(17)

cara kerja yaitu kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work). Namun untuk dapat menerapkan kerja tersebut penulis menambahkan untuk melaksanakan studi kepustakaan.

1.5.1 Kerja Lapangan.

Kerja lapangan penulis lakukan dengan turun secara langsung ke lapangan untuk melakukan penelitian. Dalam kerja lapangan penulis melakukan pengamatan, wawancara, dan perekaman/pencatatan data. Selain itu penulis juga melaksanakan interaksi dengan para informan dan masyarakat setempat untuk mendukung mudahnya pelaksanaan penelitian. Sehingga dalam pengamatan, penulis dapat dikategorikan melakukan pengamatan terlibat, dimana seorang peneliti, dimana tetap bertindak sebagai out sider terhadap objek penelitian.

Kerja lapangan penulis laksanakan di balai persemayaman Angsapura Medan. Pemilihan lokasi penelitian ini berdasarkan pemikiran bahwa salah satu balai persemayaman masyarakat Tionghoa terbesar dan yang tertua adalah balai persemayaman Angsapura.

Untuk memudahkan pelaksanaan di dalam kerja lapangan penulis membagi dua bagian yaitu wawancara dan observasi.

1.5.1.1 Wawancara.

Salah satu tehnik pengumpulan data dalam penelitian adalah dengan tehnik wawancara, yaitu mendapatkan informasi dengan bertanya secara langsung kepada subjek penelitian. Sebagai modal awal penulis berpedoman pada pendapat Koentjaraningrat (1981:136) yang mengatakan :


(18)

"Kegiatan wawancara secara umum dapat dibagi tiga kelompok yaitu : persiapan wawancara, tehnik bertanya dan pencatatan data hasil wawancara."

Berdasarkan pendapat Koentjaraningrat tersebut, maka penulis juga mengacu pada pendapat Soehartono, (1995:67) "wawancara adalah tehnik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawancara, jawaban responden akan dicatat atau direkam dengan alat perekam (tape recorder)".

Koentjaraningrat (1981:139) juga mengemukakan bahwa wawancara itu sendiri terdiri dari beberapa bagian yaitu:

Wawancara terfokus, bebas dan sambil lalu, Dalam wawancara terfokus diskusi berpusat pada pokok permasalahan. Dalam wawancara bebas diskusi langsung dari satu masalah ke masalah lain tetapi tetap menyangkut pokok permasalahan. Wawancara sambil lalu adalah diskusi langsung yang dilakukan untuk menambah/melengkapi data yang sudah terkumpul.

Sesuai dengan pendapat dari Koentjaraningrat dan Soehartono mengenai kegiatan wawancara maka penulis sebelum wawancara telah mempersiapkan hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan wawancara demi kelancaran seperti alat tulis, daftar pertanyaan dan tape recorder untuk merekam. Tehnik bertanya penulis kemukakan berdasarkan dari daftar pertanyaan dan pencatatan hasil wawancara penulis lakukan begitu mendapat jawaban dan yang tidak sempat dicatat masih bisa didengarkan dari hasil rekaman.

Wawancara penulis lakukan dengan beberapa orang yang menjadi populasi penelitian yaitu :


(19)

1. Wawancara dengan beberapa pengurus harian yayasan balai persemayaman Angsapura yaitu bapak yang bertujuan untuk mendapatkan data-data mengenai lokasi penelitian, larangan-larangan dan tata krama dan lain sebagainya yang sifatnya sikap yang harus diperhatikan oleh penulis dalam penelitian di lokasi tersebut.

2. Wawancara dengan salah satu Chai Kong yaitu Bapak A Heng, untuk mendapatkan informasi mengenai jalannya upacara

3. Wawancara dengan sebagai salah satu seorang seniman tradisional Tionghoa, Bapak A Pheng, untuk mendapatkan informasi mengenai penggunaan musik tradisional Tionghoa dalam upacara Bing Yi Guan.

4. Wawancara dengan petugas persemayaman, dimana petugas ini mempersiapkan kebutuhan selama upacara berlangsung. Mulai dari membersihkan mayat, melayani tamu yang melayat sampai kepada pemakaman atau pun kremasi.

Pada saat proses wawancara berlangsung penulis menerapkan metode wawancara bebas. Dimana pertanyaan-pertanyaan yang penulis ajukan kepada informan berlangsung dari satu masalah ke masalah lain tetapi tidak keluar dari topik permasalahan. Data-data dari hasil wawancara tersebut penulis rekam dalam tape recorder Sony PCN 150, dan menggunakan kaset Maxell durasi 60 menit.

1.5.1.2 Observasi

Observasi atau pengamatan, dapat berarti setiap kegiatan untuk melakukan pengukuran dengan menggunakan indera penglihatan yang juga


(20)

berarti tidak melakukan pertanyaan-pertanyaan (Soehartono, 1995:69). Dalam mengumpulkan data salah satu tehnik yang cukup baik untuk diterapkan adalah pengamatan secara langsung/observasi terhadap subyek yang akan diteliti Muhammad Ali (1987:25) mengatakan bahwa :

"Observasi adalah penelitian yang dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan terhadap subyek, baik secara langsung maupun tidak menggunakan tehnik yang disebut dengan pengamatan atau observasi".

Dalam hal ini penulis mengadakan beberapa kali observasi/pengamatan secara langsung penyajian Chui Ko pada upacara Bing Yi Guan.

1.5.2 Kerja Laboratorium.

Semua data yang telah diperoleh dari penelitian lapangan dan studi kepustakaan akan dianalisis untuk selanjutnya diadakan penyeleksian agar selesai dengan pembahasan sehingga menghasilkan suatu tulisan yang baik dalam melakukan penelitian, ketika terbenturnya pada masalah kekurangan data-data. Maka untuk mengatasi hal tersebut penulis mengadakan evaluasi ulang dan terkadang penulis juga melakukan wawancara dengan pengamatan ulang untuk memperoleh data yang akurat.

Pada saat kerja laboratorium, hasil rekaman juga penulis dengarkan secara berulang-ulang, kemudian dicatat untuk selanjutnya diklasifikasikan. Data rekaman yang mempergunakan bahasa asing, dicatat untuk kemudian penulis minta untuk diterjemahkan oleh informan.


(21)

1.5.3 Studi Kepustakaan.

Untuk mencari tulisan-tulisan pendukung, sebagai kerangka landasan berfikir dalam tulisan ini, adapun yang dilakukan adalah studi kepustakaan. Kegiatan ini dilakukan untuk menemukan literatur atau sumber bacaan, guna melengkapi dari apa yang dibutuhkan dalam penulisan dan penyesuaian data dari hasil penelitian lapangan. Sumber bacaan atau literatur itu dapat berasal dari penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya dalam bentuk skripsi. Selain itu sumber bacaan yang menjadi tulisan pendukung dalam penelitian penulis yaitu berupa buku, jurnal, dan berita dari situs-situs internet. Namun penulis mengalami kesulitan akan minimnya referensi dalam bentuk tulisan yang berhubungan dengan upacara Bing Yi Guan ataupun mengenai ensambel Chui Ko.

1.6 Pemilihan Lokasi Penelitian.

Lokasi penelitian berada di Balai Persemayaman Angsapura Medan Jl. Waja No. 2-4. Pemilihan lokasi penelitian ini karena sepanjang pengetahuan penulis tempat ini merupakan salah satu balai persemayaman yang terbesar dan tertua yang ada di kota Medan.

Tim kesenian yang penulis teliti juga berpusat di balai persemayaman ini. Sehingga sangat mempermudah penulis dalam membuat janji untuk wawancara. Bagi para informan mereka bisa diwawancarai pada sela-sela waktu istirahat.


(22)

BAB II

LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA

2.1 Sejarah Masuknya Etnis Tionghoa di Indonesia

Sukubangsa percaturan terbentuk. Setelah negara Indonesia terbentuk, maka otomatis orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan menjadi salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia setingkat dan sederajat dengan suku-suku bangsa lainnya yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun lalu. Catatan-catatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke nusantara dan sebaliknya. Orang Tionghoa di Indonesia terbiasa menyebut diri mereka sebagai Tenglang Tengnang

atau Thongnyin Tangren. Ini

sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa Indonesia mayoritas berasal dari Tiongkok Selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sedangkan Tiongkok Utara menyebut diri mereka sebagai orang Han.

Bangsa Tionghoa telah ribuan tahun mengunjungi kepulauan Salah satu catatan-catatan tertua ditulis oleh para agamawan


(23)

ke-4 dan terutam mempelajar dengan berkembangnya negara-negara kerajaan di tanah Jawa mulai para imigran Tionghoa mulai berdatangan.

Pada warga asing yang menetap di samping nama-nama suku bangsa dari nusantara, daratan disebut sebagai Cina dan seringkali jika disebutkan selalu dihubungkan dengan sebuah jabatan bernama Juru Cina atau kepala orang-orang Tionghoa.

Orang asal Tiongkok ini yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda merasa perlu mempelajari kebudayaannya termasuk bahasanya, maka oleh sekelompok orang Tionghoa di Hindia Belanda pada dibawah naungan suatu badan yang dinamakan kalau di lafal Indonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Tiongkok tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah Cina menjadi Tionghoa di Hindia Belanda.


(24)

2.2 Sejarah Tionghoa di Kota Medan

Tanah Deli, mulai terkenal setelah orang-orang Belanda, yang dipelopori Nienhuys, membuka perkebunan tembakau di sekitar Medan. Daun tembakau Deli, terkenal ke seluruh dunia dengan daun pembungkus cerutu yang paling baik. Hal ini telah menarik investor asing untuk membuka perkebunan tembakau, serta mendorong banyak orang pindah ke Deli untuk mencari nafkah. Nienhuys sendiri, kemudian memindahkan kantornya dari Labuhan ke kampung Medan Putri.

Medan Putri, sebuah kampung kecil di dekat pertemuan Sungai Babura dan Sungai Deli. Menurut Tengku Lukman Sinar dalam bukunya “Riwayat Hamparan Perak”, kampung ini dibangun pada tahun 1590, oleh Raja Guru Patimpus, nenek moyang Datuk Hamparan Perak (Duabelas Kuta) dan Datu Suka Piring yaitu, dua dari empat kepala suku Kesultanan Deli. Sejarah perkembangan kampung Medan Putri menjadi kota Medan, memang tidak terlepas dari keberadaan Kesultanan Deli.

Sejak itu pula, kampung Medan Putri mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan tersebut, mendorong pemerintah kolonial Belanda untuk memusatkan kegiatannya di kota Medan. Pada tahun 1870, Belanda membentuk Keresidenan Sumatera Timur dan menetapkan Medan sebagai ibukotanya pada tahun 1884. Pada tahun 1918, pemerintah kolonial Belanda, menetapkan Medan sebagai kotapraja, setelah membeli tanah seluas 15,83 km2 dari Sultan Deli untuk kepentingan kota.Ketika itu, penduduk Medan telah berjumlah 43.826 jiwa yang terdiri dari sekitar 409 bangsa Eropah, 25.000 orang


(25)

bangsa Indonesia, 8.269 orang bangsa Cina dan 130 orang bangsa Asia lainnya. Artinya, sejak dahulu kala, Medan telah dihuni oleh beragam bangsa.

Untuk mendukung fungsi kota Medan, tahun 1908 Belanda membangun gedung Gemente, yang kemudian dikenal sebagai Balai Kota (sekarang sudah dijadikan perpustakaan Pemko Medan). Pada tahun 1911, dibangun pula gedung kantor pos, yang sampai sekarang tetap digunakan dengan fungsi yang sama. Tidak jauh dari kantor pos dan balai kota, terdapat daerah pertokoan Kesawan yang mulai berdiri pada tahun 1876. Selama beberapa dasawarsa, daerah pertokoan ini, menjadi pusat perbelanjaan masyarakat Eropah dan mengalami kejayaan sampai tahun 60-an. Dengan sejarah yang sedemikian panjang, maka ditetapkan tanggal 1 Juli 1590, sebagai hari jadi Kotamadya Medan.

Tionghoa di Medan berasal dari Provinsi Hokkien/Hokian (Fujian) di selatan Cina. Kebanyakan dari mereka datang pada jaman Belanda sebagai kuli pekerja rel kereta api dan pekerja perkebunan tembakau di Medan dan sekitarnya. Banyak juga yang datang karena masalah sosial ekonomi di negara asalnya.

Salah satu tokoh legendaris adalah Tjong A Fie, legenda hidup sampe sekarang, bahkan rumah peninggalannya masih berdiri megah dan menjadi salah satu landmark di Medan. Tjong A Fie pada jamannya menjadi panutan komunitas Tionghoa dan pribumi di Medan, sangat disegani oleh penjajah Belanda, dan diangkat menjadi Mayor (sekelas walikota sekarang) atau pemimpin komunitas Tionghoa di jamannya.


(26)

Tjong A Fie, lahir di Moy Hian (Kheh) Canton, Cina. Sewaktu muda dia berlayar bersama abangnya dan akhirnya mendarat di Kampung Laboean, Medan tahun 1870. Disana mereka mendirikan kedai grosir. Kebetulan di sekitar wilayah itu banyak dihuni para kuli perkebunan yang juga baru dibuka. Keberadaan Tjong perlahan-lahan dikenal warga Medan sebagai penyedia berbagai keperluan.

Pergaulannya pun meningkat sampai ke kalangan Istana Kesultanan Deli. Suatu saat, dia bersahabat dengan Tengku Radja Moeda yang sedang berkuasa.Kehadiran Tjong A Fie di Medan, memperkaya khasana wisata Sumatera Utara dengan meninggalkan satu bangunan bersejarah yang terlupakan, yang menyimpan kenangan akan pembauran di kota ini.

Sebagai seorang pengusaha Cina, nama Tjong A Fie hingga kini melegenda. Kekayaan dan semangat pembaurannya tetap disebut-sebut warga kota ini. Ingatan itu kini hanya tersisa dengan sebuah bangunan antik berarsitektur Cina yang terletak di Jl. Ahmad Yani, kawasan Kesawan, Medan. Melewati pintu gerbang bergaya Tiongkok, kita langsung dihadapkan pada suasana khas Cina. Gerbang penuh lumut itu kini lebih sering ditutup dan hanya menyisakan celah kecil untuk keluar masuk.

2.3 Sistem Kekerabatan

Masyarakat Tionghoa sama juga seperti masyarakat lainnya yang secara umum membentuk keluarga inti, yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya yang belum berumah tangga. Sistem keturunan menurut kepada garis keturunan


(27)

ayah (patrilineal). Penerus keturunan adalah anak laki-laki. Anak laki-laki tertua merupakan ahli waris memelihara tradisi leluhur, sedangkan anak perempuan masuk kedalam golongan keturunan suaminya.

Anak laki-laki tertua, apabila sudah menikah akan tinggal di rumah orang tuanya (virilokal) sebagai pewaris. Untuk anak laki-laki lainnya apabila sudah menikah bebas menentukan tempat tinggalnya, misalnya dirumah sendiri yang baru, (neolokal) atau dengan keluarganya sendiri (virilokal) atau dirumah keluarga istrinya (uxorilokal).

2.4 Bahasa

Kebanyakan pakar bahasa menganggap semua varian bahasa Tionghoa sebagai bagian dari kala pernah ada sebuah bahasa proto yang mirip situasinya dengan bahasa turunannya. Relasi antara bahasa Tionghoa, di satu sisi dengan bahasa Sino-Tibet lainnya masih belum begitu jelas berbeda dengan bahasa-bahasa Indo-Eropa. Para pakar masih secara aktif merekonstruksi bahasa proto Sino-Tibet. Kesulitan utamanya ialah bahwa meskipun banyak sekali dokumentasi di mana kita bisa merekonstruksi bunyi-bunyi bahasa Tionghoa kuno, tidak ada dokumentasi mengenai sejarah perkembangan dari bahasa proto Sino-Tibet menjadi bahasa-bahasa Tionghoa. Selain itu banyak bahasa yang bisa membantu kita merekonstruksi bahasa proto Sino-Tibet, kurang didokumentasikan dan masih belum dikenal dengan baik.


(28)

Dalam budaya masyarakat Tionghoa terdapat beberapa jenis bahasa yang dipakai yaitu :

2.4.1 Bahasa Mandarin

Kata ”mandarin” dalam bahasa Indonesia sendiri sepertinya diserap dari bahasa Mandarin. Namun sebenarnya, kata Mandarin ini diserap bahasa Inggris dari bahasa Tionghoa sendiri. Mandarin secara harfiah berasal dari sebutan orang asing kepada pembesar-pembesar dulu. Dinasti Qing adalah dinasti yang didirikan ole sehingga pembesar-pembesar kekaisaran biasanya disebut sebagai Mandaren yang berarti ”Yang Mulia Manchu”. Dari sini, bahasa yang digunakan oleh para pejabat Manchu waktu itu juga disebut sebagai bahasa Mandaren.

2.4.2 Bahasa Hokkien

Bahasa Hokkien atau bahasa Hokkian, yang kita kenal sebenarnya adalah dialek Min Selatan (Min-nan) yang merupakan bagian dari bahasa (Hokkien),Taiwan), sebelah utarKengtang) dan di berasal dari provinsi Fujian. Bahasa Hokkian juga dikenal sebagai bahasa Holo di daratan Tiongkok dan Taiwan.

Di Hokkien umumnya dikenal sebagai bahasa ibu (mother tongue) komunitas


(29)

Palembang dan beberapa daerah lainnya. Bahasa Hokkien atau bahasa Hokkian yang kita kenal sebenarnya adalah dialek Min Selatan (Min-nan) yang merupakan bagian dari bahasa secara luas di provinsiHokkien),Taiwan), sebelah utara Kengtang) dan di Tionghoa perantauan adalah mayoritas berasal dari provinsi Fujian. Bahasa Hokkian juga dikenal sebagai bahasa Holo di daratan Tiongkok dan Taiwan.

Bahasa Hokkien ini sendiri terbagi atas banyak logat di antaranya logat Ciangciu (Zhangzhou), logat Cuanciu (Quanzhou) dan logat (Xiamen, dulu Amoy).Chaozhou) adalah juga salah satu logat dalam bahasa Hokkien, namun karena penduduk Tiochiu tersebar di daerah Guangdong utara, maka bahasa Tiochiu kemudian mendapat pengaruh dari bahasa Kanton menjadi logat dalam bahasa Hokkien yang dekat dengan bahasa Kanton (liha

Hokkien Medan merupakan varian/logat bahasa Hokkien (juga

disebut Min Nan di

bahasa Melayu dan Indonesia, misalnya tapi, jamban, sabun (dari portugis dan juga dipakai di Taiwan),. Bahasa ini biasanya hanya diucapkan saja sehingga tidak ada bentuk tulisan standarnya.


(30)

2.4.3 Bahasa Kantonis

Bahasa Kanton atau Yuè Konghu) adalah salah satu dari dialek

daya

Bahasa Kanton merupakan bahasa perdagangan kebanyakan orang-orang Tionghoa yang tinggal di luar negeri - dituturkan oleh hampir 70 juta orang di seluruh dunia, jumlah yang hanya bisa disaingi di luar ole

Sejarah dialek Kanton ini dapat ditarik balik ke zama Han di Tiongkok, dialek Kanton merupakan salah satu dialek bahasa Han tertua yang masih tersisa sekarang ini. Dialek Kanton digunakan secara luas pada zaman Dinasti Tang. Itu makanya anggapan bahwa melafalkan puisi hidup pada zaman Dinasti Tang dengan dialek Kanton adalah lebih cocok daripada melafalkannya dengan ini.

2.5 Agama dan Kepercayaan

Masyarakat Tionghoa pada umumnya terbagi dalam tiga pemeluk agama, yaitu Kong Hu Cu, Tao dan Buddha. Pada masa Orde Baru, ketiga aliran agama


(31)

ini bernaung dalam satu wadah yang disebut dengan Tridharma. Namun saat ini cukup banyak juga orang Tionghoa yang memeluk agama Islam dan Kristen. 2.5.1. Aliran Kepercayaan Tao

Tao merupakan aliran kepercayaan yang berasal dari Tiongkok. Dari data-data yang ada, maka aliran kepercayaan Tao termasuk aliran kepercayaan yang tertua di dunia ini, umumnya diakui sudah ada sejak 7000 tahun yang silam, dan juga merupakan aliran kepercayaan yang dianut oleh sebagian besar orang Tionghoa, ini tercermin dari tulisan Lu Xun seorang budayawan kondang, dimana beliau menulis bahwa aliran kepercayaan Tao adalah aliran kepercayaan dan akar utama dari kebudayaan Tionghoa.

Aliran kepercayaan Tao selain telah berjasa dalam menjaga keharmonisan hidup bermasyarakat di Tiongkok selama beribu-ribu tahun. Juga telah memberikan banyak sumbangan terhadap kemajuan sastra, budaya, ilmu astronomi, ilmu pengobatan, filsafat dan cara berpikir masyarakat Tionghoa dimanapun mereka berada.

Pada jaman Fu Xi sekitar tahun 5000 SM, Fu Xi telah menggunakan teori dan perhitungan Ba-Kua (Delapan Penjuru) untuk menjelaskan tentang sistem Astronomi, menentukan hal-hal yang penting yang berhubungan dengan ramalan kehidupan seseorang, serta menentukan cara-cara ritual penyembahan Dewa-Dewi.

Sampai pada jamannya Wang Di (Kaisar Kuning) 2698 SM, mulai dikemukakan teori tentang kaidah-kaidah alamiah dan teori tentang masalah


(32)

kehidupan dan kematian. Wang Di juga merupakan tokoh yang pertama menjalankan pemerintahannya berdasarkan ajaran Tao.

Sejak Wang Di sampai 1500 tahun berikutnya, setiap pemimpin yang menggantikan pemimpin lainnya selalu memerintah masyarakatnya dengan teori ajaran Wang Di, antara lain : Menghormati Tian dan menjunjung tinggi Sopan-santun dalam bermasyarakat (Wang Di Zhi Tao / Filsafat ajaran Wang Di).

Pada jaman Dinasti Kerajaan Chow, muncul seorang bijaksana yang mempunyai nama besar yaitu Lao Zi. Beliau pernah bertugas sebagai pejabat yang menjaga dan merawat perpustakaan buku-buku yang dimiliki kerajaan Chow. Karena itu beliau mempunyai kesempatan untuk membaca semua buku-buku dan menguasai teori-teori yang diajarkan oleh Wang Di.

Ini membuat beliau sangat menyanjung keagungan alam yang telah menghidupi semua makhluk hidup, termasuk manusia, namun beliau juga mengajarkan bahwa dibalik semuanya itu pasti ada yang menciptakannya yang bersifat maha Agung; maha Mulia dan maha Esa, hanya saja sulit bagi beliau untuk memberikan sebutan atau nama yang tepat bagi Pencipta Alam Semesta yang maha besar ini.

Akhirnya Lao Zi meminjam kata "Tao", untuk memberi nama bagi "sumber" dari segala sesuatu yang tercipta di alam semesta ini. Menurut Lao Zi, Tao adalah sumber terciptanya segala sesuatu yang ada dalam alam semesta ini. Cara berpikir beliau jauh melampaui jamannya ketika itu, ditambah ajaran-ajarannya yang menjunjung tinggi kebajikan dan menentang kebiadaban, maka


(33)

akhirnya ajaran Lao Zi bersama-sama ajaran Wang Di dikenal orang sebagai Ajaran Wang-Lao (Wang-Lao Tao / Filsafat ajaran Wang Di dan Lao Zi) sampai sekarang. Pemujaan terhadap Lao Zi sudah dimulai sejak jaman Dinasti Jin Han, saat itu kegiatan kealiran kepercayaan dan upacara ritual aliran kepercayaan sudah berkembang sedemikian lengkapnya. Pada jaman Han Barat, masyarakat hidup makmur dan sentosa berkat semua pemimpin kerajaan menganut dan menjalankan ajaran Wang-Lao Tao.

Sampailah pada jaman Han Timur (Tong Han), ada seorang bernama Zhang Tao Ling yang dengan sungguh-sungguh mempelajari semua ajaran Tao dan ilmu ke-dewaan, beliau juga berhasil membuat pemilahan-pemilahan dan menyusun peraturan-peraturan tentang cara-cara upacara ke aliran kepercayaan Tao, mengajarkan cara-cara bagaimana seharusnya menggambar Hu dan menuliskannya dalam buku-buku yang baku untuk kepentingan pengajaran kepada pengikut atau penganutnya.

Sehingga terbentuklah sebuah organisasi kemasyarakatan yang berbasis aliran kepercayaan Tao yang pertama sejak itu. Selanjutnya semua kegiatan kealiran kepercayaannya selalu secara resmi menggunakan nama aliran kepercayaan Tao. Pengikut-pengikutnya disebut sebagai umat Tao (Tao Shi).

Zhang Tao Ling juga menggunakan nama lain, selain Aliran kepercayaan

Tao, yaitu Thian Zhi Tao dan terutama aktif di daerah Sichuan, penerusnya juga menyebarkan aliran kepercayaan Tao di daerah Jiang Si di daerah Long Hu San / Gunung Naga Harimau, sebelah selatan dari sungai Zhang Jiang.


(34)

Sejak itu aliran kepercayaan Tao selalu mengajarkan umatnya untuk memupuk dan mempunyai sifat-sifat yang jujur, tulus dan belas kasih, serta tidak boleh menyakiti orang lain.

Orang kalau sakit atau bersalah, bila ingin sembuh dan minta pertolongan di dalam aliran kepercayaan Tao, maka diharuskan pertama kali untuk mengakui kesalahannya atau perbuatan tidak baiknya, baru kemudian diberi pengobatan ataupun nasehat bahkan diajak semedi dan mawas diri untuk kesembuhan dirinya. Aliran kepercayaan Tao terutama mengajarkan sifat Qing Jing Wu Wei, suatu sifat dimana orang dianjurkan untuk selalu berusaha berbuat sesuatu demi kepentingan bersama, namun tetap menjaga sikap mental yang tulus tanpa pamrih, selain itu juga selalu mawas diri dalam usahanya mengajak masyarakat supaya mampu menjaga keharmonisan kehidupan masing-masing. Sifat demikianlah yang antara lain ikut mendorong terbangunnya klenteng-klenteng yang bisa dipakai untuk menginap bagi orang-orang yang sedang bepergian jauh, serta menyediakan makanan cuma-cuma bagi yang menginap di sana, ini semua bertujuan untuk melayani dan memudahkan masyarakat pada jamannya, sehingga sangat mendapat dukungan dari segala lapisan masyarakat.

Citra aliran kepercayaan Tao juga pernah menjadi sangat jelek dan ketinggalan jaman, dampaknya terasa sampai kurun waktu yang lama sekali, sekarang ini masih ada sebagian orang terpelajar, yang karena belum mengerti apa sebenarnya Aliran kepercayaan Tao, dengan mudahnya meremehkan aliran kepercayaan Tao sebagai aliran kepercayaan yang bersifat tahyul dan ketinggalan


(35)

zaman, sebab pada dasarnya mereka belum bisa membedakan antara Tao Shi dengan dukun.

Syukurlah sesuai dengan kemajuan jaman, akhir-akhir ini semua sudah mulai berubah ke arah yang positif, para umat penganut aliran kepercayaan Tao mulai menyadari kesalahan sikap diamnya selama ini, sehingga dimana-mana umat Tao mulai membenahi diri dan dengan gigih menyebarkan ajaran aliran kepercayaan Tao yang sebenarnya, walaupun masih harus menghadapi banyak kendala di lapangan.

2.5.1.1 Kitab Suci Pada Aliran Kepercayaan Taoisme Kitab suci pada aliran kepercayaan Tao terdiri dari :

1. Dao De Jing

2. Tai Shang Lao Jun Zhen Jing

3.

4.

5. Lao Tzu-Zhuangzi menulis tiga buah kitab, yaitu, 1) Tao Te Ching, 2) Daode Jing, dan 3) Zhuangzi

2.5.1.2 Dewa dan Dewi Pada Aliran Kepercayaan Tao

Dalam aliran kepercayaan Tao, Maha Dewa Tai Shang Lao Jun adalah Dewa tertinggi dari semua Dewa Dewi yang ada. Hari besarnya adalah tanggal 15 bulan 5 Imlek. Maha Dewa Tai Shang Lao Jun pernah tiga kali turun ke bumi,


(36)

pertama sebagai Ban Ku Shi, kedua turun lagi sebagai Huang Ti, dan ketiga turun kembali sebagai Lao Zi.

Kemudian aliran kepercayaan juga mengenal dewa Er Lang Shen. Er Lang Shen banyak dipuja di Propinsi Sichuan. Beberapa klenteng besar yang didirikan khusus untuknya terdapat di Chengdu yaitu Er Lang Miao, di Guan Xian dengan nama Guan Kou Miao, di Baoning, Ya-an dan beberapa tempat lain dengan nama Er Lang Miao. Kecuali Sichuan, Propinsi Hunan juga memiliki beberapa klenteng Er Lang yang cukup kuno.

Er Lang Shen ditampilkan sebagai seorang pemuda tampan bermata tiga, memakai jubah keemasan, membawa tombak bermata tiga, diikuti seekor anjing, kadang-kadang ditambah dengan seekor elang. Dia dianggap sebagai Dewa pelindung kota-kota di tepi sungai dan sering ditampilkan bersama Maha Dewa Tai Shang Lao Jun sebagai pengawal. Bagi umat Tao Er Lang Shen mempunyai kesaktian yang luar biasa untuk menghadapi roh atau setan yang jahat. Hari besarnya diperingati pada tanggal 28 bulan 8 Imlek.

Jiu Tian Xuan Nu merupakan salah satu Dewi Besar Tao. Jiu Tian Xuan Nu adalah Dewi yang sering membantu pahlawan-pahlawan. Dewi Jiu Tian Xuan Nu selalu mengulurkan tangan waktu raja kesatria dan pahlawan-pahlawan sedang mengalami kesulitan, sehingga boleh dikata sebagai "Dewi Membantu". Selain itu Dewi Jiu Tian Xuan Nu juga mengajarkan cara-cara perang yang kongkrit. Oleh karena itu, ada orang yang menganggap Dewi Jiu Tian Xuan Nu sebagai "Dewi Perang".


(37)

Ba Xian (Delapan Dewa / Pat Shien) adalah Dewa-Dewi Tao yang hidup pada masa yang berbeda dan dapat mencapai kekekalan hidup. Mereka sering dilukiskan pada benda-benda porselen, patung, sulaman, lukisan dan sebagainya.

Dewa-dewi Ba Xian menggambarkan kehidupan yang berbeda, yaitu kemiskinan, kekayaan, kebangsawanan, kejelataan, kaum tua, kaum muda, kejantanan dan kewanitaan. Ba Xian dihormati dan dipuja karena menunjukkan kebahagiaan. Kisah Ba Xian menunjukkan bahwa kita dapat mencapai kehidupan abadi dalam kebahagiaan, melalui tindakan-tindakan yang tidak mementingkan diri sendiri dan melakukan perbuatan-perbuatan baik.

Mereka adalah :

(Sumber: http://id.Wikipedia.org/wiki/tao)

2.5.2 Aliran Kepercayaan Kong Hu Cu

Ajaran Konfusianisme atau Kong Hu Cu (juga: Kong Fu Tze atau Konfusius) dalam Rujiao yang berarti aliran kepercayaan dari orang-orang yang lembut hati, terpelajar dan berbudi luhur. Khonghucu memang bukanlah pencipta aliran kepercayaan ini melainkan


(38)

beliau hanya menyempurnakan aliran kepercayaan yang sudah ada jauh sebelum kelahirannya seperti apa yang beliau sabdakan: "Aku bukanlah pencipta melainkan Aku suka akan ajaran-ajaran kuno tersebut". Meskipun orang kadang mengira bahwa Khonghucu adalah merupakan suatu pengajaran meningkatka memahami secara benar dan utuh tentang Ru Jiao atau aliran kepercayaan Khonghucu, maka orang akan tahu bahwa dalam aliran kepercayaan Khonghucu (Ru Jiao) juga terdapat ritual yang harus dilakukan oleh para penganutnya. Aliran kepercayaan Khonghucu juga mengajarkan tentang bagaimana hubungan antar sesama manusia atau disebut "Ren Dao" dan bagaimana kita melakukan hubungan dengan Sang Khalik/Pencipta alam semesta (Tian Dao) yang disebut dengan istilah "Tian" atau "Shang Di".

Ajaran falsafah ini diasaskan oleh

Chiang Tsai yang saat itu berusia 17 tahun. Seorang yang bijak sejak

masih kecil dan terkenal dengan penyebaran ilmu-ilmu baru ketika berumur 32 tahun, Kong Hu Cu banyak menulis buku-buku moral, sejarah, kesusasteraan dan falsafah yang banyak diikuti oleh penganut ajaran ini. Beliau meninggal dunia pada ta

Konfusianisme mementingkan akhlak yang mulia dengan menjaga hubungan antara manusia di langit dengan manusia di bumi dengan baik. Penganutnya diajar supaya tetap mengingat nenek moyang seolah-olah roh mereka hadir di dunia ini. Ajaran ini merupakan susunan falsafah dan etika yang mengajar bagaimana manusia bertingkah laku.


(39)

Konfusius tidak menghalangi orang Tionghoa menyembah keramat dan penunggu tapi hanya yang patut disembah, bukan menyembah barang-barang keramat atau penunggu yang tidak patut disembah, yang dipentingkan dalam ajarannya adalah bahwa setiap manusia perlu berusaha memperbaiki moral.

Ajaran ini dikembangkan oleh muridnya dengan beberapa perubahan. Kong Hu Cu disembah sebagai seorang falsafahnya menjadi aliran kepercayaan baru, meskipun dia sebenarnya adalah falsafahnya menjadi sebuah aliran kepercayaan dengan diadakannya perayaan-perayaan tertentu untuk mengenang Kong Hu Cu.

(Sumber: http://id.Wikipedia.org/wiki/kong _hu_cu)

2.5.3 Agama Buddha

Agama Buddha lahir di negar sekarang, sebagai reaksi terhadap pengikutnya. Ajaran Buddha sampai ke negara dibawa oleh seorang pengaruhnya dari

Setiap aliran Buddha berpegang kepada karena dalamnya tercatat sabda dan ajaran Sang Hyang Buddha Gautama. Pengikut-pengikutnya kemudian mencatat dan mengklasifikasikan ajarannya dalam 3 buku yait


(40)

(peraturan atau tata tertib para bhikkhu) da metafisika dan psikologi).

Perlu ditekankan bahwa Buddha bukan agama Buddha berbeda dengan konsep dalam agama Samawi dimana alam semesta diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah kembali ke sorga ciptaan Tuhan yang kekal.

Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.

Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Sang Buddha yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII : 3, yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama Buddha. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam adalah "Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang" yang artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak". Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asamkhata) maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.

Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Maha Esa ini, kita dapat melihat bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah berlainan dengan


(41)

konsep Ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain. Perbedaan konsep tentang Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini, sebab masih banyak umat Buddha yang mencampur-adukkan konsep Ketuhanan menurut agama Buddha dengan konsep Ketuhanan menurut agama-agama lain sehingga banyak umat Buddha yang menganggap bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah sama dengan konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain.

Bila kita mempelajari ajaran agama Buddha seperti yang terdapat dalam kitab suci Tripitaka, maka bukan hanya konsep Ketuhanan yang berbeda dengan konsep Ketuhanan dalam agama lain, tetapi banyak konsep lain yang tidak sama pula. Konsep-konsep agama Buddha yang berlainan dengan konsep-konsep dari agama lain antara lain adalah konsep-konsep tentang atau kebebasan.

Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan (anuttara samyak sambodhi) atau pencerahan sejati dimana roh manusia tidak perlu lagi mengalami proses pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya. Tidak ada dewa - dewi yang dapat membantu, hanya dengan usaha sendirilah kebuddhaan dapat dicapai. Buddha hanya merupakan contoh, juru pandu, dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat kebenaran & realitas sebenar-benarnya.


(42)

Ada beberapa aliran dalam agama Buddha:

1.

2.

3.

4.

5.

2.6 Sistem Mata Pencaharian

Etnis Tionghoa dikenal sebagai pedagang yang handal. Mereka pada umumnya sukses sebagai pengusaha khususnya di bidang perdagangan. Dapat dikatakan bahwa orang-orang Tionghoa di Medan merupakan salah satu pemegang perekonomian. Disamping sebagai pedagang terdapat juga karyawan perusahaan swasta, penyedia jasa dan lain sebagainya.


(43)

BAB III

DESKRIPSI PENYAJIAN ENSAMBEL CHUI KO PADA UPACARA BING YI GUAN

3.1. Upacara Bing Yi Guan

Dalam siklus kehidupan manusia, ada satu tahapan yang harus dijalani yaitu kematian. Masyarakat Tionghoa yang mengamalkan ajaran Tao, meyakini bahwa kematian bukan akhir dari hidup manusia. Ada satu tahapan lagi yang disebut dengan reinkarnasi, dimana seseorang yang meninggal dunia, akan hidup kembali.

Reinkarnasi pada masyarakat Tionghoa, adalah kehidupan yang baru di atas bumi. Namun bisa saja manusia yang ber-reinkarnasi memulai hidupnya sebagai hewan, tumbuhan atau mahluk Tuhan lainnya. Hal ini tergantung dari kehidupannya sebelumnya. Apabila semasa hidupnya dia menjalani hidup dengan benar maka dia akan bereinkarnasi sebagai manusia, tetapi apabila dia semasa hidupnya dia sering melakukan kejahatan maka kemungkinan dia bereinkarnasi sebagai tumbuhan atau hewan dan lain sebagainya.

Dalam upacara Bing Yi Guan, orang yang meninggal harus disemayamkan, masa persemayaman merupakan kesempatan bagi anak cucunya untuk memanjatkan doa kepada para dewa dewi. Tujuan dari pelaksanaan upacara Bing Yi Guan ini adalah untuk memberi penghormatan dan balas jasa serta wujud bakti dari pihak keluarga kepada arwah yang sudah meningggal.

Ada beberapa hal yang menjadi alasan pelaksanaan kegiatan ini yaitu: 1. Keyakinan masyarakat Tao, bahwa pembacaan doa yang dilaksanakan


(44)

reinkarnasi (kehidupan yang baru), meningkatkan derajat kehidupan dalam menjalani kehidupan yang baru.

2. Upacara ini juga diyakini mempermudah orang yang meninggal mencapai tempat para dewa-dewa, (nirwana = surga). Rohnya dibimbing dan tidak kesasar di dunia.

3. Pelaksanaan upacara ini akan berpengaruh terhadap kehidupan manusia/pihak keluarganya di dunia. Ada semacam keyakinan bahwa orang yang meninggal dunia dan mendapat tempat yang lebih baik di alam para dewa sehingga berpengaruh terhadap kehidupan keluarganya di dunia. Kemungkinan besar keluarganya di dunia akan mendapat kemudahan rejeki, kesehatan, serta kemudahan-kemudahan lainnya.

3.2. Komponen Upacara

Menurut Koenjtaraningrat (1980:241) ada empat komponen upacara yaitu, tempat upacara, waktu upacara, benda-benda dan alat-alat upacara, orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara. Dalam pelaksanaan upacara Bing Yi Guan maka komponen-komponen upacaranya dapat kita lihat sebagai berikut :

3.2.1. Tempat Upacara.

Dalam pelaksanaan upacara Bing Yi Guan ini dapat dilakukan di rumah, namun sejauh ini tempat pelaksanaan pada umumnya di tempat persemayaman. Hal ini berhubungan dengan beberapa aspek terutama


(45)

Biasanya untuk pelaksanaan upacara Bing Yi Guan identik dengan suara-suara yang riuh rendah. Hal ini karena suara-suara-suara-suara yang timbul dari alat-alat musik yang dimainkan. Sehingga, apabila upacara ini dilaksanakan di rumah, kemungkinan besar akan sangat mengganggu lingkungan sekitarnya. Disamping itu meletakkan mayat selama hampir seminggu di dalam rumah kemungkinan akan sangat mengganggu lingkungan sekitar.

Sehingga tempat terbaik untuk pelaksanaan upacara ini adalah di balai persemayaman. Di balai persemayaman segala kebutuhan pelaksanaan upacara telah tersedia. Tidak perlu repot mencari apabila ada hal-hal yang dibutuhkan. Terhadap keluarga yang kurang mampu ada keringanan-keringanan dari pihak balai persemayaman, khususnya dari segi keuangan (biaya). Bahkan untuk keluarga yang benar-benar tidak mampu maka pihak balai persemayaman akan membiayai semua kebutuhan pelaksanaan upacara.

Salah satu balai persemayaman yang cukup dikenal di kota Medan adalah yayasan balai persemayaman Angsapura, yang terletak di Jalan Waja No 2-4 Medan. Yayasan ini mulai berdiri sekitar tahun 1982 dan merupakan balai sosial yang khusus menangani masalah-masalah kematian dan persemayaman.

Yayasan balai persemayaman Angsapura merupakan lokasi pelaksanaan upacara Bing Yi Guan yang menjadi objek penelitian dalam penelitian ini.

3.2.2. Waktu Upacara

Pelaksanaan upacara Bing Yi Guan biasanya dilaksanakan pada malam hari. Waktu yang paling tepat dalam anggapan masyarakat Tionghoa adalah sekitar pukul delapan malam sampai dengan pukul sebelas malam.


(46)

Kegiatan upacara ini dibagi dalam empat tahapan upacara. Tahap pertama biasanya memakan waktu sekitar 40 menit. Setelah itu istirahat sekitar 15-20 menit, dilanjutkan dengan tahapan kedua, kemudian istirahat kembali. Demikian selanjutnya sampai ke empat tahapan selesai. Biasanya pelaksanaan upacara ini akan berakhir pada pukul 11 malam.

3.2.3 Benda-benda Upacara

Ada beberapa benda yang dipakai dalam pelaksanaan upacara Bing Yi Guan. Yaitu, dupa, dua buah altar (altar biru untuk roh yang disemayamkan sedangkan altar merah untuk para dewa-dewa). Sedangkan untuk lilin ada dua yaitu lilin merah dan putih, lilin putih terletak di altar roh yang disemayamkan dan lilin merah untuk altar dewa-dewa, sesajian (biasanya buah-buahan) ranting bambu berkait kertas (tungwan), uang arwah (gin chua = uang emas, gim chua = uang perak), dua buah lampion, gokok (lima bahan pokok yang terdiri dari beras, kacang hitam, kacang hijau, kacang merah, kacang kedelai), lentong (gapura) lilin penerang jalan roh dan buku tongsu (semacam buku primbon untuk melihat hari baik).


(47)

Foto 1. Altar untuk roh pada upacara Bing Yi Guan.


(48)

Dupa merupakan salah benda yang paling umum dalam upacara-upacara keagamaan umat Tionghoa. Dupa yang terdapat dalam upacara Bing Yi Guan terdiri dari dua buah yang terletak di altar roh dan altar dewa-dewa.

Foto 3. Dupa untuk altar roh dan altar dewa.

Sesajian yang juga terdapat di altar dewa dan altar roh. Untuk altar dewa sesajian hanya terdiri dari buah-buahan, sedangkan untuk altar roh sesajian terdiri dari buah-buahan dan makanan (nasi, mie dan teh)


(49)

Pada masing-masing altar terdapat dua buah lilin. Untuk altar roh lilin yang dipakai adalah lilin berwarna putih. Untuk altar dewa-dewa lilin yang dipakai adalah lilin berwarna merah.

Foto 5. Lilin dewa dan lilin roh

Tungwan juga salah satu benda yang dipakai dalam upacara Bing Yi Guan. Tungwan adalah sebuah ranting bambu yang dikaitkan dengan kertas bertuliskan nama orang yang sudah meninggal. Tungwan ini dipercaya berguna sebagai media untuk memanggil roh orang yang sudah meninggal

Foto 6. Tungwan

Dalam upacara ini digunakan juga uang. Uang yang dipakai adalah uang arwah. Dalam kepercayaan mereka, arwah membutuhkan uang di alam kematiannya. Uang yang dipakai ada dua jenis, yaitu gin chua (uang emas) dan gim chua (uang perak). Uang ini nantinya akan dibakar bersama-sama dengan orang yang disemayamkan.


(50)

Foto 7. Sebelah kiri uang perak (gim chua), sebelah kanan uang emas (gin chua) Dalam upacara dipakai juga dua buah lampion. Lampion ini terletak di sebelah pada kedua sisi bagian atas altar roh. Lampion ini memiliki makna yang unik. Apabila lampion yang menyala terletak di sebelah kiri, maka merupakan pertanda bahwa yang meninggal adalah laki-laki. Begitu juga sebaliknya. Apabila kedua lampion menyala, maka kemungkinannya ada dua, yaitu yang meninggal masih muda atau pasangannya sudah mendahului (suami atau istrinya sudah lebih dahulu meninggal dunia). Pada tubuh lampion bertuliskan nama dan tanggal lahir orang yang meninggal.


(51)

Gokok merupakan lima bahan pokok yang dianggap sebagai bekal roh dialam selanjutnya. Gokok adalah lima bahan pokok untuk roh yang terdiri dari, beras, kacang hitam, kacang hijau, kacang merah dan kacang kedelai. Semua bahan pokok ini di bungkus dengan kain berwarna merah dan diletakkan diatas peti orang yang meninggal.

Foto 9. Gokok

Lentong atau gapura merupakan pintu masuk ke wilayah altar untuk roh. Pada lentong tertulis tentang kata-kata pujian terhadap orang yang meninggal, berikut biodata singkat dalam bentuk syair. Lentong terbuat dari kain dan kertas.


(52)

Lilin penerang jalan merupakan benda yang turut dipakai dalam upacara Bing Yi Guan. Lilin ini terletak di pintu masuk lokasi upacara. Keberadaan lilin ini diyakini untuk menerangi jalan arwah untuk mendatangi lokasi upacara.

Foto 11. Lilin penerang jalan

Buku tongsu adalah buku panduan untuk seorang Chaikong untuk melihat hari baik untuk penguburan atau pembakaran mayat yang disemayamkan.

3.2.4 Orang-orang dan Pemimpin Upacara.

Upacara Bing Yi Guan ini dilaksanakan oleh sebuah keluarga yang sedang mengalami musibah kematian. Upacara ini dipimpin oleh seorang Chaikong.


(53)

Foto 12. Seorang pemimpin upacara Bing Yi Guan (Chaikong)

. Foto 13. Keluarga yang melaksanakan upacara Bing Yi Guan.

3.3 Jalannya Upacara Bing Yi Guan

Upacara Bing Yi Guan memiliki empat tahapan dalam pelaksanaannya. Pada intinya keempat tahapan ini merupakan proses pembacaan doa. Namun untuk masing-masing tahapan terdapat perbedaan doa yang di tujukan.


(54)

Tahapan pertama, doa yang dipanjatkan kepada dewa-dewa. Doa yang ditujukan kepada dewa berisi puji-pujian dan ungkapan permisi untuk mengadakan upacara. Disamping itu, upacara ini juga bertujuan untuk mengundang dewa-dewa turun ke bumi sekaligus merestui pelaksanaannya.

Dalam pelaksanaan upacara ini, seorang Chaikong berdiri didepan altar dewa-dewa. Doa-doa yang dipanjatkan sekali-sekali berupa nyanyian, terkadang seperti membaca syair. Dari awal bagian pertama ini ensambel musik Chui Ko sudah dimainkan. Begitu juga dengan tahapan-tahapan selanjutnya.

Seorang Chaikong biasanya turut juga bermain musik. Alat musik yang dimainkannya adalah tang ling (lonceng kecil), boak (dua bilah kayu) dan lak

buak (dua buah simbal keci). Pola permainan yang dimainkan seperti membawa

tempo. Pada bagian pertama ini Chaikong berdoa untuk mengundang dewa-dewa agar berkenan hadir menyaksikan jalannya upacara sekaligus memainkan tang ling.

Setelah usai tahap yang pertama maka seluruh pendukung upacara beristirahat. Lama waktu istirahat bisa mencapai 15-20 menit. Biasanya kaum wanita mengambil kesibukan untuk melipat uang roh. Sedangkan kaum laki-laki menghabiskan masa istirahat dengan berkumpul dengan sanak saudara yang lain.

Biasanya pada masa istirahat kaum pelayat disuguhi dengan makanan ringan dan air minuman mineral. Yang paling umum disajikan adalah kacang tanah dan kue-kue kering. Panganan dan minuman biasanya sudah tersedia diatas meja, dan bagi setiap orang yang hadir tidak perlu sungkan untuk memakan atau meminumnya.


(55)

Foto 14. Suasana istirahat dalam upacara Bing Yi Guan.

Foto 15. Uang Roh yang telah dilipat

Setelah masa istirahat selesai, maka upacara dilanjutkan dengan tahapan kedua yaitu pembacaan doa untuk memanggil roh orang yang meninggal. Pemanggilan roh orang yang meninggal ini dilaksanakan diluar ruangan.

Masyarakat Tionghoa meyakini bahwa arwah orang baru meninggal biasanya masih bergentayangan di alam manusia. Sehingga butuh bimbingan/pembimbing untuk menghantarkannya ke alam roh. Salah satu tujuan


(56)

dari pelaksanaan upacara ini adalah mengantarkan roh tersebut ke alam semestinya.

Pada bagian kedua dari upacara Bing Yi Guan ini adalah mengundang roh untuk datang ke lokasi upacara. Sehingga roh tersebut dapat bertemu dengan dewa-dewa yang telah di undang sebelummnya dalam upacara bagian pertama, yang kemudian nantinya dewa-dewa inilah yang akan membawanya ke alam roh.

Upacara tahapan kedua ini diawali dengan pembacaan doa di luar ruangan.

Chaikong membawa tungwan yang bertuliskan nama orang yang meninggal

menghadap kepada lilin penerang jalan roh.

Foto 16. Tahapan pemanggilan roh.

Dengan adanya lilin penerang jalan roh, dan tungkwan bertuliskan nama maka roh dapat dengan mudah datang ke lokasi upacara dan bertemu dengan dewa-dewa.

Pada saat pembacaan doa diluar ruangan, diiringi dengan ensambel Chui

Ko. Seorang Chaikong juga turut menjadi salah seorang pemusik dengan


(57)

Setelah pemanggilan roh selesai maka upacara dilanjutkan didalam ruangan. Pada bagian ini roh dianggap telah turut serta di dalam upacara, sehingga pembacaan doa dilanjutkan dihadapan altar roh.

Foto 17. Upacara tahap kedua.

Selain membacakan doa, Chaikong juga menyebutkan satu persatu nama-nama anggota keluarga yang hadir dalam upacara tersebut. Tujuannya untuk menunjukkan bakti dari keluarga untuk terakhir kalinya. Pada bagian ini ensambel musik Chui Ko juga dimainkan.

Setelah usai tahapan kedua ini maka upacara dihentikan sejenak untuk beristirahat. Lama waktu istirahat juga hampir sama dengan tahapan pertama. Kegiatan yang dilakukan juga hampir sama dengan tahapan sebelumnya. Kaum wanita biasanya melanjutkan untuk melipat uang roh.

Setelah waktu istirahat selesai maka acara dilanjutkan dengan tahapan ketiga. Pada tahapan ketiga upacara ditujukan kepada dewa-dewa. Doa yang ditujukan kepada dewa semacam doa untuk pengampunan atas roh orang yang


(58)

sedang disemayamkan. Inti dari doa yang dibacakan oleh Chaikong adalah memohon kepada dewa-dewa agar sudi kiranya memperingan dosa-dosa berat dan menghapuskan dosa-dosa ringan.

Kemudian memohon kepada para dewa agar nantinya roh orang yang disemayamkan dibimbing untuk mencapai tempat yang selayaknya. Pada bagian ini ensambel musik Chui Ko juga dimainkan. Chaikong juga memainkan alat musik yaitu tang ling (lonceng kecil)

Foto 18. Pembacaan doa dengan iringan ensambel musik Chui Ko.

Setiap tahapan usai maka diselingi dengan istirahat, maka setelah usai bagian ketiga maka segenap pelaksana upacara beristirahat sejenak. Kegiatan yang dilakukan hampir sama dengan istirahat-istirahat sebelumnya.

Bagian keempat merupakan tahapan terakhir atau penutup dari upacara yang sedang dilaksanakan. Pada bagian penutup ini Chaikong mengucapkan terimakasih kepada para dewa-dewa, sekaligus semacam perlambangan untuk mengantarkan dewa untuk kembali (pulang). Sekaligus Chaikong juga memohon


(59)

agar sudi kiranya para dewa-dewa untuk membawa serta roh/arwah yang disemayamkan ke nirwana.

3.5 Penyajian Ensambel Chui Ko

Ensambel Chui Ko merupakan esambel yang disajikan untuk mengiringi pembacaan doa dalam upacara Bing Yi Guan. Penyajian ensambel ini dapat kita saksikan pada upacara persemayaman yang rutin dilaksanakan di Yayasan Persemayaman Angsapura Medan.

Ensambel Chui Ko ini biasanya dimainkan oleh tiga orang pemusik. Yang mana salah satu pemusiknya adalah pemimpin upacara yaitu Chaikong. Sehingga disamping sebagai pemimpin upacara, seorang Chaikong juga menjadi seorang pemusik.

Ensambel Chui Ko terdiri dari tujuh buah alat musik, yaitu : Loko sejenis gendang berbentuk barel (membranofon), Tita alat musik tiup (aerofon), Hie sejenis rebab (kordofon), Tang Ling sejenis lonceng (idiofon), Lak Buak dua buah simbal kecil (idiofon) Hun Lo gong tanpa pencu (idiofon), Boak dua buah kayu persegi empat yang saling dibenturkan (idiofon).

Chaikong memainkan alat musik tang ling, lak buak dan boak. Kemudian satu orang memainkan Loko dan Hun Lo. Satu orang lagi memainkan tita dan hie.

Loko dan Hun Loe dimainkan oleh satu orang pemain selama upacara

berlangsung. Kedua instrumen ini merupakan pembawa pola ritem. Sedangkan tita dan hie merupakan pembawa melodi, sehingga dimainkan secara bergantian dalam upacara.


(60)

Foto 19. Pemain instrumen musik hie


(61)

Foto 21. Lak Buak (sepasang simbal kecil)

Foto 22. Hun Lo (gong tanpa pencu)


(62)

Foto 24. Tang Ling (lonceng kecil)

Foto 25. Loko


(63)

BAB IV

PENGGUNAAN DAN FUNGSI ENSAMBEL CHUI KO

4.1 Penggunaan Ensambel Chui Ko

Dari hasil penelitian penulis melihat bahwa penggunaan ensambel Chui Ko dilaksanakan dalam sebuah upacara persemayaman dalam tradisi masyarakat Tionghoa yang dikenal dengan nama upacara Bing Yi Guan.

Berkenaan dengan penggunaan yang dikemukakan oleh Alan P. Merriam (1964:217-218) adalah sebagai berikut:

1. Penggunaan musik dengan kebudayaan material 2. Penggunaan musik dengan kelembagaan sosial 3. Penggunaan musik dengan manusia dan alam 4. Penggunaan musik dengan nilai-nilai estetika 5. Penggunaan musik dengan bahasa.

Dari beberapa pendapat diatas, penulis melihat bahwa, penggunaan ensambel Chui Ko berkaitan dengan pendapat pertama yaitu “penggunaan musik dengan kebudayaan material”, “penggunaan musik dengan manusia dan alam” serta pendapat kelima yaitu, “penggunaan musik dengan bahasa”.

4.1.1 Penggunaan Musik Dengan Kebudayaan Material

Bagi masyarakat Tionghoa, upacara Bing Yi Guan ini merupakan salah satu kebudayan yang sudah turun-temurun dilaksanakan. Sehingga dapat dikatakan bahwa upacara Bing Yi Guan merupakan salah satu kebudayaan material yang berkembang pada masyarakat Tionghoa.


(64)

Demikian juga dengan penggunaan ensambel Chui Ko, dimana ensambel ini sudah merupakan bagian dari pelaksanaan upacara Bing Yi Guan. Dari sudut pandang kebudayaan material maka dapat dikatakan bahwa musik yang disajikan oleh ensambel Chui Ko menjadi penggunaan musik dalam kebudayaan material.

4.1.2 Penggunaan Musik Dengan Manusia dan Alam

Penggunaan musik dengan manusia dan alam berhubungan dengan siklus kehidupan manusia. Dalam upacara Bing Yi Guan musik yang digunakan dianggap berkaitan dengan siklus kehidupan manusia. Dari lahir, kanak-kanak, remaja, dewasa, usia senja hingga meninggal. Setiap fase kehidupan ini masing-masing diceritakan dalam syair-syair yang dinyanyikan oleh Chai Kong. Latar belakang orang yang telah meninggal, kesehariannya semasa masih hidup di dunia, keluarga dan kebiasaan-kebiasaannya.

Selain itu musik yang dimainkan merupakan proses untuk mengantarkan manusia yang meninggal untuk kembali ke alam.

4.1.3 Penggunaan Musik Dengan Bahasa.

Penggunaan musik dengan bahasa, berkaitan dengan penyajian ensambel Chui Ko bersamaan dengan doa-doa yang yang dipanjatkan Chai Kong pada saat pelaksanaan upacara Bing Yi Guan. Biasanya pada saat berlangsungnya upacara Bing Yi Guan musik yang dimainkan berhubungan dengan intonasi/tekanan suara pada saat memanjatkan doa.


(65)

Selain itu, musik yang dimainkan juga berhubungan dengan gaya bahasa. Musik juga bisa menjadi pertanda untuk bagian-bagian doa yang dibacakan doa. Atau musik menjadi pengiring pembacaan doa.

4.2 Fungsi Ensambel Chui Ko

Untuk memahami fungsi musik ensambel Chui Ko penulis berpedoman pada pendapat Alan P Merriam (1964:209-226) yang mengatakan bahwa: “penggunaan musik meliputi pemakaian musik dalam konteksnya atau bagaimana musik tersebut digunakan. Sedangkan fungsi menyangkut tujuan pemakaian musik dalam pandangan luas : mengapa musik tersebut digunakan demikian”.

Menurut pendapat beliau sedikitnya ada sepuluh fungsi musik yaitu: 1. Fungsi pengungkapan emosional

2. Fungsi pengungkapan estetis 3. Fungsi hiburan

4. Fungsi komunikasi 5. Fungsi perlambangan 6. Fungsi reaksi jasmani

7. Fungsi yang berkaitan dengan norma sosial 8. Fungsi pengesahan lembaga sosial

9. Fungsi kesinambungan kebudayaan 10.Fungsi pengintegrasian masyarakat.


(66)

4.2.1 Fungsi Pengungkapan Emosional

Musik yang disajikan ensambel Chui Ko dalam upacara Bing Yi Guan, berkaitan dengan fungsi pengungkapan emosional. Kaitan yang dapat dilihat yaitu pada saat penyajiannya, musik merupakan wujud dari rasa kehilangan dan kesedihan.

Selain itu, musik yang disajikan memiliki makna yang dalam atas rasa penghormatan terhadap orang yang sudah meninggal. Kemudian penyajian ensambel Chui Ko pada upacara Bing Yi Guan merupakan symbol rasa ikhlas pihak keluarga untuk melepas kepergian orang yang meninggal ke alam orang-orang yang meninggal.

4.2.2 Fungsi Pengungkapan Estetis

Musik yang disajikan oleh ensambel Chui Ko memiliki fungsi pengungkapan estetis. Ungkapan estetis yang jelas terlihat dalam penyajian ensambel Chui Ko adalah alunan musik yang dimainkan merupakan salah satu wujud pengungkapan estetis.

Kemudian syair yang dinyanyikan oleh seorang Chai Kong juga merupakan pengungkapan estetis. Selain itu makna pengungkapan estetis berhubungan dengan keindahan pada saat pembacaan doa dengan alunan musik dan nyanyian. Sehingga diyakini bahwa para dewa akan berkenan menerima doa dan permohonan agar orang yang meninggal dapat di terima dengan baik. Sekaligus orang yang meninggal nantinya akan mendapat tempat yang layak di nirwana.


(67)

4.2.3 Fungsi Hiburan

Fungsi musik sebagai fungsi hiburan dalam upacara Bing Yi Guan, secara langsung tidak dapat dibuktikan. Tetapi kenyataannya alunan musik yang dimainkan oleh ensambel Chui Ko menjadi media penghiburan tersendiri bagi keluarga yang sedang berduka.

Sebagai contoh, dari iringan musik pada saat pembacaan doa-doa, memberikan keteduhan. Suasana khidmat tercipta seakan-akan melapangkan dada yang sedang sesak oleh rasa penderitaan atas kehilangan orang disayangi.

Dengan demikian secara tidak langsung fungsi musik sebagai fungsi hiburan, dapat kita kaitkan sebagai alunan musik dalam mengiringi pembacaan doa yang dipanjatkan oleh Chai Kong.

4.2.4 Fungsi Komunikasi

Musik berfungsi sebagai fungsi komunikasi memiliki pengertian yang cukup umum. Secara tidak sadar kita sering mengapresiasikan suasana dengan musik. Sebagai contoh, pada saat gembira manusia cenderung berdendang lagu gembira, begitu juga sebaliknya. Pada saat suasana hati sedang dirundung kesedihan maka dendang yang dilantunkan juga terkesan sendu. Secara tidak langsung lagu yang didendangkan dapat sebagai alat komunikasi yang dapat dimengerti oleh orang lain sebagai perwujudan suasana hati.

Pada upacara Bing Yi Guan, fungsi komunikasi dalam penyajian musik, memiliki beberapa bagian. Bagian pertama, musik sebagai media pengantar doa-doa yang disampaikan kepada para dewa. Maksudnya adalah, dari penggunaan musik yang dimainkan oleh ensambel Chui Ko dalam mengiringi doa yang


(68)

dibacakan oleh Chai Kong terdapat makna simbolik sebagai media yang mengantar doa sehingga sampailah kepada dewa-dewa yang dituju.

Disamping itu, ada keyakinan bahwa manusia tidak bisa langsung berhubungan dengan para dewa, sehingga musik menjadi mediator untuk komunikasi antara manusia dan dewa. Secara simbolik, makna yang terkandung dalam fungsi komunikasi ini adalah, alunan musik yang dimainkan oleh ensambel Chui Ko membawa doa yang dibacakan oleh Chai Kong hingga sampai ke alam para dewa.

Selain berkomunikasi kepada para dewa, musik juga berfungsi sebagai media komunikasi kepada roh orang yang telah meninggal. Masyarakat Tionghoa meyakini bahwa manusia yang masih hidup di dunia tidak dapat berkomunikasi secara langsung dengan roh orang yang telah meninggal. Namun melalui musik bahasa yang disampaikan dapat dimengerti dengan jelas.

4.2.5 Fungsi Perlambangan

Musik yang disajikan dalam upacara Bing Yi Guan memiliki fungsi perlambangan, yaitu berkaitan dengan mengapa ensambel Chui Ko dimainkan. Pengertian yang dapat diambil adalah apabila ensambel Chui Ko dimainkan/disajikan secara otomatis masyarakat Tionghoa langsung mengetahui bahwa upacara yang sedang berlangsung adalah upacara kematian.

Selain itu, hal-hal khusus dalam upacara juga dapat terlihat jelas dengan penyajian musik yang dimainkan oleh ensambel ini. Misalnya, musik yang dimainkan juga menandakan bagian per bagian dari upacara. Sehingga melalui musik yang dimainkan dapat diketahui jalannya upacara.


(69)

4.2.6 Fungsi Reaksi Jasmani

Fungsi reaksi jasmani yang dapat kita lihat dalam penyajian ensambel Chui Ko ini adalah, musik yang dimainkan menunjukkan reaksi jasmani yang bagi orang yang sedang dirundung duka.

Dengan dimainkannya musik yang disajikan oleh ensambel Chui Ko pada upacara Bing Yi Guan maka menunjukkan kepada masyarakat bahwa suatu yang bersifat kesedihan sedang terjadi, dalam hal ini adalah kehilangan orang yang kita sayangi.

4.2.7 Fungsi Musik Yang Berkaitan Dengan Norma Sosial

Untuk melihat fungsi penyajian ensambel Chui Ko yang berkaitan dengan fungsi musik dengan norma sosial, sebaiknya kita melihat kembali penggunaan ensambel Chui Ko dalam upacara Bing Yi Guan.

Maksudnya adalah, norma sosial yang dimaksud disini adalah dalam tradisi upacara kematian pada masyarakat etnis Tionghoa, sudah seyogianya ensambel Chui Ko dimainkan sebagai media penyampaian doa. Dengan adanya upacara Bing Yi Guan maka ensambel Chui Ko dapat memerankan fungsinya dengan baik sesuai dengan sudut pandang yang ingin kita lihat, dalam hal ini yang berkaitan dengan norma sosial.

Artinya tradisi yang telah turun temurun menyajikan ensambel Chui Ko dalam upacara Bing Yi Guan menjadi tolak ukur norma-norma dan aturan-aturan yang berlaku dimasyarakat tentang tata cara yang berhubungan dengan upacara kematian. Dengan demikian musik yang dimainkan secara otomatis mengambil peranannya sendiri dalam upacara itu, sehingga masyarakat secara otomatis


(70)

mengambil penilaina yang positif karena sesuai dengan apa yang telah berlaku dari dulu sampai sekarang.

4.2.8 Fungsi Pengesahan Lembaga Sosial

Fungsi pengesahan lembaga sosial yang dapat dilihat disini adalah, dengan dimainkannnya musik oleh ensambel Chui Ko maka jelaslah hal ini merupakan wujud dari pengesahan kelembagaan sosial atas orang yang sudah meninggal.

4.2.9 Fungsi Kesinambungan Kebudayaan

Ensambel Chui Ko dalam upacara Bing Yi Guan memiliki makna yang dalam khususnya di bidang kesinambungan kebudayaan. Dengan penyajian ensambel Chui Ko maka kesinambungan kebudayaan dapat tetap terpelihara.

Setiap bagian dari upacara Bing Yi Guan dapat terjaga keutuhannya. Secara tidak langsung hal ini akan berdampak dengan kesinambungan upacara Bing Yi Guan ini dimasa yang akan datang.


(71)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Upacara Bing Yi Guan yang melibatkan ensambel Chui Ko dalam pelaksanaannya menunjukkan bahwa kebudayaan itu saling berkaitan satu sama lain. Bahkan ensambel Chui Ko mendapat tempat tersendiri dalam pelaksanaan upacara Bing Yi Guan.

Dari hasil penelitian yang dilakukan, penulis melihat bahwa peranan ensambel ini sangat vital dalam pelaksanaan upacara tersebut. Dengan kata lain bahwa ensambel ini merupakan salah satu elemen dalam kegiatan upacara persemayaman etnis Tionghoa.

Disini penulis menemukan beberapa kesimpulan mengenai keberadaan ensambel Chui Ko dalam upacara Bing Yi Guan yaitu:

1. Upacara Bing Yi Guan merupakan suatu tradisi dalam upacara kematian pada masyarakat etnis Tionghoa, yang dalam pelaksanaannya terkandung beberapa elemen yaitu Chai Kong sebagai pemimpin upacara, ensambel Chui Ko sebagai pengiring jalannya upacara, pihak keluarga sebagai pendukung upacara dan orang yang disemayamkan sebagai objek upacara. 2. Upacara ini merupakan tradisi yang telah turun temurun dilaksanakan oleh

etnis Tionghoa.

3. Upacara ini merupakan suatu bukti kekayaan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, khususnya bagi masyarakat pendukungnya yaitu masyarakat Tionghoa.


(72)

4. Ensambel ini merupakan suatu bentuk kreatifitas bermusik, dan menjadi bagian dalam suatu upacara ritual

5. Ensambel ini menjadi identitas pribadi bagi masyarakat Tionghoa.

6. Penyajian ensambel ini secara khusus hanya dapat ditemukan dalam upacara persemayaman.

5.2 Saran

Dari hasil penelitian mengenai ensambel ini penulis melihat ada beberapa hal yang harus diperhatikan demi kelestarian kesenian ini sebagai wujud kepedulian kita terhadap kesenian.

Penulis melihat ensambel ini memiliki nilai-nilai seni yang tinggi dan layak dimasukkan sebagai salah satu aset pariwisata dan dapat digolongkan dalam kategori seni pertunjukan. Sehingga dengan meluangkan sedikit waktu dan perhatian untuk memoles bentuk kesenian ini maka nantinya tari ini akan dapat dikenal luas di kancah nasional bahkan tidak menutup kemungkinan akan populer di dunia internasional.

Disini penulis menyarankan kepada kita khususnya terhadap masyarakat etnis Tionghoa agar tetap mempertahankan keseniannya ini demi terpeliharanya kesenian tradisional sebagai salah satu kekayaan budaya nasional.

Saran penulis untuk generasi muda, khususnya generasi muda etnis Tionghoa, agar turut melestarikan kesenian ini dengan cara meregenerasikannya. Bagi yang hendak melakukan penelitian lebih lanjut mengenai ensambel kesenian ini, penulis bersedia untuk dijadikan mitra diskusi dan bertukar pikiran .


(73)

Akhir kata penulis mengatakan, bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna, dan dengan segala kerendahan hati penulis menerima kritikan yang sifatnya membangun.


(74)

DAFTAR PUSTAKA

Alfian Tranformasi Sosial Budaya Dalam Pembangunan Nasional 1986

Burhan Bungin Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Raja Grafindo Persada 2007 Jakarta

Edi Sedyawati Pertumbuhan Seni Pertunjukan 1981 Sinar Harapan, Jakarta

__________. Budaya Indonesia, Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah. 2007 Raja Grafindo Perkasa

Koentjaraningrat Pengantar Antropolog 1990 Jakarta, PT Rineka Cipta

1991 Metode-metode Penelitian Masyarakat Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama


(1)

mengambil penilaina yang positif karena sesuai dengan apa yang telah berlaku dari dulu sampai sekarang.

4.2.8 Fungsi Pengesahan Lembaga Sosial

Fungsi pengesahan lembaga sosial yang dapat dilihat disini adalah, dengan dimainkannnya musik oleh ensambel Chui Ko maka jelaslah hal ini merupakan wujud dari pengesahan kelembagaan sosial atas orang yang sudah meninggal.

4.2.9 Fungsi Kesinambungan Kebudayaan

Ensambel Chui Ko dalam upacara Bing Yi Guan memiliki makna yang dalam khususnya di bidang kesinambungan kebudayaan. Dengan penyajian ensambel Chui Ko maka kesinambungan kebudayaan dapat tetap terpelihara.

Setiap bagian dari upacara Bing Yi Guan dapat terjaga keutuhannya. Secara tidak langsung hal ini akan berdampak dengan kesinambungan upacara

Bing Yi Guan ini dimasa yang akan datang.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Upacara Bing Yi Guan yang melibatkan ensambel Chui Ko dalam pelaksanaannya menunjukkan bahwa kebudayaan itu saling berkaitan satu sama lain. Bahkan ensambel Chui Ko mendapat tempat tersendiri dalam pelaksanaan upacara Bing Yi Guan.

Dari hasil penelitian yang dilakukan, penulis melihat bahwa peranan ensambel ini sangat vital dalam pelaksanaan upacara tersebut. Dengan kata lain bahwa ensambel ini merupakan salah satu elemen dalam kegiatan upacara persemayaman etnis Tionghoa.

Disini penulis menemukan beberapa kesimpulan mengenai keberadaan ensambel Chui Ko dalam upacara Bing Yi Guan yaitu:

1. Upacara Bing Yi Guan merupakan suatu tradisi dalam upacara kematian pada masyarakat etnis Tionghoa, yang dalam pelaksanaannya terkandung beberapa elemen yaitu Chai Kong sebagai pemimpin upacara, ensambel

Chui Ko sebagai pengiring jalannya upacara, pihak keluarga sebagai pendukung upacara dan orang yang disemayamkan sebagai objek upacara. 2. Upacara ini merupakan tradisi yang telah turun temurun dilaksanakan oleh

etnis Tionghoa.

3. Upacara ini merupakan suatu bukti kekayaan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, khususnya bagi masyarakat pendukungnya yaitu masyarakat Tionghoa.


(3)

4. Ensambel ini merupakan suatu bentuk kreatifitas bermusik, dan menjadi bagian dalam suatu upacara ritual

5. Ensambel ini menjadi identitas pribadi bagi masyarakat Tionghoa.

6. Penyajian ensambel ini secara khusus hanya dapat ditemukan dalam upacara persemayaman.

5.2 Saran

Dari hasil penelitian mengenai ensambel ini penulis melihat ada beberapa hal yang harus diperhatikan demi kelestarian kesenian ini sebagai wujud kepedulian kita terhadap kesenian.

Penulis melihat ensambel ini memiliki nilai-nilai seni yang tinggi dan layak dimasukkan sebagai salah satu aset pariwisata dan dapat digolongkan dalam kategori seni pertunjukan. Sehingga dengan meluangkan sedikit waktu dan perhatian untuk memoles bentuk kesenian ini maka nantinya tari ini akan dapat dikenal luas di kancah nasional bahkan tidak menutup kemungkinan akan populer di dunia internasional.

Disini penulis menyarankan kepada kita khususnya terhadap masyarakat etnis Tionghoa agar tetap mempertahankan keseniannya ini demi terpeliharanya kesenian tradisional sebagai salah satu kekayaan budaya nasional.

Saran penulis untuk generasi muda, khususnya generasi muda etnis Tionghoa, agar turut melestarikan kesenian ini dengan cara meregenerasikannya. Bagi yang hendak melakukan penelitian lebih lanjut mengenai ensambel kesenian ini, penulis bersedia untuk dijadikan mitra diskusi dan bertukar pikiran .


(4)

Akhir kata penulis mengatakan, bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna, dan dengan segala kerendahan hati penulis menerima kritikan yang sifatnya membangun.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Alfian Tranformasi Sosial Budaya Dalam Pembangunan Nasional

1986

Burhan Bungin Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Raja Grafindo Persada 2007 Jakarta

Edi Sedyawati Pertumbuhan Seni Pertunjukan

1981 Sinar Harapan, Jakarta

__________. Budaya Indonesia, Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah.

2007 Raja Grafindo Perkasa

Koentjaraningrat Pengantar Antropolog

1990 Jakarta, PT Rineka Cipta

1991 Metode-metode Penelitian Masyarakat

Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama


(6)

Meriam , Alan P The Anthropology of Music

1964 Chicago : North Western University Press

Nettle, Bruno Theory and Method in Ethnomusicology

1964 New York : The Free Press of Glencoe

W.J.S Poerwadirmint Kamus Umum Bahasa Indonesia

1982 PN Balai Pustaka

Rahayu Supanggah Etnomusikologi

1995 Yogyakarta MSPI

Suryabrata, S Metodologi Peneletian