Sejarah Tionghoa di Kota Medan

2.2 Sejarah Tionghoa di Kota Medan

Tanah Deli, mulai terkenal setelah orang-orang Belanda, yang dipelopori Nienhuys, membuka perkebunan tembakau di sekitar Medan. Daun tembakau Deli, terkenal ke seluruh dunia dengan daun pembungkus cerutu yang paling baik. Hal ini telah menarik investor asing untuk membuka perkebunan tembakau, serta mendorong banyak orang pindah ke Deli untuk mencari nafkah. Nienhuys sendiri, kemudian memindahkan kantornya dari Labuhan ke kampung Medan Putri. Medan Putri, sebuah kampung kecil di dekat pertemuan Sungai Babura dan Sungai Deli. Menurut Tengku Lukman Sinar dalam bukunya “Riwayat Hamparan Perak”, kampung ini dibangun pada tahun 1590, oleh Raja Guru Patimpus, nenek moyang Datuk Hamparan Perak Duabelas Kuta dan Datu Suka Piring yaitu, dua dari empat kepala suku Kesultanan Deli. Sejarah perkembangan kampung Medan Putri menjadi kota Medan, memang tidak terlepas dari keberadaan Kesultanan Deli. Sejak itu pula, kampung Medan Putri mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan tersebut, mendorong pemerintah kolonial Belanda untuk memusatkan kegiatannya di kota Medan. Pada tahun 1870, Belanda membentuk Keresidenan Sumatera Timur dan menetapkan Medan sebagai ibukotanya pada tahun 1884. Pada tahun 1918, pemerintah kolonial Belanda, menetapkan Medan sebagai kotapraja, setelah membeli tanah seluas 15,83 km 2 dari Sultan Deli untuk kepentingan kota.Ketika itu, penduduk Medan telah berjumlah 43.826 jiwa yang terdiri dari sekitar 409 bangsa Eropah, 25.000 orang Universitas Sumatera Utara bangsa Indonesia, 8.269 orang bangsa Cina dan 130 orang bangsa Asia lainnya. Artinya, sejak dahulu kala, Medan telah dihuni oleh beragam bangsa. Untuk mendukung fungsi kota Medan, tahun 1908 Belanda membangun gedung Gemente, yang kemudian dikenal sebagai Balai Kota sekarang sudah dijadikan perpustakaan Pemko Medan. Pada tahun 1911, dibangun pula gedung kantor pos, yang sampai sekarang tetap digunakan dengan fungsi yang sama. Tidak jauh dari kantor pos dan balai kota, terdapat daerah pertokoan Kesawan yang mulai berdiri pada tahun 1876. Selama beberapa dasawarsa, daerah pertokoan ini, menjadi pusat perbelanjaan masyarakat Eropah dan mengalami kejayaan sampai tahun 60-an. Dengan sejarah yang sedemikian panjang, maka ditetapkan tanggal 1 Juli 1590, sebagai hari jadi Kotamadya Medan. Tionghoa di Medan berasal dari Provinsi HokkienHokian Fujian di selatan Cina. Kebanyakan dari mereka datang pada jaman Belanda sebagai kuli pekerja rel kereta api dan pekerja perkebunan tembakau di Medan dan sekitarnya. Banyak juga yang datang karena masalah sosial ekonomi di negara asalnya. Salah satu tokoh legendaris adalah Tjong A Fie, legenda hidup sampe sekarang, bahkan rumah peninggalannya masih berdiri megah dan menjadi salah satu landmark di Medan. Tjong A Fie pada jamannya menjadi panutan komunitas Tionghoa dan pribumi di Medan, sangat disegani oleh penjajah Belanda, dan diangkat menjadi Mayor sekelas walikota sekarang atau pemimpin komunitas Tionghoa di jamannya. Universitas Sumatera Utara Tjong A Fie, lahir di Moy Hian Kheh Canton, Cina. Sewaktu muda dia berlayar bersama abangnya dan akhirnya mendarat di Kampung Laboean, Medan tahun 1870. Disana mereka mendirikan kedai grosir. Kebetulan di sekitar wilayah itu banyak dihuni para kuli perkebunan yang juga baru dibuka. Keberadaan Tjong perlahan-lahan dikenal warga Medan sebagai penyedia berbagai keperluan. Pergaulannya pun meningkat sampai ke kalangan Istana Kesultanan Deli. Suatu saat, dia bersahabat dengan Tengku Radja Moeda yang sedang berkuasa.Kehadiran Tjong A Fie di Medan, memperkaya khasana wisata Sumatera Utara dengan meninggalkan satu bangunan bersejarah yang terlupakan, yang menyimpan kenangan akan pembauran di kota ini. Sebagai seorang pengusaha Cina, nama Tjong A Fie hingga kini melegenda. Kekayaan dan semangat pembaurannya tetap disebut-sebut warga kota ini. Ingatan itu kini hanya tersisa dengan sebuah bangunan antik berarsitektur Cina yang terletak di Jl. Ahmad Yani, kawasan Kesawan, Medan. Melewati pintu gerbang bergaya Tiongkok, kita langsung dihadapkan pada suasana khas Cina. Gerbang penuh lumut itu kini lebih sering ditutup dan hanya menyisakan celah kecil untuk keluar masuk.

2.3 Sistem Kekerabatan