Karoushi dalam Perusahaan Jepang

darah, penyumbatan darah ke otak, penyumbatan darah ke jantung dan lain-lain karena beban kerja yang berlebihan. Ada istilah yang dipakai untuk menggambarkan satu ciri khas orang Jepang dalam bekerja, yaitu bahwa orang Jepang itu hatarakisugi terlalu banyak bekerja. Hal ini terbukti pada frekuensi jam kerja yang sangat tinggi yang bisa mencapai 16 jam dalam sehari yang berkesinambungan, yang merupakan tuntutan kerja dan bentuk loyalitas pribadi terhadap perusahaan yang telah mempekerjakannya.

2.4.2 Karoushi dalam Perusahaan Jepang

Tuntutan hidup yang tinggi membuat seseorang harus bekerja dengan keras untuk mencukupi kebutuhannya tersebut. Tetapi apakah semata-mata karena untuk memenuhi tuntutan hidup itukah, maka pekerja di Jepang dikenal dengan sebutan hatarakisugi, bahkan sampai menjadi korban karoushi? Bukankah masih banyak negara-negara lain yang tingkat kesejahteraannya jauh berada di bawah Jepang, dan mempunyai tuntutan hidup yang lebih keras, tetapi mengapa sebutan hatarakisugi tidak diidentikan dengan mereka, rekor korban karoushi pun hingga saat ini masih dipegang oleh Jepang dan bahkan menjadi pusat perhatian dunia. Menurut Chie Nakane 1981:21, masyarakat Jepang adalah masyarakat yang menonjolkan kelompok kerja sama berdasarkan ba wadah, tempat, maksudnya jika seseorang telah menjadi anggota suatu kelompok, termasuk di dalamnya kelompok bekerja perusahaan maka orang tersebut akan mendahulukan kepentingan kelompoknya itu. Chie Nakane juga menyatakan perusahaan bagi orang Jepang ibarat satu keluarga, pimpinan adalah kepala Universitas Sumatera Utara keluarga dan bawahan sebagai anggota keluarga. Perusahaan adalah komunitas seorang pekerja, sedangkan rumah hanyalah sebagai tempat dimana ia tidur, perusahaan tidak dianggap semata-mata sebagai satu organisasi dimana seseorang terikat dengannya melalui kontrak, tapi dianggap sebagai tempat dimana seorang pekerja merupakan bagian darinya bahkan dianggap sebagai miliknya. Sebagai contoh, orang Jepang selalu memperkenalkan dirinya kepada orang lain dengan terlebih dahulu menyebutkan tempat dimana ia bekerja, bukan sebagai apa dia bekerja. Sebagai satu keluarga, perusahaan tidak hanya memperhatikan pekerjanya saja, tetapi juga keluarga pekerja tersebut, perusahaan menjamin kesejahteraan pekerja dan keluarganya dengan menyediakan berbagai fasilitas, dan tentu saja hal ini menguntungkan bagi perusahaan itu sendiri. Dengan adanya jaminan ini pekerja akan mendahulukan kepentingan perusahaan, mereka rela untuk bekerja ekstra meskipun tidak sesuai dengan kontrak kerja yang telah disepakati sebelum mulai bekerja. Mereka terbiasa untuk bekerja melebihi jam kerja yang telah diatur oleh undang-undang yang sah. Lagi pula pekerja yang pulang tepat pada waktunya tanpa lembur akan merasa malu karena seolah-olah itu menunjukkan kurangnya loyalitas mereka terhadap kelompok perusahaan dan ia pun akan terkucilkan. Kondisi inilah yang memungkinkan timbulnya saabisu zangyou, yaitu seseorang bekerja melebihi jam kerja yang telah disepakati melalui kontrak, tapi ia tidak memperoleh bayaran sesuai dengan lembur yang telah dilakukannya. Adalah hal yang biasa bagi para pekerja di perusahaan-perusahaan di Jepang untuk bekerja minimal 12 jam sehari. Mereka bahkan lebih memilih tidur Universitas Sumatera Utara di tempat yang telah disediakan oleh perusahaan daripada memilih pulang dan tidur di rumah, karena terlalu larut dan melelahkan untuk pulang ke rumah. Kebiasaan kerja 12 jam sehari ini tentu saja telah melanggar ketentuan jam kerja yang telah ditentukan di dalam rodou kijunhou UU Standar Perburuhan. Kebiasaan kerja 12 jam sehari ini terus berlangsung dan akhirnya secara tidak tertulis, kebiasaan ini dimaklumi dan diperbolehkan, sampai akhirnya mengganggu ritme kerja yang normal atau yang seharusnya. Kebiasaan kerja yang seperti ini mengakibatkan kelelahan yang akhirnya terjadi kerusakan fatal pada pekerja pekerja menderita penyakit karena kelelahan bekerja, bahkan sampai menyebabkan kematian http:www.workhealth.orgwhatsnewlpkarosh.html.

2.4.3 Nilai Kesetiaan dalam Karoushi

Dokumen yang terkait

Nihon Go No “TE” Ni Kansuru Kanyouku No Imi No Hikaku NO Bunseki

8 69 94

5 CM No Shousetsu Ni Tsuite No Bunseki

0 18 24

Nihongo No Bunshou Ni Okeru (Kibou) O Arawasu Toshite No –Tai To –Tagaru Toiu Jodoushi No Bunseki

5 98 64

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki

0 1 8

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki

0 0 1

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki

0 7 8

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki

0 0 15

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki Chapter III IV

0 0 19

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki

0 0 2

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki

0 0 5