Analisis Nilai Kesetiaan Bushidou Dihubungkan Dengan Karoushi Karoushi Ni Kansuru Bushidou No Chuujitsu No Kachi No Bunseki

(1)

ANALISIS NILAI KESETIAAN BUSHIDOU DIHUBUNGKAN

DENGAN KAROUSHI

KAROUSHI NI KANSURU BUSHIDOU NO CHUUJITSU NO

KACHI NO BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

JOHAN KRISTIAN NAPITUPULU

NIM : 040708048

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji, hormat dan kemuliaan hanya bagi Tuhan Yesus Kristus sumber kasih setia dan kemurahan hatiNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Hanya ucapan syukur dan terima kasih yang bisa penulis panjatkan kepadaNya, Tuhan adalah sumber segala pengetahuan dan kebjaksanaan yang senantiasa menyertai dan membimbing penulis.

Penulisan skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program sarjana pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Jurusan Sastra Jepang. Ada pun yang menjadi judul skripsi ini adalah “Analisis Nilai Kesetiaan Bushido Dihubungkan dengan Karoshi”.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulis tidak terlepas dari bimbingan, dorongan serta bantuan dari segala pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu antara lain :

1. Drs. Syaifudin, M.A, Ph.D selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D selaku Ketua Jurusan Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara, juga selaku Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu dan pikirannya dalam membantu pengerjaan skripsi ini.

3. Drs. Nandi S selaku Pembimbing I, yang telah banyak memberi masukan dan meluangkan waktu dan pikirannya bagi pengerjaan skripsi ini.


(3)

4. Para staf pengajar : Iio Koji Sensei, Eman Sensei, Amin Sensei, Yudi Sensei, Hani Sensei, Adriana Sensei, Puji Sensei, Muhibah Sensei, Erizal Sensei, Ali Sensei, Rani Sensei yang telah memberikan pengajaran bahasa dan sastra Jepang selama masa perkuliahan. Dan juga kepada pegawai staf administrasi jurusan Sastra Jepang yang telah banyak membantu kelancaran administrasi penulis.

5. Buat keluarga tercinta Ny. Nurkia Tiur Dame Simbolon Ibu yang telah membesarkan dan mendidik aku sejak kecil, yang selalu mendoakan selama aku kuliah di Medan, buat kakak aku Rosi Napitupulu beserta keluarganya keluarga Lubis yang telah banyak mendukung dan membantu selama aku kuliah di Medan, untuk abang aku Monang Napitupulu yang juga telah banyak membantu dan mendukung aku selama aku kuliah di Medan, juga buat abang aku Sahat Napitupulu terimakasih untuk dukungan dan doa dari kalian semua, Tuhan Yesus Memberkati.

6. Buat teman-teman anak Sastra Jepang angkatan 2004, terimakasih untuk pertemanan kita selama lebih dari 4 tahun.

7. Buat senior (senpai) angkatan 2000-2003 dan junior (kohai) angkatan 2005-2008, juga buat teman-teman di semua jurusan yang ada di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara terima kasih untuk pertemanan dan dukungannya, Tuhan Memberkati.

Medan, Desember 2008


(4)

DAFTAR ISI

HALAMAN

KATA PENGANTAR ………. i

DAFTAR ISI………. iii

BAB I PENDAHULUAN………. 1

1.1. Latar Belakang Masalah……….. 1

1.2. Perumusan Masalah……… 4

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan………... 5

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori……… 6

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian……… 12

1.6. Metode Penelitian……… 13

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP BUSHIDOU DAN KAROUSHI……… 14

2.1. Sejarah Lahirnya Bushidou………..……….. 14

2.1.1 Asal Mula Bushi……… 14

2.1.2 Bushidou dalam Feodalisme………. 17

2.2. Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Bushidou...………... 21

2.2.1. Nilai Kejujuran………..….. 21

2.2.2. Nilai Kesopanan…...……… 22

2.2.3. Nilai Kesetiaan………...……….. 22

2.2.4 Nilai Kehormatan………. 24

2.2.5 Nilai Kebajikan………. 25


(5)

2.3. Haihan Chiken dan Lahirnya Perusahaan

Jepang ………... 26

2.3.1. Haihan Chiken………..……….. 26

2.3.2. Lahirnya Perusahaan Jepang……….. 29

2.4. Karoushi………...………. 33

2.4.1. Pengertian Karoushi……….………... 33

2.4.2. Karoushi dalam Perusahaan Jepang...……….. 34

2.4.3. Nilai Kesetiaan dalam Karoushi………... 36

BAB III ANALISIS NILAI KESETIAAN BUSHIDOU DI HUBUNGKAN DENGAN KAROUSHI……… 41

3.1. Budaya Malu dalam Bushidou (junshi) dan Karoushi.….. 41

3.1.1 Kasus Junshi…..……….. 44

3.1.2 Kasus Karoushi……… 51

3.2. Analisis Kasus Bushidou (junshi) dan Karoushi………… 54

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN……….. 62

4.1. Kesimpulan……….. 62

4.2. Saran………. 63 DAFTAR PUSTAKA


(6)

ABSTRAK

“Analisis Nilai Kesetiaan Bushido Dihubungkan dengan Karoshi”

Masyarakat feodal di Jepang lahir bersamaan dengan lahirnya sistem wilayah yang dikelola oleh kizoku, dimana feodalisme merupakan penguasaan lahan tanah yang terpecah belah sebagai faktor produksi melalui kekuatan militer.

Pada zaman feodal di Jepang bushido merupakan konsep pengabdian diri bushi. Di dalam ajaran bushido terdapat nilai-nilai kejujuran, kesopanan, kesetiaan, kehormatan, kebajikan dan keteguhan hati. Pada awalnya konsep pengabdian diri bushi disebut dengan bushido yang ditandai dengan pengabdian diri yang mutlak dari anak buah terhadap tuannya, sehingga anak buah melakukan junshi yaitu bunuh diri mengikuti kematian tuannya. Namun pada zaman Edo Tokugawa konsep bushido diubah menjadi shido dimana kesetiaan bushi terhadap tuan diubah menjadi kesetiaan kepada shogun.

Bushi merupakan golongan masyarakat birokrat pada zaman Edo. Sejarah bushi sangat identik dengan sejarah feodalisme di Jepang, karena bushi itu sendiri lahir dari fungsinya sebagai pengawas di daerah pertanian yang pada mulanya mereka adalah petani, tetapi mereka dipersenjatai untuk menjalankan fungsi keamanan di dalam wilayah tuannya.

Setelah masa feodalisme di Jepang berakhir, Jepang mulai memasuki masa modern yang ditandai dengan adanya restorasi Meiji. Pada saat restorasi Meiji sistem wilayah yang dikuasai oleh daimyo diganti menjadi provinsi, lalu golongan masyarakat dihapuskan sehingga tidak ada lagi bushi dan golongan masyarakat lainnya.


(7)

Kesetiaan menjadi bagian dari sejarah peradaban bangsa Jepang sejak zaman samurai sampai zaman modern. Kesetiaan merupakan sifat yang dimiliki oleh bangsa Jepang yang telah membudaya, yang muncul dari adanya rasa solidaritas sehingga menimbulkan rasa kebersamaan dalam kehidupan sosial.

Kesetiaan adalah kesediaan melaksanakan perintah atau keinginan orang lain dengan mengorbankan kepentingan pribadi. Kesetiaan merupakan wujud balas budi seseorang terhadap budi baik orang lain. Bagi orang Jepang budi baik orang lain disebut on dan balasannya disebut dengan onegashi. Seluruh kewajiban membalaskan budi baik tersebut disebut dengan giri. Kesetiaan secara umum dibagi menjadi tiga unsur yaitu, setia karena situasi yang terdesak atau terpaksa, setia karena ajaran (moral), dan setia untuk mendapat keuntungan.

Kesetiaan merupakan sifat yang harus dimiliki oleh seorang samurai. Kesetiaan untuk kepentingan bersama dan tuannya merupakan pemenuhan kewajiban samurai untuk mentaati nilai-nilai bushido.

Keberhasilan masyarakat Jepang dalam perekonomian sekarang ini, juga dikarenakan sifat mereka yang loyal terhadap perusahaan tempat mereka bekerja. Karena besarnya rasa loyalitas yang dimiliki oleh orang Jepang, mereka rela bekerja keras untuk kemajuan perusahaannya.

Budaya malu yang ada dalam masyarakat Jepang merupakan ketidakmampuan membalaskan budi baik orang lain, sehingga mereka harus membalaskan budi baik orang lain. Karena bagi masyarakat Jepang mereka lebih mengutamakan penilaian dari masyarakat dari pada rasa takut.

Perilaku junshi yang dilakukan bushi merupakan salah satu cerminan perilaku dari adanya budaya rasa malu di Jepang. Prinsip ketidakmampuan


(8)

membalaskan budi baik tuan membuat mereka melakukan pengabdian yang mutlak diluar dari pemikiran rasional. Rasa malu mengakibatkan pengabdian yang paling tinggi yang dilakukan para bushi terhadap tuannnya. Dalam hal ini rasa malu bagi bushi dapat diartikan dengan jalan kematian sehingga menjadi pedoman bagi setiap bushi. Seorang bushi membalaskan budi baik tuannya dengan cara mengabdi sampai mati untuk tuannya dengan melakukan junshi. Apabila seorang bushi tidak melakukan junshi setelah kematian tuannya maka masyarakat akan menilainya bushi pengecut sehingga ia akan merasa malu.

Di dalam era modern budaya malu dapat dilihat dalam fenomena mengundurkan diri bagi para pejabat yang terlibat masalah korupsi atau gagal dalam menjalankan tugas mereka. Budaya malu telah mengalami perkembangan dan perubahan pada zaman sekarang ini, yang bisa dilihat dalam etos kerja masyarakat Jepang di dalam perusahaan. Pada zaman sekarang ini konsep balas budi tetap menjadi dasar dari budaya rasa malu. Dalam masyarakat perusahaan di Jepang balas budi diwujudkan dengan loyalitas terhadap perusahaan dengan kerja keras yang dibuktikan dengan frekuensi jam kerja yang sangat tinggi yang dilakukan oleh para pekerjanya.

Pada masa modern ini corak pengabdian diri bushi terlihat pada fenomena karoshi. Karoshi dapat diartikan kematian yang disebabkan karena terlalu banyak bekerja. Dalam karoshi konsep balas budi diwujudkan dengan loyalitas pekerja terhadap perusahaan tempatnya bekerja yang diwujudkan dengan frekuensi jam kerja yang tinggi. Karoshi terjadi karena pekerja mengalami stres akibat kelelahan dan frekuensi jam kerja yang tinggi hingga pekerja mengalami penyakit sampai akhirnya meninggal dunia.


(9)

Fenomena karoshi yang terjadi pada pekerja di Jepang, memiliki kesamaan dengan perilaku junshi yang dilakukan oleh kaum bushi, yaitu sebagai bentuk pengabdian terhadap atasan.

Hal yang membedakan antara junshi dan karoshi adalah bahwa perilaku junshi merupakan ajaran moral kaum bushi untuk mengabdi sampai mati kepada tuannya (bushido), sedangkan dalam fenomena karoshi kematian yang terjadi bukan karena diinginkan melainkan terjadi karena kelelahan, stres dan mengidap penyakit sebagai akibat dari frekuensi jam kerja yang tinggi, sebagai wujud loyalitas terhadap perusahaan.


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Masyarakat feodal atau 封建社会 (hokenshakai) lahir bersamaan dengan lahirnya shoenseido (sistem wilayah) yaitu wilayah pertanian yang berdiri sendiri terpisah dari pemerintahan Kaisar, wilayah tersebut dikelola oleh kizoku (keluarga bangsawan). Keluarga bangsawan disini adalah keturunan Kaisar yang tidak menjadi pewaris istana. Mereka menguasai bagian lahan, dengan mempunyai petani sendiri. Sistem ini berjalan sampai zaman Kamakura tahun 1185 (Situmorang, 2006:80).

Menurut Martin dalam Situmorang (2006:78) feodalisme adalah penguasaan lahan tanah yang terpecah belah sebagai faktor produksi melalui kekuatan militer, dimana kaum feodal menyediakan keamanan bagi petani sehingga para petani dapat mengerjakan lahannya. Sedangkan pembagian hasil ditentukan oleh tuan feodal sehingga petani tidak bisa hidup menjadi kuat, tetapi harus selalu tergantung pada tuannya. Feodalisme awal yang terjadi di Jepang tersebut berpusat pada kesetiaan pengabdian diri 武士 bushi (golongan militer) kepada tuannya.

Feodalisme di Jepang diawali pada zaman Kamakura (1185) hingga zaman Edo (1600), feodalisme pada zaman Kamakura tersebut berpusat pada kesetiaan dan pengabdian diri bushi kepada tuannya. Untuk memantapkan kekuasaannya, pemerintah Tokugawa pada zaman Edo mengajarkan 士道 shido (jalan bushi baru)


(11)

sebagai ideologi baru bagi para bushi di Jepang yang beraliran kesetiaan terhadap keShogunan.

Watsuji dalam Situmorang (1995:21) mengatakan bahwa etos pengabdian diri bushi sebelum zaman Edo adalah kesetiaan pengabdian diri kepada tuan yang didasarkan pada ajaran Buddha Zen, sedangkan pemerintah Tokugawa pada zaman Edo berusaha mengubahnya dengan dasar ajaran Konfusionis yang disebut dengan shidō.

Kondisi pada zaman feodal ini dimanfaatkan oleh kaum birokrat untuk mendidik sifat-sifat yang terkandung dalam ajaran bushidou kepada seluruh bushi. Salah satunya adalah sifat kesetiaan, sebab kesetiaan kepada tuannya merupakan hal yang paling penting. Maka dari itu setiap bushi harus menanamkan sifat setia yang tinggi terhadap tuannya di dalam hati mereka masing-masing.

Bushi merupakan golongan masyarakat birokrat pada zaman Edo. Sejarah bushi sangat identik dengan sejarah feodalisme di Jepang, karena bushi itu sendiri lahir dari fungsinya sebagai pengawas di daerah pertanian yang pada mulanya mereka adalah petani juga, tetapi mereka dipersenjatai untuk menangkal kekuatan dari para perampok atau para penyerang dari wilayah lain, atau juga untuk menjalankan fungsi keamanan di dalam wilayah tuannya (Situmorang, 2006:79).

Keberhasilan masyarakat Jepang dalam perekonomian terutama bidang industri sekarang ini juga dikarenakan sifat mereka yang loyal atau setia terhadap perusahaan tempat mereka bekerja. Karena besarnya rasa loyalitas atau kesetiaan yang dimiliki oleh orang Jepang, maka mereka rela bekerja keras dan tidak mau dikalahkan oleh keadaan serta pandai dalam memanfaatkan kesempatan yang ada.


(12)

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan Jepang dalam industri, antara lain :

1. Strategi yang tepat dalam menghubungkan produksi dengan perdagangan dan adanya kerjasama yang erat antara pemerintah dan pengusaha.

2. Kerajinan kerja orang Jepang yang melampaui jam kerja buruh negara-negara industri lainnya. Selain itu tingkat absensi di Jepang lebih rendah, sumber dari kerajinan kerja tersebut adalah kebanggaan buruh atau pegawai pada perusahaan tempat mereka bekerja.

3. Hasil manajemen perusahaan Jepang. Sebagai akibat dari manajemen, kesetiaan serta kebanggaan buruh pada perusahaannya, maka kaum buruh tidak ragu-ragu memberikan kontribusi kepada perusahaan (Suryohadiprojo, 1982:89).

Masyarakat Jepang adalah masyarakat yang menonjolkan kelompok kerjasama yang disebut ba (wadah atau tempat), maksudnya jika seseorang telah menjadi anggota suatu kelompok, termasuk di dalamnya kelompok bekerja (perusahaan) maka orang tersebut akan mendahulukan kepentingan kelompoknya itu. Chie Nakane menyatakan perusahaan bagi orang Jepang ibarat satu keluarga, pimpinan adalah kepala keluarga dan bawahan sebagai anggota keluarga (Nakane, 1981:21).

Menurut survei yang dilakukan oleh Kementerian Tenaga Kerja, dengan mempertimbangkan rata-ratanya secara keseluruhan, buruh yang merasakan bahwa kehidupan ini adalah paling berharga pada saat mereka sedang mencurahkan perhatian kepada pekerjaan mereka dan pada saat mereka memperoleh pengakuan dari orang-orang lain karena pekerjaannya itu berjumlah


(13)

sampai 37 %, mereka beranggapan bahwa kemampuan mereka terungkap dalam pekerjaan mereka, tanpa memandang besarnya perusahaan tempat mereka bekerja dan apakah mereka itu adalah buruh kasar atau pegawai (Fukutake, 1988:120).

Pada umumnya para pekerja di Jepang mulai bekerja sejak pukul 08:00 pagi dan pulang pada pukul 17:00 sore, namun sebagian pegawai di Jepang lebih senang melanjutkan sisa pekerjaannya (zangyo) di kantor, kadang-kadang mereka bekerja hingga larut malam dan bahkan tidur di tempat mereka bekerja. Hal tersebut menyebabkan terjadinya 過労死 karoushi (kematian pekerja yang disebabkan oleh stress dan kelelahan akibat kerja yang berlebihan) dan karōshi ini membuktikan bahwa frekuensi jam kerja di Jepang masih sangat tinggi dan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kematian yang dikategorikan dengan karōshi selalu berhubungan dengan jam kerja yang tinggi, shift kerja dan jadwal kerja yang tidak teratur yang kebanyakan mereka telah bekerja lebih dari 3000 jam per tahunnya sampai akhirnya kelelahan dan meninggal dunia.

Tetapi karoushi pun terjadi karena keinginan dari diri sendiri sebagai bentuk loyalitas atau kesetiaan yang sudah mendasar dalam diri orang Jepang sejak dulu, seperti kesetiaan yang dimiliki oleh bushi. Atas dasar hal itulah

penulis tertarik untuk membahas nilai kesetiaan yang terdapat dalam karōshi

secara khusus melalui skripsi yang berjudul “ANALISIS NILAI KESETIAAN BUSHIDOU DIHUBUNGKAN DENGAN KAROUSHI”.

1.2 Perumusan Masalah

Kesetiaan yang diterapkan dalam ajaran bushidou adalah kesetiaan seorang bushi dalam menjalankan tugas yang diberikan oleh tuannya. Dalam


(14)

menjalankan tugasnya ini mereka dituntut untuk tunduk terhadap aturan-aturan yang ditetapkan oleh tuannya. Dan pada saat ini kesetiaan yang dimiliki bushidou ini dapat dilihat pada kehidupan masyarakat Jepang, salah satunya adalah kesetiaan yang dimiliki seorang pekerja / karyawan terhadap perusahaannya.

Sebagai seorang karyawan yang bekerja pada sebuah perusahaan, ia sangat setia, bekerja keras dan rela mengorbankan kepentingan pribadinya hingga menyebabkan karoushi, yaitu kematian akibat kelelahan bekerja. Ini dilakukan sebagai suatu bentuk tanggung jawab dan loyalitasnya terhadap perusahaan.

Berdasarkan hal tersebut, penulis mencoba menjawab masalah yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah nilai kesetiaan yang terdapat dalam bushidou? 2. Bagaimanakah fenomena karoushi yang terjadi di Jepang?

3. Bagaimanakah nilai kesetiaan bushidou dihubungkan dengan karoushi?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dari permasalahan-permasalahan yang ada maka penulis menganggap perlu adanya pembatasan ruang lingkup dalam pembahasan. Hal ini dimaksudkan agar masalah penelitian tidak menjadi terlalu luas dan berkembang jauh, sehingga penulisan dapat lebih terarah dan terfokus.

Dalam skripsi ini, penulis hanya akan membatasi ruang lingkup pembahasan yang difokuskan pada nilai-nilai kesetiaan bushidou dalam karoushi berdasarkan ajaran bushidou. Untuk mendukung pembahasan akan diterangkan juga tentang hal-hal yang berkaitan langsung dengan bushidou dan karoushi.


(15)

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka

Macluer dan Page dalam Soekanto (2003:24), mengatakan bahwa masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan dan tata krama, dari wewenang dan kerjasama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dan pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia.

Masyarakat pada zaman feodal Jepang mulai berkembang dan penguasaan lahan tanah yang terpecah belah sebagai faktor produksi melalui kekuatan militer, dimana kaum feodal menyediakan keamanan bagi petani sehingga para petani dapat mengerjakan lahannya. Sedangkan pembagian hasil ditentukan oleh tuan feodal sehingga petani tidak bisa hidup menjadi kuat, tetapi selalu tergantung pada tuannya.

Menurut Martin dalam Situmorang (1995:1) mengatakan bahwa masyarakat feodal adalah masyarakat yang militeristik yang hidup “di atas” tanah yang terpecah belah. Hal ini terjadi karena lahirnya banyak penguasa feodal yang memberikan perlindungan atas faktor produksi, terutama tanah kepada petani. Penguasa militer dengan perantara prajurit menekan pajak setinggi-tingginya dari petani sehingga petani tersebut hidupnya tergantung pada penguasa militer tersebut.

Dalam pemerintahan yang berdasarkan feodalisme atau kebudayaan feodal ini, Jepang mempunyai golongan militer yang sangat kuat bahkan dalam stratifikasi masyarakat pada saat itu menduduki tingkat pertama. Golongan militer ini disebut dengan bushi.


(16)

Situmorang (1995:11) menjelaskan bahwa pada awalnya bushi adalah kelompok petani yang dipersenjatai untuk mengabdi kepada tuannya kizoku (keluarga bangsawan), tetapi kemudian setelah mereka berhasil menjalankan perannya yang besar dalam menjaga eksistensi dozoku tuannya tersebut, lama kelamaan mereka tidak bergantung lagi pada kizoku. Malah sebaliknya, kizoku akhirnya tergantung pada bushi sehingga kelompok bushi tersebut menjadi kelompok yang disegani, sama dengan kizoku.

Dalam zaman feodalisme di Jepang baik sebelum maupun pada saat zaman Edo sudah ada dirumuskan suatu konsep etos pengabdian diri bushi terhadap tuannya yang dikenal dengan bushidō atau jalan hidup bushi. Benedict (1982:333) mengatakan bushidou adalah perpaduan antara keadilan, keberanian, kebaikan hati, kehormatan, kesopanan, kesetiaan, dan pengendalian diri. Situmorang (1995:21) mengatakan bushidō yang ada di Jepang sebelum dipengaruhi oleh ajaran shido dari Tokugawa, telah ada semenjak adanya bushi di Jepang yang disebut dengan bushidou lama. Bushidou lama dapat ditandai dengan pengabdian diri yang mutlak dari anak buah terhadap tuannya. Mereka mampu untuk melakukan 殉死 junshi (bunuh diri mengikuti tuannya), ataupun juga mampu mewujudkan 仇討ち adauchi (balas dendam tuannya). Dalam hal ini terkandung adanya kesetiaan bushi terhadap tuannya, yaitu kesetiaan pengabdian yang di dasarkan pada ajaran bushidou.

Bushidou (jalan prajurit) sangatlah penting bagi setiap upaya mempelajari nilai-nilai dan etika masa Tokugawa dan masa Jepang modern. Hal ini disebabkan karena bushi atau samurai memadukan nilai-nilai budaya Jepang, dan juga baik


(17)

pada masa Tokugawa maupun zaman modern, etika bushidou ini telah menjadi etika nasional bangsa Jepang.

Menurut Situmorang dalam Wulandari (2005:13) mengatakan Kesetiaan adalah kesediaan melaksanakan perintah atau keinginan orang lain dengan mengorbankan kepentingan pribadi.

Selanjutnya diterangkan juga menurut Situmorang dalam Wulandari (2005:13), kesetiaan secara umum dapat dibagi menjadi tiga unsur yaitu, setia karena situasi yang terdesak atau terpaksa, setia karena ajaran (moral), dan setia karena untuk mendapat keuntungan (ekonomi).

Kesetiaan masyarakat Jepang merupakan wujud balas budi terhadap budi baik atasan, negara, dan juga orang tua. Budi baik orang lain disebut dengan on dan balasannya disebut dengan onegashi, balas budi baik atasan disebut dengan chu dan balas budi baik terhadap orang tua disebut dengan ko, seluruh kewajiban membalaskan budi baik tersebut disebut dengan giri.

Balas budi kelihatan juga dalam pandangan koshikannen (公私観念 / publik dan privat). Ko = publik atau juga atasan, sedangkan shi = pribadi atau bawahan. Kepentingan pribadi harus tunduk kepada kepentingan umum, atau juga harus tunduk kepada kepentingan perusahaan, atau kepentingan bawahan harus tunduk kepada kepentingan atasan. Ketika kepentingan privat tunduk kepada kepentingan umum, disinilah adanya chu (忠). Pada masyarakat Jepang lebih mengutamakan chu daripada ko, artinya lebih mengutamakan balas budi terhadap atasan, atau perusahaan daripada balas budi terhadap orang tua. Ketidakmampuan membalaskan budi inilah rasa malu yang paling besar bagi masyarakat Jepang. Oleh karena itu rasa malu mengakibatkan pengabdian yang paling tinggi. Dalam


(18)

bushidou pengabdian tersebut diungkapkan dalam kata ‘shinukotowomitsuketari’ (menemukan jalan kematian) yaitu dalam perilaku junshi (bunuh diri mengikut i kematian tuan), dan dalam perusahaan Jepang sekarang ada istilah karoushi (mati karena kebanyakan kerja) (Situmorang, 2008:9).

Watsuji dalam Situmorang (1995:21) mengatakan, penyebab yang mendorong pengikut yang dekat dengan tuan melakukan junshi, adalah karena di dalam ie terjadi jalinan hubungan yang sangat erat antara tuan dan pengikut yang telah berlangsung dari generasi ke generasi antara tuan dan anak buah. Karena itu anak buah berpikiran bahwa segala sesuatu yang diterimanya selama hidup merupakan on (budi) dari tuan, yang harus dibayar dengan chu (penghormatan terhadap tuan), yang diwujudkan dengan giri (balas budi).

Pada saat sekarang ini kesetiaan pengabdian yang didasarkan pada ajaran bushidou inilah yang masih diterapkan dalam dunia industri Jepang, yaitu kesetiaan seorang karyawan terhadap perusahaan tempat mereka bekerja. Sebagai wujud balas budi karyawan perusahaan di Jepang mau bekerja keras untuk kemajuan perusahaannya. Kesetiaan ini jugalah yang menyebabkan orang Jepang meninggal karena kelelahan bekerja yang disebut dengan istilah karoushi. Karoushi adalah suatu fenomena sosio-medis dimana terjadi kematian secara mendadak yang disebabkan oleh stress yang menumpuk, terlalu banyak bekerja baik fisik maupun mental atau dapat diartikan kematian yang disebabkan karena terlalu banyak bekerja.


(19)

1.4.2 Kerangka Teori

Dalam sebuah penelitian diperlukan suatu teori pendekatan yang menjadi suatu acuan bagi penulis dalam menganalisis perilaku atau fenomena yang terjadi di masyarakat, khususnya masyarakat Jepang. Oleh karena itu, penulis menggunakan pendekatan sosiologis dan pendekatan historis di dalam menganalisis hal tersebut di atas.

Penulis akan menganalisis suatu peristiwa untuk dapat menyampaikan berbagai macam tujuan, termasuk di dalamnya pesan atau nilai kebudayaan dalam bushidou yang tercermin dalam karoushi.

Menurut Soekanto (2003:27) suatu teori pada hakikatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Suatu teori akan sangat berguna dalam mengembangkan fakta, membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan definisi-definisi yang penting untuk penelitian.

Menurut Weber dalam Situmorang (1995:3) mengatakan bahwa kebudayaan (culture) bagi telaah sosiologis diartikan sebagai seluruh cara hidup manusia, dari hasil kerajinan tangan dan pola sikap sampai ke ide-ide serta cita-citanya. Dia menamakan gejala ini ‘ethos’. Ethos berarti sekalian sifat yang menjadi ke khasan seseorang, golongan atau suatu lembaga. Tujuan menggunakan istilah ini adalah untuk menunjukkan apa yang dipentingkan oleh seseorang untuk menunjukkan komitmen pribadi setiap individu dalam masyarakat terhadap sekalian masyarakat atau grup berstatus tertentu, mulai dari pola sikap sampai kepada cita-cita material ideal.


(20)

Menurut Soekanto (1985:2) mengatakan bahwa sosiologi bertujuan mempelajari semua aspek sosial kehidupan manusia, secara ilmiah. Sebagai cerminan kehidupan masyarakat, sosiologis terfokus pada segi-segi sosial kemasyarakatan dan juga mempersoalkan segi-segi yang menunjang pembinaan dan peningkatan pengembangan dalam tata cara kehidupan.

Pendekatan sosiologis merupakan proses pengungkapan kebenaran yang didasarkan pada penggunaan konsep-konsep dasar yang dikenal dalam sosiologi sebagai ilmu. Konsep-konsep dasar tersebut merupakan sarana ilmiah yang dipergunakan untuk mengungkapkan kebenaran yang ada dalam masyarakat dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat (Soekanto, 2003:411). Pendekatan sosiologis menganalisis manusia dalam masyarakat dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu.

Dalam hal ini penulis menganalisis dengan menggunakan pendekatan sosiologis karena pendekatan sosiologis digunakan untuk membantu memahami kesetiaan bushi terhadap tuannya, karyawan terhadap perusahaannya, serta memahami kehidupan manusia dalam masyarakat.

Untuk memahami peristiwa-peristiwa pada zaman dahulu di Jepang, pada zaman Edo yang mengungkapkan kesetiaan bushi maka penulis juga menggunakan pendekatan historis untuk melihat latar belakang sejarah ajaran bushidou dalam kehidupan orang Jepang serta memahami unsur-unsur sejarahnya dan juga agar penelitian ini dapat dilihat dari perspektif serta waktu terjadinya fenomena-fenomena yang diselidiki.

Kevin dalam Kaelan (2005:61) berpendapat bahwa sejarah adalah pengetahuan yang tepat terhadap apa yang telah terjadi. Sejarah adalah deskripsi


(21)

yang terpadu dari keadaan-keadaan, kejadian-kejadian atau fakta-fakta yang terjadi di masa lampau yang di tulis berdasarkan penelitian serta studi yang kritis untuk mencari kebenaran. Kartodirjo dalam Kaelan (2005:61) juga mengatakan bahwa ilmu sejarah adalah ilmu yang membahas peristiwa di masa lampau, yang mengungkapkan fakta mengenai apa, kapan dan di mana, serta juga menerangkan bagaimana sesuatu itu terjadi beserta sebab akibatnya.

Ratna (2004:65) berpendapat bahwa pendekatan historis memusatkan perhatian pada masalah bagaimana hubungannya terhadap karya yang lain, sehingga dapat diketahui kualitas unsur-unsur kesejarahannya. Pada umumnya pendekatan historis dikaitkan dengan kompetensi sejarah umum yang dianggap relevan.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui nilai-nilai kesetiaan yang tercermin dalam ajaran bushidou.

2.. Untuk mengetahui fenomena karoushi yang banyak terjadi di Jepang. 3. Untuk mengetahui nilai kesetiaan bushidou yang di hubungkan dengan

karoushi.

1.5.2 Manfaat Penelitian

1. Dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang ajaran bushidou dan fenomena karoushi yang terjadi di Jepang.


(22)

2. Dapat menambah wawasan dan mengetahui perwujudan nilai-nilai kesetiaan bushidou dalam karoushi.

1.6 Metode Penelitian

Di dalam melakukan sebuah penelitian dibutuhkan metode sebagai penunjang untuk mencapai tujuan. Metode adalah cara melaksanakan penelitian. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif. Menurut Koentjaraningrat (1976:30), penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu.

Dalam mengumpulkan data-data penelitian ini, penulis menggunakan teknik studi kepustakaan (library research), dengan mengambil sumber acuan dari berbagai buku dan artikel yang berhubungan dengan bushidou, karoushi, sejarah Jepang serta buku-buku panduan sosiologis, historis dan buku-buku lainnya sebagai literatur tambahan.

Semua data tersebut penulis peroleh dari fasilitas yang tersedia di Perpustakaan umum Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Program Studi Bahasa dan Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Konsulat Jendral Jepang Medan, juga diperoleh dari berbagai jurnal, artikel, dan berbagai situs internet.


(23)

BAB II

TINJAUAN UMUM BUSHIDOU DAN KAROUSHI

2.1. Sejarah Lahirnya Bushi 2.1.1. Asal Mula Bushi

Era feodalisme di Jepang telah mengalami perubahan sejak zaman Kamakura sampai pada zaman Edo sehingga ada perbedaan feodalisme awal dan feodalisme akhir. Masa feodalisme di Jepang sangat erat kaitannya dengan bushi dimana feodalisme awal pada zaman Kamakura berpusat pada kesetiaan pengabdian diri bushi kepada tuannya yang diubah menjadi pengabdian diri terhadap shogun (shido) pada zaman Edo.

Sebelum zaman feodal, sistem pemerintahan dikenal dengan sistem ritsuryo yang berlaku sampai zaman Heian (abad 7 sampai abad 12). Dalam sistem ritsuryo, Tenno (kaisar) adalah penguasa administrasi pemerintahan tertinggi, dan para kizoku (keluarga bangsawan), yang merupakan kerabat Tenno, bertugas sebagai pelaksana administrasi pemerintahan di pusat dan di daerah (Situmorang, 1995:9-10).

Pada masa itu belum dikenal adanya sistem kepemilikan dan penguasaan tanah secara pribadi, dan sistem kepemilikan tanah pada masa itu disebut dengan sistem kochi komin atau wilayah umum dan masyarakat umum. Dalam perkembangan selanjutnya lahir kelompok kerjasama petani (sonraku kyodo tai) di bawah pimpinan kizoku. Pada waktu itu kaum kizoku bertugas sebagai pekerja administrasi ritsuryo, dan ada juga yang bertugas sebagai pemimpin kuil.


(24)

Kelompok sonraku kyodo tai terpisah dari pemerintahan ritsuryo. Sehingga para petani banyak meninggalkan kewajiban kochi komin dan masuk ke dalam kelompok pertanian kizoku, karena di dalam pertanian kizoku mereka mendapat keamanan dan perlindungan kizoku. Selain itu mereka juga diberi kebebasan menguasai sendiri bagian lahan pertanian yang disebut dengan kubunden sei (sistem pembagian lahan pertanian), dan di dalamnya mereka diakui juga sebagai anggota ie (keluarga) kizoku tersebut.

Tanah pertanian kizoku yang terpisah dari sistem ritsuryo dinamakan dengan shoen. Penggarapan shoen ini melahirkan ie yang keanggotaannya bukan terbatas hanya pada hubungan darah saja. Kemudian di dalam ie tersebut lahir hubungan atasan dan bawahan yang disebut dengan mibunsei yaitu sistem jenjang kedudukan antara tuan dengan pengikut di dalam ie. Kelompok tersebut diikat dengan pemujaan satu dewa yang sama, kelompok-kelompok ini dinamakan dozoku.

Persaingan antara kelompok-kelompok dozoku untuk menguasai shoen lain mengakibatkan mereka saling berperang. Untuk itulah mereka membentuk pasukan bersenjata yang disebut dengan bushi, yang sebelumnya hanyalah petani biasa yang dipersenjatai. Sebelumnya dalam sistem ritsuryo, pasukan diambil dari masyarakat umum dengan persenjataan yang hanya boleh dimiliki oleh pemerintah ritsuryo. Tetapi kemudian karena para kizoku pemilik shoen dan kizoku penguasa kuil membentuk serdadu, maka terbentuklah sistem pertahanan dengan sistem bushi dimana-mana.

Pada awalnya, bushi adalah kelompok bersenjata yang mengabdi pada tuan kizoku, tetapi kemudian setelah mereka berhasil menjalankan perannya yang


(25)

besar dalam menjaga eksistensi dozoku, lama kelamaan mereka tidak bergantung pada kizoku justru sebaliknya kizoku akhirnya bergantung pada bushi sehingga kelompok bushi menjadi kelompok yang disegani, sama dengan kizoku.

Pada zaman Heian (abad 8-12), keluarga bangsawan Fujiwara yang berstatus sebagai kizoku berhasil mengadakan pendekatan secara kekeluargaan dengan keluarga tenno dengan cara mengawinkan putra-putri mereka. Dari hasil hubungan kekeluargaan tersebut, pada tahun 1017, Fujiwara no Michinaga diangkat sebagai kanpaku (wali kaisar dalam menjalankan pemerintahan) karena kaisar pada waktu itu sedang melaksanakan insei (tinggal di kuil mengisolasi diri dari masyarakat) (Situmorang, 1995:11).

Pada waktu kaisar melakukan insei, banyak terjadi keributan di daerah, di antara sesama kizoku terjadi perang, kizoku yang lemah harus bersatu dengan kizoku yang kuat sehingga melahirkan banyak ie kizoku yang kuat. Kemudian dengan meluasnya hubungan antara tuan dan anak buah mengakibatkan lahirnya peringkat-peringkat pada kalangan kizoku. Hal inilah yang merupakan awal dari lahirnya sistem feodal di Jepang, yang kemudian memunculkan pemimpin-pemimpin bushi yang menyatukan kekuatan bushi menjadi bushi yang besar yang disebut bushi no toryo (penanggung jawab bushi) yang dipimpin oleh keturunan bushi bangsawan (kizoku) yang tinggal di daerah, di antaranya yang paling terkenal adalah keluarga Taira (Heishi) dan keluraga Minamoto (Genji) (Situmorang, 1995:11-12).


(26)

2.1.2 Bushidou dalam Feodalisme

Masa feodalisme di Jepang yang terjadi pada zaman Kamakura (1185) di awali dengan peperangan antara keluarga Minamoto dengan keluarga Taira yang merupakan penanggung jawab keamanan selama dua puluh tahun ketika kaisar melaksanakan politik sekkan (pemegang kekuasaan sebagai wali tenno pada waktu tenno melakukan insei atau tenno masih anak-anak), perang ini di menangkan oleh keluarga Minamoto yang kemudian mengambil wilayah yang dikuasai oleh keluarga Taira. Para bushi yang menjadi kerai (anak buah) Minamoto yang berprestasi dalam memerangi keluarga Taira dan bersumpah setia kepada Minamoto no Yoritomo diangkat menjadi gokenin (penguasa pemerintahan di daerah) (Situmorang, 1995:13). Pada masa inilah permulaan pemerintah keshogunan di Jepang yang dianggap juga sebagai permulaan feodalisme. Pemerintah shogun dibantu dengan adanya ikatan tuan dan anak buah antara Minamoto Yoritomo dan para samurai, antara kedua pihak terjadi hubungan tanggung jawab dan pengabdian setia. Shogun Yoritomo melindungi tanah yang diwarisi oleh samurai dari nenek moyangnya dan memberi hadiah tanah atas jasa-jasa mereka, sementara para samurai dengan setia mengabdi kepada bakufu, mengerjakan tugas militernya. Dengan terbentuknya suatu perjanjian antara tuan dan anak buahnya, hal ini merupakan suatu bentuk awal sistem feodalisme di Jepang.

KeShogunan bakufu Muromachi didirikan oleh Ashikaga Takauji pada tahun 1338, Ashikaga merupakan sekkan di Kyoto yang berasal dari keluarga Fujiwara. Pada zaman Muromachi (tahun 1467) terjadi perang saudara onin yang berlangsung selama sebelas tahun di Kyoto. Perang ini dimulai karena adanya


(27)

pertentangan antara Hosokowa Katsumoto, Yamana Mochitoyo dan para penasihat utama shogun (kanrei). Pertentangan ini menjadi semakin kacau karena perselisihan masalah pergantian shogun dan pergantian dalam keluarga-keluarga Shiba dan Hatakeyama yang merupakan kanrei. Perang onin mengakibatkan kekacauan dimana-mana. Kekacauan ini berlangsung lebih dari seratus tahun dan dikenal sebagai sengoku jidai (zaman perang seluruh negeri Jepang) dimana timbul semboyan gekokujo ikki (revolusi bawahan menjatuhkan atasan).

Sepanjang zaman sengoku, para daimyo memperkuat posisinya di wilayah masing-masing, mereka berusaha memperluas kekuasaannya kemudian terjadilah peperangan antar daimyo. Pada tahun 1573 lembaga bakufu yang dipimpin oleh Shogun Yoshiaki berhasil digulingkan oleh seseorang yang bernama Oda Nobunaga dari propinsi Owari. Hal ini merupakan kejadian pertama kali dimana seorang daimyo menjatuhkan shogun yang menjadi contoh keberhasilan gekokujo ikki yang merupakan dampak dari kekacauan pada masa bakufu Muromachi.

Ketika terjadi penyerangan pada kuil Honnoji di Kyoto, Oda Nobunaga terbunuh, penyerangan ini dipimpin oleh seorang jendral bernama Akechi Mitsuhide yang merupakan anak buah Oda Nobunaga. Kemudian usaha-usaha Nobunaga untuk mempersatukan Jepang dilanjutkan oleh Toyotomi Hideyoshi yang merupakan seorang samurai dari rakyat biasa yang mengabdi kepada Nobunaga.

Pada waktu Nobunaga terbunuh, Hideyoshi sedang berperang melawan kaum Mori yang diperintah oleh Nobunaga. Ketika mendengar kematian Nobunaga, Hideyoshi kembali dari perang melawan kaum Mori. Kemudian untuk membalaskan kematian Nobunaga, Hideyoshi berperang dalam perang Yamazaki


(28)

dan mengalahkan Akechi Mitsuhide lalu mengalahkan jendral-jendral Nobunaga lain dan daimyo di beberapa daerah, dan akhirnya pada tahun 1590 ia berhasil mempersatukan seluruh Jepang (Sakamoto, 1982:35).

Meskipun Nobunaga dan Hideyoshi seorang jendral samurai, mereka tidak mendirikan bakufu tetapi mereka memiliki kedudukan resmi di istana dan memerintah negara atas nama wewenang yang dimiliki kaisar. Hideyoshi menjabat sebagai kanpaku yang sangat menghormati kaisar.

Setelah Toyotomi Hideyoshi wafat, Tokugawa Ieyasu (daimyo dari wilayah Mikawa) mengambil alih kekuasaan dan meneruskan pekerjaan Nobunaga melalui perang sekigahara yaitu perang antara pengikut Hideyoshi melawan Ieyasu, yang dimenangkan oleh Ieyasu. Kemudian pada tahun 1603 Ieyasu ditunjuk sebagai shogun oleh kaisar, lalu ia membangun kembali bakufu di kota Edo yang sebelumnya telah digulingkan pada masa keShogunan Ashikaga.

Setelah itu Ieyasu melakukan berbagai perubahan dalam pembagian wilayah dengan memberikan daerah Kinai, Kanto, dan Tokai kepada daimyo yang telah mengabdi kepadanya secara turun temurun. Lalu ia juga menetapkan kitab undang-undang bagi keluarga ksatria dan menetapkan sistem yang dikenal sebagai sankinkotai yang mewajibkan para daimyo untuk mengabdi secara bergantian di Edo yang secara mutlak mengabdi kepada shogun. Dengan didirikannya sistem han (wilayah feodal) yang merupakan unsur dalam struktur politik yang dikendalikan oleh daimyo, maka sistem feodal dapat dikatakan sebagai bentuknya yang paling murni. Lalu Ieyasu membuat sistem stratifikasi sosial atau kelas sosial di tengah masyarakat (mibun seido) dengan membaginya menjadi empat golongan masyarakat yaitu samurai, petani, buruh, dan pedagang yang sering disebut


(29)

dengan shi-no-ko-sho. Dan hubungan feodal antara tuan dan anak buahnya yang dipegang oleh samurai diperluas ke setiap kelas.

Untuk menghindari adanya gekoku ikki dari daimyo lain terutama daimyo yang menjadi musuh Tokugawa pada perang sekigahara, maka Shogun Tokugawa berusaha mengubah etos pengabdian diri bushi atau bushidouu (jalan hidup bushi) yang sebelumnya mengabdi kepada daimyo secara mutlak (zettai teki) menjadi pengabdian diri kepada keshogunan (shido/bushidou baru). Tokugawa mencoba mengubah makna moralitas yang berlaku sebelumnya di dalam masyarakat dengan tujuan pemusatan rasa terimakasih kepada Tokugawa bagi seluruh rakyat Jepang dengan cara penanaman kesadaran akan peringkat atas dan bawah dimana kekuasaan adalah keshogunan sehingga merupakan pemberi on tertinggi pada masyarakat.

Bushidouu sebelum zaman Edo Tokugawa merupakan kesetiaan pengabdian diri bushi terhadap tuannya yang merupakan ajaran Buddha Zen. Bushidouu lama yang ditandai dengan pengabdian diri yang mutlak dari anak buah terhadap tuannya, gejalanya yang paling jelas dapat dilihat pada perilaku junshi (bunuh diri mengikuti kematian tuan) dan perilaku adauchi (mewujudkan balas dendam tuan) yang sering dilakukan anak buah sebagai tanda pengabdian kepada tuannya (Situmorang, 1995:21).

Untuk memantapkan kekuasaannya pemerintah Tokugawa mengajarkan shidou (bushidou baru) sebagai ideologi baru bagi para bushi yang bercirikan kesetiaan terhadap shogun. Guna mengurangi loyalitas bushi terhadap tuannya yang berarti mengurangi kekuatan daimyo di daerah, Tokugawa bakufu melarang adanya pengabdian yang tidak rasional dari anak buah terhadap tuannya di daerah,


(30)

seperti melakukan junshi dan adauchi, sehingga daimyo tidak menjadi kuat dan tidak mampu melakukan perlawanan terhadap shogun.

2.2 Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Bushidou 2.2.1 Kejujuran

Kejujuran merupakan keyakinan dalam kode etik samurai. Di dalam diri samurai tidak ada yang lebih buruk dari pada curang dalam pergaulan dan perbuatan yang tidak jujur.

Jika seseorang memiliki sifat jujur dan berjalan di atas jalan lurus, dapat dipastikan bahwa ia seorang yang pemberani. Di kalangan samurai yang merupakan golongan prajurit, sifat-sifat tersebut merupakan menjadi suatu kewajiban untuk dimiliki.

Konsep kejujuran dalam bushidou adalah pembuatan keputusan yang benar dengan alasan yang tepat. Alasan yang tepat ini adalah giri, giri lah yang merupakan alasan seseorang untuk memutuskan berbuat sesuatu dan bersikap dengan orang tua, kepada superior, dan kepada masyarakat luas. Kejujuran adalah sifat yang wajib dimiliki oleh samurai (www.gutenberg.net).

Kejujuran di kalangan samurai merupakan etika yang tidak bisa diragukan lagi. Ia harus tegas ketika menghadapi kapan harus mati dan kapan harus membunuh, asalkan demi kebenaran yang dianutnya. Keberanian seorang samurai harus didasari oleh kejujuran serta akal sehat, tanpa kecerobohan maupun kecurangan, dalam ajaran konfutsu keberanian itu adalah melakukan hal yang dianggap benar. Tetapi keberanian itu juga dibedakan antara berani karena


(31)

membela atau mempertahankan prinsip kebenaran dengan keberanian yang ada pada tingkah laku kejahatan.

2.2.2. Kesopanan

Menurut Nitobe dalam Tarigan (2005:25) mengatakan bahwa di Jepang penghayatan musik merdu dan sajak-sajak indah merupakan kurikulum pendidikan untuk menbangun perasaan dan jiwa lembut, yang kemudian akan menggugah penghayatan terhadap penderitaan orang lain. Kerendahan hati untuk memahami orang lain adalah akar dari sikap sopan-santun.

Kemudian menurut Nitobe dalam Sipahutar (2007:34-35) mengatakan bahwa sikap sopan-santun merupakan unsur kemanusiaan tertinggi dan hasil terbaik dari hubungan masyarakat. Kesopanan yang tercermin pada masyarakat Jepang bermula dari tata cara yang bersifat rutinitas. Bagaimana seseorang harus tunduk pada teguran orang lain, bagaimana seseorang harus berjalan, duduk, mengajar, dan di ajar dengan penuh kepedulian

Tata krama menjadi suatu ilmu; umpamanya pada upacara minum teh cha-noyu. Upacara ini pada hakekatnya mengajarkan orang untuk bersikap sopan, terkendali, sesuai dengan tata-krama sehingga tercipta suatu ketenangan dan rasa kebersamaan (Tarigan, 2005:26).

2.2.3 Kesetiaan

Kesetiaan merupakan sifat yang harus dimiliki oleh seorang samurai. Kesetiaan muncul dari adanya rasa solidaritas yang memunculkan rasa


(32)

kebersamaan dalam kehidupan sosial untuk mempertahankan daerah atau wilayah mereka dari serangan musuh.

Kesetiaan untuk kepentingan bersama dan tuannya merupakan pemenuhan kewajiban samurai untuk mentaati nilai-nilai kemasyarakatan dengan cara mengabdi sepenuhnya kepada tuan dan menunjukkan pengabdian itu dengan cara berprestasi sebaik mungkin.

Setelah munculnya Konfusionisme dan Buddhisme di Jepang, arti kesetiaan mempunyai makna baru yang telah dipengaruhi oleh dua ajaran tersebut. Di dalam konsep Buddhisme kesetiaan merupakan moral pengabdian diri yang bersifat mutlak kepada tuannya masing-masing di setiap daerah, dimana setiap bushi akan mempertaruhkan seluruh hidupnya untuk tuannya. Sedangkan di dalam Konfusionisme makna kesetiaan menjadi bernuansa moral, nilai moral yang terkandung didalamnya meliputi nilai moral sosial, yang mendasarkan ajarannya dengan adanya hubungan antara anak dengan orang tua, kakak dengan adik, antar sesama, terhadap pejabat pemerintahan, dan terhadap kaisar (Sipahutar, 2007:38).

Situmorang (2006:103) mengatakan bahwa ajaran buddha yang mengatakan adanya reinkarnasi antara hidup dan mati, sehingga bushi anak buah tersebut bercita-cita ingin tetap hidup sebagai manusia dan menjadi bushi abdi tuannya lagi turut mempertebal pengabdian bushi anak buah.

Pengaruh Konfusionisme terhadap perkembangan makna kesetiaan mulai tampak ketika kaisar menghendaki agar rakyat dan kaum bushi untuk memiliki sikap kesetiaan yang besar terhadap kaisar.

Kesetiaan pada penguasa penting dalam sistem Kong Fu Tse Cina, tetapi biasanya diatasi oleh kesetiaan pada keluarga. Sesungguhnya tiga dari lima


(33)

hubungan etika dasar Kong Fu Tse ada kaitannya dengan kepatuhan anak dan kesetiaan keluarga yang lain. Di Jepang, kesetiaan pada tuan lebih terpusat pada seluruh sistem dan walaupun keluarga penting, lebih mendahului kesetiaan keluarga. Jadi di Jepang kelompok supra keluarga lebih dahulu ditetapkan dan lebih pokok ketimbang keluarga sendiri, dan ini lebih memudahkan perubahan dalam zaman modern pada kesetiaan terhadap negara dan kelompok-kelompok lain yang bukan kerabat (Reischauer, 1982:76)

Pada masa pemerintah bakufu, pemerintahan militer yang feodal memunculkan makna baru dalam konsep kesetiaan yaitu kesetiaan yang bersifat politik yaitu kesetiaan terhadap tuannya (daimyo) dan shogun.

Reischauer (1982:76) mengatakan bahwa kewajiban utama dalam sistem feodal bakufu di Jepang adalah nilai kesetiaan. Hal ini dapat terjadi karena seluruh sistemnya tergantung pada ikatan kesetiaan pribadi terhadap tuan feodal.

Makna kesetiaan menjadi lebih penting pada pengabdian terhadap kelompok atau perorangan dalam dimensi politik. Perkembangan yang demikian terjadi sampai abad ke-19 atau sampai pada zaman Shogun Tokugawa, makna kesetiaan dikembalikan pada posisi semula yang selalu melekat pada kehormatan dan keberadaan para samurai, sehingga nilai kesetiaan memiliki makna yang naturalis, humanis, religius dan politis, serta kesetiaan terhadap kaisar.

2.2.4 Kehormatan

Nitobe dalam Sipahutar (2007:35) mengatakan bahwa seorang samurai yang lahir dan dibesarkan dengan nilai-nilai kewajiban dan keistimewaan profesi


(34)

mereka, sadar benar bahwa kehormatan adalah kemuliaan pribadi yang mewarnai jiwa mereka.

Kehormatan bagi bangsa Jepang diyakini sebagai suatu sensitifitas sejak anak berada dalam kandungan ibunya. Hilangnya kehormatan bagi bangsa Jepang tercermin dari rasa malu yang merupakan hukuman yang paling buruk. Kesadaran akan rasa malu menjadikan orang Jepang menolak terhadap segala sesuatu yang berupa penghinaan. Bunuh diri dengan cara seppuku digunakan untuk memperlihatkan kekuatan dan kemauan untuk mempertahankan kehormatan dan merupakan bunuh diri secara terhormat (Sipahutar, 2007:36).

Landasan filosofi yang terkandung dalam etika kehormatan ini adalah mencerminkan kebutuhan individu terhadap penghargaan berupa hasil kerja. Dalam bushidouu kehormatan bisa dicapai sejalan dengan bertambahnya usia yang mencerminkan bertambahnya pengalaman hidup dan reputasi. Reputasi ini harus dijaga dengan baik, karena reputasi yang dibangun bertahun-tahun mungkin saja bisa hancur dalam satu hari saja.

2.2.5 Kebajikan

Cinta, kemurahan hati, kasih sayang untuk orang lain, simpati, dan rasa kasih sayang diakui menjadi unsur tertinggi dalam kebajikan. Kebajikan merupakan semangat dalam membangun pribadi kaum samurai dan mencegah mereka berbuat sewenang-wenang. Rasa sayang yang dimiliki oleh kaum samurai tidak berbeda halnya dengan rakyat biasa. Tetapi pada seorang samurai, juga harus didukung oleh sebuah kekuatan untuk membela dan melindungi.


(35)

2.2.6 Keteguhan Hati

Keteguhan hati merupakan suatu sikap pantang menyerah. Seseorang dapat bangkit dari kekalahan ataupun keterpurukan karena berlandaskan pengalaman yang berulang-ulang. Keadaan demikian juga terlebih dari nilai bushidouu, ini merupakan akibat dari kondisi geografis Jepang. Masyarakat Jepang yang tinggal di daerah bukit serta gunung berapi yang masih aktif, daerah aliran sungai dan gempa yang sering terjadi menyebabkan mereka memiliki sikap keteguhan hati yang tinggi, mereka memiliki kesadaran diri untuk tetap bertahan.

Nilai keteguhan hati ini sejalan dengan prinsip dasar bushidouu yaitu : yu. Dimana pada ajaran tentang yu menekankan pada keberanian dan keteguhan hati, dan ajaran yang menekankan pada ajaran kebijaksanaan (http://118.98.216.59/subdom/modul/bahan/pend_EtosKerja_2008/Bagaimana_M ambangun_Etos_Kerja.htm).

2.3 Haihan Chiken dan Lahirnya Perusahaan Jepang 2.3.1 Haihan Chiken

Setelah runtuhnya era feodalisme Edo Tokugawa di Jepang yang di tandai dengan adanya restorasi Meiji, Jepang mulai memasuki era modern dimana pemerintahan Meiji melakukan berbagai kebijakan untuk mengubah Jepang menjadi bangsa yang maju sama dengan bangsa barat. Era Jepang modern yang dimulai pada tahun 1868 merupakan peristiwa yang membuka zaman baru. Pemerintahan baru Meiji dengan cepat menyatakan bahwa Jepang harus di modernkan mengikuti garis-garis yang ditempuh negara-negara maju di barat, dan mereka percaya bahwa syarat yang penting sekali menuju modernisasi ialah


(36)

penggantian sistem desentralisasi pemerintahan daimyo dengan sistem pemerintahan daerah yang terpusat.

Tanah-tanah bakufu yang kalah dan daimyo yang menentang haluan kekaisaran disita dan diatur kembali sebagai satuan-satuan administratif atau propinsi (fu dan ken) di bawah pemerintahan pusat. Tindakan ini tidak dilakukan kepada daimyo yang netral dan yang telah mendukung kaisar dengan restorasi Meiji.

Pemerintahan baru Meiji yang sebagian besar terdiri dari wakil-wakil Satsuma, Chosu, Tosa, dan Hizen berusaha meningkatkan sentralisasi lebih lanjut dengan membujuk para daimyo keempat han ini untuk mengembalikan wewenang politik atas tanah dan penduduk mereka kepada pemerintah kekaisaran Meiji.

Pada bulan maret 1869 keempat daimyo tersebut secara bersama-sama memohon kepada kaisar untuk menerima pengembalian tanah dan penduduknya yang merupakan fief (hanseki hokan), lalu para daimyo yang lain pun mengikuti teladan mereka dengan mengembalikan tanah dan penduduk mereka kepada kaisar. Kaisar lalu mengabulkan permohonan mereka dan memerintahkan daimyo yang lain yang belum menawarkan demikian agar menyerahkan fief mereka. Setelah semua daimyo tunduk terhadap kebijakan yang diperintah oleh kaisar ini, pemerintahan Meiji kemudian menunjuk mereka menjadi gubernur di han masing-masing, dengan demikian daimyo yang sebelumnya sudah menjadi penguasa setempat yang semiotonom di wilayah-wilayah kekuasaan mereka, kini menjadi pejabat-pejabat pemerintah pusat yang mengabdi kepada kaisar (Ishii, 1989:130)

Hanseki hokan mengakhiri eksistensi struktur politik feodal dalam bentuknya, tetapi berpengaruh sedikit saja pada kehidupan politik di dalam


(37)

tiap-tiap han. Maka untuk memadukan daerah-daerah setempat secara lebih menyeluruh ke dalam struktur administrasi pusat, pemerintah berupaya untuk menghapuskan sama sekali han dan mendirikan propinsi-propinsi (ken) sebagai gantinya. Pemerintah membentuk pasukan pengawal kekaisaran (goshinpei) yang terdiri dari pasukan-pasukan dari Satsuma, Chosu, dan Tosa sebelum melanjutkan rencana-rencananya, karena diperkirakan akan ada perlawanan bersenjata dari para daimyo lain. Akan tetapi, banyak gubernur eks-daimyo yang tidak mau memikul tanggung jawab keuangan guna memerintah wilayah-wilayah kekuasaan mereka dan secara aktif mendorong pemerintah agar menghapuskan han mereka. Sebagai akibatnya maka pemerintah dapat menghapuskan han dan membentuk propinsi-propinsi 廃藩置県 (haihan chiken) pada bulan Agustus 1871 (Ishii, 1989:130-131).

Pemerintah memanggil kira-kira 50 orang gubernur baru ke Tokyo, lalu menarik para gubernur bekas daimyo semuanya ke Tokyo yang akan digantikan oleh gubernur-gubernur baru (fu-chiji dan ken-rei, atau kemudian ken-chiji) dan banyak dari antara mereka berasal dari Satsuma dan Chosu. Wilayah-wilayah kedaimyoan diubah menjadi satuan-satuan administratif secara besar-besaran, yaitu dari lebih 260 han menjadi 72 ken dan 3 hu atau fu (satuan-satuan propinsi yang penting dan istimewa yaitu Tokyo, Osaka, dan Kyoto). Penggabungan lebih lanjut terjadi dalam tahun 1889 ketika jumlah ken diperkecil menjadi hanya 43 ken dan satuan-satuan propinsi yang penting tetap terdiri dari 3 fu (Suradjaja, 1984:38).


(38)

2.3.2 Lahirnya Perusahaan Jepang 1. Mitsui Bussan

Pada tahun 1874, Mitsui yang dikenal sebagai agen perlengkapan pakaian dan bankir yang berpengaruh, memutuskan untuk memperluas usahanya dan mendirikan suatu perusahaan perdagangan umum partai besar. Perusahaan yang bernama Kokusan Kata (National Products Co.) ini beroperasi dari kantor pusatnya di Tokyo dan Yokohama. Kantor di Tokyo menangani sutera mentah, beras, sedangkan kantor di Yokohama menangani teh dan sutera mentah, yang diperdagangkan ke wisma-wisma dagang asing yang terletak disana.

Mitsui, yang bertindak selaku bendaharawan untuk pemerintahan Meiji yang baru, mempunyai tabungan pemerintah yang bebas bunga di dua puluh tujuh tempat di seluruh Jepang, yang dapat dipergunakan dalam perdagangan beras.

Setelah perdagangan dengan barat dimulai, pada akhir periode Tokugawa, Mitsui mendirikan sebuah toko di Yokohama untuk menjual sutera dan teh kepada pedagang-pedagang asing. Usaha ini diambil alih oleh kantor di Yokohama dari Kokusan Kata, yang sebagai tambahan, menangani ekspor beras. Ekspor beras dimasuki sebagian untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan promosi ekspor dari pemerintah untuk mengurangi defisit perdagangan dan menghentikan arus devisa keluar, tetapi lebih penting lagi karena ekspor tadi penting untuk bisnis beras Mitsui secara menyeluruh. Pada tahun 1876 Mitsui mengakuisisi perusahaan niaga lainnya bernama Senshu Kaisha, dan di mergerkan dengan Kokusan Kata dalam suatu perusahaan baru, Mitsui Bussan. Keputusan ini untuk sebagian didasarkan pada pertimbangan politik. Okuma Shigenobu, menteri keuangan pada saat itu, mendesak Mitsui agar bergerak dalam perdagangan langsung.


(39)

2. Mitsubishi

Tahun 1870 merupakan permulaan dari lahirnya Mitsubishi. Pada tahun ini, pendirinya, Iwasaki Yataro mendirikan perusahaan perkapalan (Tsukumo Shokai) di Osaka. Perusahaan ini merupakan perusahaan setengah milik pemerintah karena adanya bantuan dari pemerintah propinsi Tosa. Tetapi dengan dihapuskannya tanah pinjaman, pendirian perfektur, dan perubahan-perubahan sosial-politik lainnya dalam beberapa tahun sesudahnya, menyebabkan pemerintah Tosa menarik diri dari perusahaan, lalu Yataro mengambil alih perusahaan menjadi swasta. Pada tahun 1873, ia menamakan kembali perusahaan tadi dengan nama Mitsubishi Shokai (Mitsubishi Trading Co.) dan mengambil alih lambang tiga berlian itu sebagai merk dagang Mitsubishi (Kunio,1987:38).

Lewat hubungannya dengan para pemimpin Meiji, seperti Okuba Toshimichi dan Okuma Shigenobu, ia mampu memperoleh bantuan keuangan dan perlindungan dari pemerintah. Ia mampu menjadi agen perkapalan yang utama untuk pemerintah. Hal ini memungkinkan Mitsubishi untuk menjadi perusahaan perkapalan terbesar di Jepang.

Pada awal tahun 1880-an, pemerintah pro Mitsubishi jatuh dan Mitsui serta perusahaan lain yang kesal atas dominasi Mitsubishi dalam bisnis perkapalan, berhasil membujuk pemerintah yang baru untuk mendirikan perusahaan perkapalan yang baru sebagai balas keseimbangannya. Akhirnya karena persaingan antara Mitsui dan Misubishi mengancam industri perkapalan, kemudian pemerintah memutuskan untuk memergerkan keduanya dan mendirikan suatu perusahaaan baru bernama Nippon Yusen Kaisha (NYK) sebagai suatu perusahaan dari kebijakan nasional pemerintah. Merger ini membuat Mitsubishi


(40)

kehilangan monopolinya atas bisnis perkapalan, sehingga perusahaan ini membangun usaha-usaha lain yang berkaitan dengan perkapalan seperti perbankan, asuransi laut, galangan kapal, dan reparasi, usaha ini dibawah satu perusahaan baru bernama Mitsubishi Goshi Kaisha (Mitsubishi & Co.).

3. Itoh Chubei

Riwayat Chubei dimulai pada tahun 1858, ketika itu Chubei memulai sebagai bisnis keliling secara besar-besaran. Chubei dilahirkan pada tahun 1842 di Toyosato, propinsi Omi, yang merupakan tanah kelahiran dari pedagang-pedagang Omi yang terkenal, yang menempati kedudukan penting dalam perdagangan zaman Edo Tokugawa.

Chubei dilahirkan dari suatu keluarga yang mempunyai usaha dalam bidang pertanian maupun perdagangan, merupakan seorang yang inovatif, ia memulai sebagai pedagang kain kimono, tetapi tidak seperti pedagang lainnya, ia tidak hanya berjualan kain kimono, tetapi mau berdagang setiap produk tekstil lainnya. Lalu pada tahun 1872 Chubei memutuskan untuk membuka tokonya di Osaka, ia merupakan salah satu dari banyak gafukuya (toko yang menjual bahan kimono).

Kemudian pada tahun 1910-an anak Chubei memecah usaha perdagangan menjadi perdagangan dalam negeri dan luar negeri, dalam perdagangan luar negeri dibentuk Yarn Store yang menangani perdagangan di Asia dan Kobe Store menangani perdagangan di kawasan lain.


(41)

4. Iwai Bunsuke

Bunsuke dilahirkan pada tahun 1842 di suatu desa di bagian utara perfektur Kyoto. Ketika berusia 10 tahun ia meninggalkan tanah kelahirannnya menuju Osaka untuk magang disebuah toko yang berjualan produk-produk impor dari Cina. Pada tahun 1862 Bunsuke menyewa sebuah rumah dengan sejumlah modal yang telah ditabungnya, guna membuka toko yang diberi nama Kagaya. Kagaya merupakan nama populer untuk toko-toko yang berdagang barang-barang Cina yang merupakan nama dari toko tempat ia dulu bekerja. Bunsuke mempunyai merk dagang sendiri yaitu KB (Kagaya Bunsuke).

Dari era Tokugawa akhir dan awal era Meiji, ada dua macam pedagang Jepang yang berhubungan dengan pedagang asing, yakni urikomiya dan hikitoriya. Urikomiya dapat dipandang sebagai eksportir, dan hikitoriya sebagai importir, namun dengan kemungkinan pengecualian seperti pada Mitsui Bussan, para eksportir dan importir Jepang tidak mempunyai kontak langsung dengan mereka di luar negeri dan puas dengan berunding dengan para pedagang asing di Yokohama dan Kobe, Iwai Bunsuke adalah seorang importir, hikitoriya (Kunio, 1987:66).

Pada tahun 1880-an barang yang diperdagangkan meliputi minyak, minuman yang berasal dari barat, susu, tenun, benang kapas, selimut, lampu, kertas dan korek api. Diantara barang-barang yang diperdagangkan, minyak merupakan barang dagangan yang penting, karena dalam proses westernisasi dalam era Meiji lampu minyak menjadi produk populer menggantikan lilin.

Pertumbuhan Iwai Bunsuke terjadi mulai pertengahan 1890-an. Setelah dua puluh tahun di bawah pemerintahan Meiji, industrialisasi akhirnya mulai


(42)

menampakan hasil dan industri maju telah selesai dalam substitusi impor dan menjadi siap ekspor (Kunio, 1987:67).

Perusahaan-perusahaan tersebut merupakan perusahaan perniagaan (sogo shosha) besar yang telah memberikan sumbangan yang penting bagi awal perkembangan perekonomian Jepang menuju bangsa yang modern. Idustrialisasi di Jepang banyak tergantung pada perdagangan luar negeri, mesin-mesin industri yang dibutuhkan oleh Jepang di impor dari negara barat yang ditukar dengan ekspor beras, sutera, teh dan produk-produk Jepang lainnnya.

Untuk menjadi suatu sogo shosha, sebuah perusahaan niaga harus menangani banyak produk, bergerak dalam ekspor maupun impor, mempunyai kantor di luar negeri, serta mempunyai kekuasaan yang memadai di bidang pemasaran dan keuangan.

2.4 Karoushi

2.4.1 Pengertian Karoushi

Dilihat dari asal katanya, karoushi berasal dari tiga kata,yaitu, ka 過 yang artinya terlalu, rou yang artinya bekerja dan shi 死 yang artinya mati. Jadi, karoushi dapat diartikan kematian yang disebabkan karena terlalu banyak bekerja. Istilah karoushi pun dapat disebut sebagai fenomena di mana terjadi kematian secara mendadak yang disebabkan oleh stress yang menumpuk, terlalu banyak bekerja baik fisik maupun mental. Penyakit yang diderita oleh korban karoushi biasanya berhubungan dengan penyakit otak, jantung dan pembuluh darah. Dimana memburuknya sirkulasi darah pada pendarahan otak, pecahnya selaput


(43)

darah, penyumbatan darah ke otak, penyumbatan darah ke jantung dan lain-lain karena beban kerja yang berlebihan.

Ada istilah yang dipakai untuk menggambarkan satu ciri khas orang Jepang dalam bekerja, yaitu bahwa orang Jepang itu hatarakisugi (terlalu banyak bekerja). Hal ini terbukti pada frekuensi jam kerja yang sangat tinggi yang bisa mencapai 16 jam dalam sehari yang berkesinambungan, yang merupakan tuntutan kerja dan bentuk loyalitas pribadi terhadap perusahaan yang telah mempekerjakannya.

2.4.2 Karoushi dalam Perusahaan Jepang

Tuntutan hidup yang tinggi membuat seseorang harus bekerja dengan keras untuk mencukupi kebutuhannya tersebut. Tetapi apakah semata-mata karena untuk memenuhi tuntutan hidup itukah, maka pekerja di Jepang dikenal dengan sebutan hatarakisugi, bahkan sampai menjadi korban karoushi? Bukankah masih banyak negara-negara lain yang tingkat kesejahteraannya jauh berada di bawah Jepang, dan mempunyai tuntutan hidup yang lebih keras, tetapi mengapa sebutan hatarakisugi tidak diidentikan dengan mereka, rekor korban karoushi pun hingga saat ini masih dipegang oleh Jepang dan bahkan menjadi pusat perhatian dunia.

Menurut Chie Nakane (1981:21), masyarakat Jepang adalah masyarakat yang menonjolkan kelompok kerja sama berdasarkan ba (wadah, tempat), maksudnya jika seseorang telah menjadi anggota suatu kelompok, termasuk di dalamnya kelompok bekerja (perusahaan) maka orang tersebut akan mendahulukan kepentingan kelompoknya itu. Chie Nakane juga menyatakan perusahaan bagi orang Jepang ibarat satu keluarga, pimpinan adalah kepala


(44)

keluarga dan bawahan sebagai anggota keluarga. Perusahaan adalah komunitas seorang pekerja, sedangkan rumah hanyalah sebagai tempat dimana ia tidur, perusahaan tidak dianggap semata-mata sebagai satu organisasi dimana seseorang terikat dengannya melalui kontrak, tapi dianggap sebagai tempat dimana seorang pekerja merupakan bagian darinya bahkan dianggap sebagai miliknya. Sebagai contoh, orang Jepang selalu memperkenalkan dirinya kepada orang lain dengan terlebih dahulu menyebutkan tempat dimana ia bekerja, bukan sebagai apa dia bekerja.

Sebagai satu keluarga, perusahaan tidak hanya memperhatikan pekerjanya saja, tetapi juga keluarga pekerja tersebut, perusahaan menjamin kesejahteraan pekerja dan keluarganya dengan menyediakan berbagai fasilitas, dan tentu saja hal ini menguntungkan bagi perusahaan itu sendiri. Dengan adanya jaminan ini pekerja akan mendahulukan kepentingan perusahaan, mereka rela untuk bekerja ekstra meskipun tidak sesuai dengan kontrak kerja yang telah disepakati sebelum mulai bekerja. Mereka terbiasa untuk bekerja melebihi jam kerja yang telah diatur oleh undang-undang yang sah. Lagi pula pekerja yang pulang tepat pada waktunya tanpa lembur akan merasa malu karena seolah-olah itu menunjukkan kurangnya loyalitas mereka terhadap kelompok (perusahaan) dan ia pun akan terkucilkan. Kondisi inilah yang memungkinkan timbulnya saabisu zangyou, yaitu seseorang bekerja melebihi jam kerja yang telah disepakati melalui kontrak, tapi ia tidak memperoleh bayaran sesuai dengan lembur yang telah dilakukannya.

Adalah hal yang biasa bagi para pekerja di perusahaan-perusahaan di Jepang untuk bekerja minimal 12 jam sehari. Mereka bahkan lebih memilih tidur


(45)

di tempat yang telah disediakan oleh perusahaan daripada memilih pulang dan tidur di rumah, karena terlalu larut dan melelahkan untuk pulang ke rumah.

Kebiasaan kerja 12 jam sehari ini tentu saja telah melanggar ketentuan jam kerja yang telah ditentukan di dalam rodou kijunhou (UU Standar Perburuhan). Kebiasaan kerja 12 jam sehari ini terus berlangsung dan akhirnya secara tidak tertulis, kebiasaan ini dimaklumi dan diperbolehkan, sampai akhirnya mengganggu ritme kerja yang normal atau yang seharusnya. Kebiasaan kerja yang seperti ini mengakibatkan kelelahan yang akhirnya terjadi kerusakan fatal pada pekerja (pekerja menderita penyakit karena kelelahan bekerja, bahkan sampai menyebabkan kematian) (http://www.workhealth.org/whatsnew/lpkarosh.html).

2.4.3 Nilai Kesetiaan dalam Karoushi

Kesetiaan terhadap atasan merupakan sikap umum yang ada pada setiap orang Jepang, baik kesetiaan kepada kaisar ataupun kepada perusahaan. Kesetiaan yang dimiliki dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, menjadi satu ciri kepribadian masyarakat Jepang, mulai dari keluarga, perusahaan, sekolah sampai pada kelompok tingkat luas.

Para pekerja di Jepang memiliki kesetiaan yang tinggi pada perusahaan tempat ia bekerja. Mereka cenderung berpegang pada hubungan kelompok perusahaannya, hal ini merupakan sikap dalam mempertahankan kesetiaan dalam kelompok.

Di tempat-tempat kerja, para pemimpin bekerja untuk mempertahankan loyalitas anggo ta-anggota kelompok dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan


(46)

mereka. Kepada anak buah diajarkan tentang nilai kerja sama untuk kepentingan perusahaan.

Pola kesempatan kerja seumur hidup yang diberikan oleh perusahaan, serta penentuan upah berdasarkan senioritas menciptakan hubungan loyalitas yang akrab antara para pemimpin dan anak buah, sehingga tercipta rasa kebanggaan terhadap perusahaan dan anak buah berusaha untuk memajukan perusahaan tempat mereka bekerja.

Kesetiaan karyawan atau manajer Jepang yang sangat besar kepada kelompoknya yang berdasarkan tingkat senioritas menyebabkan sulit baginya menjalin hubungan erat dengan orang luar, termasuk dengan mereka yang satu tingkatan kerja dengannya.

Para pekerja yang masuk ke dalam kelompok (perusahaan) untuk karir seumur hidup memiliki loyalitas yang kuat. Ikatan seumur hidup antara pimpinan dan para pegawai merupakan gejala sistem yang mengingatkan pada kebiasaan feodal Jepang, dimana adanya ikatan pengabdian seumur hidup anak buah (bushi) terhadap tuannya (daimyo).

Dalam mempertahankan rasa solidaritas dalam kelompok perusahaan, perusahaan Jepang sering mengadakan wisata perusahaan. Dalam hal ini tidak tampak hubungan antara atasan dan bawahan tetapi hanya hubungan antar anggota kelompok dengan yang lain. Sehingga menimbulkan solidaritas dan loyalitas anggota pada perusahaan. Hal ini merupakan cara untuk mempererat hubungan di tempat kerja.

Kesetiaan pada perusahaan ini merupakan keuntungan bagi perusahaan akan adanya angkatan kerja yang produktif, yang merasa bangga dan puas dalam


(47)

pekerjaanya. Bagi pekerja kasar maupun pegawai kantoran kerja lembur merupakan bentuk loyalitas mereka terhadap perusahaan. Banyak dari mereka terutama dikalangan para eksekutif dan pegawai kantoran, tidak menggunakan sepenuhnya masa libur yang diberikan perusahaan. Mereka semua adalah pekerja yang tekun dan bisa dipercaya akan menjaga mutu pekerjaan mereka sendiri.

Suatu pekerjaan bagi pekerja di Jepang tidak hanya merupakan persetujuan dalam kontrak untuk mendapat bayaran, mereka terkadang melakukan lembur yang tidak mendapat bayaran dari perusahaan (saabisu zangyo). Keadaan ini terjadi karena pekerja seringkali melaporkan jam lembur mereka lebih sedikit daripada yang sebenarnya, mereka seolah-olah menganggap tabu jika menyebutkan jam lembur yang sebenarnya, karena dengan begitu kredibilitas kerjanya akan dipertanyakan.

Bentuk loyalitas ini terwujud dalam etos kerja bangsa Jepang yang pekerja keras yang lebih mengutamakan kepentingan perusahaannya di atas kepentingan pribadinya. Frekuensi jam kerja yang sangat tinggi merupakan dampak dari rasa loyalitas terhadap perusahaan guna kemajuan perusahaannya, para pekerja bisa bekerja mencapai 16 jam dalam sehari yang terus berlangsung secara berkesinambungan, hal ini menimbulkan dampak negatif yaitu stres karena kelelahan atas kerja yang berlebihan sehingga menimbulkan penyakit yang berujung kepada kematian pekerja itu sendiri (karoushi).


(48)

BAB III

ANALISIS NILAI KESETIAAN BUSHIDOU DIHUBUNGKAN

DENGAN KAROUSHI

3.1 Budaya Malu dalam Bushidou (junshi) dan Karoushi

Budaya malu merupakan budaya masyarakat Jepang yang terus berkembang secara turun temurun sejak era feodalisme sampai era modern seperti sekarang ini, dimana budaya malu dipengaruhi oleh tradisi dan sistem kepercayaan masyarakat Jepang.

Bagi masyarakat Jepang mereka lebih mengutamakan penilaian dari masyarakat daripada penilaian akan rasa takut yang dikaitkan dengan hubungan kepercayaan mereka terhadap Dewa atau Tuhan yang menimbulkan adanya rasa bersalah dan dosa. Dengan demikian baik dan buruknya mereka sangat dipengaruhi oleh penilaian masyarakat luas akan apa yang dilakukan oleh mereka. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar peraturan ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan umum.

Rasa malu menurut mereka adalah ketidakmampuan seseorang membalaskan budi baik yang diberikan orang lain kepada mereka sehingga menimbulkan rasa beban pada mereka untuk membalaskan budi baik orang lain. Rasa beban ini dapat dilihat ketika seseorang menerima budi baik dari orang lain mereka akan mengatakan arigatai atau arigato yang berarti ada sesuatu yang sulit, sehingga orang yang telah menerima budi baik dari seseorang harus memikirkan balasannya, ini merupakan kesulitan yang harus mereka balas atas apa yang telah


(49)

Perilaku junshi yang dilakukan bushi merupakan salah satu cerminan perilaku dari adanya budaya rasa malu di Jepang sejak masa lalu. Prinsip ketidakmampuan membalaskan budi baik tuan membuat mereka melakukan pengabdian yang mutlak diluar dari pemikiran rasional.

Rasa malu mengakibatkan pengabdian yang paling tinggi yang dilakukan para bushi terhadap tuannya. Pemikiran bushi terhadap pengabdian dapat dilihat dalam buku Hagakure bab 1 dan bab 2 tentang jalan hidup bushi (Situmorang, 1995:27) :

Jalan hidup bushi adalah ditemukan dalam kematian. Pada waktu itu ada dua pilihan apakah memilih hidup atau mati, pertama-tama harus memilih mati. Lebih dari itu tidak ada. Teguhkan hati untuk menjalaninya. Walaupun para samurai kamigata (samurai Edo bakufu) mengatakan bahwa mati sia-sia adalah mati anjing. Dalam hal memilih satu diantara dua, kita sering tidak mengetahui apa yang sesuai dengan rencana atau tidak, siapapun manusia akan memilih hidup. Untuk hidup akan mencari alasan. Pada saat seperti ini, kalau memilih untuk hidup terus tetapi tujuan yang diinginkan tidak tercapai, maka akan menjadi bushi pengecut. Hal ini susah untuk menetapkannya. Jikalau memilih mati, tetapi ternyata tujuan tidak tercapai akan dikatakan mati sia-sia atau gila. Tetapi hal ini tidak membuat malu. Hal ini sangat penting bagi bushidouu karena setiap pagi dan sore selalu bertekad untuk mati, sehingga dengan menghayati kematian pada kehidupan sehari-hari, mengakibatkan bushidouu menyatu dengan dirinya, sehingga dapat melakukan pekerjaan tanpa kesalahan seumur hidup.

Dalam hal ini rasa malu bagi bushi dapat diartikan dengan jalan kematian sehingga menjadi pedoman bagi setiap bushi pada waktu itu sebagai bentuk loyalitas mereka terhadap tuannya, bagi bushi lebih baik mati sia-sia daripada hidup menanggung rasa malu.

Kehormatan untuk seorang samurai lebih berharga dibandingkan kehidupan, dan kematian dihargai bukan hanya diperbolehkan, tetapi sebagai jalan kebenaran satu-satunya. Dipermalukan dan dikalahkan akan ditebus oleh seppuku. Ketika


(50)

duka cita dan ketaatannya terhadap tuan mereka dengan melakukan seppuku untuk mengikuti kematian tuannya. Beberapa alasan seorang samurai melakukan seppuku adalah untuk menunjukkan penghinaan terhadap seorang musuh, memprotes ketidakadilan, sebagai suatu sarana agar tuan mereka mempertimbangkan kembali suatu tindakan yang tidak bijaksana atau tidak layak dan sebagai suatu sarana untuk menyelamatkan orang lain.

Di dalam era modern budaya malu dapat dilihat dalam fenomena mengundurkan diri bagi para pejabat yang terlibat masalah korupsi atau gagal dalam menjalankan tugas mereka. Efek negatif dari adanya budaya malu pada era modern adalah bunuh diri yang menjadi ritual sejak era samurai, yaitu ketika mereka kalah dalam pertempuran. Namun metode yang digunakan pada saat ini tidak lagi dengan cara harakiri melainkan dengan cara-cara lain seperti gantung diri, atau meracuni diri sendiri.

Budaya malu telah mengalami perkembangan dan perubahan pada zaman sekarang ini, yang bisa dilihat dalam etos kerja masyarakat Jepang di dalam perusahaan. Di dalam budaya malu pada zaman sekarang ini konsep balas budi tetap menjadi dasar dari adanya budaya rasa malu, sehingga dalam masyarakat perusahaan di Jepang balas budi bisa diwujudkan dengan loyalitas terhadap perusahaan dalam bentuk kerja keras yang dibuktikan dengan frekuensi jam kerja yang sangat tinggi yang dilakukan oleh para pekerjanya. Ada kecenderungan di dalam masyarakat di Jepang bahwa apabila anggota keluarganya pulang kerja tepat pada waktunya, maka keluarga di rumah akan bertanya-tanya apakah suami atau anak mereka sedang ada masalah atau tidak diterima dalam lingkungan keluarga perusahaan tempatnya bekerja?.


(51)

Pihak keluarga lebih senang apabila keluarga mereka bekerja lembur. Itu berarti mereka telah menjadi bagian keluarga dan dibutuhkan oleh perusahan tempat mereka bekerja. Selain itu pekerja yang pulang tepat pada waktunya tanpa lembur akan merasa malu karena seolah-olah itu menunjukkan kurangnya rasa loyalitas mereka terhadap perusahaan (kelompok), dan menandakan bahwa pekerja tersebut termasuk yang tidak dibutuhkan oleh perusahaan sehingga mereka pun dikucilkan.

Di kampus, seorang professor sudah terbiasa pulang tengah malam, sehingga membuat mahasiswanya malu untuk pulang duluan. Kejadian seperti ini sama dengan yang terjadi di perusahaan dimana seorang pekerja malu untuk pulang duluan sebelum atasannya terlebih dahulu pulang. Dengan semangat kerja keras inilah sebenarnya kebangkitan dan kemakmuran Jepang bisa tercapai.

Kerja lembur yang terus menerus dilakukan mengakibatkan para pekerja kelelahan, stres dan timbul berbagai macam penyakit hingga akhirnya berujung pada kematian pekerja itu sendiri (karoushi).

3.1.1 Kasus Junshi

Junshi merupakan jalan kematian atau bunuh diri yang dilakukan para bushi karena didorong unsur kesetiaan terhadap tuan. Sikap tersebut bagi para bushi merupakan hal yang sangat mulia. Selain melakukan junshi para bushi juga melakukan adauchi yaitu membalaskan dendam terhadap musuh tuannya. Pada peristiwa akouroshi di zaman Edo perilaku junshi dan adauchi saling berkaitan, dimana sebelum Asano Takuminaganori diperintahkan oleh shogun melakukan seppuku karena telah menyerang pangeran Kira, Asano masih menaruh dendam


(52)

terhadap pangeran Kira, sehingga para pengikut Asano berkewajiban untuk melakukan adauchi yang kemudian diakhiri dengan melakukan junshi. Pada saat itulah seorang bushi akan merasa dirinya benar-benar sebagai samurai sejati karena telah melakukan seluruh pengabdiannya sampai kepada kematian.

Konsep setia ini kemudian membuat para samurai banyak yang mengambil jalan untuk menunjukkan loyalitas mereka kepada tuannya dengan melakukan junshi. Konsep dan perilaku junshi ini dapat di gambarkan pada beberapa kasus junshi yang terjadi di Jepang, antara lain :

1. Perilaku junshi anak buah Matsudaira Tadatoshi

Matsudaira Tadatoshi merupakan anak laki-laki keempat Tokugawa Ieyashu (Shogun Tokugawa pertama), ia menjabat sebagai daimyo di wilayah Nagoya. Ketika Matsudaira Tadatoshi meninggal pada tahun 1607, beberapa orang anak buahnya melakukan junshi untuk mengikuti kematian tuannya sebagai cara agar dapat menemani tuannya di dalam kematiannya.

2. Perilaku junshi anak buah Tokugawa Hideyashu

Pada waktu Tokugawa Hideyashu meninggal di Echizen tahun 1607, Hideta (shogun kedua Tokugawa) dan Ieyashu takut akan adanya junshi oleh anak buah Hideyashu. Oleh karena itu Hidetada dan Ieyashu mengirimkan surat untuk melarang adanya perbuatan junshi yang akan dilakukan oleh anak buah atau pengikut setia Tokugawa Hideyashu. Tetapi sebelum surat tersebut sampai, sudah ada dua orang anak buah Tokugawa Hideyashu yang melakukan junshi.


(53)

3. Perilaku junshi Gensatsu anak buah Ikeda Terumasa

Ikeda Terumasa merupakan seorang daimyo dari wilayah Hino, dia meninggal pada tahun 1613. Gensatsu yang merupakan seorang rozu (pejabat tertinggi di kedaimyoan sebagai wakil daimyo) yang sangat dipercaya oleh Ikeda Terumasa. Ia ingin melakukan perbuatan junshi sebagai bentuk pengabdian kepada atasannya. Kemudian Toshikata yang di tunjuk sebagai calon penerima ahli waris kekuasaan dengan sangat susah melarang Gensatsu untuk tidak melakukan junshi, Toshikata telah memerintahkan pengawalnya untuk mengawasi gerak-gerik Gensatsu. Namun pada saat orang-orang dan pengawal memperhatikan pemasukan jenazah Ikeda Terumasa ke dalam peti mati, dalam waktu yang sangat cepat Gensatsu berhasil melakukan junshi dengan menusukkan pedang pendek ke perutnya sendiri.

4. Perilaku junshi anak buah Date Masamune

Pada tahun 1636, Date Masamune yang merupakan seorang daimyo dari wilayah Sendai meninggal dunia. Dari 15 orang anak buah yang dimilikinya, hanya 5 orang anak buahnya yang setia yang melakukan junshi terhadap tuannya.

5. Perilaku junshi anak buah Hosokawa Tadatoshi

Pada tahun 1641, ketika meninggalnya Hosokawa Tadatoshi yang juga seorang daimyo, sebanyak 18 orang anak buahnya melakukan junshi sebagai bentuk pengabdian diri mereka terhadap tuannya.


(54)

6. Perilaku junshi Hatsuda Masamori dan Abeshige Tsugu

Pada tahun 1651, pada waktu Shogun Tokugawa Iemitsu meninggal, para pengikut setianya dari tairo (pejabat tertinggi pembantu shogun) yang bernama Hatsuda Masamori sampai rozu yang bernama Abeshige Tsugu, mereka semuanya melakukan junshi sebagai bentuk loyalitasnya kepada atasannya (shogun).

7. Akouroshi (bushi tak bertuan di Akou) atau kisah 47 ronin

Pada tanggal 13 Maret 1701, di istana keshogunan di Edo diadakan upacara persembahan terhadap kaisar. Pada upacara penghormatan terhadap kaisar tersebut, kaisar mengirimkan dua orang utusan untuk menerimanya. Untuk menyerahkan penghormatan tersebut, seperti biasanya setiap tahun shogun memanggil daimyo untuk melakukan sembah sujud. Pada waktu itu Shogun Tokugawa menunjuk Asano Takuminaganori daimyo dari daerah Akou dan juga menunjuk Date Ryonosuke Muneharu daimyo dari wilayah Yoshida.

Untuk kelancaran acara tersebut, seperti biasanya para daimyo tersebut harus berlatih dahulu mendapat pelajaran dari koke (pejabat tinggi penasehat shogun) di keshogunan dan juga sebagai daimyo shinpan (daimyo yang membantu Tokugawa dalam perang sekigahara) yang masih keluarga istri Tokugawa. Untuk itu Asano dan Ryonosuke belajar pada Kira Kazukeyoshinaka

Tetapi ternyata dalam upacara persembahan terhadap kaisar tersebut Asano mendapat malu yang besar, karena berkali-kali melakukan kesalahan dalam upacara sembah sujud pada utusan kaisar tersebut. Sedangkan Ryonosuke tidak mendapat kesalahan seperti itu. Oleh karena itu Asano merasa bahwa pangeran Kira sudah mengajarkan hal yang salah kepadanya.


(1)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

1. Nilai-nilai bushidou pada awalnya hanya milik kaum samurai.Nilai-nilai bushidou berkembang pada era feodal di Jepang karena digunakan pemerintah bakufu untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Kemudian pada era selanjutnya, ketika golongan samurai dihapuskan pada era Meiji, maka para mantan samurai itu mau tidak mau harus mencari pekerjaan lain dan membaur dalam masyarakat. Pembauran golongan ini ke dalam seluruh lapisan masyarakat semakin mendorong terjadinya penyebaran nilai-nilai bushidou. Pada akhirnya pengaruhnya kemudian meluas sehingga akhirnya menjadi standar bagi seluruh rakyat, mewakili suatu kode moral nasional.

2. Nilai kesetiaan bushidou merupakan nilai terpenting dalam ajaran bushidou, dimana terdapat pengabdian diri bushi kepada tuannya. Karena kesetiaan merupakan wujud balas budi seorang samurai terhadap tuannya. Kesetiaan untuk kepentingan bersama dan tuannya merupakan pemenuhan kewajiban samurai untuk mentati nilai-nilai bushidou.

3. Budaya malu yang ada dalam masyarakat Jepang merupakan ketidak mampuan membalaskan budi baik orang lain, sehingga mereka harus membalaskan atas budi baik orang lain, seorang bushi membalaskan budi baik tuannya dengan cara mengabdi sampai mati untuk tuannya yang diwujudkan dalam junshi.


(2)

4. Pada masa sekarang ini semangat bushidou dapat dilihat dari etos kerja masyarakat Jepang. Dimana para pekerja sangat loyal pada perusahaan yang telah mempekerjakan mereka dan bertanggung jawab atas pekerjaannya.

5. Dalam karoushi konsep balas budi diwujudkan melalui loyalitas pekerja terhadap perusahaan tempatnya bekerja.

6. Karoushi terjadi karena pekerja mengalami kelelahan, stres, karena frekuensi jam kerja yang tinggi, hingga mengidap penyakit dan akhirnya meninggal dunia.

7. Fenomena karoushi yang terjadi pada pekerja di Jepang, memiliki kesamaan dengan perilaku junshi yang dilakukan oleh kaum bushi, yaitu sebagai bentuk pengabdian kepada atasan.

8. Perbedaan antara junshi dan karoushi adalah bahwa perilaku junshi merupakan ajaran moral kaum bushi untuk mengabdi sampai mati kepada tuannya, sedangkan dalam fenomena karoushi adalah kematian yang terjadi bukan merupakan kematian yang diinginkan melainkan terjadi karena kelelahan, stres dan mengidap penyakit sebagai dampak dari frekuensi jam kerja yang tinggi, sebagai wujud loyalitas terhadap perusahaan.

4.2 Saran

1. Penulis berharap banyak hal yang dapat di pelajari melalui nilai kesetiaan bushidou. Namun kita harus bisa memilih nilai–nilai


(3)

nilai kebudayaan kita. Sehingga inti dari makna kesetiaan bushidou yang dihubungkan dengan karoushi bisa kita terapkan pada kehidupan kita. 2. Kita harus bisa membedakan nilai yang baik dan yang buruk mengenai

nilai kesetiaan bushidou, karena nilai kesetiaan bushidou tidak hanya memberikan dampak yang positif bagi kehidupan bangsa Jepang. Tetapi ada juga dampak negatif dari nilai kesetiaan tersebut yaitu kematian pada perilaku junshi dan fenomena karoushi.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Benedict, Ruth. 1982. Pedang Samurai dan Bunga Seruni: Pola-pola Kebudayaan Jepang (terj. Pamudji). Jakarta: Yayasan Sinar Harapan.

Frederic, Louis. 2002. Japan Encyclopedia. London: The Belknap Press Of Harvard University.

Fukutake, Tadashi. 1988. Masyarakat Jepang Dewasa Ini. Jakarta: PT Gramedia. Ishii, Ryōsuke. 1989. Sejarah Institusi Politik Jepang (terj. J.R. Sunaryo). Jakarta:

PT. Gramedia

Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta: Paradigma.

Koentjaraningrat. 1976. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Rineke Cipta.

Kunio, Yoshihara. 1987. Sogo Sosha:Pemandu Kemajuan Ekonomi Jepang (terj. A. Sandiwan Suharto). Jakarta: PT. Gramedia.

Nakane, Chie. 1981. Masyarakat Jepang. Jakarta: Sinar Harapan.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

___________________. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Reischauer, Edwin O. 1982. Manusia Jepang. Jakarta: Sinar Harapan.

Sakamoto, Taro. 1982. Jepang Dulu Dan Sekarang. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


(5)

Sipahutar, Friska N. 2007. Nilai-Nilai Bushido Dalam Sistem Manajemen Jepang (Skripsi). Medan: Fakultas Sastra USU.

Situmorang, Hamzon. 1995. Perubahan Kesetiaan Bushi Dari Tuan Kepada keshogunan Dalam Zaman Edo (1603-1868) di Jepang. Medan: USU Press.

__________________. 2006. Ilmu Kejepangan. Medan: USU Press.

__________________. 2008. Menoleh Budaya Malu Masyarakat Jepang Untuk Lebih Mengenal Indonesia (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Telaah Masyarakat Jepang pada Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara). Medan: USU Press.

Soekanto, Soerjono. 1983. Pribadi dan Masyarakat. Bandung: Alumni

________________.1985. Sosiologi Ruang Lingkup dan Aplikasinya. Bandung: Remadja Karya

________________. 2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sugiyono. 2003. Metode Penelitian, Cetakan Ketujuh. Bandung: CV Alfabeta. Suradjaja, I Ketut. 1984. Pergerakan Demokrasi Jepang. Jakarta: PT. Karya

Unipress.

Suryohadiprojo, Sayidiman. 1982. Manusia Dan Masyarakat Jepang Dalam Perjoangan Hidup. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Tarigan, Satria Putra. 2005. Tinjauan Bushido Sebagai Pedoman Moral Dan Etik Bangsa Jepang Masa Kini (Skripsi). Medan: Fakultas Sastra USU.


(6)

Wulandari, Gusti. 2006. Analisis Kesetiaan Pada Tokoh-Tokoh Samurai Dalam Komik Samurai X (Skripsi). Medan: Fakultas Sastra USU.

http://en.wikipedia.org/wiki/Abolition_of_the_han_system

http://118.98.216.59/subdom/modul/bahan/pend_EtosKerja_2008/Bagaimana_Ma mbangun_Etos_Kerja.htm


Dokumen yang terkait

Nihon Go No “TE” Ni Kansuru Kanyouku No Imi No Hikaku NO Bunseki

8 69 94

5 CM No Shousetsu Ni Tsuite No Bunseki

0 18 24

Nihongo No Bunshou Ni Okeru (Kibou) O Arawasu Toshite No –Tai To –Tagaru Toiu Jodoushi No Bunseki

5 98 64

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki

0 1 8

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki

0 0 1

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki

0 7 8

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki

0 0 15

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki Chapter III IV

0 0 19

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki

0 0 2

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki

0 0 5