Bushidou dalam Feodalisme Sejarah Lahirnya Bushi

2.1.2 Bushidou dalam Feodalisme

Masa feodalisme di Jepang yang terjadi pada zaman Kamakura 1185 di awali dengan peperangan antara keluarga Minamoto dengan keluarga Taira yang merupakan penanggung jawab keamanan selama dua puluh tahun ketika kaisar melaksanakan politik sekkan pemegang kekuasaan sebagai wali tenno pada waktu tenno melakukan insei atau tenno masih anak-anak, perang ini di menangkan oleh keluarga Minamoto yang kemudian mengambil wilayah yang dikuasai oleh keluarga Taira. Para bushi yang menjadi kerai anak buah Minamoto yang berprestasi dalam memerangi keluarga Taira dan bersumpah setia kepada Minamoto no Yoritomo diangkat menjadi gokenin penguasa pemerintahan di daerah Situmorang, 1995:13. Pada masa inilah permulaan pemerintah keshogunan di Jepang yang dianggap juga sebagai permulaan feodalisme. Pemerintah shogun dibantu dengan adanya ikatan tuan dan anak buah antara Minamoto Yoritomo dan para samurai, antara kedua pihak terjadi hubungan tanggung jawab dan pengabdian setia. Shogun Yoritomo melindungi tanah yang diwarisi oleh samurai dari nenek moyangnya dan memberi hadiah tanah atas jasa-jasa mereka, sementara para samurai dengan setia mengabdi kepada bakufu, mengerjakan tugas militernya. Dengan terbentuknya suatu perjanjian antara tuan dan anak buahnya, hal ini merupakan suatu bentuk awal sistem feodalisme di Jepang. KeShogunan bakufu Muromachi didirikan oleh Ashikaga Takauji pada tahun 1338, Ashikaga merupakan sekkan di Kyoto yang berasal dari keluarga Fujiwara. Pada zaman Muromachi tahun 1467 terjadi perang saudara onin yang berlangsung selama sebelas tahun di Kyoto. Perang ini dimulai karena adanya Universitas Sumatera Utara pertentangan antara Hosokowa Katsumoto, Yamana Mochitoyo dan para penasihat utama shogun kanrei. Pertentangan ini menjadi semakin kacau karena perselisihan masalah pergantian shogun dan pergantian dalam keluarga-keluarga Shiba dan Hatakeyama yang merupakan kanrei. Perang onin mengakibatkan kekacauan dimana-mana. Kekacauan ini berlangsung lebih dari seratus tahun dan dikenal sebagai sengoku jidai zaman perang seluruh negeri Jepang dimana timbul semboyan gekokujo ikki revolusi bawahan menjatuhkan atasan. Sepanjang zaman sengoku, para daimyo memperkuat posisinya di wilayah masing-masing, mereka berusaha memperluas kekuasaannya kemudian terjadilah peperangan antar daimyo. Pada tahun 1573 lembaga bakufu yang dipimpin oleh Shogun Yoshiaki berhasil digulingkan oleh seseorang yang bernama Oda Nobunaga dari propinsi Owari. Hal ini merupakan kejadian pertama kali dimana seorang daimyo menjatuhkan shogun yang menjadi contoh keberhasilan gekokujo ikki yang merupakan dampak dari kekacauan pada masa bakufu Muromachi. Ketika terjadi penyerangan pada kuil Honnoji di Kyoto, Oda Nobunaga terbunuh, penyerangan ini dipimpin oleh seorang jendral bernama Akechi Mitsuhide yang merupakan anak buah Oda Nobunaga. Kemudian usaha-usaha Nobunaga untuk mempersatukan Jepang dilanjutkan oleh Toyotomi Hideyoshi yang merupakan seorang samurai dari rakyat biasa yang mengabdi kepada Nobunaga. Pada waktu Nobunaga terbunuh, Hideyoshi sedang berperang melawan kaum Mori yang diperintah oleh Nobunaga. Ketika mendengar kematian Nobunaga, Hideyoshi kembali dari perang melawan kaum Mori. Kemudian untuk membalaskan kematian Nobunaga, Hideyoshi berperang dalam perang Yamazaki Universitas Sumatera Utara dan mengalahkan Akechi Mitsuhide lalu mengalahkan jendral-jendral Nobunaga lain dan daimyo di beberapa daerah, dan akhirnya pada tahun 1590 ia berhasil mempersatukan seluruh Jepang Sakamoto, 1982:35. Meskipun Nobunaga dan Hideyoshi seorang jendral samurai, mereka tidak mendirikan bakufu tetapi mereka memiliki kedudukan resmi di istana dan memerintah negara atas nama wewenang yang dimiliki kaisar. Hideyoshi menjabat sebagai kanpaku yang sangat menghormati kaisar. Setelah Toyotomi Hideyoshi wafat, Tokugawa Ieyasu daimyo dari wilayah Mikawa mengambil alih kekuasaan dan meneruskan pekerjaan Nobunaga melalui perang sekigahara yaitu perang antara pengikut Hideyoshi melawan Ieyasu, yang dimenangkan oleh Ieyasu. Kemudian pada tahun 1603 Ieyasu ditunjuk sebagai shogun oleh kaisar, lalu ia membangun kembali bakufu di kota Edo yang sebelumnya telah digulingkan pada masa keShogunan Ashikaga. Setelah itu Ieyasu melakukan berbagai perubahan dalam pembagian wilayah dengan memberikan daerah Kinai, Kanto, dan Tokai kepada daimyo yang telah mengabdi kepadanya secara turun temurun. Lalu ia juga menetapkan kitab undang-undang bagi keluarga ksatria dan menetapkan sistem yang dikenal sebagai sankinkotai yang mewajibkan para daimyo untuk mengabdi secara bergantian di Edo yang secara mutlak mengabdi kepada shogun. Dengan didirikannya sistem han wilayah feodal yang merupakan unsur dalam struktur politik yang dikendalikan oleh daimyo, maka sistem feodal dapat dikatakan sebagai bentuknya yang paling murni. Lalu Ieyasu membuat sistem stratifikasi sosial atau kelas sosial di tengah masyarakat mibun seido dengan membaginya menjadi empat golongan masyarakat yaitu samurai, petani, buruh, dan pedagang yang sering disebut Universitas Sumatera Utara dengan shi-no-ko-sho. Dan hubungan feodal antara tuan dan anak buahnya yang dipegang oleh samurai diperluas ke setiap kelas. Untuk menghindari adanya gekoku ikki dari daimyo lain terutama daimyo yang menjadi musuh Tokugawa pada perang sekigahara, maka Shogun Tokugawa berusaha mengubah etos pengabdian diri bushi atau bushidouu jalan hidup bushi yang sebelumnya mengabdi kepada daimyo secara mutlak zettai teki menjadi pengabdian diri kepada keshogunan shidobushidou baru. Tokugawa mencoba mengubah makna moralitas yang berlaku sebelumnya di dalam masyarakat dengan tujuan pemusatan rasa terimakasih kepada Tokugawa bagi seluruh rakyat Jepang dengan cara penanaman kesadaran akan peringkat atas dan bawah dimana kekuasaan adalah keshogunan sehingga merupakan pemberi on tertinggi pada masyarakat. Bushidouu sebelum zaman Edo Tokugawa merupakan kesetiaan pengabdian diri bushi terhadap tuannya yang merupakan ajaran Buddha Zen. Bushidouu lama yang ditandai dengan pengabdian diri yang mutlak dari anak buah terhadap tuannya, gejalanya yang paling jelas dapat dilihat pada perilaku junshi bunuh diri mengikuti kematian tuan dan perilaku adauchi mewujudkan balas dendam tuan yang sering dilakukan anak buah sebagai tanda pengabdian kepada tuannya Situmorang, 1995:21. Untuk memantapkan kekuasaannya pemerintah Tokugawa mengajarkan shidou bushidou baru sebagai ideologi baru bagi para bushi yang bercirikan kesetiaan terhadap shogun. Guna mengurangi loyalitas bushi terhadap tuannya yang berarti mengurangi kekuatan daimyo di daerah, Tokugawa bakufu melarang adanya pengabdian yang tidak rasional dari anak buah terhadap tuannya di daerah, Universitas Sumatera Utara seperti melakukan junshi dan adauchi, sehingga daimyo tidak menjadi kuat dan tidak mampu melakukan perlawanan terhadap shogun.

2.2 Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Bushidou

Dokumen yang terkait

Nihon Go No “TE” Ni Kansuru Kanyouku No Imi No Hikaku NO Bunseki

8 69 94

5 CM No Shousetsu Ni Tsuite No Bunseki

0 18 24

Nihongo No Bunshou Ni Okeru (Kibou) O Arawasu Toshite No –Tai To –Tagaru Toiu Jodoushi No Bunseki

5 98 64

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki

0 1 8

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki

0 0 1

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki

0 7 8

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki

0 0 15

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki Chapter III IV

0 0 19

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki

0 0 2

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki

0 0 5