Penghitungan Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi

2. Penghitungan Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi

Perhitungan kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi baru dapat dilakukan setelah ditentukan unsur melawan hukumnya sebagai penyebab timbulnya kerugian keuangan negara. Berikut ini dideskripsikan beberapa hal yang terkait dengan penghitungan kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi. a. Tujuan Dengan dipastikannya bahwa kerugian keuangan negara telah terjadi, maka salah satu unsurdelik korupsi dan atau perdata telah terpenuhi, sedangkan tujuan dilakukannya penghitungan jumlah kerugian keuangan negara antara lain, adalah : 1 Untuk menentukan jumlah uang penggantituntutan ganti rugi yang harus diselesaikan oleh pihak yang terbukti bersalah bila kepada terpidana dikenakan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 dan 18 Undang-undang No. 31 Tahun 1999. 2 Sebagai salah satu patokanacuan bagi Jaksa untuk melakukan penuntutan mengenai beratringannya hukuman yang perlu dijatuhkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan bagi hakim sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan keputusannya. c. Dalam hal kasus yang terjadi ternyata merupakan kasus perdata atau lainnya kekurangan perbendaharaan atau kelalaian PNS, maka perhitungan kerugian keuangan negara digunakan sebagai bahan gugatanpenuntutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Universitas Sumatera Utara b. Bukti-Bukti dalam Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Perhitungan kerugian keuangan negara adalah merupakan jenis audit dengan tujuan tertentu, yakni menghitung kerugian keuangan negara sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum. Metodecara menghitung kerugian keuangan negara pada dasarnya tidak dapat dipolakan secara seragam. Hal ini disebabkan sangat beragamnya modus operandi kasus-kasus penyimpangantindak pidana korupsi yang terjadi. Auditor yang melakukan penghitungan kerugian keuangan negara harus mempunyai pertimbangan profesional untuk menggunakan teknik-teknik audit yang tepat sepanjang dengan teknit audit yang digunakannya, auditor memperoleh bukti yang relevan, kompeten dan cukup, serta dapat digunakan dalam proses peradilan. Ungkapan yang sering dipakai sebagai panduan dalam melakukan penghitungan kerugian keuangan negara adalah without evidence, there is no case. Ungkapan tersebut menggambarkan betapa sangat pentingnya bukti. Kesalahan dalam memberikan dan menghadirkan bukti di sidang pengadilan akan berakibat kasus yang diajukan akan ditolak dan atau tersangka akan dibebaskan dari segala tuntutan. Oleh karena itu, auditor harus memahami secara seksama bukti-bukti apa saja yang dapat diterima menurut hukum dalam rangka untuk mendukung ke arah litigasi. Praktisi hukum, seperti penyidik juga perlu memahami bahwa auditor bekerja dengan bukti audit bukan alat bukti, dengan demikian perlu pemahaman mengenai perbedaan alat bukti dan bukti audit. Universitas Sumatera Utara Dalam persfektif hukum positif di Indonesia, setidak-tidaknya ada 3 tiga ketentuan yang mengatur masalah bukti, yaitu Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana KUHAP, Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Pasal 183 KUHP menyatakan : ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Berdasarkan ketentuan di atas, penjatuhan pidana pada orang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 dua alat bukti dan keyakinan hakim. Dari sisi auditor yang melakukan investiasi atas suatu kasus, adanya ketentuan yang mensyaratkan minimal 2 dua alat bukti ini perlu mendapat perhatian yagn seksama. Walaupun auditor dalam sistem hukum Indonesia bukan merupakan Penyelidik atau Penyidik seperti yang diatur dalam KUHAP, namun dalam pelaksanaan tugasnya auditor patut mempertimbangkan hal-hal yang dapat mendukung dipenuhinya ketentuan sepert diatur dalam Pasal 183 KUHAP ini. Pengaturan mengenai alat bukti sebagaimana diketahui bahwa alat bukti yang sah menurut KUHAP Pasal 184 ayat 1 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. Alat bukti seperti keterangan saksi dan keterangan terdakwa dapat digunakan oleh penyidik Universitas Sumatera Utara dalam menentukan unsur melawan hukum, namun tidak serta merta dapat digunakan auditor dalam menghitung kerugian keuangan, karena auditor memerlukan bukti relevan berupa dokumen yang dapat diguankan untuk menggambarkan proses akuntansi yang menyebabkan terjadinya kerungan keuangan negara. Oleh karena itu, seorang auditor perlu memahami dan mengidenifikasi jenis- jenis sumber informasi sehingga semua informasi yang diperoleh dapat menjadi alat bukti yang bermanfaat dalam mendukung atau menguji suatu faktakejadian. Begitu pentingnya alat bukti dalam mendukung dan menguji suatu fakta atau kejadian sehingga perlu kiranya seorang auditor harus seksama dalam menggunakan metode bagaimana bukti tersebut dapat diperoleh, dan bagaimana harus mengamanakan dan mengelola bukti-bukti tersebut. Dalam menyatakan adatidaknya kerugian keuangan negara dan berapa besar kerugian tersebut, seorang auditor harus memperoleh bukti yang relevan, kompeten dan cukup. Untuk memperoleh bukti-bukti audit terdapat 7 tujuh tehnik audit yang dapat digunakan seorang auditor, yakni memeriksa fisik, konfirmasi, memeriksa dokumen, review analitis, wawancara, menghitung ualng dan observasi. Dalam proses persidangan dimungkinkan terjadinya perbedaan persepsi mengenai nilai kerugian keuangan negara yang terjadi. Hal ini sejalan dengn dalil Mr. Trapman yang berpendapat bahwa dalam suatu proses peradilan pidana, dapat terjadi : 73 ”masing-masing pihak dalam suatu persidangan, yakni Jaksa Penuntut Umum, PembelaPenasehat Hukum dan Hakim adalah mempunyai fungsi yang sama, 73 M.J. Van Bamelem, Straaf Voodering, dalam Eddy Mulyadi Soepardi, Op.cit., hal. 12. Universitas Sumatera Utara meskipun mereka masing-masing mempunyai posisi yang berbeda, maka sudah selayaknyalah masing-masing pihak mempunyai pendirian yang berbeda pula”. Dari dalil di atas, mengenai adanya perbedaan posisi tersebut, maka dalam proses persidangan, semua pihak selalu berusaha menggali dan menemukan fakta- fakta hukum dari setiap alat bukti yang diperiksa, dengan tujuan untuk mengetahui kebenaran materiil yang sesungguhnya. Dengan demikian, setiap kasus yang dianggap kontroversi sekalipun pasti akan disertai dengan adanya argumen dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses persidangan. Untuk itu perlu diatur tentang metode yang dapat dilakukan jasa penilai agar diperoleh hasil yang standar yang dapat diterima semua pihak. Keterangan ahli ini diperlukan untuk menjelaskan dan membuktikan kerugian negara yang timbul dan berasal dari berbagai transaksi yang disebutkan di atas yang terkait dengan terdakwa. Dalam hal ini, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan PPATK dapat membantu dengan memberikan laporan hasil analisisnya tentang berbagai transaksi yang menimbulkan kerugian negara tersebut. Di samping itu,PPATK juga dapat membantu melihat perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melihat berbagai transaksi dari pihakpihak yang terkait, misalnya melihat apakah ada penyuapan kickback yang diterima seorang pejabat negara. Universitas Sumatera Utara

B. Tugas, Fungsi dan Wewenang BPKP dan Kejaksaan dalam Penentuan

Unsur Kerugian Negara terhadap Kasus Tindak Pidana Korupsi Sejarah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan BPKP tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang perkembangan lembaga pengawasan sejak sebelum era kemerdekaan. Dengan besluit Nomor 44 tanggal 31 Oktober 1936 secara eksplisit ditetapkan bahwa Djawatan Akuntan Negara Regering Accountantsdienst bertugas melakukan penelitian terhadap pembukuan dari berbagai perusahaan negara dan jabatan tertentu. Dengan demikian, dapat dikatakan aparat pengawasan pertama di Indonesia adalah Djawatan Akuntan Negara DAN. Secara struktual DAN yang bertugas menguasai pengelolaan perusahaan negara berada dibawah Thesauri Jenderal pada Kementrian Keuangan. Dengan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 1961 tentang Instruksi bagi Kepala Djawatan Akuntan Negara DAN, kedudukan DAN dilepas dari Thesauri Jenderal dan ditingkatkan kedudukannya langsung di bawah Menteri Keuangan. DAN merupakan alat pemerintah yang bertugas melakukan semua pekerjaan akuntan bagi pemerintah atas semua departemen, jabatan, dan instansi di bawah kekuasaannya. Sementara itu fungsi pengawasan anggaran dilaksanakan oleh Thesauri Jenderal. Selanjutnya dengan Keputusan Presiden Nomor 239 Tahun 1966 dibentuklah Direktorat Djendral Pengawasan Keuangan Negara DDPKN pada Departemen Keuangan. Tugas DDPKN dikenal kemudian sebagai DJPKN meliputi pengawasan anggaran dan pengawasan badan usahajabatan, yang semula menjadi tugas DAN dan Thesauri Jenderal. 74 74 BPKP, Profil Organisasi, 25 Tahun BPKP, Jakarta, 2007, hal. 10. Universitas Sumatera Utara DJPKN mempunyai tugas melaksanakan pengawasan seluruh pelaksanaan anggaran negara, anggaran daerah, dan badan usaha milik negaradaerah. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 70 Tahun 1971 ini, khusus pada Departemen Keuangan, tugas Inspektorat Jendral dalam bidang pengawasan keuangan negara dilakukan oleh DJPKN. Dengan diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983 tanggal 30 Mei 1983. DJPKN ditransformasikan menjadi BPKP, sebuah lembaga pemerintah non departemen LPND yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Salah satu pertimbangan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 31 Tahun 1983 tentang BPKP adalah diperlukannya badan atau lembaga pengawasan yang dapat melaksanakan fungsinya secara leluasa tanpa mengalami kemungkinan hambatan dari unit organisasi pemerintah yang menjadi obyek pemeriksaannya. Keputusan Presiden No. 31 Tahun 1983 tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah telah meletakkan struktur organisasi BPKP sesuai dengan proporsinya dalam konstelasi lembaga-lembaga Pemerintah yang ada. BPKP dengan kedudukannya yang terlepas dari semua departemen atau lembaga sudah barang tentu dapat melaksanakan fungsinya secara lebih baik dan obyektif. 75 Pada tahun 2001 dikeluarkan Keputusan Presiden No. 103 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah,terakhir dengan Peraturan Presiden No 64 tahun 2005. Dalam Pasal 52 disebutkan, BPKP mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang 75 Ibid. Universitas Sumatera Utara pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

1. Tugas, Fungsi dan Wewenang BPKP dalam Menentukan Unsur Kerugian

Dokumen yang terkait

Pendampingan Aparatur Sipil Negara Yang Terkait Tindak Pidana Korupsi Dalam Pelaksanaan Tugas Kedinasan Berdasarkan Permendagri No. 12 Tahun 2014 Di Lingkungan Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara

1 109 101

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)

3 55 157

Analisis Gugatan bersifat in rem terhadap hasil tindak pidana korupsi pada sistem hukum Common Law

1 77 152

Kewenangan Jaksa Pengacara Negara Dalam Gugatan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Yang Terdakwanya Meninggal Dunia (Studi Putusan No. Reg 02/Pdt. G/2010/PN.DPK)

0 55 105

Analisis Hukum Terhadap Dakwaan Tindak Pidana Korupsi Oleh Jaksa Penuntut Umum (Putusan Mahkamah Agung No.2642 K/Pid/2006)

0 37 127

Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut (Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN)

5 123 163

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

2 43 164

TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN BPK DAN BPKP MENGHITUNG KERUGIAN NEGARA DALAM RANGKA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.

0 1 12

TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN BPK DAN BPKP MENGHITUNG KERUGIAN NEGARA DALAM RANGKA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 0 12

OPTIMALISASI KEJAKSAAN DALAM PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA AKIBAT TINDAK PIDANA KORUPSI

0 0 19