Landasan Konsepsi Kewenangan Bpkp Dan Kejaksaan Dalam Penentuan Unsur Kerugian Keuangan Negara Terhadap Tindak Pidana Korupsi

lembaga yang menonjol, sebagai lembaga negara yang melambangkan era modern, dan kita tidak mungkin memahami kehidupan sosial masa kini kalau kita tidak mengerti tentang bentuk lembaga ini. 37 Sehingga peran, fungsi dan wewenangnya khususnya Kejaksaan dan BPKP dalam menentukan unsur kerugian negara harus lebih dipertegas lagi. Berdasarkan undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, bahwa kedudukan kejaksaan adalah sebagai lembaga eksekutif yang melakukan tugas dan wewenang dibidang yudikatif. Dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan Negara, Kejaksaan bekerjasama dengan instansi terkait yaitu BPKP sejak tahun 1989 yang tertuang dalam petunjuk pelaksanaan bersama BPKP dan Kejagung No. juklak- 001J.A21989 No. Kep-145k1989 perihal upaya penanganan bersama BPKP dalam tindak pidana korupsi yang diberi kewenangan untuk menghitung kerugian negara dan adanya Nota Kesepahaman antara Kejaksaan RI, Kepala Kepolisian RI dan Kepala BPKP, No. : KEP-109AJA092007, No. Pol – B2718IX2007 dan No. : KEP-1093KD62007 tanggal 28 September 2007 tentang Kerjasama dalam Penanganan Kasus Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Negara yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi termasuk Dana Non Budgeter.

2. Landasan Konsepsi

37 M. Blau, Peter dan M. Meyer, Marshall, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, UI Press, Jakarta, 1987, hal. 14. Universitas Sumatera Utara Untuk bisa mendapatkan kejelasan maka perlu disampaikan beberapa batasan sebagai definisi operasional dalam penelitian ini.

a. Tindak Pidana

Dalam kitab undang-undang hukum pidana yang berlaku sekarang diadakan dua macam pembagian tindak pidana, yaitu kejahatan yang ditempatkan dalam Buku ke II dan pelanggaran yang ditempatkan dalam Buku ke III. Ternyata dalam KUHP, tiada satu Pasal pun yang memberikan dasar pembagian tersebut, walaupun pada bab- bab dari buku I selalu ditemukan penggunaan istilah tindak pidana, kejahatan atau pelanggaran. Kiranya ciri-ciri pembedaan itu terletak pada penilaian kesadaran hukum pada umumnya dengan penekanan stressing kepada delik hukum rechts- delichten dan delik undang-undang wet-delichten. 38 Beberapa sarjana, seperti Vos, Simon, Van Hammel dan sebagainya mengemukakan sebagai dasar pembagian tersebut bahwa delik hukum sudah sejak semula dapat dirasakan sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum sebelum pembuat undang-undang menyatakan dalam undang-undang. Sedangkan delik undang-undang baru dipandangdirasakan sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum, setelah ditentukan dalam undang-undang. Sebagai contoh dari delik hukum antara lain adalah pengkhianatan, pembunuhan, pencurian, perkosaan, penghinaan dan sebagainya, dan contoh dari 38 Wirjono Prodjodikoro, Op.cit, hal. 16. Universitas Sumatera Utara delik undang-undang antara lain adalah pelanggaran, peraturan lalu lintas di jalan, peraturan pendirian perusahaan, peraturan pengendalian harga dan lain sebagainya. Dasar pembedaan lainnya dari kejahatan dan pelanggaran yang dikemukakan adalah pada beratringannya pidana yang diancamkan. Seyogyanya untuk kejahatan diancamkan pidana yang berat seperti pidana mati atau penjaratutupan. Ternyata pendapat ini menemui kesulitan karena pidana kurungan dan denda diancamkan, baik pada kejahatan maupun pelanggaran. 39 Sedangkan istilah tindak pidana merupakan salah satu terjemahan dari bahasa Belanda yaitu “Het Strafbare feit” yang setelah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti : a. Perbuatan yang dapatboleh dihukum b. Peristiwa pidana c. Perbuatan pidana dan d. Tindak pidana Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana mengenai istilah “Het Strafbare feit” antara lain : a. Rumusan Simon Simon merumuskan “Een Strafbaar feit” adalah suatu handeling tindakanperbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum onrechtmatig dilakukan dengan kesalahan schuld 39 P.A.F. Lumintang, Delik-Delik Khusus, Tindak-Tindak Pidana Melanggar Norma-Norma Kesusilaan dan Norma-Norma Kepatutan, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal. 15. Universitas Sumatera Utara oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Kemudian beliau membaginya dalam dua golongan unsur, yaitu : unsur-unsur objektif yang berupa tindakan yang dilarangdiharuskan, akibat keadaanmasalah tertentu, dan unsur subjektif yang berupa kesalahan schuld dan kemampuan bertanggung jawab toerekeningsvatbaar dari petindak. b. Rumusan Van Hammel Van Hammel merumuskan “Strafbaar feit” itu sama dengan yang dirumuskan oleh Simon, hanya ditambah dengan kalimat “tindakan mana bersifat dapat dipidana”. c. Rumusan VOS VOS merumuskan “Strafbaar feit” adalah suatu kelakukan gedraging manusia yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana. Para sarjana Indonesia juga telah memberikan definisi mengenai tindak pidana ini, yaitu 40 : a. Moeljatno mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan pidana. b. Wirdjono Prodjodikoro mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku itu dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana. Setelah melihat pendapat beberapa ahli mengenai pengertian tindak pidana, maka selanjutnya dapat dikatakan bahwa tindak pidana adalah terdiri dari dua suku kata yaitu tindak dan pidana. Istilah tindak dan pidana adalah merupakan singkatan 40 Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit. hal. 28. Universitas Sumatera Utara dari tindakan dan penindak. Artinya ada orang yang melakukan suatu tindakan, sedangkan orang yang melakukan tindakan itu dinamakan penindak. Mungkin suatu tindakan dapat dilakukan oleh siapa saja, tetapi dalam banyak hal suatu tindakan tertentu hanya mungkin dilakukan oleh seseorang dari suatu golongan jenis kelamin saja, atau seseorang dari suatu golongan yang bekerja pada negarapemerintah pegawai negeri, militer, nakhoda dan sebagainya atau seseorang dari golongan lainnya. Jadi statuskualifikasi seseorang petindak harus ditentukan apakah ia salah seorang dari “barang siapa”, atau seseorang dari suatu golongan tertentu. Bahwa jika ternyata petindak itu tidak hanya orang natuurlijk-persoon saja melainkan juga mungkin berbentuk badan hukum. Seperti yang dikemukakan di atas, ”tindak pidana” atau ”strafbaar feit” merupakan suatu perbuatan yang mengandung unsur perbuatan atau tindakan yang dapat dipidanakan dan unsur pertanggungjawaban pidana kepada pelakunya. Sehingga dalam syarat hukuman pidana terhadap seseorang secara ringkas dapat dikatakan bahwa tidak akan ada hukuman pidana terhadap seseorang tanpa adanya hal-hal yang secara jelas dapat dianggap memenuhi syarat atas kedua unsur itu. Berkaitan dalam asas hukum pidana yaitu ”Geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea”, bahwa ”tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”, maka pengertian ”tindak pidana” itu terpisah dengan yang dimaksud ”pertanggungjawaban tindak pidana”. Jadi, berdasarkan uraian diatas kejaksaan sebagai bagian dari lembaga eksekutif yang berperan sebagai pemegang wewenang untuk melakukan Universitas Sumatera Utara penyelidikan, penyidikan dan eksekutor terhadap kasus tindak pidana korupsi membangun kerjasama dengan BPKP. Hal ini terlihat dari beberapa peraturan dan Nota Kesepahaman yang melegalisasi kerjasama Kejaksaan dan BPKP. Dalam penentuan kerugian keuangan negara terhadap kasus korupsi, Kejaksaan dapat meminta bantuan kepada BPKP untuk melakukan audit investigasi dan melakukan perhitungan terhadap indikasi korupsi yang merugian keuangan negara.

b. Tindak Pidana Korupsi

Korupsi berasal dari kata latin “Corruptio” atau “Corruptus”, dalam bahasa Prancis dan Inggris disebut “Corruption”, dalam bahasa Belanda disebut “Corruptie”. 41 Menurut beberapa sarjana korupsi dapat dirumuskan sebagai berikut : a. Carl J. Friesrich, mengatakan bahwa pola korupsi dapat dikatakan ada apa bila seorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu seperti seorang pejabat yang bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang, membujuk untuk mengambil langkah yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar membahayakan kepentingan umum. b. Bayley menyatakan perkataan korupsi dikaitkan dengan perbuatan penyuapan yang berkaitan dengan penyalah gunaan wewenang atau kekuasaan sebagai akibat adanya pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan bagi keuntungan pribadi. c. M.Mc. Mullan seorang pejabat pemerintah dikatakan “korup” apabila ia menerima uang yang dirasakan sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang bisa lakukan dalam tugas jabatannya pada hal ia selama menjalankan tugasnya seharusnya tidak boleh berbuat demikian. Atau dapat berarti menjalankan kebijaksanaannya secara sah untuk alasan yang tidak benar dan 41 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia, Malang, 2005, hal. 1. Universitas Sumatera Utara dapat merugikan kepentingan umum. Yang menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan. 42 Selanjutnya menurut Vito Tanzi sebagaimana dikutip oleh Chaeruddin menyebutkan bahwa ada 7 tujuh jenis-jenis korupsi yaitu : a. Korupsi transaktif yaitu korupsi yang terjadi atas kesepakatan diantara seorang donor dengan resipien untuk keuntungan kedua belah pihak. b. Korupsi ekstortif yaitu korupsi yang melibatkan penekanan dan pemaksaan untuk menghindari bahaya bagi mereka yang terlibat atau orang-orang yang dekat dengan pelaku korupsi. c. Korupsi investif yaitu korupsi yang berawal dari tawaran yang merupakan investasi untuk mengantisipasi adanya keuntungan dimasa datang. d. Korupsi nepotisik yaitu korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus baik dalam pengangkatan kantor publik maupun pemberian proyek-proyek bagi keluarga dekat e. Korupsi otogenik yaitu korupsi yang terjadi ketika seorang pejabat mendapat keuntungankarena memiliki pengetahuan sebagai orang dalam insiders information tentang berbagai kebijakan publik yang seharusnya dirahasiakan. f. Korupsi supportif yaitu perlindungan atau penguatan korupsi yang menjadi intrik kekuasaan dan bahkan kekerasan g. Korupsi defensif yaitu korupsi yang dilakukan dalam rangka mempertahankan diri dari pemerasan. 43 Memperhatikan rumusan Pasal 2 sampai dengan Pasal 17 dan Pasal 21 sampai dengan Pasal 24 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka pelaku tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang berarti orang perseorangan atau korporasi. Bila diperhatikan ketentuan yang tercantum dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 20 Tahun 2001, tindak Pidana Korupsi dapat dibagi ke dalam dua segi, yaitu aktif dan pasif. 42 Evi Hartanti., Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 9. 43 Chaeruddin., Tindak Pidana Korupsi, Aditama, Jakarta, 2007, hal. 2-3. Universitas Sumatera Utara Dari segi aktif maksudnya pelaku tindak pidana korupsi tersebut langsung melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan melakukan penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana. Sedangkan tindak pidana korupsi yang bersifat pasif yaitu yang menerima pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. 44 Dari segi aktif dapat dilihat dari beberapa ketentuan pasal-pasal dalam kedua undang-undang tersebut yaitu : a. Pasal 2 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. b. Pasal 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. c. Pasal 4 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Memberi hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut. d. Pasal 15 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Percobaan pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi. e. Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. f. Pasal 5 ayat 1 huruf b Undang-undang No.20 Tahun 2001 Memberi sesuatu kepada Pegawa Negeri atau penyelenggara Negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. g. Pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-undang No.20 Tahun 2001 Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili. h. Pasal 7 ayat 1 huruf a Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang. i. Pasal 7 ayat 1 huruf b Undang-undang No.20 Tahun 2001 44 Darwan Prins, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2002, hal. 2. Universitas Sumatera Utara Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a j. Pasal 7 ayat 1 huruf c Undang-undang No.20 Tahun 2001 Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang. k. Pasal 7 ayat 1 huruf d Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c l. Pasal 8 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Pegawai Negeri atau orang lain selain Pegawai Negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut. m. Pasal 9 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Pegawai Negeri atau selain Pegawai Negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan adminstrasi. n. Pasal 10 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Pegawai Negeri atau orang selain Pegawai Negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, surat atau daftar tersebut, atau membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang, surat atau daftar tersebut. o. Pasal 12 Undang-undang No. 12 Tahun 2001 1. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu atau menerima pembayaran dengan potongan atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri. Pasal 12 Undang-undang No.20 Tahun 2001 huruf e. 2. Pada waktu menjalankan tugas meminta, menerima atau memotong pembayaran kepada Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai hutang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan hutang Pasal 12 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 huruf 1 3. Pada waktu menjalankan tugas meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang seolah-olah merupakan hutang pada dirinya, pada hal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan hutang Pasal 12 Undang- undang No. 20 Tahun 2001, huruf g. Universitas Sumatera Utara 4. Pada waktu menjalankan tugas oleh menggunakan tanah negara yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan perundang- undangan, telah merugikan orang yang berhak, pada hal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang- undangan atau. 5. Baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, penggandaan atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk keseluruhannya atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya Pasal 12 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 huruf i p. Pasal 13 Undang-undang No.31 Tahun 1999 Memberi hadiah kepada Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu. Selain dari ketentuan-ketentuan di atas, ditemukan pula dalam Undang- undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi yang bersifat passif berupa : a. Pasal 5 ayat 2 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. a. Pasal 6 ayat 2 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Hakim atau Advokat yang menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. b. Pasal 7 ayat 2 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Orang yang menerima penyerahan bahan atau keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia yang membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf a atau huruf c Undang-undang No.20 Tahun 2001. c. Pasal 11 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Pegawai atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji pada hal diketahui atau patut diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau menurut pikiran orang yang memberikan, hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. d. Pasal 12 huruf a dan huruf b Undang-undang No.20 Tahun 2001 Universitas Sumatera Utara Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji pada hal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya, atau sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. e. Pasal 12 huruf c Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Hakim yang menerima hadiah atau janji pada hal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan kepadanya untuk diadili. f. Pasal 12 huruf d Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Advokat yang menerima hadiah atau janji pada hal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. g. Pasal 12 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Setiap Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi yang diberikan berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 tiga belas Pasal dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam 30 bentukjenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan sanksi pidana karena korupsi. Ketigapuluh bentukjenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut: a. Kerugian keuangan negara b. Suap-menyuap c. Penggelapan dalam jabatan Universitas Sumatera Utara d. Pemerasan e. Perbuatan curang f. Benturan kepentingan dalam pengadaan g. Gratifikasi Dalam ketentuan Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang luar biasa extra ordinary crime sehingga untuk memberantasnya diperlukan tindakan yang luar biasa pula extra ordinary measures. Oleh karena itu, sebagai tindak pidana luar biasa menggunakan undang- undang yang khusus, yaitu untuk seluruh kasus tindak pidana korupsi maka yang dipergunakan adalah undang-undang tindak pidana korupsi, yaitu UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 21 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, karena tindak pidana korupsi adalah tindak pidana khusus, sehingga menggunakan undang-undang yang bersifat lex specialis. Untuk penindakan law enforcement kiga tidak cukup dengan institusi yang ada Kepolisian dan Kejaksaan, tapi dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi KPK. Bahkan untuk mengadili pun harus dibentuk peradilan khusus yaitu Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tipikor.

c. Sistem Peradilan Pidana

Universitas Sumatera Utara Sistem Peradilan Pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan : 45 a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; c. Mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. Dalam sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri- sendiri. Badan-badan tersebut yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sistematik ini tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut, Sudarto mengatakan: Instansi-instansi tersebut masing-masing menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya. Pandangan penyelenggaran tata hukum pidana demikian itu disebut model kemudi stuur model. Jadi kalau polisi misalnya hanya memberi marah pada orang yang melanggar peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan meneruskan perkaranya ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu keputusan penetapan hukum. Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang dimuka 45 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994. hal. 84. Universitas Sumatera Utara pengadilan. Ini semua adalah bagian-bagian dari kegiatan dalam rangka penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut “crime control” suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan-tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 46 Selanjutnya tampak pula, bahwa sistem peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana substantif, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam bentuk yang bersifat prefentif, represif maupun kuratif. Dengan demikian akan nampak keterkaitan dan saling ketergantungan antar sub sistem peradilan pidana yakni lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Bahkan dapat ditambahkan di sini Lembaga Penasehat Hukum dan Masyarakat. 47 Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan network peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat 46 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hal. 121. 47 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP Semarang, 1995, hal. 16. Universitas Sumatera Utara materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.

d. Kejaksaan

Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang- undang. 48 Menurut ketentuan diatas, jaksa bertugas sebagai penuntut umum yang melakukan “tindakan penuntutan”. Menurut Pasal 1 butir 7 KUHP menyatakan sebagai berikut : “Tindakan penuntutan adalah melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang pengadilan.” Dalam tindak pidana korupsi, Kejaksaan berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi berdasarkan pada Pasal 284 ayat 2 KUHAP jo Pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983, dalam tindak pidana korupsi kejaksaan juga dapat melakukan penyidikan serta penyelidikan dan sekaligus 48 Pasal 1 ayat 1 Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Universitas Sumatera Utara berwenang dalam tahap penuntutan sebagai penuntut umum dalam tindak pidana korupsi. 49 Dalam pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 disebutkan : “Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimkasud dalam Pasal 284 ayat 2 KUHP dilaksanakan oleh Penyidik, jaksa, dan Pejabat Penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan perturan peruundang-undang.” Sementara dalam Undang-Undang Kejaksaan, Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 disebutkan bahwa Kejaksaan juga berwenang mengadakan penyidikan terhadap tindak pidana khusus, hal ini sesuai dengan Pasal 30 ayat 1 huruf d, yang menyatakan “ melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang.” Hal ini jelas bahwa Kejaksaan berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana khusus. Yang dimaksud dengan Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya Pasal 1 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dan dalam pasal 1 ayat 5 disebutkan pengertian penyelidikan yaitu serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

e. BPKP Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan

49 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983, tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Universitas Sumatera Utara BPKP merupakan salah satu lembaga pemerintah yang bekerja berdasarkan Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen Presiden Republik Indonesia, yang mengatur bahwa BPKP mempunyai wewenang melaksanakan tugas pemerintah di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan pserundang-undangan yang berlaku. Selain itu tugas BPKP adalah melakukan pengawasan intern melalui audit investigatif. Yang dimaksud audit investigatif adalah merupakan bagian dari pengawasan intern pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 Tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah SPIP. Dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983 tanggal 30 Mei 1983 maka Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara DJPK ditranformasikan menjadi BPKP sebagai sebuah Lembaga Pemerintah Non Departemen LPND yang berada di bawah danbertanggung jawab langsung kepada Presiden. Salah satu pertimbangan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 31 Tahun 1983 tentang BPKP adalah diperlukannya badan atau lembaga pengawasan yang dapat melaksanakan fungsinya secara leluasa tanpa mengalami kemungkinan hambatan unit organisasi pemerintah yang menjadi objek pemeriksaannya. Keputusan Presiden No. 31 Tahun 1983 Tentang BPKP tersebut menunjukan bahwa pemerintah telah meletakkan unsur organisasi BPKP sesuai dengan proporsinya dalam konstelasi lembaga-lembaga pemerintah yang ada, BPKP dengan Universitas Sumatera Utara kedudukannya yang terlepas dari semua departemen atau lembaga sudah barang tentu dapat melaksanakan fungsinya secara lebih baik dan objektif. Sesuai dengan Pasal 52, 53 dan 54 Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 103 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, BPKP mempunyai tugas melaksanakan tugas Pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

f. Kerugian Negara

Pengertian Kerugian negara adalah harta atau kekayaan negara yang tercantum haknya untuk dikembalikan ke negara melalui Jaksa Pengacara Negara JPN. Harta atau kekayaan negara termasuk segala hak-hak negara yang dapat dinilai dengan uang, benda-benda lain baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak yang dapat diformulasikan dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD, serta termasuk pula Pendapatan Negara Bukan Pajak PNBP. 50 50 Marwan Effendy, Kejaksaan Republik indonesia, Posisi dan fungsinya dari Perspektif Hukum, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hal 165. Universitas Sumatera Utara

g. Keuangan Negara

Pengertian keuangan negara dapat dilihat dalam Pasal 1 Undang-undangn No. 17 tahun 2003 tentang Keuangn Negara, yang mendefinisikan keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Sedangkan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 2 dan 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul, karena : 51 a. berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik tingkat pusat maupun di daerah. b. berada dalam penguasaan, pengurusan dan tanggung jawab Badan Usaha Milik NegaraBadan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian keuangan negara dalam Undang-undang No. 17 Tahun 2003 dan Undang-undang No. 31 Tahun 1999 adalah sejalan. Keuangan negara tidak semata-mata berbentuk 51 Penjelasan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Universitas Sumatera Utara uang, tetapi termasuk segala hak dan kewajiban dalam bentuk apapun yang dapat diukur dengan nilai uang. Pengertian keuangan negara juga mempunyai arti yang luas yang meliputi keuangan negara yang berasal dari APBN, APBD, BUMN, BUMD dan pada hakikatnya seluruh harta kekayaan negara sebagai suatu sistem keuangan negara. Jika menggunakan pendekatan proses, keuangan negara dapat diartikan sebagai segala sesuatu kegiatan atau aktifitas yang berkaitan erat dengan uang yang diterima atau dibentuk berdasarkan hak istimewa negara untuk kepentingan publik.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan pada proposal penelitian ini, sebagai berikut :

1. Tipe dan Sifat Penelitian

Dokumen yang terkait

Pendampingan Aparatur Sipil Negara Yang Terkait Tindak Pidana Korupsi Dalam Pelaksanaan Tugas Kedinasan Berdasarkan Permendagri No. 12 Tahun 2014 Di Lingkungan Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara

1 109 101

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)

3 55 157

Analisis Gugatan bersifat in rem terhadap hasil tindak pidana korupsi pada sistem hukum Common Law

1 77 152

Kewenangan Jaksa Pengacara Negara Dalam Gugatan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Yang Terdakwanya Meninggal Dunia (Studi Putusan No. Reg 02/Pdt. G/2010/PN.DPK)

0 55 105

Analisis Hukum Terhadap Dakwaan Tindak Pidana Korupsi Oleh Jaksa Penuntut Umum (Putusan Mahkamah Agung No.2642 K/Pid/2006)

0 37 127

Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut (Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN)

5 123 163

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

2 43 164

TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN BPK DAN BPKP MENGHITUNG KERUGIAN NEGARA DALAM RANGKA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.

0 1 12

TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN BPK DAN BPKP MENGHITUNG KERUGIAN NEGARA DALAM RANGKA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 0 12

OPTIMALISASI KEJAKSAAN DALAM PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA AKIBAT TINDAK PIDANA KORUPSI

0 0 19