Checks And Balances Kewenangan Bpkp Dan Kejaksaan Dalam Penentuan Unsur Kerugian Keuangan Negara Terhadap Tindak Pidana Korupsi

pembagian kekuasaan antara federal dan negara bagian territorial division of power, sedangkan istilah separation of power dipakai dalam konteks pembagian kekuasaan di tingkat federal, yaitu antara legislature, the executive, dan judiciary capital division of power. 20

2. Checks And Balances

Sejalan perkembangan teori pemisahan kekuasaan, dikenal pula konsep checks and balances. Istilah checks and balances berdasarkan kamus hukum Black’s Law Dictionary, diartikan sebagai “arrangement of governmental powers whereby powers of one governmental branch check or balance those of other brances.” Berdasarkan pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa checks and balances merupakan suatu prinsip saling mengimbangi dan mengawasi antar cabang kekuasaan satu dengan yang lain. Tujuan dari konsepsi ini adalah untuk menghindari adanya konsentrasi kekuasaan pada satu cabang kekuasaan tertentu. Kata “checks” dalam checks and balances berarti “suatu pengontrolan yang satu dengan yang lain, agar suatu pemegang kekuasaan tidak berbuat sebebas-bebasnya yang dapat menimbulkan kesewenang-wenangan. Adapun “balance,” merupakan suatu keseimbangan kekuasaan, agar masing-masing pemegang kekuasaan tidak cenderung terlalu kuat konsentrasi kekuasaan sehingga menimbulkan tirani. 21 20 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006, hal. 14. 21 Black Law Dictionary Universitas Sumatera Utara Di Indonesia konsep yang dianut adalah pembagian kekuasaan distribution of power bukan pemisahan kekuasaan separation of power, dimana, kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif walaupun menjalankan peran dan fungsinya masing-masing, namun tidak terpisah satu dengan yang, tetapi saling berhubungan dan melakukan koordinasi. Hal ini adalah dalam rangka check and balance dan fungsi saling mengawasi antara satu lembaga dengan lembaga yang lain. Misalnya kekuasaan eksekutif dan legislatif yang bekerjasama dalam hal pembuatan undang- undang, adanya koordinasi antara eksekutif dan legislatif dalam pemberian grasi dan amnestif untuk para narapidana dan sebagainya. Jadi, satu lembaga dengan lembaga lain walaupun menjalankan tugas dan wewenangnya masing-masing, masih melakukan koordinasi dan kerjasama dalam melaksanakan tugasnya sehingga menjadi satu kesatuan yang bekerja dalam satu sistem negara hukum. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, sebagai suatu sistem, peradilan pidana mempunyai perangkat struktur atau subsistem yang seharusnya bekerja secara koheren, koordinatif dan integratif agar dapat mencapai efisiensi dan efektivitas yang maksimal. Kombinasi antara Efisiensi dan efektivitas dalam sistem sangat penting, sebab belum tentu efisiensi masing-masing subsistem dengan sendirinya menghasilkan efektivitas. 22 Efektivitas sistem peradilan pidana, secara umum antara lain dapat diukur melalui indikator-indikator tingkat pengungkapan perkara oleh polisi clearance rate, tingkat keberhasilan jaksa dalam membuktikan dakwaan conviction rate, kecepatan penanganan perkara speedy trial, tingkat penggunaan 22 Muladi, Kapita selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip, 1995, hal. 7. Universitas Sumatera Utara alternatif pidana kemerdekaan rate of alternative sanction, menonjol atau tidaknya disparitas disparity of sentencing performance, dan tingkat residivisme rate of recall to prison. 23 Sistem peradilan pidana mempunyai dimensi fungsional ganda. Di satu pihak berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan mengendalikan kejahatan pada tingkatan tertentu, di lain pihak sistem peradilan pidana juga berfungsi untuk pencegahan. Efektivitas sistem peradilan pidana tergantung sepenuhnya pada kemampuan infrastruktur pendukung sarana dan prasarananya, kemampuan profesional aparat penegak hukumnya serta budaya hukum masyarakatnya. 24 Tanpa kesadaran baik dari aparat penegak hukum, pembuat hukum, dan masyarakat dimana hukum akan diterapkan, maka penegakan hukum akan menjadi proses untuk mengabsahkan kekuatan yang absolut dengan pembenaranjustifiksasi hukum yang bersifat korup, otoriter, represif, yang sekaligus mencerminkan kepentingan dari para oligarki penguasa. Penerapan suatu sistem hukum rasional dalam sistem peradilan pidana criminal justice system memberikan dampak pada proses penegakan hukum di Indonesia terutama dalam hal kebijakan pemberlakuan hukum, seperti efektivitas penerapan penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia yang walaupun pada hakekatnya memiliki muatan politis yang diinginkan oleh pembuat Undang-undang dan masyarakat internasional. Hal ini sejalan dengan pendapat Antony Allott yang 23 Ibid, hal. 120. 24 Ibid., hal. 25. Universitas Sumatera Utara menyatakan bahwa pembuatan hukum yang kilat atau tergesa-gesa akan dapat mengakibatkan hukum menjadi tidak efektif, yang pada gilirannya membuat apa yang diinginkan hukum itu tidak tercapai. 25 Sedangkan Soerjono Soekanto melihat efektivitas suatu kaedah hukum pada tatanan penegakan hukum sebagai suatu proses yang pada hakekatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang secara ketat tidak diatur oleh kaedah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi dan pada hakekatnya diskresi berada diantara hukum dan moral etika dalam arti sempit, hal ini sebagaimana pendapat Roscoe Pound. 26 Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum maka bekerjanya sistem peradilan pidana criminal justice system menjadi prioritas utama dalam bidang penegakan hukum. Oleh sebab itu diperlukan keterpaduan antara sub sistem-sub sistem di dalam criminal justice system guna menanggulangi meningkatnya kualitas maupun kuantitas kejahatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Tujuan dari sistem peradilan pidana adalah : a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan. b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana. 25 Antony Allot, The Efectiveness of Law, Valparaiso University Law Review, Vol.15 Wiater,198, hal. 233 dalam Bismar Nasution. Ibid, hal.4 26 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grapindo Persada, Jakarta, 2004, hal.7. Universitas Sumatera Utara c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. 27 Istilah “criminal justice system” menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. 28 Remington dan Ohlin mengemukakan: “Criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme pendekatan sistem mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem peradilan pidana merupakan suatu interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sikap itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasan”. 29 Istilah sistem dari bahasa yunani “systema” yang mempunyai pengertian suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian whole compounded of several parts. 30 Secara sederhana sistem ini merupakan sekumpulan unsur-unsur yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan bersama, yang tersusun secara teratur dan saling berhubungan dari yang rendah sampai yang tinggi. Stanford Optner menyebutkan bahwa sistem tersusun dari sekumpulan komponen yang bergerak bersama-sama untuk mencapai tujuan keseluruhan. 31 Hagan membedakan pengertian antara “Criminal Justice Process” dan “Criminal Justice System” yang pertama adalah 27 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta, 1997, hal. 84-85 dalam Mahmud Mulyadi,Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana, Medan, Usu Press, 2009 hal. 40. 28 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Presfektif Eksistensialisme dan Abolisianisme, Binacipta, Bandung, 1996, hal. 14. 29 Ibid, hal.4. 30 Stanford Optner, System Analysis for Business Management, Prentice Hall, Inc., New York, 1968,hal.3, dalam Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Rajawali, Cet.1. Jakarta, 1986, hal.5. 31 Ibid. Universitas Sumatera Utara setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya pada penentuan pidana. Sedangkan yang kedua adalah interkoneksi antar keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan. 32 Di Indonesia Sistem peradilan Pidana setelah berlakunya Undang-undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana mempunyai 4 empat subsistem, yaitu : subsistem Kepolisian yang secara administratif di bawah Presiden, Kejaksaan di bawah Kejaksaan Agung, Pengadilan di bawah Mahkamah Agung dan Lembaga Pemasyarakatan di bawah Departemen Kehakiman. Seluruh komponen sistem peradilan pidana, termasuk pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, ikut bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan. Meski demikian, menilik tugas dan wewenangnya masing-masing, tugas pencegahan kejahatan secara spesifik lebih terkait dengan sub sistem kepolisian. Sementara tugas lainnya lebih terkait dengan subsistem lembaga pemasyarakatan. Adapun tugas menyelesaikan kejahatan yang terjadi sangat terkait dengan tugas dua komponen sistem, yaitu polisi dan jaksa pada tahap prajudisial dan pengadilan pada tahap judisial. Berikut ini dilihat skema Sistem Peradilan Pidana Criminal Justice System berdasarkan Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Criminal Justice system pada hakikatnya merupakan sistem yang berupaya menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan, baik kepentingan negara, 32 Romli Atmasasmita, Op.Cit, hal.14. Universitas Sumatera Utara masyarakat maupun individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan. Penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan pidana criminal justice system itu sendiri pada hakikatnya merupakan bagian dari politik kriminal yang menjadi bagian integral dari kebijakan sosial. Politik kriminal ini merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. 33 Sehubungan dengan penegakan hukum pidana ini, maka Lawrence M. Friedman yang mengkaji dari sistem hukum legal system menyatakan bahwa ada tiga komponen yang ikut menentukan berfungsinya suatu hukum dalam hal ini hukum pidana, yaitu struktur hukum structure, substansi hukum substance, dan budaya hukumnya legal culture. Dari ketiga komponen inilah menurut Friedman kita dapat melakukan analisis terhadap bekerjanya hukum sebagai suatu sistem. 34 Dari uraian yang dikemukakan Friedman ini nampak bahwa unsur structure dari suatu sistem hukum mencakup berbagai institusi yang diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan berbagai fungsinya dalam rangka bekerjanya sistem tersebut. Salah satu diantara lembaga tersebut adalah pengadilan. Sedangkan komponen substance mencakup segala apa saja yang merupakan hasil dari structure, di dalamnya termasuk norma-norma hukum baik yang berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan, maupun doktrin-doktrin. Lebih jauh Friedman mengatakan bahwa apabila sedikit direnungkan maka sistem hukum itu bukan hanya terdiri atas 33 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hal. 99. 34 Lihat, Lawrence Friedmen, America Law An Introduction, sebagaimana diterjemahkan oleh Wisnu Basuki PT Tatanusa, Jakarta, 1984, hal. 6-7. Universitas Sumatera Utara structure dan substance. Masih diperlukan adanya unsur ketiga untuk bekerjanya suatu sistem hukum yaitu budaya hukum. Kerangka teori dalam menelaah peran serta criminal justice system terhadap penanggulangan tindak pidana korupsi dalam tatanan legal substance dapat dilihat dari rumusan Mochtar Kusumaatmadja, bahwa hukum adalah sarana pembangunan yaitu sebagai alat pembaharuan dan pembangunan. Mengingat fungsinya, sifat hukum pada dasarnya konservatif. Artinya hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah dicapai. Selain itu hukum harus dapat membantu proses perubahan pembangunan masyarakat tersebut. 35 Apabila ditelaah secara teliti isi ketentuan sebagaimana dimuat dalam Undang-undang No.8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, maka “criminal justice system” di Indonesia terdiri atas komponen kepolisian, kejaksaan, pengadilan negeri dan lembaga pemasyarakatan sebagai aparat penegak hukum. Keempat aparat tersebut memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lain dalam menanggulangi terjadinya tindak pidana perdagangan anak keluar negeri. Bahkan dapat dikatakan saling menentukan. Pelaksanaan penegakan hukum berdasarkan Undang-undang No.8 Tahun 1981 seharusnya merupakan suatu usaha yang sistematis. Hubungan antara aparat penegak hukum yang tergabung dalam criminal justice system, baik itu Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan maupun Lembaga 35 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dan Pembangunan, Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan Bekerjasama dengan PT. Alumni, Bandung, 2002, hal.13 dan 74. Universitas Sumatera Utara Pemasyarakatan terutama berkaitan dengan tugas penyidikan suatu tindak pidana. Untuk menghindari kesimpang-siuran tugas, penyalahgunaan kewenangan, tumpang tindihnya kewenangan, serta kegagalan mencapai tugas menyelesaikan kejahatan yang terjadi di masyarakat, perlu ada suatu hukum yang di dalamnya antara lain memuat siapa aparat penegak hukum yang oleh negara diberikan tugas penegakan hukum pidana, bagaimana tata cara penegakannya, apa saja tugas dan kewajibannya, serta apa sanksi bila ternyata pelaksanaannya tidak sesuai dengan cara atau tugas dan kewenangannya. Hukum tersebut dikenal sebagai hukum pidana formal atau hukum acara pidana, Wirjono Prodjodikoro merumuskan hukum acara pidana ini sebagai suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana. Oleh karena itu, keempat subsistem ini memiliki hubungan yang erat satu dengan yang lainnya dimana tujuannya adalah satu, tetapi tugasnya berbeda. 36 Dalam Konteks bekerjanya hukum di masyarakat, khususnya dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu KPK, Kejaksaan, Kepolisan dan BPKP sebagai organisasi kenegaraan birokrasi diarahkan untuk mencapai tujuan negara, tujuan hukum dan tujuan sosial. Mengenai hal ini Peter M. Blau dan Marshall M. Meyer menyatakan bahwa kini dalam masyarakat kontemporer birokrasi telah menjadi suatu 36 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung, 1986, hal. 20. Universitas Sumatera Utara lembaga yang menonjol, sebagai lembaga negara yang melambangkan era modern, dan kita tidak mungkin memahami kehidupan sosial masa kini kalau kita tidak mengerti tentang bentuk lembaga ini. 37 Sehingga peran, fungsi dan wewenangnya khususnya Kejaksaan dan BPKP dalam menentukan unsur kerugian negara harus lebih dipertegas lagi. Berdasarkan undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, bahwa kedudukan kejaksaan adalah sebagai lembaga eksekutif yang melakukan tugas dan wewenang dibidang yudikatif. Dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan Negara, Kejaksaan bekerjasama dengan instansi terkait yaitu BPKP sejak tahun 1989 yang tertuang dalam petunjuk pelaksanaan bersama BPKP dan Kejagung No. juklak- 001J.A21989 No. Kep-145k1989 perihal upaya penanganan bersama BPKP dalam tindak pidana korupsi yang diberi kewenangan untuk menghitung kerugian negara dan adanya Nota Kesepahaman antara Kejaksaan RI, Kepala Kepolisian RI dan Kepala BPKP, No. : KEP-109AJA092007, No. Pol – B2718IX2007 dan No. : KEP-1093KD62007 tanggal 28 September 2007 tentang Kerjasama dalam Penanganan Kasus Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Negara yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi termasuk Dana Non Budgeter.

2. Landasan Konsepsi

Dokumen yang terkait

Pendampingan Aparatur Sipil Negara Yang Terkait Tindak Pidana Korupsi Dalam Pelaksanaan Tugas Kedinasan Berdasarkan Permendagri No. 12 Tahun 2014 Di Lingkungan Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara

1 109 101

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)

3 55 157

Analisis Gugatan bersifat in rem terhadap hasil tindak pidana korupsi pada sistem hukum Common Law

1 77 152

Kewenangan Jaksa Pengacara Negara Dalam Gugatan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Yang Terdakwanya Meninggal Dunia (Studi Putusan No. Reg 02/Pdt. G/2010/PN.DPK)

0 55 105

Analisis Hukum Terhadap Dakwaan Tindak Pidana Korupsi Oleh Jaksa Penuntut Umum (Putusan Mahkamah Agung No.2642 K/Pid/2006)

0 37 127

Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut (Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN)

5 123 163

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

2 43 164

TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN BPK DAN BPKP MENGHITUNG KERUGIAN NEGARA DALAM RANGKA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.

0 1 12

TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN BPK DAN BPKP MENGHITUNG KERUGIAN NEGARA DALAM RANGKA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 0 12

OPTIMALISASI KEJAKSAAN DALAM PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA AKIBAT TINDAK PIDANA KORUPSI

0 0 19