Tugas, Fungsi dan Wewenang BPKP dalam Menentukan Unsur Kerugian

pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

1. Tugas, Fungsi dan Wewenang BPKP dalam Menentukan Unsur Kerugian

Negara terhadap Kasus Tindak Pidana Korupsi Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden No. 64 Tahun 2005, BPKP mempunyai tugas melaksanakan tugas Pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu tugas pemerintahan di bidang pengawasan yang dilaksanakan oleh BPKP adalah penugasan bidang investigasi yang meliputi audit investigatif, audit dalam rangka penghitungan kerugian keuangan negara, pemberian keterangan ahli, audit investigatif hambatan kelancaran pembangunan, audit eskalsai harga dan audit klaim serta penugasan investigatif lainnya yang berkaitan dengan upaya pencegahan korupsi. 76 Dalam melaksanakan tugas, BPKP menyelenggarakan fungsi : a. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan; 76 BPKP, Deputi Bidang Investigasi, Pedoman Penugasan Bidang Investigasi, Jakarta, 2009, hal 1. Universitas Sumatera Utara b. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan; c. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BPKP; d. Pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan pengawasan keuangan dan pembangunan; e. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tatalaksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, hukum, persandian, perlengkapan dan rumah tangga. Dalam menyelenggarakan fungsi tersebut, BPKP mempunyai kewenangan : a. Penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya; b. Perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan secara makro; c. Penetapan sistem informasi di bidangnya; d. Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah yang meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan supervisi di bidangnya; e. Penetapan persyaratan akreditasi lembaga pendidikan dan sertifikasi tenaga profesionalahli serta persyaratan jabatan di bidangnya; f. Kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu : 1 Memasuki semua kantor, bengkel, gudang, bangunan, tempat-tempat penimbunan, dan sebagainya; Universitas Sumatera Utara 2 Meneliti semua catatan, data elektronik, dokumen, buku perhitungan, surat- surat bukti, notulen rapat panitia dan sejenisnya, hasil survei laporan-laporan pengelolaan, dan surat-surat lainnya yang diperlukan dalam pengawasan; 3 Pengawasan kas, surat-surat berharga, gudang persediaan dan lain-lain; 4 Meminta keterangan tentang tindak lanjut hasil pengawasan, baik hasil pengawasan BPKP sendiri maupun hasil pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan, dan lembaga pengawasan lainnya. Adapun yang menjadi kegiatan-kegiatan BPKP dapat dikelompokkan ke dalam empat kelompok, yaitu: 1. Audit, Kegiatan audit mencakup: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN b. Laporan Keuangan dan Kinerja BUMNDBadan Usaha Lainnya c. Pemanfaatan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri d. Kredit Usaha Tani KUT dan Kredit Ketahanan Pangan KKP e. Peningkatan Penerimaan Negara, termasuk Penerimaan Negara Bukan Pajak PNBP f. Dana Off Balance Sheet BUMN maupun Yayasan yang terkait g. Dana Off Balance Budget pada DepartemenLPND h. Audit Tindak Lanjut atas Temuan-Temuan Pemeriksaan i. Audit Khusus Audit Investigasi untuk mengungkapkan adanya indikasi praktik Tindak Pidana Korupsi TPK dan penyimpangan lain sepanjang hal itu membutuhkan keahlian di bidangnya Universitas Sumatera Utara j. Audit lainnya yang menurut pemerintah bersifat perlu dan urgen untuk segera dilakukan 2. Konsultasi, asistensi dan evaluasi 3. Pemberantasan KKN, dan 4. Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan a Kewenangan BPKP dalam Penentuan Unsur Kerugian Keuangan Negara terhadap Tindak Pidana Korupsi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan BPKP adalah lembaga pemerintah non departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan Wakil Presiden. Tugas utama BPKP adalah membantu Presiden dan Wakil Presiden mengawasi pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara dan pembangunan, agar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku, sekaligus memberikan masukan bagi pembuatan kebijakan terkait dengan itu. 77 Sesuai dengan Pasal 52, 53 dan 54 Keppres Presiden RI No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, BPKP mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 77 Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Profil Organisasi, 25 Tahun BPKP, Jakarta, 2007, hal. 1. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan Keppres No. 103 Tahun 2001 tentang tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, BPKP adalah institusi pemerintah yang diberi tanggung jawab luas di tingkap pemerintah pusat untuk merumuskan dan menyusun rencana dan program-program pengendalian, melaksanakan pengendalian umum atas keuangan pemerintah pusat dengan mengadakan audit intern atas kegiatan kementerian-kementerian negara dan kantor-kantor proyek mereka. Kemudian berdasarkan Keputusan Presiden No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 dalam Pasal 52 disebutkan, BPKP mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kewenangan BPKP tidak hanya sampai disitu saja, BPKP juga dapat melakukan pemeriksaan khusus atau audit investigasi untuk membongkar kasus- kasus yang terkait dengan penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara atau menguntungkan sebagian orang. Bila ada indikasi terjadinya tindak pidana korupsi maka acuan yang digunakan BPKP dalam melakukan audit investigasnya adalah Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan fungsi dan wewenangnya, di sini terlihat bahwa peran BPKP dalam upaya pemberantasan korupsi dapat dijadikan modal dasar yang kuat dalam memerangi kejahatan korupsi di negeri ini. Universitas Sumatera Utara Saat ini, BPKP boleh dibilang adalah lembaga pemerintah yang paling canggih dalam fungsi pengawasan di lingkungan pemerintahan. Bagaimana tidak, didukung dengan tata kerja organisasi yang sudah cukup mapan dalam perencanaan, penugasan, pertanggungjawaban. Tidak cuma itu, BPKP juga memiliki kapasitas besar dalam hal audit investigasi yang kiranya dapat diandalkan untuk melacak berbagai penyimpangan dan kebocoran dalam pengelolaan keuangan negara. Dengan kapasitas yang dimiliki, BPKP berperan khsusnya dalam pengungkapan tindak pidana korupsi sebagai berikut : 1. BPKP berperan sebagai internal auditor pemerintah dengan tugas memanfaatkan hasil kerja ITJEN, BAWASDA Aparat Pengawasan Pemerintah lainnya. Kemudian mengolah temuan dan rekomendasi serta memantau pelaksanaan tindak lanjutnya. Hal ini memungkinkan BPKP dapat melakukan pemeriksaan lapangan secara langsung, jika dipandang perlu. Dengan demikian BPKP dapat menjadi mitra kerja dan memberikan dukungan kepada BPK. 2. BPKP sebagai analisis kebijakan dengan memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat pengawasan lainnya sebagai bahan analisis kebijakan publik. Kemudian memberikan rekomendasi perbaikan atas kebijakan publik. 3. Sebagai lembaga investigasi, yaitu menjadi pendukung utama bagi BPK, Kejaksaan dan Kepolisian dalam upaya pemberantasan korupsi. Ditambah lagi Universitas Sumatera Utara BPKP menjadi bagian dalam Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bersama KPK, Kejaksaan dan Kepolisian. 78 Pada dasarnya semangat audit investigatif oleh BPKP berdasarkan persfektif undang-undang di atas bukan merupakan audit yang hasilnya dapat dijadikan dasar untuk mengungkap kasus korupsi tetapi lebih merupakan tindakan pengawasan bukan pemeriksaan internal pemerintahan yang bersifat preventif, yaitu berupa laporan pertanggungjawaban kepada presiden. Artinya BPKP memperoleh kewenangannya melalui delegasi Presiden sebagai sistem internal pengendali pemerintah. BPKP sebagai pengawas internal memberikan peringatan dini sebelum adanya temuan BPK. Sehingga seharusnya BPKP kalaupun sampai pada tindak pidana korupsi sebenarnya bukan merupakan upaya terakhir ultimum remedium, setelah melalui proses tuntutan ganti rugi ataupun proses administratif internal lainnya. 79 Dalam kaitannya dengan penentuan unsur kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi, auditor BPKP lebih banyak melakukan perhitungan kerugian keuangan negara yaitu audit telah dilakukan oleh Penyidik sedangkan auditor BPKP dalam hal ini menilai apakah perhitungan keuangan negara yang telah dilakukan oleh Penyidik telah relevan, kompeten dan cukup dalam menentukan besarnya kerugian 78 Masyarakat Transparansi Indonesia, Analisa Peraturan Perundang-Undangan dan Lembaga Pemberantasan Korupsi, diakses dari situs : http:www.transparansi.or.idid=150pilih=lihatpopulerberita, diakses pada hari Selasa pada tanggal 20 Juli 2010 pukul 16.00 WIB. 79 Ibid., Duke Arie, Kewenangan Audit Investigatif BPKP dan Korupsi, diakses dari situs : http:gorontalomaju.comopiniartikel-lainnyakewenangan-audit-investigatif-bpkp-dan-korupsi.html, diakses pada hari Selasa tanggal 20 Juli 2010 pukul 15.30 WIB. Universitas Sumatera Utara keuangan negara, sedangkan audit investigasi meurpakan suatu audit yang dilakukan pada proses penyelidikan yang dilakukan auditor BPKP dengan Penyidik dan hasil dari audit tersebut menjadi suatu pertimbangan oleh penyidik apakah sudah diperoleh bukti yang cukup untuk meningkatkan kasus ke tahap penyidikan. 80 Selanjutnya dalam audit investigasi ada suatu kesepakatan diantara para praktisi audit bahwa audit investigasi tak selalu harus berarti menghasilkan temuan adanya korupsi atau adanya kerugian keuangan negara. Memang, secara umum, publik memahami bahwa sekali audit investigasi dilakukan, maka ujung-ujungnya harapan yang dicanangkan adalah bahwa audit investigatif tersebut menghasilkan temuan adanya kerugian keuangan negara. Oleh karena itu, audit investigatif pun bisa dilakukan untuk kepentingan yang tidak dalam konteks penghitungan kerugian keuangan negara. 81 Lazimnya audit investigatif dipahami sebagai audit untuk mengungkap ada tidaknya penyimpangan signifikan yang terjadi di suatu kegiatan akibat kebijakan dan prosedur yang diambil. Audit investigatif biasanya, meski tidak selalu dikembangkan dan hasil audit rutin yang menemukan indikasi adanya penyimpangan dan ketentuan perundang-undangan yang berpotensi merugikan keuangan negara. 80 BPKP, Biro Hukum, Pengkajian Hukum tentang Kedudukan Pejabat BPKP sebagai Ahli dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi,Op.cit., hal. 21 81 Ibid. Universitas Sumatera Utara Sedangkan metode atau cara yang dilakukan oleh auditor BPKP dalam menentukan besaran kerugian keuangan negara dilakukan tergantung dari kasus yang terjadi antara lain dengan cara : 82 a. Membandingkan antara nilai pekerjaan yang dibayar dengan nilai pekerjaan berdsarkan hasil pemeriksaan fisik oleh ahli fisik. b. Membandingkan antara nilai pekerjaan yang dibayarkan dengan harga perbandingan standar Pemda, harga pasar, harga indeks dan lain-lain. c. Membandingkan antara nilai pekerjaan yang dibayar dengan pengeluaran yang seharusnya. Hingga kini penugasan penghitungan kerugian negara merupakan salah satu produk unggulan yang dihasilkan oleh BPKP. Penugasan tersebut direalisasikan dalam bentuk perbantuan, baik kepada Penyidik Kepolisian maupun Kejaksaan. Ada 2 dua hal utama yang menjadi latar belakang penugasan tersebut, yaitu : 1. Komitmen BPKP untuk mewujudkan visi antara lain dengan menjalin kerjasama dengan aparat Penyidik, baik Kepolisian maupun Kejaksaan. 2. Pengakuan para stakeholder akan kompetensi BPKP dalam urusan keuangan negara Sejalan dengan gencarnya tuntutan masyarakat terkait dengan penyelenggaraan negara yang bebas KKN, sebagaimana telah diamanatkan dalam 82 BPKP, Deputi Bidang Investigasi, Acuan bagi Auditor BPKP dalam Melakukan Perhitungan Kerugian Keuangan Negara atas Kasus-Kasus Penyimpangan yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi dan Perdata, Juni, Jakarta, 2003. Universitas Sumatera Utara TAP MPR NO. XI Tahun 1998, maka aparat penegak hukum jgua dituntut untuk responsif dalam menangani pengaduan masyarakat berkaitan dengan tindak pidana korupsi, terutama yang melibatkan penyelenggara negara. Dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi seringkali Kejaksaan maupun Kepolisian dihadapkan pada permasalahan menyangkut seluk beluk keurangan negaradaerah. Oleh karena itu, sungguh tepat apabila mereka meminta bantuan kepada BPKP khususnya dalam rangka menghitung besarnya potensi kerugian keuangan negara yang terjadi dalam suatu kasus tindak pidana korupsi, sehingga diharapkan penanganan kasus tindak pidana korupsi oleh penyidik dapat lebih profesional dan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Penugasan penghitungan kerugian keuangan negara bertujuan : 83 1. Menentukan jumlah yang dapat menjadi acuan bagi Penyidik dalam melakukan penuntutan suatu perkara berkaitan dengan beratringannya hukuman yang perlu dijatuhkan dan bagi Hakim sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan keputusannya. 2. Menentukan jumlah uang pengganti kerugian negara yang harus diselesaikan oleh pihak yang terbukti bersalah bila kepadanya dikenakan pidana tambahan. Dalam penghitungan tersebut dimungkinkan untuk menggunakan berbagai jenis penilaian accounting measurement seperti nilai perolehan, nilai jual, nilai ganti, nilai pasar, nilai jual objek pajak, nilia buku dan sebagainya, namun harus tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta kelaziman 83 Ibid. Universitas Sumatera Utara yang dpat dipertanggungjawabkan secara profesional dan dapat diterima secara hukum,. Penugasan penghitungan kerugian keuangan negara ini dimaksudkan semata- mata untuk membantu Penyidik dalam menghitung kerugian keuangan negara terhadap dugaan suatu tindak pidana korupsi, bukan memberi opini hukum atas kasus yang diperiksa. Dengan demikian, unsur melawan hukum dalam kasus tersebut ditetapkan oleh Penyidik, bukan oleh tenaga ahli dari BPKP. Namun demikian, dalam prakteknya kita tidak dapat lepas dari keharusan untuk memahami dan mempelajari baik modus operandi maupun kriteria-kriteria peraturan perundang-undangan yang dilanggar. Karena tidak mungkin kita menghitung suatu kerugian keuangan negara tanpa mengetahui atau memastikan lebih dahulu adanya suatu kondisi yang bertentangan dengan kriteria hukum. Bagaimanapun kita tetap dituntut untuk mengerti “jalan cerita” permasalahan yang diduga suatu tindak pidana korupsi serta hukum atau peraturan yang dilanggarnya. Karena apabila kita sendiri ragu akan adanya penyimpangan terhadap suatu kriteria, maka kecil kemungkinan kita mampu menetapkan bahwa permasalahan tersebut mengakibatkan suatu kerugian keuangan negara. Untuk dapat menghitung kerugian keuangan negara sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana korupsi, maka prosedur yang lazim ditempuh sebagai berikut : 84 1. Memperhatikan pemaparan kasus posisi yang dilakukan oleh Penyidik. 84 Ibid. Universitas Sumatera Utara 2. Memperoleh dan mempelajari peraturan perundang-undangan terkait. 3. Memperoleh dan meneliti bukti-bukti yang terkait dengan suatu kasus. 4. Memperoleh dna mempelajari prosedur kegiatan berkaitan dengan suatu kasus. 5. Memperoleh dan mempelajari Berita Acara Pemeriksaan yang telah dibuat oleh Penyidik, 6. Melakukan expose intern dengan pihak Penyidik. Dalam penugasan penghitungan kerugian keuangan negara biasanya data sudah diperolah dan disusun oleh Penyidik. Bahkan ada kemungkinan berkas perkara sudah siap dilimpahkan untuk penuntutan dan tinggal menunggu hasil perhitungan kerugian keuangan negara oleh auditor BPKP. Walaupun begitu, auditor tetap harus objektif dan independen. Artinya bila memang data atau bukti yang ada masih dirasa kurang untuk dapat menetapkan besarnya kerugian, maka tentunya auditor harus berusaha memperoleh lebih dulu data atau bukti yang belum cukup tersebut. Berikut ini metode yang dapat diterapkan dalam penghitungan kerugian keuangan negara bila data atau bukti yang disediakan oleh Penyidik telah cukup : 85 1 Mengidentifikasikan penyimpangan yang terjadi, dapat dilakukan dengan cara : a. Meneliti dan mempelajari suatu kasus untuk mengidentifikasi jenis penyimpangan yang terjadi yaitu dapat berupa mark up, pengeluaran fiktif, penyalahgunaan wewenang kesempatan dan sebagainya. 85 Heru Cahyanto, Penghitungan Kerugian Keuangan Negara oleh BPKP, Artikel Warta Pengawasan Volume XINo.1Januari2004. Hal. 5 Universitas Sumatera Utara b. Menelaah dasar-dasar hukum yang terkait dengna pelaksaankegiatan kasus yang menyimpang tersebut. Dimulai dari urutan tertinggi, yaitu Undang- undang, Keppres,Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan seterusnya hingga Petunjuk Pelaksanaan, bahkan bila perlu sampai ke ketetapan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang pada tingkat paling bawah. c. Meneliti apakah penyimpangan tersebut terkait dengan keuangan negara dengan mengacu pada pengertian keuangan negara yang dinyatakan dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999. Hal ini penting untuk mempertegas bahwa kasus tersebut berada dalam lingkup Undang-undang No. 31 Tahun 1999. Dan perlu diingat bahwa pengertian keuangan negara cukup luas, dimana di dalamnya antara lain termasuk keuangan daerah APBD. d. Mengidentifikasi waktu dan lokasi terjadinya penyimpangan atau perbuata nmelawan hukum. Metode ini relatif sama dengan mempelajari modus operandi dalam penugasan investigasi kasus tindak pidana korupsi, dan biasanya data lokasi dan waktu dapat diperoleh dari berkas yang disusun oleh Penyidik. Dalam penugasan perbantuan penghitungan kerugian keuangan negara, baik modus maupun unsur-unsur melawan hukum perlu dipelajari dn dipahami untuk memudahkan proses pernghitungan kerugian. 2 Mengidentifikasi, verifikasi dan analisis bukti. Bukti-bukti yang telah dihimpun oleh Penyidik kemudian diidentifikasi, dilakukan verifikasi dan dianalisis untuk mendukung proses perhitungan kerugian keuangan negara atas kasus penyimpangan yang terjadi. Dalam prosedur ini Universitas Sumatera Utara nantinya dapat dikembangkan terutama utnuk melengkapi atau menyempurnakan dtabukti yagn dianggap penting namun belum dapat diperoleh Penyidik. 3 Menghitung jumlah kerugian keuangan negara. Pada prinsipnya terdapat 3 tiga hal pokok yang perlu dilakukan penelitian dan pendalaman materi dalam kaitannya dengan penghitungan kerugian keuangan negara atas suatu kasus tindak pidana korupsi, yaitu : a. Membuktikan atau menentukan adanya kerugian keuangan negara. Sebelum ktia menghitung jumlah kerugian, maka sudah seharusnya kita meyakinkan lebih dulu apakah keuangan negara dirugikan. Karena bisa saja kerugian tersebut tidak terkait dengan keuangan negara dan atau perekonomian negara. Oleh karena itu kita harus cermat dan teliti mempelajari modus operandi, kriteria yang dilanggar serta bukti-bukti atau data yang ada. Seandainya prosedur yang telah dijalankan masih belum cukup meyakinkan kita, maka kita hanya dapat menyajikan asumsi suatu jumlah perhitungan dengan persyaratan tertentu. Bahkan ada kemungkinan kita tidak dapat menghitung sama sekali jumlah kerugian bila datanya tidak cukup. b. Menghitung dan menetapkan besarnya potensi kerugian keuangan negara yang terjadi. Proses penghitungan kerugian sebenarnya relatif mudah apabila prosedur telah dijalankan dan didukung data atau bukti yang cukup dan relevan. Yang penting kita harus tetap independen dan obyektif sesuai data atau bukti yang valid. Di samping itu kita juga harus fair, misalnya apabila Universitas Sumatera Utara sebagian telah disetorkan ke kas negara sebagai pajak maka tentu jumlah kerugian juga hendaknya dikurangi. c. Hambatan penghitungan kerugian keuangan negara. Hasil penghitungan kerugian keuangan negara merupakan salah satu bahan sarana yang akan digunakan oleh Penyidik dalam proses penuntutan, sehingga harus dilakukan oleh pihak yang kompeten agar dapat mendukung upaya penuntutan itu sendiri. Kecerobohan dalam melakukan penghitungan akan berakibat fatal dalam suatu pembuktian dugaan tindak pidana korupsi di pengadilan nantinya. Oleh karena itu, apbila dalam melakukan penghitungan masih terdapat data atau bukti penting yang bleum diperoleh maka hal itu sudah dapat menjadi hambatankeraguan dalam menetapkan jumlah kerugian. Dan sebaiknya agar diupayakan untuk memperoleh data atau bukti tersebut sehingga terdapat kepastian untuk menetapkan jumlah kerugian. Output dari penugasan perbantuan penghitungan kerugian keuangan negara adalah laporan. Laporan tersebut terutama memuat potensi jumlah kerugian keuangan negara, sedangkan modus operandi maupun unsur melawan hukum tidak dimuat dalam laporan tersebut. Hal itu pula yang membedakannya dengan laporan hasil audit investigatif. Selain laporan tersebut ditandatangani oleh Kepala Perwakilan, juga Universitas Sumatera Utara ditandatangani oleh tim penugasan mulai dari Pengendalian Mutu, Pengendali Teknis, Ketua Tim dan Anggota Tim. 86 Jadi, dapat disimpulkan bahwa BPKP adalah lembaga pengawas keuangan yang ada selain BPK. Dimana kedua lembaga yakni BPK dan BPKP memiliki kompetensi yang berbeda atas tindak lanjut kerugian negara melalui audit investigatif dalam kaitannya dengan unsur pidana. BPK memperoleh kewenangan berdasarkan Pasal 23 E Undang-Undang Dasar 1945, sebagai lembaga pemeriksa keuangan yang memperolah kewenangan berdasarkan atributif melalui undang-undang. Pemeriksa menurut Undang-undang No. 15 Tahun 2004 adalah orang yang melakukan tugas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara untuk dan atas nama BPK yang dapat melakukan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negaradaerah dan atau unsur tindak pidana korupsi. Berbeda dengan BPKP yang memperoleh kewenangan melakukan audit investigatif berdasarkan PP No. 60 Tahun 2008 yang hanya merupakan bagian dari sistem pengendalian intern pemerintah dalam kaitannya dengan pengawasan intern atas penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah yang bersifat preventif. Artinya BPKP tidak memiliki kewenangan yang kuat dalam melakukan pemeriksaan investigatif berkaitan dengan unsur tindak pidana korupsi. Sehingga ketika ditemukana adanya kerugian negara yang mengandung unsur pidana, maka kewenangan tindak lanjut atas temuan tersebut sampai pada proses hukumnya adalah menjadi kewenangan BPK. Dalam hal ini BPK sebagai pihak yang paling berwenang 86 Ibid. Universitas Sumatera Utara menyatakan ada tidaknya kerugian negara yang berkaitan dengn tindak pidana korupi setelah memperoleh laporan dari lembaga pengawasan internal seperti Inspektorat Jenderal, Inspektorat PropinsiKabupatenKota dan BPKP, maupun atas temuan hasil audit investigatif BPK itu sendiri. b Hasil Audit BPKP Sebagai Alat Bukti dalam Persidangan Kasus Korupsi Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa hasil audit adalah hasil kerja seorang auditor yang memiliki keahlian dalam bidang pekerjaannya. Auditor yang melakukan perhitunganaudit akan diminta keterangan ahli yang diterangkan dalam berita acara pemeriksaan ahli, maka pada saat persidangan auditor akan tampil di persidangan dan keterangan tersebut juga akan berfungsi sbagia alat bukti yaitu keterangan ahli sesuai dengan Pasal 184 KUHAP. Laporan audit dan keterangan auditor pada sistem pembuktian Pasal 184 KUHAP adalah merupakan dua alat bukti, sehingga Penyidik cukup mencari keterangan saksi yang mendukung maka hakim sudah dapat menjatuhkan hukuman kepada seseorang walaupun terdakwanya tidka mengakui perbuatannya. Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. 87 Apa isi yang harus diterangkan oleh ahli, serta syarat apa yang harus dipenuhi agar keterangan ahli mempunyai nilai tidaklah diatur dalam KUHAP, tetapi dapat dipikirkan bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 28 KUHAP, secara khusus ada dua syarat dari keterangan seorang ahli, yaitu : 87 Pasal 1 angka 28 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Universitas Sumatera Utara 1. Bahwa apa yang diterangkan haruslah mengenai segala sesuatu yang masuk dalam ruang lingkup keahliannya. 2. Bahwa yang diterangkan mengenai keahliannya itu adalah berhubungan erat dengan perkara pidana yang sedang diperiksa. Kekuatan alat bukti keterangan ahli secara khusus adalah terletak pada dua syarat tersebut, tetapi secara umum juga terletak pada syarat-syarat umum pembuktian dari alat-alat bukti yang lain, terutama keterangan saksi. 88 Namun karena merupakan syarat, maka apabila ada keterangan seorang ahli yang tidak memenuhi salah satu syarat atau kedua syarat, maka keterangan ahli itu tidaklah berharga dan harus diabaikan. Masalah pembuktian yang dilakukan oleh BPKP selaku auditor dan dikategorikan sebagai keterangan ahli masih menimbulkan pro dan kontra. Beberapa kasus menyatakan bahwa hasil auditor BPKP tidak selamanya dapat dijadikan alat bukti di persidangan. Misalnya pada kasus PLTG Borang dimana Kejaksaan tetap bersikeras menginginkan hasil audit BPKP karena menurutnya saksi ahli lain tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga penyidikan pun dihentikan karena hanya menggunakan ahli independen untuk menyatakan ada unsur kerugian negara. Namun berbeda dengan kasus korupsi KBRI di Thailand. Pihak Kejaksaan Agung tidak serta merta menggunakan hasil audit BPKP yang menemukan kerugian keuangan negara sebesar 2,4 milyar karena sebelumnya hasil audit BPK hanya 88 Adam Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung, 2006, hal. 63. Universitas Sumatera Utara menemukan kesalahan administrasi. Oleh karena itu, hasil audit BPKP tidak akan langsung dijadikan alat bukti. Inkonsistensi ini yang kemudian pada akhirnya memberikan pandangan bahwa ternyata hasil audit BPKP tidak selamanya dapat dijadikan alat bukti dalam kasus tindak pidana korupsi atau setidaknya masih ada kemungkinan dipatahkan oleh aparat penegak hukum sendiri. Bahkan beberapa pendapat menyatakan bahwa seharusnya ahli dari BPKP tidak bisa dikategorikan sebagai ahli. Keahlian adalah pengetahuan seseorang tentang sesuatu hal yang sifatnya sangat mendalam. Sedangkan auditor BPKP hanya dianggap bisa melakukan audit karena itu memang pekerjaannya, disamping sebagai alat pemerintah. Seharusnya saksi ahli di luar pemerintah. Dalam prakteknya, perkara tindak pidana korupsi selama ini mnggunakan hasil perhitungan kerugian keuangan negara, walaupun tidak konsisten. Tentunya pendapat tersebut sangat logis mengingat secara struktrual BPKP, Kejaksaan maupun Kepolisian sama-sama berada dalam pemerintahan eksekutif yang diangkat dan bertanggungjawab kepada Presiden. Sehingga dikhawatirkan akan terjadi conflict of interest jika hasil audit investigatif BPKP dijadikan satu-satunya alat bukti yang menentukan ada tidaknya kerugian keuangan negara untuk kasus korupsi, terutama jika kasus tersebut mengandung nuansa politis. Namun berbeda lagi dengan persfektif hakim. Menurut hakim, pembuktian masalah kerugian keuangan negara akan didasarkan pada hal-hal yang relevan Universitas Sumatera Utara dengan pokok perkara secara yuridis yang terungkap sah di persidangan. Hakim Agung Artijo memberi contoh bahwa hasil perhitungan atau hasil audit investigatif dari BPKP sebagai salah satu pihak instansional yang berkompeten dan memilik iekahlian lege artis dalam menentukan kerugian keuangan negara. 89 Terlepas dari pro dan kontra di atas, untuk dapat menjadi alat bukti di persidangan, maka hasil audit investigatif BPKP harus memenuhi syarat umum dalam pembuktian. Syarat umum dari kekuatan alat bukti termasuk keterangan ahli auditor BPKP adalah harus didukung atau bersesuaian dengan fakta-fakta yang didapat dari bukti lain. Suatu alat bukti hasil audit harus memiliki kesamaan dengan alat bukti ketarnagna ahli dari seorang auditor BPKP. Sesuai dengan ketentuan Pasal 183 jo Pasal 185 ayat 2 KUHAP, maka satu-satunya alat bukti, keterangan ahli, tidakla dapat dipergunakan sebagai dasar untuk membentuk keyakinan hakim. Kekuatan bukti keterangan ahli bukanlah sebagai tambahan bukti seperti saksi tidak disumpah sebagaimana saksi keluarga menurut Pasal 185 ayat 7 KUHAP atau saksi anak dan saksi yang sakit ingatan Pasal 171. Hal ini disebabkan keterangan ahli adalah merupakan alat bukti tersendiri seperi juga alat bukti lainnya. Peran auditor BPKP sebagai ahli dalam pembuktian perkara tindak pidana korupsi, bahwa auditor BPKP dapat mengeluarkan beberapa produk yang dapat 89 Albert Usada, Kerugian Keungan Negara dan Praktik Penerapan dalam Putusan Hakim, diakses dari situs : http:www.legalitas.org, diakses pada hari Kamis tanggal 22 Juli 2010 pukul 20.25 WIB. Universitas Sumatera Utara digunakan Penyidik sebagai dasar penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pdana korupsi, seperti : 90 1. Laporan hasil audit. 2. Laporan perhitungan kerugian keuangan negara. 3. Pemberian keterangan ahli dalam BAP. 4. Pemberian keterangan ahli dalam persidangan.

2. Tugas, Fungsi dan Wewenang Kejaksaan dalam Penentuan Unsur Kerugian

Dokumen yang terkait

Pendampingan Aparatur Sipil Negara Yang Terkait Tindak Pidana Korupsi Dalam Pelaksanaan Tugas Kedinasan Berdasarkan Permendagri No. 12 Tahun 2014 Di Lingkungan Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara

1 109 101

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)

3 55 157

Analisis Gugatan bersifat in rem terhadap hasil tindak pidana korupsi pada sistem hukum Common Law

1 77 152

Kewenangan Jaksa Pengacara Negara Dalam Gugatan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Yang Terdakwanya Meninggal Dunia (Studi Putusan No. Reg 02/Pdt. G/2010/PN.DPK)

0 55 105

Analisis Hukum Terhadap Dakwaan Tindak Pidana Korupsi Oleh Jaksa Penuntut Umum (Putusan Mahkamah Agung No.2642 K/Pid/2006)

0 37 127

Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut (Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN)

5 123 163

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

2 43 164

TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN BPK DAN BPKP MENGHITUNG KERUGIAN NEGARA DALAM RANGKA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.

0 1 12

TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN BPK DAN BPKP MENGHITUNG KERUGIAN NEGARA DALAM RANGKA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 0 12

OPTIMALISASI KEJAKSAAN DALAM PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA AKIBAT TINDAK PIDANA KORUPSI

0 0 19