Mengatasi Hambatan yang bersifat Internal

pidana korupsi sehingga bisa berjalan dengan independen dan tidak dipengaruhi oleh apapun termasuk hal-hal yang bersifat politis. d. Mengadakan pertemuan-pertemuan antara sesama penegak hukum dan instansi yang terkait, untuk mendapatkan kesatuan persepsi dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. 120 e. Mengadakan perbaikan-perbaikan manajemen, sehingga memperkecil peluang untuk terjadinya tindak pidana korupsi. Dari praktek penanganan tindak pidana korupsi, asal pertama terjadinya tindak pidana korupsi adalah dari kelemahan manajemen. 121

2. Mengatasi Hambatan yang bersifat Internal

a. Meningkatkan sumber daya manusia. Hal ini dapat dilakukan melalui : 1 Mempersiapkan auditor investigatif untuk mempunyai keahlian khusus dalam menangani tindak pidana korupsi, memberikan pengetahuan tentang penguasaan hukum dan peraturan-peraturan tindak pidana korupsi kepada petugas-petugas yang menangani tindak pidana korupsi. Misalnya dengan mengadakan pendidikan auditor investigatif, sehingga ada auditor investigatif mempunyai keahlian khusus dalam menangani tindak pidana korupsi. Mengadakan penataran kepada petugas-petugas yang terkait 120 Hasil wawancara dengan Ahmad Balatif, SE. Auditor Ahli Madya Pengendali Teknis BPKP Perwakilan Propinsi Sumatera Utara, Pada Hari Rabu Tanggal 2 Juni 2010 Pukul 13.30 WIB. 121 Ibid Universitas Sumatera Utara dalam penanganan tindak pidana korupsi untuk lebih menguasai peraturan tindak pidana korupsi. 2 Meningkatkan gaji pegawai sehingga dapat bekerja dengan lebih professional. b. Mengadakan program-program penyuluhan, khususnya keagamaan untuk memperbaiki moral para pegawai dan aparat penegak hukum. c. Mengalokasikan dana untuk memperbaiki dan melengkapi sarana dan prasarana kerja. d. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat akan bahaya korupsi, sehingga masyarakat dapat mendukung segala program pemerintah dalam rangka pemberantasan korupsi. C. Faktor Penghambat bagi Kejaksaan dalam Pelaksanaan Tugas dan Wewenang dalam Penentuan Unsur Kerugian Keuangan Negara terhadap Tindak Pidana Korupsi Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut, perlu secara terus menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya. Tindak pidana korupsi merupakan suatu fenomena kejahatan yang menggerogoti dan menghambat Universitas Sumatera Utara pelaksanaan pembangunan, sehingga penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar diprioritaskan. Sumber kejahatan korupsi banyak dijumpai dalam masyarakat modern dewasa ini, sehingga korupsi justru berkembang dengan cepat baik kualitas maupun kuantitasnya. Sekalipun penanggulangan tindak pidana korupsi diprioritaskan, namun diakui bahwa tindak pidana korupsi termasuk jenis perkara yang sulit penaggulangan maupun pemberantasannya. Kesulitan tersebut terutama terjadi dalam proses pembuktian. Hal ini dikarenakan korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang berdasi yang memiliki intelektualitas tinggi white collar crime. Korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia; Oleh karena korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah-Iangkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan baik pada tingkat nasional maupun tingkat internasional. Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan dukungan manajemen tata laksana pemerintahan yang baik dan kerja sama internasional, termasuk pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi. Bangsa Indonesia telah ikut aktif dalam upaya masyarakat internasional untuk pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan telah menandatangani United Nations Convention Against Corruption, 2003 Konvensi Perserikatan Universitas Sumatera Utara Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003. Tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan baik pada tingkat nasional maupun tingkat internasional. Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan dukungan manajemen tata pemerintahan yang baik dan kerja sama internasional, termasuk pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang- undang Dasar 1945. Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut, perlu secara terus Universitas Sumatera Utara menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya. Sorotan tajam mengemuka terhadap institusi penegakan hukum khususnya Kejaksaan RI baik dalam tugas penyidikan maupun dalam tugas penuntutan, antara lain kerana Kejaksaan dipandang tidak mandiri dan independen sebagaimana terlihat pada penyelesaian perkara-perkara tindak pidana. 122 Secara umum, hambatan yang dihadapi oleh Kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam menangani kasus korupsi adalah : 123 1. Faktor Hambatan Eksternal bagi Kejaksaan dalam menangani tindak pidana korupsi secara umum a. Modus operandinya canggih, yaitu dengan cara melaksanakan atau melakukan tindakan secara berpengalaman, intelektual dan modern. Oleh sebab itu, kasus-kasus tindak pidana korupsi sulit terdeteksi atau diketahui dalam waktu dini, karena dilaksanakan dengan begitu rapi, misalnya dapat membobol perbankan dengan sangat mudah dengan profesionalisme yang dimilikinya. Pelaku korupsi sering juga tidak dapat dijangkau oleh hukum offences beyond the reach of the law. 124 b. Pelaku subjek hukum dilindungi oleh korps, atasan atau teman- temannya.Pada umumnya kasus-kasus tindak pidana korupsi saling terkait 122 Marwan Effendy, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dalam Persfektif Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hal. 161. 123 Marwan Effendy, Tindak Pidana Korupsi dan Upaya Penanggulangannya, makalah disampaikan pada Penyuluhan Hukum di Pemda Propinsi DKI Jakarta, Jakarta, 2003, hal. 36. 124 Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta, 2009, hal. 115. Universitas Sumatera Utara dengan organisasi, atasan maupun teman-teman. Untuk menjaga nama baik organisasi atau atasan maupun teman-teman pelaku berusaha melindunginya dengan jalan menghindar atau tidak bersedia memberikan data atau fakta yang diperlukan sehubungan dengan adanya temuan. c. Objeknya rumit complicated. Kasus-kasus yang digolongkan dalam tindak pidana korupsi pada umumnya sangat rumit atau kompleks karena berkaitan dengan berbagai peraturan, berbagai instansi dan atau disiplin ilmu. Semua ini mempersulit upaya penentuan kualifikasi kasus tersebut, apakah sudah masuk ke dalam klasifikasi tindak pidana korupsi atau belum. d. Sulitnya menghimpun bukti permulaan. Pada umumnya kasus-kasus yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi baru terungkap setelah kejadiannya usai dan sudah berlangsung cukup lama. Sedangkan perbuatan tindak pidana korupsi berlangsungnya seketika da prosesnya begitu singkat dan cepat sehingga sulit menghimpun data dan fakta untuk dijadikan bukti permulaan. e. Masih terdapat perbedaan persepsi dan interpretasi. Perbedaan persepsi dan interpretasi yang dimaksud di sini adalah perbedaan tanggapan dan penafsiran antara aparat pengawas struktural atau fungsional dalam kasus yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Universitas Sumatera Utara f. Bahwa pada kenyataannya dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan oleh Kejaksaan sering timbul permasalahan antar lembaga penegak hukum lainnya dalam hal : 1 Koordinasi berkas perkara antara Kejaksaan dan penyidik Kepolisian pada tahap prapenuntutan. 2 Pertanggungjawaban penguasaan penahanan antara Kejaksaan dan Pengadilan terhadap status pengalihan penahanan selama pemeriksaan di persidangan dan peralihan pada saat pelimpahan berkas perkara ke pengadilan. 3 Dualisme kewenangan penuntutan antara Kejaksaan dan KPK terhadap perkara tindak pidana korupsi. g. Bahwa permasalahan tersebut terjadi karena masih adanya tumpang tindih konsepsi yang berhubungan dengan tugas dan kewenangan Kejaksaan yaitu: 1 Sistem peradilan pidana terpadu yang dianut dalam KUHAP menimbulkan permasalahan sehubungan dengan kewenangan penuntutan Kejaksaan dan subsistem penegakan hukum lainnya yaitu Kepolisian dalam hal penyidikan dan Pengadilan dalam proses peradilan. 2 Kedudukan Kejaksaan dalam konteks hukum nasional berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI menempatkan lembaga ini berada di lingkungan eksekutif yang menyebabkan Kejaksaan tidak mandiri dan independen. Universitas Sumatera Utara 3 Pengurangan dan pembatasan kewenangan oleh Undang-undang, baik di bidang penyidikan maupun dalam bidang penuntutan. Hal ini dapat dilihat dengan terbentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Keppres No 266M2003 sebagai tindak lanjut Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 yang memiliki kewenangan yang demikian besar, berdampak terhadap struktur ketatanegaraan yang semakin membengkak, yang mengesampingkan asas dominus litis sebagai pengendali proses perkara dan prinsip een on deelbaar Kejaksaan satu dan tidak terpisah-pisah. h. Dalam penyidikanpenyelidikan masyarakat tidak memberikan laporan dalam hal terjadinya tindak pidana korupsi. 125 Dalam hal ini terkadang masyarakat seringkali tidak mau terlibat dengan persoalan tindak pidana sehingga sikap apatis masyarakat ini menghambat upaya pemberantasan korupsi. i. Saksi yang kurang kooperatif dalam memberikan keterangan. 126 Saksi seperti ini tentu saja menghambat dalam upaya pemberantasan korupsi. Hal ini bisa disebabkan karena saksi yang tidak mau terlibat lebih jauh terhadap satu tindak pidana korupsi, berada dibawah tekanan atau intimidasi dan sebagainya. 125 Hasil Wawancara dengan Bintang Simatupang Kepala Seksi Tindak Pidana Cabang Kejaksaan Negeri Stabat di Pangkalan Berandan, Pada Hari Jumat Tanggal 11 Juni 2010 Pukul 11.00 WIB. 126 Ibid. Universitas Sumatera Utara j. Izin pemeriksaan terhadap para pejabat yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dan saksi-saksinya memerlukan prosedur yang rumit dan berbelit-belit. 127 Kerumitan mendapatkan ijin ini akan berakibat memperpanjang waktu dan lebih menguras energi sehingga akan berdampak pada upaya pemberantasan korupsi. 2. Faktor Hambatan Internal bagi Kejaksaan dalam menangani tindak pidana korupsi secara umum a. Terbatasnya manajemen sumber daya manusia Sebagai Penyidik dan Penuntut Umum belum memiliki kemampuan profesional dan terspesialisasi. Ketepatan, kecermatan dan kecepatan suatu tim dalam menyelesaikan penanganan suatu kasus yang dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi tidak didukung dengan kemampuan sumber daya manusia yang baik. Apalagi sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa kasus korupsi sangat kompleks permasalahannya. b. Terbatasnya infrastruktur sarana dan prasarana Sebagaimana dikemukakan di atas, modus operandi untuk kasus korupsi sangat canggih, yaitu dengan cara melaksanakan atau melakukan tindakan secara berpengalaman, intelektual dan modern. Hal tersebut tidak didukung sarana dan prasarana yang memadai, seperti ruang kerja yang memadai, kendaraan operasional dan kendaraan tahanan dan infrastruktur lainnya seperti 127 Ibid. Universitas Sumatera Utara alat perekam, kamera fhoto, komputer, akses internet, fotocopi, video, lie detector dan sebagainya. Dalam hal penentuan unsur kerugian keuangan negara, kejaksaan yang berwenang sebagai penyidik dalam tindak pidana korupsi mengalami hambatan yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam penentuan unsur kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi, sebagai berikut : 1. Hambatan Internal bagi Kejaksaan dalam Proses Penentuan Unsur Kerugian Keuangan Negara terhadap Kasus Korupsi a. Keterbatasan sumber daya manusia Aparat penegak hukum khususnya lembaga Kejaksaan belum memiliki sumber daya manusia yang memadai, sehingga mengakibatkan timbulnya rasa tidak percara diri dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Hal tersebut dapat dilihat dalam proses penilaian sendiri mengenai adanya kerugian negara. Untuk hal tersebut, selain akan menggunakan analisis perbuatan melawan hukum formil, kemungkinannya adalah melakukan kajian terhadap unsur-unsur tindak pidana korupsi dari perspektif perbuatan melawan hukum materiil. Tetapi aparat penegak hukum tidak cukup percaya diri dalam melaksanakan kajian terhadap perbuatan melawan hukum materiil. Dan ketidakpercayaan diri tersebut tidak datang dari tubuh kepolisian atau kejaksaan tetapi dari bagian lain dari aparat penegak hukum yaitu hakim. Hakim dalam memeriksa suatu tindak pidana korupsi lebih mengandalkan Universitas Sumatera Utara atau mengacu pada bukti formil dengan konsekuensi akan menggunakan perspekti dari perbuatan melawan hukum formil. b. Perbedaan persfektif dalam penentuan unsur kerugian keuangan negara Selain keterbasan SDM, perbedaan persfektif juga akan menjadi hambatan dalam proses penentuan unsur kerugian keuangan negara. Undang-undang tidak dengan tegas menyebutkan institusi mana yang berhak menentukan ada tidaknya kerugian negara. Kejaksaan sebenarnya bisa. Namun dalam praktik jarang. Akibatnya, seolah-olah institusi di luar kejaksaan dan kepolisian yang justru menentukan suatu perbuatan masuk sebagai korupsi atau tidak. Jika institusi di luar penegak hukum seperti BPK dan BPKP mengatakan tidak adanya kerugian negara atau bukan uang negara, maka law enforcement akan menjadi tidak berjalan. Padahal, pihak kejaksaan maupun kepolisian sudah mengetahui adanya perbuatan yang diduga menyimpang sehingga merugikan negara. Namun dalam situasi ini kejaksaan dihadapkan pada pilihan yang sulit, meneruskan atau menghentikan perkara. Perbedaan persepsi antara kejaksaan dengan BPKP sebagai lembaga yang berwenang melakukan investigasi keuangan menimbulkan preseden yang tidak baik khususnya dalam upaya penegakan hukum, karena Kejaksaan memang bukan lembaga yang berwenangan melakukan investigasi keuangan dalam hal menentukan unsur kerugian keuangan negara, sehingga tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk hal tersebut. Universitas Sumatera Utara Sebagai perbandingan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003PUU-IV2006 Tentang Pengujian Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Putusan tersebut menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU PTPK tidak mengikat secara hukum. Dalam pandangan MK kerugian keuangan negara sebagai delik formil tidak bertentangan dengan Pasal 28 D UUD 1945. Sehingga MK hanya merekonstruksi kembali penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU PTPK bahwa frasa ‘dapat merugikan keuangan negara’ yang menjadi akibat dari suatu perbuatan tidak menjamin kepastian hukum yang adil. Bahkan apabila kerugian negara tidak dapat dibuktikan secara akurat dalam hal jumlah kerugian negara dipandang cukup untuk menuntut atau memidana pelaku sepanjang unsur dakwaan lain berupa unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan cara melawan hukum telah terbukti. 2. Hambatan Eksternal bagi Kejaksaan dalam Proses Penentuan Unsur Kerugian Keuangan Negara terhadap Kasus Korupsi a. Penentuan unsur kerugian keuangan negara oleh BPKP akan memperpanjangan mata rantai dalam proses penanganan tindak pidana korupsi oleh kejaksaan Penegakan hukum oleh Kejaksaan terhadap tindak pidana korupsi khsususnya dalam penentuan unsur kerugian negara tidak terlepas dari peran BPKP sebagai lembaga yang melakukan audit investigas. Pihak Kejaksaan dan Kepolisian selaku Universitas Sumatera Utara Penyidik dalam kasus Tindak Pidana Korupsi bagaimanapun masih sangat minim kemampuan SDM-nya dalam kaitannya dengan seluk beluk administrasi keuangan negara. Sedangkan di lain pihak, kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi cenderung menuntut pengetahuan akuntansi, auditing maupun administrasi di bidang penyelengaraan keuangan negara. Oleh karena itu demi efisiensi dan efektivitas pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, maka sudah semestinya Penyidik meningkatkan kerjasama seoptimal mungkin dengan BPKP. Hal tersebut dirasa penting untuk dapat saling melengkapi kekurangan-kekurangan yang selama ini justru menjadi penghambat upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Secara umum, Kejaksaan meminta bantuan dari BPKP dalam melakukan audit investigatif maupun melakukan perhitungan terhadap kerugian keuangan negara. Hambatan bagi Kejaksaan dalam proses tersebut tidak terlepas dari hambatan yang dialami oleh BPKP sebagaimana disebutkan di atas. Semakin besar hambatan yang dialami oleh BPKP dalam melakukan tugas dan wewenangnya akan berpengaruh pula pada kinerja Kejaksaan, khususnya masalah waktu. Proses untuk mendapatkan bukti adanya kerugian keuangan negara aparat penegak hukum mendasarkan diri pada hasil audit yang dilakukan oleh BPKP. Audit BPKP dalam praktek penyidikan sering menghambat proses penegakan hukum yang sedang dilakukan polisi atau jaksa. Hambatan dimaksud bahwa proses audit memperpanjang rantai penegakan hukum, karena bagi aparat penegak hukum audit BPKP menjadi sebuah kemutlakan. Kemutlakan ini berarti bahwa penegakan hukum Universitas Sumatera Utara tindak pidana korupsi harus disertai dengan audit BPKP sebagai lembaga yang mempunyai fungsi dan wewenang untuk melakukan investigatif keuangan. b. Hambatan dalam hal pembuktian Pakar hukum pidana Indriyanto Seno Adjie mengatakan, dalam revisi terhadap Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tipikor, kerugian negara dalam kasus korupsi nanti tidak akan dijadikan lagi sebagai salah satu unsur korupsi. Alasannya adalah karena yang namanya korupsi merupakan perbuatan. Jadi yang bisa dihukum dalam hukum pidana itu adalah perbuatannya dan bukan seharusnya kerugian negara yang bisa dihukum. Dengan kerugian negara tidak lagi masuk sebagai unsur, maka jika perbuatannya merugikan keuangan negara 1 satu rupiah atau tidak merugikan keuangan negara, tetapi sepanjang perbuatan itu dimasukkan sebagai pengertian korupsi, maka jelas bisa dihukum. Kejaksaan selama ini selalu terkendala soal pembuktian ada tidaknya kerugian negara, karena kerugian negara dijadikan sebagai unsur dalam kasus pidana korupsi yang memang harus dibuktikan dalam persidangan. Selain itu, untuk membuktikan ada tidaknya kerugian negara, Kejaksaan sangat tergantung kepada hasil audit institusi lain di luar penegak hukum yaitu BPK dan BPKP. Karena jaksa dan polisi fokusnya lebih banyak untuk dapat menentukan perbuatan materiil mana yang dianggap melawan hukum, atau menyalahgunakan kewenangan, sehingga porsi perhitungan kerugian negara diserahkan ke BPK atau BPKP. Sebagai contoh kasus adalah kasus penjualan dua kapal tanker Pertamina atau VLCC, dari hasil audit BPK Universitas Sumatera Utara menyatakan belum menemukan adanya kerugian negara karena tidak ada harga pembanding. Namun karena BPKP maupun BPK selama ini merupakan lembaga yang berwenang melakukan investigasi dalam hal penentuan kerugian keuangan negara, maka hasil audit BPKP maupun BPK- lah yang dipergunakan. D. Solusi untuk Mengatasi Hambatan bagi Kejaksaan dalam Pelaksanaan Tugas dan Wewenang dalam Penentuan Unsur Kerugian Keuangan Negara terhadap Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan uraian sebelumnya mengenai faktor-faktor yang menjadi penghambat bagi kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam penentuan unsur kerugian keuangan negara, maka dalam hal ini solusi untuk mengatasi hambatan yang dihadapi oleh Kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam menangani kasus korupsi secara umum, adalah sebagai berikut: 1. Mengatasi Hambatan yang bersifat eksternal dalam penanganan tindak pidana korupsi secara umum a Menerbitkan satu peraturan perundang-undangan yang menjamin wewenang Kejaksaan sehingga tidak tumpah tindih, independen dan profesional dalam menangani kasus-kasus korupsi. b Meningkatkan kerjasama dan mekanisme koordinasi dengan instansi yang terkait dalam criminal justice system, seperti Kepolisian, BPKP, BPK dan sebagainya. c Mendesak pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh proses pemeriksaan yang sedang berjalan untuk kasus yang terindikasi Universitas Sumatera Utara tindak pidana korupsi sehingga bisa berjalan dengan independen dan tidak dipengaruhi oleh apapun termasuk hal-hal yang bersifat politis. d Mengadakan pertemuan-pertemuan antara sesama penegak hukum dan instansi yang terkait, untuk mendapatkan kesatuan persepsi dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. 128 e Mengadakan perbaikan-perbaikan manajemen, sehingga memperkecil peluang untuk terjadinya tindak pidana korupsi. Dari praktek penanganan tindak pidana korupsi, asal pertama terjadinya tindak pidana korupsi adalah dari kelemahan manajemen. 129 2. Mengatasi Hambatan yang bersifat Internal dalam penanganan tindak pidana korupsi secara umum a. Meningkatkan sumber daya manusia. Hal ini dapat dilakukan melalui : 1 Mempersiapkan auditor investigatif untuk mempunyai keahlian khusus dalam menangani tindak pidana korupsi, memberikan pengetahuan tentang penguasaan hukum dan peraturan-peraturan tindak pidana korupsi kepada petugas-petugas yang menangani tindak pidana korupsi. Misalnya dengan mengadakan pendidikan auditor investigatif, sehingga ada auditor investigatif mempunyai keahlian khusus dalam menangani tindak pidana korupsi. Mengadakan penataran kepada petugas-petugas yang terkait dalam penanganan tindak pidana korupsi untuk lebih menguasai peraturan tindak pidana korupsi. 128 Ibid 129 Ibid Universitas Sumatera Utara 2 Meningkatkan gaji pegawai sehingga dapat bekerja dengan lebih professional. b. Mengadakan program-program penyuluhan, khususnya keagamaan untuk memperbaiki moral para pegawai dan aparat penegak hukum. c. Mengalokasikan dana untuk memperbaiki dan melengkapi sarana dan prasarana kerja. d. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat akan bahaya korupsi, sehingga masyarakat dapat mendukung segala program pemerintah dalam rangka pemberantasan korupsi. 130 Untuk masa yang akan datang sudah saatnyalah untuk mengubah mindset, bahwa tidak perlu mempermasalahkan lagi adatidaknya kerugian negara pada suatu tindak pidana korupsi karena beberapa alasan, misalnya banyak tindak pidana korupsi yang tidak merugikan keuangan negara secara langsung, seperti tindak pidana penyuapan. Dalam hal ini yang dirugikan adalah masyarakat, bukan negara. Walaupun tidak merugikan keuangan negara,dampak tindak pidana suap ini sangat merugikan pelaku pasar yang secara tidak langsung dapat merugikan perekonomian. Banyaknya suap akan menimbulkan high cost economy yang membuat daya saing pelaku pasar menjadi lemah dan harga barang menjadi lebih mahal. Kesemuanya 130 Hasil Wawancara dengan Bintang Simatupang Kepala Seksi Tindak Pidana Cabang Kejaksaan Negeri Stabat di Pangkalan Berandan, Pada Hari Jumat Tanggal 11 Juni 2010 Pukul 11.00 WIB. Universitas Sumatera Utara sudah tentu memberatkan masyarakat. Suap ini sangat merugikan rakyat kecil yang tidak memiliki uang dan kekuasaan. Selanjutnya terdapat perlakuan yang sama antara badan usaha milik negara dan perusahaan swasta kalau terjadi tindak pidana yang melibatkan perusahaan tersebut. Dengan perubahan sikap seperti ini, yang disertai dengan perubahan undang-undang yang terkait, maka pemberantasan korupsi menjadi lebih luas dan lebih adil. 131 Dalam hal penentuan unsur kerugian keuangan negara, kejaksaan mengatasi hambatan yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam penentuan unsur kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi, sebagai berikut : 1. Mengatasi Hambatan Internal bagi Kejaksaan dalam Proses Penentuan Unsur Kerugian Keuangan Negara terhadap Kasus Korupsi a. Keterbatasan sumber daya manusia Kejaksaan selaku lembaga yang berwenang melakukan penyidikan maupun penuntutan untuk tindak pidana korupsi, hendaknya juga diberikan peningkatan kapasitas sumber daya manusia khususnya dalam hal perhitungan kerugian keuangan negara. Hal ini untuk menghindarkan kecendrungan dilakukannya manipulasi oleh BPKP selaku lembaga investigatif keuangan, mengingat dalam hal perhitungan kerugian keuangan negara, BPKP dianggap merupakah satu-satunya lembaga yang sah untuk melakukan hal tersebut. Apabila Kejaksaan, memiliki sumber daya untuk 131 Yunus Husein, Kerugian Negara dalam Tindak Pidana Korupsi, diakses dari situs : www.ppatk.go.idcontent.php?s_sid=1453, diakses pada hari Minggu tanggal 25 Juli 2010 pukul 10.00 WIB. Universitas Sumatera Utara melakukan invesitigatif keuangan setidaknya ada check and balance terhadap hasil audit yang dikeluarkan oleh BPKP. b. Perbedaan persfektif dalam penentuan unsur kerugian keuangan negara Dalam hal mengatasi perbedaan persfektif dalam penentuan unsur kerugian keuangan negara, hendaknya dalam seluruh proses penghitungan kerugian keuangan negara, BPKP selalu melibatkan kejaksaan sebagai penyidik sehingga dari awal perhitungan Kejaksaan mengikuti seluruh prosesnya. Apabila BPKP telah melibatkan Kejaksaan dari proses awal, maka kemungkinan terjadinya perbedaan persfektif terhadap hasil audit BPKP dapat diminimalisir. 2. Mengatasi hambatan Eksternal bagi Kejaksaan dalam Proses Penentuan Unsur Kerugian Keuangan Negara terhadap Kasus Korupsi Sebagaimana telah dikemukakan di atas, ketersediaan SDM di lembaga Kejaksaan untuk penghitungan kerugian keuangan negara akan mempercepat proses penentuan unsur kerugian keuangan negara oleh BPKP, karena Kejaksaan juga bisa melakukan monitoring terhadap proses yang sedang berjalan di BPKP sehingga tidak ada kecendrungan untuk melakukan manipulasi di BPKP dan tentunya akan mempersingkat mata rantai proses penanganan tindak pidana korupsi. Hal ini juga akan berpengaruh pada proses pembuktian. Kejaksaan selama ini selalu terkendala soal pembuktian ada tidaknya kerugian negara, karena kerugian negara dijadikan sebagai unsur dalam kasus pidana korupsi yang memang harus dibuktikan dalam persidangan. Selain itu, untuk membuktikan ada tidaknya kerugian Universitas Sumatera Utara negara, Kejaksaan sangat tergantung kepada hasil audit institusi lain di luar penegak hukum yaitu BPK dan BPKP. Karena jaksa dan polisi fokusnya lebih banyak untuk dapat menentukan perbuatan materiil mana yang dianggap melawan hukum, atau menyalahgunakan kewenangan, sehingga porsi perhitungan kerugian negara diserahkan ke BPK atau BPKP. Jadi dengan adanya SDM di bidang perhitungan kerugian keuangan negara di Kejaksaan dapat dilakukan monitoring terhadap hasil audit BPKP. Universitas Sumatera Utara

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat dikemukakan dari pembahasan tesis di atas, adalah : 1. Kewenangan BPKP dan Kejaksaan dalam menentukan unsur kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi, adalah : a. BPKP merupakan salah satu lembaga pemerintah yang bekerja berdasarkan Keppres No. 103 Tahun 2001, yang mengatur bahwa BPKP mempunyai wewenang melaksanakan tugas pemerintah di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu tugas BPKP adalah melakukan pengawasan intern melalui audit investigatif. Yang dimaksud audit investigatif adalah merupakan bagian dari pengawasan intern pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah SPIP. b. Kejaksaan sebagai pemegang wewenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan eksekutor terhadap kasus tindak pidana korupsi membangun kerjasama dengan BPKP. Hal ini terlihat dari beberapa peraturan dan Nota Kesepahaman yang melegalisasi kerjasama Kejaksaan dan BPKP. Dalam penentuan kerugian keuangan negara terhadap kasus korupsi, Kejaksaan Universitas Sumatera Utara dapat meminta bantuan kepada BPKP untuk melakukan audit investigasi dan melakukan perhitungan terhadap indikasi korupsi yang merugian keuangan negara. Berdasarkan hasil audit investigasi dan diskusi dengan BPKP ini Kejaksaan akan memutuskan apakah akan meneruskan atau menghentikan penyelidikanpenyidikan. 2. Faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaan tugas dan wewenang BPKP dan Kejaksaan dalam penentuan unsur kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi, secara umum adalah hambatan eksternal berupa belum adanya petunjuk pelaksanaan yang seragam dalam penentuan unsur kerugian keuangan negara yang dilaksanakan oleh BPKP maupun Kejaksaan, proses penentuan unsur kerugian keuangan negara oleh BPKP akan memperpanjang mata rantai proses penanganan tindak pidana korupsi oleh kajaksaan serta lemahnya sistem pengawasan. Sedangkan untuk hambatan internal yang dialami Kejaksaan atau BPKP secara umum adalah kurang profesionalnya sumber daya manusia dan adanya perbedaan persfektif terhadap hasil audit investigasi. Solusi untuk mengatasi faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaan tugas dan wewenang BPKP dan Kejaksaan dalam penentuan unsur kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi secara internal adalah pemerintah perlu menciptakan suatu aturan hukum seragam dalam hal penentuan unsur kerugian keuangan negara yang dilaksanakan oleh BPKP maupun Kejaksaan selaku Penyidik, meningkatkan kapasitas sumber daya Universitas Sumatera Utara manusia agar seluruh proses dalam hal penentuan unsur kerugian negara dapat lebih efisien dan adanya sistem pengawasan dalam seluruh prosesnya.

B. Saran

Saran yang dapat dikemukan dalam tesis ini, adalah : 1. Pemerintah perlu menciptakan suatu aturan hukum seragam dalam hal penentuan unsur kerugian keuangan negara yang dilaksanakan oleh BPKP maupun Kejaksaan selaku Penyidik tindak pidana korupsi. 2. Pemerintah mempermudah prosedur izin untuk melakukan pemeriksaan terhadap pejabat-pejabat yang terlibat kasus korupsi sehingga kasus-kasus korupsi tidak terlalu memakan waktu dalam prosesnya. 3. Meningkatkan anggaran untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sarana dan prasarana yang mendukung proses penanganan kasus-kasus korupsi. 4. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat akan bahaya korupsi sehingga program pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah mendapat dukungan dari masyarakat. Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA 1. Buku : Atmasasmita, Romli, Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Bandung : Mandar Maju, 2004. Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006. Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, cetakan keduapuluh delapan, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2006. Chazawi, Adami, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Malang: Bayumedia, 2005. ______________, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung : 2006. Chaeruddin, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Aditama, 2007. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2001. Effendy, Marwan, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dalam Persfektif Hukum, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005. Friedmen, Lawrence, America Law An Introduction, sebagaimana diterjemahkan oleh Wisnu Basuki PT Tatanusa, Jakarta, 1984. Ghozali, Imam dan Anis Chariri, Teori Akuntansi, Universitas Diponegoro Press, Semarang, 2007. Hartanti, Evi, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Sinar Grafika, 2005. Harahap, Krisna, Pemberantasan Korupsi, Jalan Tiada Ujung, Bandung : Grafitri, 2006. IAI, Standar Akuntansi Keuangan, Jakarta : Salemba Empat, 2007. Universitas Sumatera Utara J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin, J.T. Prasetyo, Kamus Hukum, Cet. Keenam, Jakarta : Sinar Grafika, 2000. Kejaksaan Agung Republik Indonesia Pusat Pendidikan dan Pelatihan, Pokok-Pokok Rumusan Hasil Sarasehan Terbatas Plattform Upaya Optimalisasi Pengabdian Institusi Kejaksaan, Jakarta : Kejaksaan Agung RI, 1999. Kusumaatmadja, Mochtar, Konsep-konsep Hukum dan Pembangunan, Pusat Studi Wawasan Nusantara, Bandung : Hukum dan Pembangunan Bekerjasama dengan PT. Alumni, 2002. Likadja, Frans. E, Daniel Bessie, Desain Instruksional Dasar Hukum Internasional, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988. Lumintang, P.A.F, Delik-Delik Khusus, Tindak-Tindak Pidana Melanggar Norma- Norma Kesusilaan dan Norma-Norma Kepatutan, Bandung : Mandar Maju, 1990. Mahfud M.D, Moh, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 1998. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Predana Media Group, 2007. M Blau, Peter dan M. Meyer, Marshall, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, Jakarta : UI Press, 1987. Muladi, Kapita selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, 1995. Mulyadi, Mahmud, Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana, Medan : USU Press, 2009. Nusantara, Abdul Hakim Garuda, Politik Hukum Indonesia, Jakarta : Yayasan LBHI, 1988. Optner, Stanford, System Analysis for Business Management, Prentice Hall, Inc., New York, 1968,hal.3, dalam Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Cet.1, Jakarta: Rajawali, 1986. Paton, W.A., Accounting Theory, Scholar Book Company, 1962. Prins, Darwan, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002. Universitas Sumatera Utara Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung : Eresco, 1986. Rajagukguk, Erman , Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Negara, Disampaikan pada Diskusi Publik “Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi” Komisi Hukum Nasional KHN RI, Jakarta 26 Juli 2006. Reksodiputro, Mardjono, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta, 1997, hal. 84-85 dalam Mahmud Mulyadi, Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana, Medan, USU Press, 2009. Reksodiputro, Mardjono, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana,Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta. Romli, Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Presfektif Eksistensialisme dan Abolisianisme, Bandung : Binacipta, 1996. __________________, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994. Seno Adji, Indriyanto, Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta : Diadit Media, 2009. Soekanto, Soerjono, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta : Raja Grapindo Persada, 2004. Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitan Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998. sebagaimana dikutip dari Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Rajawali Pers, 1990. _________________, Metode Penelitian Hukum Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, Soeria Atmadja, P. Arifin, Keuangan Publik dalam Persfektif Hukum Teori, Praktik dan Kritik, Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Soeroso, R, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 1992. Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1981. Universitas Sumatera Utara Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1981. Vatter, W, The Fund Theory of Accounting and Its Implication for Financial Reporting, University of Chicago Press.

2. JurnalMakalahArtikel :

Dokumen yang terkait

Pendampingan Aparatur Sipil Negara Yang Terkait Tindak Pidana Korupsi Dalam Pelaksanaan Tugas Kedinasan Berdasarkan Permendagri No. 12 Tahun 2014 Di Lingkungan Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara

1 109 101

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)

3 55 157

Analisis Gugatan bersifat in rem terhadap hasil tindak pidana korupsi pada sistem hukum Common Law

1 77 152

Kewenangan Jaksa Pengacara Negara Dalam Gugatan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Yang Terdakwanya Meninggal Dunia (Studi Putusan No. Reg 02/Pdt. G/2010/PN.DPK)

0 55 105

Analisis Hukum Terhadap Dakwaan Tindak Pidana Korupsi Oleh Jaksa Penuntut Umum (Putusan Mahkamah Agung No.2642 K/Pid/2006)

0 37 127

Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut (Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN)

5 123 163

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

2 43 164

TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN BPK DAN BPKP MENGHITUNG KERUGIAN NEGARA DALAM RANGKA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.

0 1 12

TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN BPK DAN BPKP MENGHITUNG KERUGIAN NEGARA DALAM RANGKA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 0 12

OPTIMALISASI KEJAKSAAN DALAM PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA AKIBAT TINDAK PIDANA KORUPSI

0 0 19