BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
PSAK 50 dan 55 merupakan standar akuntansi yang mengacu pada
International Accounting Standard
IAS 39 mengenai
Recognition and Measurement of Financial Instruments
dan IAS 32 mengenai
Presentation and Disclosures of Financial Instruments
. PSAK 50 dan 55 revisi 2006 diharapkan dapat mendorong proses harmonisasi penyusunan
dan analisis laporan keuangan. Itu juga akan mendorong terciptanya
market discipline
. Permasalahan-permasalaan yang bisa timbul akibat berlakunya PSAK No. 50 revisi
2006 sebagai pengganti PSAK No. 50 1998 dalam industri perbankan Indonesia adalah sebagai berikut.
Pertama adalah mengenai Penyisihan Kerugian Kredit
Loan-Loss Provisioning
atau Cadangan Kerugian Penurunan Nilai CKPN. Penyisihan kerugian kredit
Loan-Loss Provisioning
adalah penyisihan kerugian atas portfolio kredit dan pendanaannya yang mengalami penurunan nilai ekonomi. Nilai ekonomi dari portfolio kredit dan pendanaannya
dapat naik atau turun disebabkan karena adanya perubahan dengan kualitas kredit yaitu jika terjadi masalah terhadap itikad baik
willingness to pay
dan kemampuan debitur untuk melunasi kredit beserta pinjamannya
ability to pay
. Penyisihan kerugian ini penting untuk dilakukan sehingga laporan keuangan bank tersebut mencerminkan keadaan yang sebenarnya.
Selama ini kalau mengacu pada PSAK lama, penentuan cadangan memakai konsep ekspektasi kerugian kredit
expectation loss
sehingga bank bisa menumpuk cadangan besar- besaran kalau bankir merasa default kredit-nya besar. Celah ini banyak dimanfaatkan bank
Universitas Sumatera Utara
untuk memoles laporan keuangannya dan melakukan
window dressing
yaitu merekayasa laporan keuangan bank untuk tujuan tertentu.
Namun, dengan diterapkannya PSAK 5055 revisi 2006 dan Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia PAPI tahun 2008 yang menyesuaikan PSAK tersebut, bank dituntut
untuk menentukan CKPN berdasarkan data historis kerugian kredit yang sudah terjadi atau
incurred loss
. Adapun CKPN dihitung dari perkalian beberapa komponen, yakni potensi gagal bayar
potential of default
dikalikan jumlah kredit yang bersangkutan. Komponen lainnya
loss given default
LGD yang merupakan porsi kerugian riil akibat gagal bayar yang benar-benar tak tertagih, di luar tingkat kembalian tagihan
recovery rate. Potential of default
dihitung dari pengalaman kerugian yang sudah terjadi berdasarkan data historis setiap jenis kredit
bank tersebut minimal selama 3 tahun terakhir. Kesulitan yang dialami bank dalam penentuan CKPN ini adalah tuntutan kepada bank
untuk mempunyai data historis mengenai pengalaman kerugian dari setiap jenis kredit bank, minimal 3 tahun. Bank dituntut untuk mempunyai data mengenai jumlah tingkat kerugian
suatu kredit dari setiap nasabah. Dan tentunya untuk mendapatkan data ini, cukup rumit karena banyaknya jenis kredit dan jangka waktu yang berbeda.
Kedua, dengan memakai standar baru ini dapat mengurangi sumber pendapatan bunga bank dalam hal:
- Pendapatan provisi dan komisi kredit kini menjadi pengurang dari nilai kredit yang diberikan guna menghitung pendapatan bunga efektif.
- Bunga surat berharga misalnya Sertifikat Bank Indonesia SBI tidak boleh masuk sebagai pendapatan operasional bunga. Reklasifikasi bunga SBI ini berdampak pada
Universitas Sumatera Utara
bank yang banyak menempatkan dananya di luar kredit dengan ciri rasio pinjaman terhadap dana LDR-nya yang relatif kecil.
- Kredit sebagai asset bank digolongkan pada “
Loan and Receivables
” yang mana valuasinya adalah dengan cara
amortizad cost
, hal ini membawa konsekuensi bahwa nilai kredit dalam hal ini asset bank akan dipengaruhi oleh proyeksi cashflow dari
asset tersebut, sehingga kredit yang dikenakan bunga dibawah bunga pasar akan terdiskon menjadi lebih kecil dari harga perolehannya kredit yang dikucurkan.
Ketiga, penerapan PSAK 50 dan PSAK 55 membutuhkan sistem dan persiapan yang cukup lama dan cukup mahal karena harus menggabungkan semua laporan keuangan dalam
satu paket. Dari sisi investasi, paling sedikit setiap bank harus mengeluarkan dana sebesar US 1 juta untuk membeli sistem informasi dan teknologi untuk aplikasi pelaporan keuangan
berdasarkan PSAK No 50 55 revisi 2006. Keempat, selain masalah teknologi, Sumber Daya Manusia yang menguasai mengenai
PSAK ini juga terbatas, jadi akan menambah masalah bagi perbankan untuk penerapan PSAK ini. Bank harus menilai sumber daya manusia yang dimiliki dan melakukan training-training
secara kontinu agar sumber daya manusia yang tersedia dapat dengan cepat mengadopsi PSAK 55 revisi 2006. Misalkan untuk menghitung penyisihan kerugian kredit, kaitannya
dengan
internal rating model
, bank memiliki sumber daya manusia yang mampu menganalisis data-data statistik yang ada.
Beberapa hal di atas itulah yang merupakan alasan mengapa industri perbankan Indonesia mengalami kesulitan menerapkan PSAK No. 50 55 revisi 2006 dan sekarang
pun BI telah mengijinkan diperpanjang sampai dengan akhir tahun 2011. Sekalipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwasanya banyak manfaat dan kelebihan implentasi
PSAK No. 50 55 revisi 2006.
Universitas Sumatera Utara
Manfaat dan kelebihan tersebut adalah sebagai berikut: a. Dengan adanya standar akuntansi Indonesia yang mengacu pada standar Internasional
ini, akan meningkatkan keandalan, keterbandingan dan
representative faithfullness.
b. Transparansi terhadap pelaporan keuangan bank yang akan meningkat. Transparansi ini sangat
urgent
, mengingat kasus atas jatuhnya raksasa finansial Lehman Brothers saat krisis menghantam tahun 2008 silam yang diindikasi karena adanya aspek
akuntansi atas transaksi repo yang wajar karena kurangnya transparansi laporan keuangan, maka kecurangan-kecurangan akan dapat diminimalisir.
Selain itu, aturan-aturan baru pada PSAK revisian mempersempit kemungkinan adanya kecurangan. Seperti pada contoh yang dijelaskan di atas, yaitu masalah reklasifikasi dari dan
ke kategori “FVTPL” dari kategori manapun dilarang, untuk menghindari usaha untuk menaikkan laba. Selain itu, adanya aturan yang tegas mengenai penentuan CKPN akan
mengurangi kesempatan manajemen bank untuk melakukan kecurangan seperti
window dressing
. Bila dulu bank dapat menumpuk pencadangan besar dengan alasan kehati-hatian, meski kualitas kredit tidak mengkhawatirkan sehingga laba ikut turun. Tujuannya
menghindari pajak atau mengatur ritme kinerja. Namun dengan diberlakukan PSAK revisian ini, bank tidak bisa lagi melakukan hal itu.
Salah satu contoh pada kasus Bank Mandiri misalnya, dimana setelah di konversi menurut IAS 39, pada tahun 2005 sebelumnya mencatat laba bersih sebesar 603 milyar
rupiah, akhirnya malah menderita kerugian sebesar 1,4 trilyun rupiah. Jika dilihat lebih detil lagi, maka kerugian tersebut diakibatkan karena penyisihan untuk aktiva produktif yang lebih
besar dibandingkan dengan aturan BI, yakni sebesar 2,6 trilyun.
Universitas Sumatera Utara
Untuk mengetahui besarnya nilai penyisihan atau cadangan dana kredit suatu bank berdasarkan perhitungan PPAP, maka kredit bank tersebut tinggal dikalikan saja dengan
persentase dari kolektibilitas kredit tersebut yang sesuai dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh BI.
Sedangkan untuk menentukan besarnya nilai penyisihan atau cadangan dana dari kredit suatu bank berdasarkan perhitungan CKPN, maka kita harus menentukan terlebih dahulu
kredit dari debitur mana saja yang mengalami impairment penurunan nilai. Setelah itu, maka besarnya nilai cadangan dana kredit itu ditentukan dari selisih antara nilai tunggakan
kredit debitur tersebut sebelum dan sesudah terjadinya impairment penurunan nilai. Jika kita bandingkan cara pembentukan dana menurut PPAP dan CKPN, maka dapat kita
lihat bahwa perhitungan PPAP lebih sederhana dibandingkan dengan perhitungan CKPN, karena kita hanya memperhitungkan penyisihan dananya berdasarkan tingkat kolektibilitas
kredit dari debitur tersebut. Sedangkan untuk perhitungan CKPN, kita perlu mengecek satu per satu apakah kredit debitur tersebut mengalami impairment atau tidak. Setelah itu kita baru
akan membentuk cadangan dana setelah terdapat bukti bahwa kredit debitur tersebut mengalami
impairment.
Walaupun perhitungan CKPN lebih rumit, tetapi dengan adanya pengecekan kredit tersebut secara satu per satu, maka pengontrolan kredit tersebut pun menjadi lebih terarah,
karena apabila terjadi impairment, maka bank akan segera mencari jalan keluar agar kredit debitur tersebut tidak sampai dapat merugikan bank tersebut. Oleh karena itu, dengan adanya
perhitungan pembentukan atau penyisihan dana kredit berdasarkan perhitungan CKPN ini, maka setidaknya bank dapat mengurangi terjadinya risiko kredit yang akan dialaminya.
Bank Indonesia telah menentukan Non Performing Loan NPL sebesar 5 Martono, 2002: 43. Apabila bank mampu menekan rasio NPL di bawah 5, maka potensi keuntungan
Universitas Sumatera Utara
yang akan diperoleh akan semakin besar, karena bank-bank akan menghemat uang yang diperlukan untuk membentuk cadangan kerugian kredit bermasalah. Dengan semakin kecil
CKPN yang di bentuk oleh bank-bank maka profitabilitas akan semakin besar sehingga kinerja bank secara keseluruhan akan menjadi baik.
Dalam terminologi keuangan dan perbankan, likuiditas dapat diartikan sebagai kemampuan bank untuk memenuhi kemungkinan ditariknya depositosimpanan oleh
deposanpenitip. Dengan kata lain, suatu bank dikatakan likuid apabila memiliki sejumlah likuiditas sama dengan jumlah kebutuhan likuiditasnya. Likuiditas dapat dipengaruhi oleh
kredit bermasalah, karena dengan munculnya kredit bermasalah, kas yang semestinya masuk dan menambah likuiditas bank tidak terjadi, sehingga mengakibatkan bank tersebut tidak
mampu lagi membayar kewajiban jangka pendeknya sehingga bank tersebut berada dalam keadaan illikuid. Apabila bank dalam keadaan illikuid, maka akan mengurangi kesempatan
bank untuk mendapatkan laba Dahlan Siamat, 2005: 339. Rasio leverage adalah rasio yang mengukur perbandingan dana yang disediakan oleh
pemiliknya dengan dana yang dipinjam dari kreditur perusahaan tersebut. Rasio ini dimaksudkan untuk mengukur sampai seberapa jauh aktiva perusahaan dibiayai oleh hutang
rasio ini menunjukkan indikasi tingkat keamanan dari para pemberi pinjaman Bank. Untuk menjamin likuiditas, leverage dan profitabilitas memerlukan langkah-langkah
yang harus ditempuh. Sebagai contoh perlunya pertimbangan untuk menentukan calon debitur atau penentuan syarat pembayaran dan penilaian kredit, sehingga dapat dihindari
keterlambatan pelunasan kredit atau macet. Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti
masalah perbandingan ROA sebelum dan setelah penerapan PSAK 5055 pada Perbankan di
Indonesia yang akan dituangkan dalam skripsi dengan judul “Analisis Perbandingan
Universitas Sumatera Utara
Profitabilitas, Likuiditas dan Leverage Sebelum dan Setelah Penerapan PSAK 5055 Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia”
1.2 Perumusan Masalah