kerugian dan keuntungan dan keadaan dimana aset keuangan dan liabilitas keuangan saling hapus.
PSAK 55 memberikan panduan pada pengakuan dan pengukuran instrumen keuangan dan kontrak untuk membeli item non-keuangan. Antara lain, pada tanggal 1
Januari 2010, perusahaan harus melakukan klasifikasi atas aset dan kewajiban keuangan yang dimilikinya dan perhitungan metode suku bunga efektif ketika aset atau kewajiban
diukur pada biaya perolehan diamortisasi yang diperoleh sebelumnya dan masih bersaldo pada saat penerapan awal PSAK ini ditentukan berdasarkan arus kas masa depan yang
akan diperoleh sejak penerapan awal PSAK ini sampai dengan jatuh tempo instrumen keuangan tersebut. Selain itu, PSAK ini juga mengubah cara perussahaan dalam
mengukur penurunan nilai aset keuangan tergantung pada klasifikasi instrumen keuangan. Karena PSAK ini diterapkan secara prospektif, penerapan awal tidak memiliki
pengaruh atas jumlah yang dilaporkan di tahun 2009, apabila ada kerugian penurunan nilai aset keuangan maka dibebankan ke saldo laba sebagai penyesuaian sehubungan
dengan penerapan awal PSAK 55. Hal tersebut sesuai dengan Buletin Teknis No. 4, Ketentuan Transisi Penerapan Awal PSAK 50 dan PSAK 55. Tujuan diterbitkannya
PSAK 55 adalah untuk mengatur prinsip-prinsip dasar pengakuan dan pengukuran aset keuangan, kewajiban keuangan dan kontrak pembelian atau penjualan item non-
keuangan.
2.1.5. Dampak Penerapan PSAK 5055 Terhadap Perbankan
PSAK 5055 revisi 2006 tentang Instrumen Keuangan: Penyajian dan Pengungkapan merupakan adopsi standar akuntansi keuangan internasional IFRS.
Penerapan PSAK revisi ini berdampak signifkan terhadap industri perbankan terutama terkait dengan penentuan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Kredit CKPN atau loan
Universitas Sumatera Utara
loss provision. Sebelumnya penghitangan CKPN berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Bank
Indonesia No.7
2PBI2005 dan
perubahannya No.82PBI2006,
No.96PBI2007, dan No.112PBI2009. Didalam peraturan ini ditetapkan kriteria penentuan kualitas kredit lancar, kurang lancar, diragukan, dan macet beserta
persentase pencadangan yang dibutuhkan untuk masing-masing klasifikasi kualitas kredit. Sedangkan berdasarkan pada PSAK 5055 revisi 2006 lebih memberikan
penekanan pada bukti objektif yang menjadi dasar dari penurunan nilai tersebut dan juga penekanan bahwa evaluasi akan 8 adanya penurunan tersebut dilakukan pada setiap
tanggal neraca. Dimana perhitungan CKPN estimasi dilakukan secara individual dan kolektif dan membutuhkan data-data probability of default dan kerugian historis minimal
3 tahun kebelakang dan untuk kolektif dibutuhkan data-data kerugian historis yang pernah dialami aset-aset keuangan yang memiliki karakteristik risiko kredit yang serupa
dengan karakteristik risiko kredit kelompok aset keuangan tersebut. Selain berdampak pada penentuan CKPN loan loss provison, PSAK 5055 revisi
2006 juga berdampak terhadap perlakuan investasi efek tertentu terkait dengan masalah reklasifikasi antar instrumen keuangan yang lebih ketat dibandingkan PSAK 50 1998.
PSAK 50 1998 memperbolehkan perusahaan untuk melakuan reklasifikasi instrumen keuangannya, dengan mengakui keuntungan atau kerugian. Sedangkan berdasarkan
PSAK 5055 revisi 2006 perlakuan reklasifikasi antar instrumen keuangan lebih ketat. Di India seperti juga di Indonesia, Firoz et al. 2011 berdasarkan studi mengenai
dampak penerapan IAS 39 mengenai instrumen keuangan dan IFRS 9 mengenai klasifikasi dan pengukuran instrumen keuangan pada perbankan di India menemukan
bahwa penerapan kedua standar ini akan sangat mempengaruhi industri perbankan terutama dalam klasifikasi financial aset yang lebih ketat dan valuasi pencadangan
penurunan nilai untuk pinjaman yang diberikan dan porfolio piutang. Selain itu untuk
Universitas Sumatera Utara
penurunan nilai pinjaman, IFRS mengajukan model yang berdasarkan kerugian yang diekspektasi expected loss dan bukan kerugian yang terjadi incurred loss.
2.1.6. Instrumen Keuangan