Karakterisasi Dan Analisa Kadar Nutrisi Edible Film Dari Nata De Coco Dengan Penambahan Pati, Gliserin, Dan Kitosan Sebagai Bahan Pengemas Makanan

(1)

KARAKTERISASI DAN ANALISA KADAR NUTRISI EDIBLE FILM DARI NATA DE COCO DENGAN PENAMBAHAN PATI, GLISERIN, DAN

KITOSAN SEBAGAI BAHAN PENGEMAS MAKANAN

SKRIPSI

EGYFALDI BIAMENTA 060802021

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

KARAKTERISASI DAN ANALISA KADAR NUTRISI EDIBLE FILM DARI NATA DE COCO DENGAN PENAMBAHAN PATI, GLISERIN, DAN

KITOSAN SEBAGAI BAHAN PENGEMAS MAKANAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

EGYFALDI BIAMENTA 060802021

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

PERSETUJUAN

Judul : KARAKTERISASI DAN ANALISA KADAR

NUTRISI EDIBLE FILM DARI NATA DE COCO DENGAN PENAMBAHAN PATI, GLISERIN, DAN KITOSAN SEBAGAI BAHAN PENGEMAS

MAKANAN

Kategori : SKRIPSI

Nama : EGYFALDI BIAMENTA

Nomor Induk Mahasiswa : 060802021

Program Studi : SARJANA (S1) KIMIA

Departemen : KIMIA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Disetujui di Medan, Februari 2011 Komisi Pembimbing :

Pembimbing II Pembimbing I

(DR. Rumondang Bulan,M.S) (Dra.Emma Zaidar,M.Si NIP.195408301985032001 NIP.195512181987012001

)

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,


(4)

PERNYATAAN

KARAKTERISASI DAN ANALISA KADAR NUTRISI EDIBLE FILM DARI NATA DE COCO DENGAN PENAMBAHAN PATI, GLISERIN, DAN

KITOSAN SEBAGAI BAHAN PENGEMAS MAKANAN

SKRIPSI

Saya mengakui skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing – masing disebutkan sumbernya.

Medan, Februari 2011

EGYFALDI BIAMENTA 0 6 0 8 0 2 0 2 1


(5)

PENGHARGAAN

Bismillahirrahmanirrahim…

Syukur alhamdulillah, segala puji penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Dalam hal ini penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Kedua orang tua, ayahanda Satri Budi Khas dan ibunda Nathra Yanthoba yang dengan doa dan kerja kerasnya telah ikhlas membesarkan, membiayai, dan mendidik penulis agar dapat menjadi manusia yang berguna bagi bangsa dan agama serta bermanfaat bagi orang lain. Abang, Dio Rana Anasha dan Adik, Niola Ramadhena yang selalu memberikan semangat dan bantuan moril sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Ibu Dra. Emma Zaidar, M.Si, sebagai dosen pembimbing I dan ibu Dr. Rumondang Bulan, M.S sebagai dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan hingga selesainya skripsi ini.

3. Ketua departemen kimia FMIPA USU, Ibu Dr. Rumondang Bulan Nst, M.S, Sekretaris departemen kimia FMIPA USU, bapak Drs. Albert Pasaribu, M.Sc

4. Prof. Dr. Tamrin, M.Sc, sebagai dosen wali penulis, yang telah banyak membantu, selama penulis dalam masa studi untuk program sarjana (S1) di FMIPA USU. Bapak dan ibu dosen di departemen kimia FMIPA USU, yang tak kenal lelah dalam mengajar dan telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis.

5. Bapak Alhamra sebagai kepala laboratorium MMH (Makanan, Minuman, dan Hasil Pertanian) BARISTAN Medan, yang telah banyak mengajarkan penulis mengenai metode-metode analisa makanan. Asisten laboratorium mikrobiologi FMIPA USU ( ami, ria, dll) yang telah banyak membantu penulis dalam penelitian


(6)

6. Teman-teman seperjuangan di departemen kimia FMIPA USU khususnya angkatan 2006 (Surya nugroho, adiansah, ismail, fely, aspriadi, gulit, dll). Abang-abang, adik-adik di departemen kimia yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu. Asisten Biokimia (bang Arsyad, kak Ina, kak Mona, kak Ika, Ardy, Eko, Agung, Nurmala, Nora, Deci, Ervina, Oki, Tiwi, Zoraya, Arini, Nisa, Feri) yang selalu memberikan semangat dan perhatiannya di Laboratorium Biokimia / KBM FMIPA USU sehingga skripsi ini dapat disiapkan. Terima kasih juga untuk Kak Nurul, Kak Fika, Kak Via, dan Bang Edi.

7. Abang, adik, dan rekan-rekan di HMI Komisariat FMIPA, Pengurus periode 2008-2009 ( Hendi Surya, Fitri, Putra, Ismail, Afif, Ardiyusman, Azwinata, Ela, Yani, Ara, Darajatin, dll). Serta ketua umum dan jajaran pengurus periode 2010-2011 ( Aulia, Averros ,Andika, Tisna, Dyan, Sigit, Ikhwal, Ary, Doni, Mahdian, Nanda, dll ) yang telah mengajarkan arti kerjasama dan indahnya persaudaraan. Jayalah HMI dan bangsaku. Yakinkan dengan niat, Sampaikan dengan usaha. Yakin usaha sampai !

8. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu yang telah membantu dan memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan kuliah dan mencapai gelar sarjana sains, penulis mengucapkan banyak terima kasih. Semoga Allah SWT akan membalas kebaikan-kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, Amiin.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu diharapan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Akhirnya kepada Allah SWT jualah kita berserah diri, semoga Allah selalu menunjukkan jalan yang lurus kepada kita semua. Amin.

Medan, Februari 2011


(7)

ABSTRAK

Penelitian tentang karakterisasi dan analisa kadar nutrisi edible film dari nata de coco dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan yang akan diaplikasikan sebagai bahan pengemas makanan. Parameter yang dianalisa adalah ketebalan edible film, Scanning Electron Microscope (SEM), kekuatan tarik, kemuluran, kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, dan kadar serat. Kadar air ditentukan dengan metode termogravimetri, kadar abu ditentukan dengan metode gravimetri, kadar protein ditentukan dengan metode Kjeldhal, kadar lemak ditentukan dengan metode soxhlet, kadar karbohidrat ditentukan dengan metode by difference, kadar serat ditentukan dengan metode defatting dan digestion. Dari hasil penelitian diperoleh ketebalan 0,2466 mm, SEM yang menunjukkan bentuk morfologi permukaan film yang rata, kekuatan tarik 0,0563 kgf�mm2 , kemuluran 19,7783 %, kadar air 15,8952 %,

kadar abu 66,8561 %, kadar protein 8,2072 %, kadar lemak 1,1416 %, kadar karbohidrat 7,8998%, kadar serat 26,0717 %.


(8)

ABSTRACT

The research about characterization and analysis nutrient content of edible film from nata de coco with adding starch, chitosan, and glycerin that will be applied as food coating material. The analyzed parameter was thick of edible film, Scanning Electron Microscope (SEM), tensile strength, elasticity, water contents, ash contents, protein contents, lipid contents, carbohydrate contents, and fiber contents. The water contents was determined by thermogravimetric method, the ash contents was determined by gravimetric method, the protein contents was determined by Kjeldhal method, the lipid contents was determined by soxhlet method, the carbohydrate contents was determined by difference method, the fiber contents was determined by defatting and digestion method. The results of analysis show that thick of edible film was 0,2466 mm, SEM indicates that form morphology flat surface film, tensile strength was 0,0563 ������2 , elasticity was 19,7783 %, the water contents was 15,8952 %, the ash contents was 66,8561 %, the protein contents was 8,2072 %, the lipid contents was 1,1416 %, the carbohydrate contents was 7,8998 %, the fiber contents was 26,0717%.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan ii

Pernyataan iii

Penghargaan iv

Abstrak vi

Abstract vii

Daftar isi viii

Daftar gambar xv

Daftar tabel xvii

Bab I Pendahuluan

1.1 Latar belakang 1

1.2 Perumusan masalah 3

1.3 Pembatasan masalah 3

1.4 Tujuan penelitian 3

1.5 Manfaat penelitian 4


(10)

Bab II Tinjauan pustaka

2.1 Tanaman kelapa 5

2.1.1 Air kelapa 6

2.2 Nata de coco 8

2.2.1 Pembuatan nata de coco 9

2.2.2 Fermentasi nata de coco 11

2.2.3 Zat–zat nutrisi yang ditambahkan pada nata de coco 11

2.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembuatan nata 12

2.3 Selulosa 14

2.3.1 Selulosa bakteri 15

2.3.2 Karakteristik selulosa bakteri 15

2.3.3 Biosintesa selulosa pada selulosa bakteri 16

2.3.4 Aplikasi selulosa bakteri 17

2.4 Acetobacter 19

2.4.1 Jenis-jenis Acetobacter 19

2.4.2 Acetobacter xylinum 20

2.4.3 Sifat-sifat Acetobacter xylinum 23

2.4.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Acetobacter xylinum 24

2.4.5 Aktifitas Acetobacter xylinum pada fermentasi nata 25

2.5 Edible film 27

2.5.1 Zat pemlastis (plasticizer) 28

2.5.2 Sifat edible film 29


(11)

2.6 Bahan yang ditambahkan dalam pembuatan edible film 31

2.6.1 Pati 32

2.6.2 Gliserin 33 2.6.3 Kitosan 35 2.6.3.1 Zat aktif kitosan sebagai anti mikroba 38 2.6.3.2 Kegunaan kitosan 39

2.7 Bahan pangan 42 2.7.1 Kerusakan dan pengemasan bahan pangan 43 2.8 Kadar Nutrisi 44 2.8.1 Kadar air 44

2.8.2 Kadar abu 44

2.8.3 Kadar protein 45 2.8.4 Kadar lemak 46 2.8.5 Kadar serat 47

2.8.6 Kadar karbohidrat 47

2.9 Syarat mutu 48 Bab III Bahan dan metode penelitian 3.1 Alat dan bahan 49

3.1.1 Alat 49

3.1.2 Bahan 50

3.2 Prosedur penelitian 51


(12)

3.2.3 Pembuatan nata de coco 52 3.2.4 Pembuatan edible film dari nata de coco 52 3.2.5 Pembuatan edible film dari nata de coco

dengan penambahan pati 53

3.2.6 Pembuatan edible film dari nata de coco

dengan penambahan gliserin 53 3.2.7 Pembuatan edible film dari nata de coco

dengan penambahan pati dan gliserin 54 3.2.5 Pembuatan edible film dari nata de coco

dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan 54

3.3 Parameter yang diamati 55

3.3.1 Penentuan ketebalan nata de coco 55

3.3.2 Penentuan kadar air 55

3.3.3 Penentuan kadar abu 55

3.3.4 Penentuan kadar serat 56

3.3.5 Penentuan kadar lemak 56

3.3.6 Penentuan kadar protein 57

3.3.7 Penentuan kadar karbohidrat (by difference) 58 3.3.8 Scanning Electron Microscopy ( SEM ) 58

3.3.9 Kekuatan tarik 59

3.4 Bagan penelitian 61

3.4.1 Pembuatan starter air kelapa 61

3.4.2 Pembuatan nata de coco 62


(13)

3.4.4 Pembuatan edible film dari nata de coco

dengan penambahan pati 64

3.4.5 Pembuatan edible film dari nata de coco

dengan penambahan gliserin 65 3.4.6 Pembuatan edible film dari nata de coco

dengan penambahan pati dan gliserin 66 3.4.7 Pembuatan edible film dari nata de coco

dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan 67

3.4.8 Penentuan kadar air 68

3.4.9 Penentuan kadar abu 68

3.4.10 Penentuan kadar protein 69

3.4.11 Penentuan kadar lemak 70

3.4.12 Penentuan kadar serat 71

3.4.13 Penentuan kadar karbohidrat 72

Bab IV Hasil dan pembahasan

4.1 Hasil penelitian 73

4.1.1 Penentuan ketebalan 73

4.1.2 Perhitungan kadar air 74

4.1.3 Perhitungan kadar abu 75

4.1.4 Perhitungan kadar protein 76

4.1.5 Perhitungan kadar lemak 77

4.1.6 Perhitungan kadar serat 78

4.1.7 Perhitungan kadar karbohidrat (by difference) 79


(14)

4.1.9 Perhitungan nilai kemuluran 80 4.1.10 Pengujian permukaan berdasarkan Scanning

Electron Microscopy (SEM) 81

4.1.11 Analisa data hasil penelitian 87 4.1.11.1 Analisa data untuk kadar air 87 4.1.11.2 Analisa data untuk kadar abu 89 4.1.11.3 Analisa data untuk kadar protein 91 4.1.11.4 Analisa data untuk kadar lemak 93 4.1.11.5 Analisa data untuk kadar karbohidrat 95 4.1.11.6 Analisa data untuk kadar serat 97 4.1.11.7 Analisa data untuk uji tarik 99 4.1.11.8 Analisa data untuk nilai kemuluran 101

4.2 Pembahasan 103

4.2.1 Pengaruh penambahan pati, gliserin, dan kitosan terhadap edible film dari nata de coco berdasarkan

uji ketebalan,kekuatan tarik, dan kemuluran 103

4.2.2 Pengaruh penambahan pati, gliserin, dan kitosan terhadap sifat permukaan edible film dari nata de coco

berdasarkan Scanning Electron Microscopy ( SEM ) 103 4.2.3 Pengaruh penambahan pati, gliserin, dan kitosan

terhadap kadar air edible film dari nata de coco 106 4.2.4 Pengaruh penambahan pati, gliserin, dan kitosan


(15)

4.2.5 Pengaruh penambahan pati, gliserin, dan kitosan

terhadap kadar lemak edible film dari nata de coco 106 4.2.6 Pengaruh penambahan pati, gliserin, dan kitosan

terhadap kadar protein edible film dari nata de coco 107 4.2.7 Pengaruh penambahan pati, gliserin, dan kitosan

terhadap kadar karbohidrat edible film dari nata de coco 107

4.2.8 Pengaruh penambahan pati, gliserin, dan kitosan

terhadap kadar selulosa edible film dari nata de coco 108

Bab V Kesimpulan dan saran

5.1 Kesimpulan 109

5.2 Saran 109

Daftar Pustaka 110


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Pohon kelapa ………... 6

Gambar 2.2 Air kelapa ……… 7

Gambar 2.3 Nata de coco ………... 9

Gambar 2.4 Selulosa tumbuhan ……….. 14

Gambar 2.5 Struktur selulosa ……….. 14

Gambar 2.6 Selulosa bakteri ………... 15

Gambar 2.7 Mekanisme pembentukan seluosa ………... 16

Gambar 2.8 Acetobacter xylinum ………... 21

Gambar 2.9 Tahap-tahap pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum dalam kondisi normal ………... 22

Gambar 2.10 Susunan fibril selulosa yang membentuk jalinan yang akan menjadi nata ……… 26

Gambar 2.11 Edible film dari nata de coco ……….. 27

Gambar 2.12 Struktur amilosa ……….. 32

Gambar 2.13 Struktur amilopektin ………... 33

Gambar 2.14 Struktur gliserin ……….. 34

Gambar 2.15 Struktur kitosan ……….. 35

Gambar 3.1 Kurva tegangan dan regangan ……… 59

Gambar 3.2 Bentuk spesimen untuk analisis kuat tarik dan kemuluran ASTM D-638-72-type IV ………….………... 60

Gambar 4.1 Hasil SEM edible film dari nata de coco dengan pembesaran 500x ……….……… 81

Gambar 4.2 Hasil SEM edible film dari nata de coco dengan pembesaran 2500x ……….………….. 81

Gambar 4.3 Hasil SEM edible film dari nata de coco dengan pembesaran 5000x ……….……….. 81


(17)

Gambar 4.4 Hasil SEM edible film dari nata de coco

dengan penambahan pati, dengan pembesaran 500x ……… 82 Gambar 4.5 Hasil SEM edible film dari nata de coco

dengan penambahan pati, dengan pembesaran 2500x ...……….. 82 Gambar 4.6 Hasil SEM edible film dari nata de coco

dengan penambahan pati, dengan pembesaran 5000x …………. 82 Gambar 4.7 Hasil SEM edible film dari nata de coco

dengan penambahan gliserin, dengan pembesaran 500x …………. 83 Gambar 4.8 Hasil SEM edible film dari nata de coco

dengan penambahan gliserin, dengan pembesaran 2500x ……….. 83 Gambar 4.9 Hasil SEM edible film dari nata de coco

dengan penambahan gliserin, dengan pembesaran 5000x ………… 83 Gambar 4.10 Hasil SEM edible film dari nata de coco

dengan penambahan pati dan gliserin, dengan pembesaran 500x ... 84 Gambar 4.11 Hasil SEM edible film dari nata de coco

dengan penambahan pati dan gliserin, dengan pembesaran 2500x .... 84 Gambar 4.12 Hasil SEM edible film dari nata de coco

dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan,

dengan pembesaran 500x ………... 85 Gambar 4.13 Hasil SEM edible film dari nata de coco

dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan,

dengan pembesaran 2500x ………. 85 Gambar 1. Nata de coco dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan ……… 115


(18)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Perbandingan komposisi air kelapa muda dengan air kelapa tua ..….. 8 Tabel 2.2 Aktivitas kitosan sebagai antibakteri ……….. 38 Tabel 2.3 Syarat mutu nata ....………..……… 48 Tabel 3.1 Faktor konfersi (f.k) untuk beberapa bahan ..………. 57 Tabel 4.1 Hasil analisa edible film dari nata de coco dengan

penambahan pati, kitosan, dan gliserin ..………. 86 Tabel 1. Harga erf (t) atau ert (hx) dari harga T ... 114 Tabel 2. Data hasil pengujian kekuatan tarik ( σ ) dan kemuluran

( ε ) edible film dari nata de coco dengan penambahan pati,


(19)

ABSTRAK

Penelitian tentang karakterisasi dan analisa kadar nutrisi edible film dari nata de coco dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan yang akan diaplikasikan sebagai bahan pengemas makanan. Parameter yang dianalisa adalah ketebalan edible film, Scanning Electron Microscope (SEM), kekuatan tarik, kemuluran, kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, dan kadar serat. Kadar air ditentukan dengan metode termogravimetri, kadar abu ditentukan dengan metode gravimetri, kadar protein ditentukan dengan metode Kjeldhal, kadar lemak ditentukan dengan metode soxhlet, kadar karbohidrat ditentukan dengan metode by difference, kadar serat ditentukan dengan metode defatting dan digestion. Dari hasil penelitian diperoleh ketebalan 0,2466 mm, SEM yang menunjukkan bentuk morfologi permukaan film yang rata, kekuatan tarik 0,0563 kgf�mm2 , kemuluran 19,7783 %, kadar air 15,8952 %,

kadar abu 66,8561 %, kadar protein 8,2072 %, kadar lemak 1,1416 %, kadar karbohidrat 7,8998%, kadar serat 26,0717 %.


(20)

ABSTRACT

The research about characterization and analysis nutrient content of edible film from nata de coco with adding starch, chitosan, and glycerin that will be applied as food coating material. The analyzed parameter was thick of edible film, Scanning Electron Microscope (SEM), tensile strength, elasticity, water contents, ash contents, protein contents, lipid contents, carbohydrate contents, and fiber contents. The water contents was determined by thermogravimetric method, the ash contents was determined by gravimetric method, the protein contents was determined by Kjeldhal method, the lipid contents was determined by soxhlet method, the carbohydrate contents was determined by difference method, the fiber contents was determined by defatting and digestion method. The results of analysis show that thick of edible film was 0,2466 mm, SEM indicates that form morphology flat surface film, tensile strength was 0,0563 ������2 , elasticity was 19,7783 %, the water contents was 15,8952 %, the ash contents was 66,8561 %, the protein contents was 8,2072 %, the lipid contents was 1,1416 %, the carbohydrate contents was 7,8998 %, the fiber contents was 26,0717%.


(21)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Penggunaan bahan pengemas yang banyak digunakan saat ini mempunyai beberapa kekurangan sehingga dianggap kurang efisien. Kemasan tersebut membutuhkan biaya yang mahal untuk proses daur ulang dan penanganannya. Di samping itu bahan pengemas yang digunakan saat ini juga memiliki zat-zat aditif dan molekul-molekul kecil yang mungkin bisa bermigrasi ke dalam bahan yang dikemas. Bahan pengemas tersebut juga sulit dibakar dan dicerna oleh mikroorganisme pembusuk, sehingga dapat mencemari lingkungan.

Sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang bahaya dari bahan pengemas yang dapat merusak lingkungan, maka penggunaan edible film adalah sesuatu yang sangat menjanjikan. Keuntungan dari edible film adalah dapat melindungi produk pangan, penampakan asli produk dapat dipertahankan dan dapat langsung dikonsumsi serta aman bagi lingkungan.

Edible film dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengemas dengan memperhatikan sifat fisik dan kimia. Sifat fisik dari edible film yang diharapkan adalah permeabilitas terhadap uap air relatif kecil. Sifat kimia dari edible film dengan bahan dasar dari bahan organik, seperti nata de coco, limbahnya masih dapat diuraikan oleh mikroorganisme (Aspinall, 1970).

Sebagai negara kepulauan, umumnya daerah sepanjang pesisir pantai Indonesia banyak ditumbuhi pohon kelapa. Kelapa memberikan banyak hasil bagi manusia, misalnya produk kopra yang selanjutnya diolah menjadi minyak, sedangkan air kelapa terbuang percuma sebagai limbah yang dapat mencemari lingkungan terutama berhubungan dengan kesuburan tanah (Atih, 1979). Air kelapa mengandung air 91,27% dan karbohidrat 7,27% serta nutrisi-nutrisi lainnya yang sangat berguna untuk pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum pada pembuatan nata de coco


(22)

Nata de coco adalah jenis komponen minuman yang merupakan senyawa selulosa yang dihasilkan dari air kelapa melalui proses fermentasi yang melibatkan jasad renik (mikroba) yang dikenal dengan Acetobacter xylinum (Hidayat, 2006). Gliserin adalah cairan kental berwarna putih, dan berasa manis. Gliserin digunakan untuk menjaga kadar air dari suatu produk karena sifatnya yang menurunkan gaya inter molekul dari molekul – molekul pelarut yang saling bertumbukan ketika terjadi reaksi antar satu molekul dengan molekul lain (http://www.wisegeek.com).

Kitosan adalah biopolimer alami terutama sebagai penyusun cangkang udang – udangan, serangga serta penyusun dinding sel ragi dan jamur. Kemampuan kitosan untuk mengikat logam dihubungkan dengan kadar nitrogen yang tinggi pada rantai polimernya. Kitosan mempunyai potensi untuk digunakan pada berbagai industri seperti industri makanan (Manskaya S.M.,1968). Pati merupakan karbohidrat yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan. Pati mengandung banyak molekul glukosa sehingga dapat menjadi salah satu penyumbang atom karbon yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum pada proses pembuatan nata de coco ( Almatsier S.,2004).

Dari penelitian Nurul (2007) “Pengaruh penambahan variasi massa pati pada pembuatan nata de coco dalam medium fermentasi bakteri Acetobacter xylinum”, telah dibuktikan bahwa pembuatan nata de coco dengan penambahan pati 2,5% akan memberikan pertambahan tebal dan kadar serat pada nata. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk memodifikasi nata de coco dari limbah air kelapa dengan penambahan gliserin dan kitosan untuk mendapatkan nata dengan sifat terbaik untuk dijadikan sebagai bahan pengemas.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka kami mencoba melakukan penelitian yaitu memanfaatkan limbah air kelapa, pati, gliserin, dan kitosan untuk membuat nata de coco yang akan dijadikan edible film sebagai pengemas bahan makanan. Sehingga diharapkan nantinya pengunaan nata tidak hanya menjadi makanan tetapi dapat juga dijadikan sebagai material dalam pembuatan edible film.


(23)

1.2. Permasalahan

Peneliti sebelumnya, Nurul (2007), melakukan penelitian dengan penambahan variasi masa pati 2,5% kedalam nata de coco. Maulina,J. (2010), melakukan penelitian dengan penambahan variasi gliserin 5% dan kitosan 0,15% kedalam nata de coco. Apakah nata de coco yang dimodifikasi dengan penambahan pati 2,5%, gliserin 5%, dan kitosan 0,15% dapat meningkatkan kandungan nutrisi nata sebagai edible film. 1.3. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini objek masalah dibatasi sebagai berikut:

1. Air kelapa yang digunakan berasal dari penjual kelapa di jalan Gatot Subroto, Medan.

2. Pati dan gliserin yang digunakan diperoleh dari laboratorium Biokimia FMIPA USU, Medan

3. Kitosan yang digunakan diperoleh dari laboratorium Penelitian FMIPA USU, Medan.

4. Waktu fermentasi pembuatan nata de coco dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan adalah 3 minggu.

5. Pati yang ditambahkan adalah sebanyak 2,5%, kitosan yang ditambahkan adalah sebanyak 0,15%, gliserin yang ditambahkan adalah sebanyak 5%.

6. Parameter yang diamati adalah protein, lemak, serat, abu, air, uji tarik, dan ketebalan.

7. Starter bakteri Acetobacter xylinum diperoleh dari hasil pengembangan bakteri Acetobacter xylinum yang didapat dari IPB Bogor.

1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan :

1. Untuk mengetahui pengaruh penambahan pati, gliserin, dan kitosan dalam pembuatan nata de coco.

2. Untuk memperoleh nata dengan kadar nutrisi tinggi yang akan dijadikan edible film.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Kelapa

Kelapa (Cocos nucifera) termasuk kedalam famili palmae (palem) yang merupakan salah satu kelas utama yang tergolong tumbuhan monokotiledon, famili palmae mencakup beberapa jenis tumbuhan yang bermanfaat bagi manusia, seperti kurma, kelapa sawit, pinang, sagu, tebu, pohon aren, dan lainnya. Semuanya dibedakan berdasarkan batangnya yang tidak bercabang yang dimahkotai oleh daun menjarum yang bentuknya menyerupai kipas.

Regnum : Plantae

Divisio : Spermatophyta Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Palmes

Familia : Palmae Genus : Cocos

Spesies : Cocos nucifera (Suhardiman P.,1999)

Kelapa merupakan tanaman tropis yang penting bagi negara-negara Asia dan Pasifik. Kelapa disamping dapat memberikan devisa bagi negara juga merupakan mata pencaharian jutaan petani, yang mampu memberikan penghidupan puluhan juta keluarga.


(25)

Menurut FAO (Food and Agriculture Organization) pada tahun 1976, negara-negara di Asia dan Pasifik menghasilkan 82% dari produksi kelapa dunia, sedangkan sisanya oleh negara di Afrika dan Amerika Selatan (Suhardiyo L.,1988).

Gambar 2.1. Pohon kelapa

Kesemua bagian pohon kelapa berguna kecuali kemungkinannya bagian akar. Pohon kelapa mampu menghasilkan hingga 75 butir kelapa setahun, dengan itu pohon kelapa mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Kegunaan berbagai bagian kelapa termasuk:

Daun kelapa bisa untuk pembungkus makanan

Tulang daun kelapa bisa dibuat untuk sapu lidi

Sabut kelapa bisa dibuat untuk tali

Tempurung kelapa bisa diproses menjadi barang kerajinan tangan

• Air kelapa muda bisa diminum, sementara air kelapa tua bisa diproses untuk menghasilkan santan, minyak kelapa, kecap, dan lain-lain.


(26)

2.1.1. Air Kelapa

Kelapa menghasilkan air sebanyak 50 – 150 ml per butir. Air kelapa sangat baik digunakan sebagai bahan dalam pembuatan nata, karena mengandung nutrisi yang dibutuhkan bagi pertumbuhan, perkembangbiakan, dan aktivitas bibit nata yang berupa bakteri Acetobacter xylinum. Untuk Pertumbuhan dan aktivitasnya, Acetobacter xylinum membutuhkan unsur makro dan mikro. Unsur makro terdiri atas karbon dan nitrogen.

Sebagian dari kebutuhan akan karbon tersebut sudah dapat diperoleh dari dalam air kelapa dalam bentuk karbohidrat sederhana, misalnya sukrosa, glukosa, fruktosa, dan lain-lainnya. Sementara nitrogen juga dapat diperoleh dari protein yang terkandung dalam air kelapa, meskipun dalam jumlah yang kecil.

Gambar 2.2 Air kelapa

Namun meskipun sedikit, protein dalam air kelapa tersebut tersusun dari asam-asam amino yang lengkap, yaitu sebanyak 17 macam asam-asam amino. Bahkan persentase beberapa macam asam amino yang meliputi arginin, alanin, sistein, dan serin, ternyata lebih tinggi daripada asam-asam amino dalam susu sapi.


(27)

Kelengkapan asam-asam amino dalam air kelapa ini sangat mendukung pertumbuhan, perkembangan, dan aktivitas bibit nata Acetobacter xylinum. Selain karbohidrat dan protein, air kelapa yang telah tua juga mengandung berbagai mineral yang sangat diperlukan oleh Acetobacter xylinum. Kelengkapan unsur mineral yang terkandung dalam air kelapa tua tersebut merupakan faktor kelebihan air kelapa jika dibandingkan dengan bahan pembuatan nata lainnya.

Sebagai contoh, kalium (K), natrium (Na), magnesium (Mg), kalsium (Ca), dan fosfor (P), merupakan unsur mineral utama yang terkandung dalam air kelapa tua, yang sangat dibutuhkan oleh Acetobacter xylinum.

Air kelapa yang baik adalah yang diperoleh dari kelapa tua optimal, tidak terlalu tua dan tidak pula terlalu muda. Dalam air kelapa yang terlalu tua, terkandung minyak dari kelapa yang dapat menghambat pertumbuhan bibit nata Acetobacter xylinum.

Sebaliknya, air kelapa yang masih muda belum mengandung mineral yang cukup di dalamnya, sehingga kurang baik apabila digunakan sebagai bahan pembuatan nata (Pambayun R.,2002).


(28)

Tabel 2.1 Perbandingan komposisi air kelapa muda dengan air kelapa tua Sumber air kelapa

(dalam 100 g)

Air kelapa muda (%)

Air kelapa tua (%)

Kalori 17,0 kal -

Protein 0,2 g 0,14 g

Lemak 1,0 g 1,50 g

Karbohidrat 3,8 g 4,60 g

Kalsium 15,0 mg -

Fosfor 8,0 mg 0,50 g

Besi 0,2 mg -

Asam askorbat 1,0 mg -

Air 95,5 g 91,50 g

Bagian yang dapat dimakan

100 g -

Sumber : Palungkun, 2001. 2.2. Nata de coco

Defenisi nata adalah suatu zat yang menyerupai gel, tidak larut dalam air dan terbentuk pada permukaan media fermentasi. Nata de coco adalah jenis nata dengan media fermentasi dari air kelapa. Nata de coco dibuat dengan memanfaatkan air kelapa untuk difermentasikan secara aerob dengan bantuan mikroba (Hidayat, 2006).


(29)

Nata de coco merupakan makanan olahan dari sari kelapa ini mulai diperkenalkan di Indonesia sekitar tahun 1987. Kata nata diduga berasal dari bahasa Spanyol, yaitu nadar yang berarti berenang. Dugaan lain, kata ini berasal dari bahasa latin “nature” artinya terapung. Sedangkan menurut Rony Palungkun (2001), nata berasal dari bahasa Spanyol yang berarti krim (cream). Jadi nata de coco adalah krim yang berasal dari air kelapa.

Nata de coco adalah bahan padat seperti agar-agar tapi lebih kenyal, atau seperti kolang-kaling, tetapi lembek, berwarna putih transparan. Sejenis makanan penyegar atau pencuci mulut

2.2.1. Pembuatan Nata de coco

Beberapa tahap kegiatan dalam pembuatan nata adalah sebagai berikut : 1. Preparasi

Tahap preparasi terdiri atas beberapa kegiatan sebagai berikut: a. Penyaringan

Penyaringan bertujuan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau benda-benda asing yang tercampur dengan air kelapa, seperti misalnya sisa sabut. Penyaringan yang lebih baik apabila dilakukan dengan menggunakan kain penyaring. Air kelapa yang mengandung banyak kotoran dan debu akan menghasilkan nata yang keruh dengan penampakan yang kurang menarik dan terkesan kotor.

b. Penambahan gula pasir dan ammonium sulfat

Ketersediaan karbohidrat dan protein yang terdapat dalam air kelapa belum mencukupi kebutuhan untuk pembentukan nata, kedalam air kelapa tersebut perlu ditambahkan gula pasir minimal 2,5% dan ammonium sulfat sebanyak 0,5%.


(30)

Rasio karbon dan nitrogen dalam pembuatan nata merupakan kunci utama agar proses tidak menghasilkan limbah yang berupa sisa cairan fermentasi (dicapai tingkat zero residual substrate), substrat (nutrisi dalam media) habis digunakan oleh bakteri nata.

Jenis sumber karbon bisa berupa bahan seperti misalnya glukosa, laktosa, fruktosa. Demikian juga dengan jenis sumber nitrogen yang digunakan dapat berupa nitrogen organik seperti misalnya protein, ekstrak yeast, maupun nitrogen anorganik seperti misalnya ammonium fosfat, ammonium sulfat, dan urea.

c. Perebusan

Perebusan dilakukan sampai mendidih dan dipertahankan selama 5 – 10 menit untuk meyakinkan bahwa mikroba kontaminan telah mati, dan juga menyempurnakan pelarutan gula pasir dan ammonium sulfat yang ditambahkan.

d. Penambahan cuka

Tujuan penambahan cuka/asam asetat adalah untuk menurunkan pH air kelapa dari sekitar 6,5 sampai mencapai pH 4,3. Kondisi pH 4,3 merupakan kondisi optimal bagi pertumbuhan Acetobacter xylinum.

e. Pendinginan

Pendinginan paling baik dilakukan dengan cara membiarkan cairan dalam nampan selama satu malam. Hal ini sekaligus untuk mengecek ada tidaknya kontaminan yang tumbuh pada cairan.


(31)

2. Inokulasi, fermentasi, dan pengendaliannya

a. Pemberian bibit (inokulasi)

Pemberian bibit dilakukan apabila campuran air kelapa, ammonium sulfat, dan asam asetat/cuka telah benar-benar dingin. Bila pemberian bibit dilakuka n pada waktu cairan air kelapa masih dalam keadaan panas atau hangat, maka bibit nata dapat mengalami kematian, sehingga proses fermentasi tidak bisa berlangsung.

b. Fermentasi atau pemeraman

Campuran air kelapa yang sudah diberi bibit, dibiarkan selama 7 – 8 hari agar terjadi proses fermentasi dan terbentuklah nata de coco (Pambayun R.,2002).

2.2.2. Fermentasi nata de coco

Fermentasi dapat terjadi karena adanya aktifitas mikroba penyebab fermentasi pada substrat organik yang sesuai. Terjadinya fermentasi ini dapat menyebabkan perubahan sifat bahan pangan, sebagai akibat dari pemecahan kandungan-kandungan bahan pangan tersebut. Hasil-hasil fermentasi terutama tergantung pada jenis bahan pangan (substrat), macam mikroba dan kondisi di sekelilingnya yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroba ( Winarno F.G.,1992 ).

Fermentasi nata dilakukan pada media cair yang telah diinokulasi dengan starter. Mikroba tumbuh terutama pada permukaan media fermentasi. Fermentasi dilangsungkan sampai nata yang terbentuk cukup tebal. Nata berupa lapisan putih seperti agar. Lapisan ini adalah massa mikroba berkapsul dari selulosa (Hasbullah,2001).


(32)

2.2.3. Zat-zat nutrisi yang ditambahkan pada fermentasi nata de coco

Komposisi media fermentasi nata terdiri dari karbohidrat (gula) sebagai sumber karbon dan urea sebagai sumber nitrogen. Oleh karena itu perlu ditambahkan zat-zat nutrisi sebagai berikut.

a. Gula sebagai sumber karbon

Sumber karbon merupakan faktor penting dalam proses fermentasi. Bakteri untuk menghasilkan nata membutuhkan sumber karbon bagi proses metabolismenya. Glukosa akan masuk ke dalam sel dan digunakan bagi penyediaan energi yang dibutuhkan dalam perkembang biakannya. Jumlah gula yang ditambahkan harus diperhatikan sehingga mencukupi untuk metabolisme dan pembentukan pelikel nata. Kebutuhan karbon untuk media umumnya diberikan oleh glukosa, pati, dan laktosa (Hidayat,2006).

b. Urea sebagai sumber nitrogen

Selain gula, sumber nitrogen merupakan faktor penting pula. Nitrogen diperlukan untuk pertumbuhan sel dan pembentukan enzim. Kekurangan nitrogen menyebabkan sel tumbuh dengan kurang baik dan menghambat pembentukan enzim yang diperlukan, sehingga proses fermentasi dapat mengalami kegagalan atau tidak sempurna (Hidayat,2006).

2.2.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembuatan nata 1. Temperatur ruang inkubasi

Temperatur ruang inkubasi harus diperhatikan karena berkaitan dengan pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Pada umumnya suhu fermentasi untuk pembuatan nata adalah pada suhu kamar (280C). Suhu yang terlalu rendah atau terlalu tinggi akan mengganggu pertumbuhan bakteri pembentuk nata, yang akhirnya juga menghambat produksi nata.


(33)

2. Kualitas starter

Starter yang kurang baik akan menghasilkan nata yang kurang baik pula. Sebaiknya digunakan starter yang berkualitas baik untuk mendapatkan nata dengan kualitas baik. Starter yang yang berkualitas baik adalah starter yang tidak terkontaminasi, dengan ketebalan nata yang sedang (tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis), dan berada pada lapisan atas permukaan media fermentasi.

3. Kebersihan alat

Alat-alat yang tidak steril dapat menghambat pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum. Sedangkan alat-alat yang steril dapat mendukung pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum.

4. Jenis dan konsentrasi medium

Medium fermentasi harus mengandung banyak karbohidrat (gula) di samping vitamin – vitamin dan mineral, karena pada hakikatnya nata tersebut adalah benang – benang halus dari sel bakteri yang kaya akan selulosa yang diproduksi dari glukosa oleh bakteri Acetobacter xylinum. Nata merupakan hasil fermentasi dari bakteri Acetobacter xylinum, bakteri ini dapat tumbuh dan berkembang dalam medium gula dan akan mengubah gula menjadi selulosa.

5. Waktu Fermentasi

Waktu fermentasi yang digunakan dalam pembuatan nata umumnya 2 – 4 minggu. Minggu ke 4 dari waktu fermentasi merupakan waktu maksimal produksi nata, yang berarti lebih dari 4 minggu, maka kualitas nata yang diproduksi akan menurun.

6. pH Fermentasi

Derajat keasaman yang dibutuhkan dalam pembuatan nata adalah 3 – 5 atau dalam suasana asam. Pada kedua sisi pH optimum, aktifitas enzim seringkali menurun dengan tajam. Suatu perubahan kecil pada pH dapat menimbulkan perbedaan besar pada kecepatan beberapa reaksi enzimatis yang amat penting bagi organisme.


(34)

7. Tempat Fermentasi

Tempat fermentasi sebaiknya tidak terbuat dari logam karena mudah korosif yang dapat mengganggu pertumbuhan mikroorganisme pembentuk nata. Di samping itu tempat fermentasi sebaiknya tidak terkena cahaya matahari langsung, jauh dari sumber panas, dan harus berada dalam kondisi steril.

Selain itu, dalam pembuatan nata juga harus diperhatikan bahwa selama proses pembentukan nata berlangsung harus dihindari gerakan atau goncangan di sekitar tempat fermentasi. Akibat adanya gerakan atau goncangan ini akan menenggelamkan lapisan nata yang telah terbentuk dan menyebabkan terbentuknya lapisan nata yang baru yang terpisah dari nata yang pertama. Hal ini menyebabkan ketebalan produksi nata tidak standar. (Budiyanto, 2004)

2.3. Selulosa

Selulosa adalah senyawa seperti serabut, liat, tidak larut dalam air, dan ditemukan di dalam dinding sel pelindung tumbuhan, terutama pada tangkai, batang, dahan, dan semua bagian berkayu dari jaringan tumbuhan. Selulosa membentuk komponen serat dari dinding sel tumbuhan. Molekul selulosa merupakan rantai – rantai atau mikrofibril dari D–glukosa sampai sebanyak 14000 satuan yang terdapat sebagai berkas-berkas terpuntir mirip tali yang terikat satu sama lain oleh ikatan hydrogen (Fessenden J.R.,1986).

Gambar 2.4 selulosa tumbuhan


(35)

Selulosa yang diperoleh dari proses fermentasi nata adalah sejenis polisakarida mikroba yang tersusun oleh serat selulosa yang dihasilkan oleh strain Acetobacter xylinum. Selulosa ini lebih mudah dicerna oleh manusia jika dibandingkan dengan selulosa yang berasal dari tumbuhan.

Gambar 2.5 Struktur selulosa

Sistem pencernaan manusia mengandung enzim yang dapat mengkatalisis hidrolisis ikatan α-glikosidik, tetapi tidak mengandung enzim yang diperlukan untuk menghidrolisis ikatan β-glikosidik (Hart H.,2003).

2.3.1. Selulosa bakteri

Selulosa yang diperoleh dari proses fermentasi adalah termasuk jenis polisakarida mikroba yang tersusun oleh serat selulosa yang dihasilkan oleh strain xylinum, subspecies dari Acetobacter aceti, suatu bakteri non patogen, dan dinamakan sebagai selulosa bakteri atau selulosa yang diperoleh dari fermentasi dengan bantuan mikroba. (Philip G.O. dan William P.A.,2000).

2.3.2. Karakteristik selulosa bakteri

Selulosa merupakan komponen dari dinding sel tumbuhan. Beberapa bakteri juga dapat menghasilkan selulosa (yang disebut bioselulosa atau selulosa bakteri). Selulosa tumbuhan dan selulosa bakteri mempunyai struktur kimia yang sama, tetapi memiliki sifat fisik dan kimia yang berbeda. Gambar dibawah ini menunjukkan Scanning Electron Microscope (SEM) dari selulosa bakteri.


(36)

Gambar 2.6 selulosa bakteri

Meskipun selulosa bakteri mempunyai struktur kimia yang sama seperti selulosa dari tumbuhan, tetapi selulosa bakteri tersusun oleh serat-serat selulosa yang lebih baik dari selulosa tumbuhan. Setiap serat-serat tunggal dari selulosa bakteri mempunyai diameter 50 nm. Panjang seratnya tidak dapat ditentukan karena kumpulan serat-serat tunggal selulosa saling melilit satu sama lain membentuk struktur jaringan (Philips G.O. dan William,P.A.,2000).

2.3.3. Biosintesa selulosa pada selulosa bakteri

Bakteri Acetobacter xylinum akan dapat membentuk nata jika ditumbuhkan dalam air kelapa yang sudah diperkaya dengan karbon dan nitrogen, melalui proses yang terkontrol. Dalam kondisi demikian, bakteri tersebut akan menghasilkan enzim ektraseluler yang dapat menyusun zat gula menjadi ribuan rantai serat atau selulosa. Dari jutaan renik yang tumbuh pada air kelapa tersebut, akan dihasilkan jutaan lembar benang-benang selulosa yang akhirnya tampak padat, yang disebut sebagai nata.


(37)

Aktivitas dari Acetobacter xylinum dalam memproduksi nata adalah sebagai berikut : sel-sel Acetobacter xylinum mengambil glukosa dari larutan gula, kemudian digabungkan dengan asam lemak membentuk prekursor pada membran sel, kemudian keluar bersama-sama enzim yang mempolimerisasikan glukosa menjadi selulosa di luar sel. Prekursor dari polisakarida tersebut adalah UDP-glukosa. Prekursor ini kemudian mengalami polimerisasi dan berikatan dengan akseptor membentuk selulosa

Pembentukan selulosa dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 2.7 Mekanisme pembentukan selulosa (http://www.res.titech.ac.jp)

2.3.4. Aplikasi selulosa bakteri


(38)

a. Aplikasi dalam bidang medis

Salah satu cara yang digunakan dalam proses cetak langsung tablet adalah mikrokristal selulosa, karena mempunyai daya ikat tablet yang sangat baik dan waktu hancur tablet relatif singkat. Mikrokristalin yang beredar di pasaran adalah produk impor yang mahal, sehingga berakibat pada mahalnya harga produk tablet yang dihasilkan. Mikrokristalin selulosa adalah hasil olahan dari selulosa alami yang dapat diperoleh dari berbagai sumber baik dari tumbuhan atau hasil fermentasi. Nata de coco merupakan sumber selulosa yang diproduksi sebagai hasil fermentasi Acetobacter xylinum dalam substrat air kelapa. Selulosa bakteri identik dengan selulosa yang berasal dari tumbuhan. Untuk menghasilkan mikrokristal selulosa dengan harga murah, maka dilakukan pemanfaatan nata de coco menjadi mikrokristal selulosa untuk pembuatan tablet (Yanuar A.,2003).

Selulosa bakteri merupakan polimer alam yang sifatnya mirip dengan hidrogel yang diperoleh dari polimer sintetik; sebagai contoh selulosa bakteri menunjukkan kandungan air yang tinggi (98 – 99%), daya serap cairan yang baik, bersifat non-alergenik dan dapat disterilisasi tanpa mempengaruhi karakteristik dari bahan tersebut. Karena karakteristiknya yang mirip seperti kulit manusia, maka selulosa bakteri dapat digunakan sebagai pengganti kulit untuk merawat luka bakar yang serius (Ciechanska D.,2004).

Jika suatu luka ingin disembuhkan dengan efektif, luka tersebut harus dijaga agar tetap dalam kondisi yang basah. Penutup luka yang baik adalah kulit dari pasien tersebut yang bersifat permeabel terhadap uap dan melindungi jaringan tubuh bagian dalam terhadap cidera mekanis dan infeksi. Selulosa bakteri yang disintesis oleh Acetobacter xylinum menunjukkan kinerja yang cukup baik untuk dapat digunakan dalam penyembuhan luka (Hoenich N.,2006).


(39)

b. Aplikasi dalam makanan

Penambahan selulosa bakteri dalam jumlah yang sedikit akan memberikan dispersi dan stabilisasi emulsi makanan yang baik. Selulosa bakteri dapat berfungsi demikian karena struktur tiga dimensi dari serat selulosa dan kestabilan terhadap perlakuan fisika dan kimia, seperti ketahanan terhadap panas, asam, dan garam. Karakteristik-karakteristik dari selulosa bakteri ini dapat diaplikasikan pada makanan sebagai stabilisasi dari bahan pengental, dispersi, suspensi, dan emulsi. Adapun aplikasi selulosa bakteri dalam makanan yaitu sebagai berikut :

1) Penggunaan pada minuman

Selulosa bakteri mempunyai suatu fungsi yang khusus yaitu untuk menstabilisasikan dispersi dari zat padat yang tidak larut, seperti pada minuman coklat, minuman teh hijau dalam bentuk bubuk, minuman berkalsium, dan sebagainya. Penambahan selulosa bakteri dalam jumlah kecil dapat menimbulkan pengaruh yang baik tanpa meningkatkan viskositasnya.

2) Sebagai makanan pencuci mulut

Selulosa bakteri sebagai makan pencuci mulut contohnya seperti nata de coco

3) Penggunan pada saus

Saus sering mempunyai konsentrasi garam yang sangat tinggi dan menggunakan bahan pengental dalam jumlah terbatas, tetapi dispersi dari materi padatnya kurang baik, viskositasnya juga tinggi. Selulosa bakteri dapat memperbaiki kestabilan dispersi dari zat padat yang tidak larut tersebut dengan penambahan dalam jumlah yang sedikit (Philip G.O. dan William P.A.,2000).


(40)

2.4. Acetobacter

Sel Acetobacter sp. berbentuk elips atau tongkat yang melengkung. Kultur yang masih muda merupakan bakteri gram negatif, sedangkan kultur yang sudah agak tua merupakan bakteri dengan gram yang bervariasi. Acetobacter sp. merupakan bakteri aerob yang memerlukan respirasi dalam metabolismenya. Acetobacter sp. dapat mengoksidasi etanol menjadi asam asetat, juga dapat mengoksidasi asetat dan laktat menjadi CO2 dan H2O.

Berbagai spesies Acetobacter sp. dapat ditemukan pada buah-buahan dan sayur-sayuran. Bakteri inilah yang menyebabkan pengasaman jus buah-buahan (Banwart G.J.,1981).

Acetobacter sp. adalah bakteri yang digunakan untuk membuat cuka. Dalam membuat cuka, gel seperti membran selalu ditemukan pada permukaan larutan. Material ini berkembang menjadi selulosa. Selulosa ini berasal dari bakteri yang dinamakan selulosa bakteri (Philip G.O. dan William P.A.,2000).

2.4.1. Jenis-jenis Acetobacter

Adapun jenis-jenis bakteri Acetobacter adalah sebagai berikut :

a. Acetobacter acetii, ditemukan oleh Beijerinck pada tahun 1898. Bakteri ini penting dalam produksi asam asetat, yang mengoksidasi alkohol menjadi asam asetat. Banyak terdapat pada ragi tapai, yang menyebabkan tapai yang melewati 2 hari fermentasi akan menjadi berasa masam.

b. Acetobacter xylinum, bakteri ini digunakan dalam pembuatan nata de coco.

Acetobacter xylinum mampu mensintesis selulosa dari gula yang dikonsumsi. Nata yang dihasilkan berupa pelikel yang mengambang dipermukaan substrat. Bakteri ini juga terdapat pada produk kombucha yaitu fermentasi dari teh (Hidayat,2007).


(41)

c. Acetobacter suboxydans, bakteri ini dapat mengubah glukosa menjadi asam askorbat ( vitamin C ) (Robinson S.R.,1976).

d. Acetobacter orleanensis, bakteri ini dapat mengubah etanol menjadi cuka (Mckane L. dan Judy K.,1976).

e. Acetobacter indonesianensis, ditemukan pada tahun 2001. Bakteri ini merupakan bakteri asli Indonesia.

f. Acetobacter cibinongensis, bakteri ini berasal dari daerah Cibinong.

g. Acetobacter syzygii, ditemukan pada tahun 2002. Bakteri ini berasal dari buah sirsak

h. Acetobacter tropicalis, ditemukan pada tahun 2001. Bakteri ini berasal dari daerah tropis.

i. Acetobacter bogoriensis, bakteri ini berasal dari daerah tropis.

Jenis Acetobacter 5 – 9 adalah spesies baru yang merupakan bakteri asli Indonesia, yang ditemukan oleh Dr. Puspita Lisdayanti (Prasetyo S.,2003).

2.4.2. Acetobacter xylinum

Bakteri pembentuk nata termasuk kedalam golongan Acetobacter, yang mempunyai ciri – ciri antara lain : ”sel bulat panjang sampai batang (seperti kapsul), tidak mempunyai endospora, sel – selnya bersifat gram negatif, bernafas secara aerob tetapi dalam kadar yang kecil (Pelczar dan Chan,1988).

Acetobacter xylinum dapat dibedakan dengan spesies yang lain karena sifatnya yang bila ditumbuhkan pada medium yang kaya komponen gula, bakteri ini dapat memecah komponen gula dan mampu membentuk suatu polisakarida yang dikenal dengan selulosa ekstraseluler.


(42)

Dalam medium cair, Acetobacter xylinum mampu membentuk suatu lapisan yang dapat mencapai ketebalan beberapa sentimeter. Bakteri terperangkap dalam benang – benang yang dibuatnya. Untuk menghasilkan massa yang kokoh, kenyal, tebal, putih, dan tembus pandang perlu diperhatikan suhu fermentasi (inkubasi), komposisi medium dan pH medium.

Gambar 2.8 Acetobacter xylinum

Klasifikasi ilmiah dari Acetobacter xylinum : Kerajaan : Bacteria

Filum : Proteobacteria Kelas : Alpha Proteobacteria Ordo : Rhodospirilia

Famili : Pseudomonadaceae Genus : Acetobacter


(43)

Bakteri Acetobacter xylinum mengalami pertumbuhan sel. Pertumbuhan sel didefinisikan sebagai pertumbuhan secara teratur semua komponen di dalam sel hidup. Bakteri Acetobacter xylinum mengalami beberapa fase pertumbuhan sel yaitu fase adaptasi, fase pertumbuhan awal, fase pertumbuhan eksponensial, fase pertumbuhan lambat, fase pertumbuhan tetap, fase menuju kematian, dan fase kematian. Adapun tahap – tahap pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum dalam kondisi normal dapat dilihat pada gambar 2.9

waktu

Gambar 2.9 tahap – tahap pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum dalam kondisi normal

a. Fase adaptasi

Begitu dipindahkan ke media baru, bakteri Acetobacter xylinum tidak langsung tumbuh dan berkembang. Pada fase ini, bakteri akan terlebih dahulu menyesuaikan diri dengan substrat dan kondisi lingkungan barunya. Fase adaptasi bagi Acetobacter

a

f d

Bobot sel

Bobot nata Pertumbuhan Acetobacter xylinum

Pembentukan nata

b c

e

g

a


(44)

b. Fase pertumbuhan awal

Pada fase ini, sel mulai membelah dengan kecepatan rendah. Fase ini menandai diawalinya fase pertumbuhan eksponensial. Fase ini dilalui dalam beberapa jam.

c. Fase pertumbuhan eksponensial

Fase ini disebut juga sebagai fase pertumbuhan logaritmik, yang ditandai dengan pertumbuhan yang sangat cepat. Untuk bakteri Acetobacter xylinum, fase ini dicapai dalam waktu antara 1- 5 hari tergantung pada kondisi lingkungan. Pada fase ini juga, bakteri mengeluarkan enzim ekstraseluler polimerase sebanyak – banyaknya, untuk menyusun polimer glukosa menjadi selulosa

d. Fase pertumbuhan diperlambat

Pada fase ini, terjadi pertumbuhan yang diperlambat karena ketersediaan nutrisi yang telah berkurang, terdapatnya metabolit yang bersifat toksik yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri, dan umur sel yang telah tua.

e. Fase stasioner

Pada fase ini, jumlah sel yang tumbuh relatif sama dengan jumlah sel yang mati. Penyebabnya adalah di dalam media terjadi kekurangan nutrisi, pengaruh metabolit toksik lebih besar, dan umur sel semakin tua. Namun pada fase ini, sel akan lebih tahan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim jika dibandingkan dengan ketahanannya pada fase lain. Matrik nata lebih banyak diproduksi pada fase ini.

f. Fase menuju kematian

Pada fase ini, bakteri mulai mengalami kematian karena nutrisi telah habis dan sel kehilangan banyak energi cadangannya.


(45)

g. Fase kematian

Pada fase ini, sel dengan cepat mengalami kematian, dan hampir merupakan kebalikan dari dase logaritmik. Sel mengalami lisis dan melepaskan komponen yang terdapat di dalamnya.

2.4.3. Sifat-sifat Acetobacter xylinum 1. Sifat Morfologi

Acetobacter xylinum merupakan bakteri berbentuk batang pendek, yang mempunyai panjang 2 mikron dan lebar 0,6 mikron, dengan permukaan dinding yang berlendir. Bakteri ini bisa membentuk rantai pendek dengan satuan 6 – 8 sel.

Bakteri ini tidak membentuk endospora maupun pigmen. Pada kultur sel yang masih muda, individu sel berada sendiri-sendiri dan transparan. Koloni yang sudah tua membentuk lapisan menyerupai gelatin yang kokoh menutupi sel dan koloninya. Pertumbuhan koloni pada medium cair setelah 48 jam inokulasi akan membentuk lapisan pelikel dan dapat dengan mudah diambil dengan jarum ose.

2. Sifat Fisiologi

Bakteri ini dapat membentuk asam dari glukosa, etil alkohol, dan propil alkohol, tidak membentuk indol dan mempunyai kemampuan mengoksidasi asam asetat menjadi CO2 dan H2O. Sifat yang paling menonjol dari bakteri ini adalah memiliki kemampuan mempolimerisasi glukosa hingga menjadi selulosa. Selanjutnya, selulosa tersebut membentuk matrik yang dikenal sebagai nata. Faktor – faktor dominan yang mempengaruhi sifat fisiologi dalam pembentukan nata adalah ketersediaan nutrisi, derajat keasaman, temperatur, dan ketersediaan oksigen.


(46)

2.4.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Acetobacter xylinum Adapun beberapa faktor yang berkaitan dengan kondisi nutrisi, adalah sebagai berikut: a. Sumber karbon

Sumber karbon yang dapat digunakan dalam fermentasi nata adalah senyawa karbohidrat yang tergolong monosakarida dan disakarida. Pembentukan nata dapat terjadi pada media yang mengandung senyawa – senyawa glukosa, sukrosa, dan laktosa. Sementara yang paling banyak digunakan berdasarkan pertimbangan ekonomis, adalah sukrosa atau gula pasir.

Penambahan sukrosa harus mengacu pada jumlah yang dibutuhkan. Penambahan yang berlebihan, disamping tidak ekonomis akan mempengaruhi tekstur nata, juga dapat menyebabkan terciptanya limbah baru berupa sisa dari sukrosa tersebut. Namun sebaliknya, penambahan yang terlalu sedikit, menyebabkan bibit nata menjadi tumbuh tidak normal dan nata tidak dapat dihasilkan secara maksimal.

b. Sumber nitrogen

Sumber nitrogen bisa digunakan dari senyawa organik maupun anorganik. Bahan yang baik bagi pertumbuhan Acetobacter xylinum dan pembentukan nata adalah ekstrak yeast dan kasein. Namun, amonium sulfat dan amonium fosfat (di pasar dikenal dengan ZA) merupakan bahan yang lebih cocok digunakan dari sudut pandang ekonomi dan kualitas nata yang dihasilkan. Banyak sumber N lain yang dapat digunakan dan murah seperti urea.

c. Tingkat keasaman (pH)

Meskipun bisa tumbuh pada kisaran pH 3,5 – 7,5 , bakteri Acetobacter xylinum sangat cocok tumbuh pada suasana asam (pH 4,3). Jika kondisi lingkungan dalam suasana basa, bakteri ini akan mengalami gangguan metabolisme selnya.


(47)

d. Temperatur

Adapun suhu ideal (optimal) bagi pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum adalah 280C – 310C. Kisaran suhu tersebut merupakan suhu kamar. Pada suhu di bawah 280C, pertumbuhan bakteri terhambat. Demikian juga, pada suhu diatas 310C, bibit nata akan mengalami kerusakan dan bahkan mati, meskipun enzim ekstraseluler yang telah dihasilkan tetap bekerja membentuk nata.

e. Udara (oksigen)

Bakteri Acetobacter xylinum merupakan mikroba aerobik. Dalam pertumbuhan, perkembangan, dan aktivitasnya, bakteri ini sangat memerlukan oksigen. Bila kekurangan oksigen, bakteri ini akan mengalami gangguan dalam pertumbuhannya dan bahkan akan segera mengalami kematian. Oleh sebab itu, wadah yang digunakan untuk fermentasi nata de coco, tidak boleh ditutup rapat. Untuk mencukupi kebutuhan oksigen, pada ruang fermentasi nata harus tersedia cukup ventilasi.

2.4.5. Aktifitas Acetobacter xylinum pada fermentasi nata

Apabila ditumbuhkan dalam media yang kaya akan sukrosa (gula pasir), bakteri ini akan memecah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Senyawa – senyawa glukosa dan fruktosa tersebut baru dikonsumsi sebagai bahan bagi metabolisme sel.

Bakteri Acetobacter xylinum merombak gula untuk memperoleh energi yang diperlukan bagi metabolisme sel. Selain itu, bakteri ini juga mengeluarkan enzim yang mampu menyusun (mempolimerisasi) senyawa glukosa menjadi polisakarida yang dikenal dengan selulosa ekstraseluler (nata de coco).

Fruktosa, selain digunakan sebagai sumber energi, bahan dasar nata setelah dihidrolisis menjadi glukosa, juga berperan sebagai induser bagi sintesis enzim ekstraseluler polimerase. Hal ini merupakan salah satu alasan, bahwa sukrosa mempunyai kelebihan dibanding gula sederhana lain dalam fungsinya sebagai substrat


(48)

Berdasarkan pada pengamatan morfologi, pembentukan nata oleh bakteri Acetobacter xylinum diawali dengan pembentukan lembaran benang – benang selulosa. Pembentukan benang tersebut, pada mulanya tampak seperti flagel (cambuk pada bakteri umumnya).

Selanjutnya, bakteri Acetobacter xylinum membentuk mikrofibril selulosa di sekitar permukaan tubuhnya hingga membentuk serabut selulosa yang sangat banyak dan dapat mencapai ketebalan tertentu. Pada akhirnya, susunan selulosa tersebut akan tampak seperti lembaran putih transparan dengan permukaan licin dan halus, yang disebut nata.

Adapun mekanisme pembentukan nata seperti yang telah diuraikan diatas, dapat diilustrasikan seperti pada gambar 2.10

Keterangan gambar: 1. Sel Acetobacter

xylinum

2. Benang selulosa

Gambar 2.10 susunan fibril selulosa yang membentuk jalinan yang akan menjadi nata 1


(49)

2.5. Edible film

Edible film merupakan nama ilmiah bagi kemasan yang bisa dimakan. Saat ini gencar dikembangkan bersamaan dengan kemasan yang gampang terurai atau yang diberi nama biodegradable film, namun tidak sebaliknya. Batasan makna kemasan bisa dimakan bergantung pada proses peracikan, proses pengemasan, dan segala modifikasi perlakuan yang terkait.

Jika bahan baku dan bahan racikannya adalah bahan yang bisa dimakan dan hanya perubahan struktur bahan baku yang terjadi selama proses pemasakan, perubahan pH, atau modifikasi enzimatis, maka kemasan tersebut digolongkan kepada kemasan yang dapat dimakan ( Bardant T. dan Dewi C.,2007).

Gambar 2.11 edible film dari nata de coco

Edible film adalah lapisan tipis dan kontinu yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk atas komponen makanan yang berfungsi sebagai penghambat terhadap transfer massa (misalnya kelembapan, oksigen, lipid, dan zat terlarut),


(50)

Edible film diaplikasikan pada makanan dengan cara pembungkusan, pencelupan, penyikatan atau penyemprotan. Bahan hidrokoloid dan lemak atau campuran keduanya dapat digunakan untuk membuat edible film. Hidrokoloid yang dapat digunakan untuk membuat edible film adalah protein (kasein, protein kedelai, protein jagung, dan gluten gandum) dan karbohidrat (pati, pektin, dan modifikasi karbohidrat lainnya), sedangkan lipid yang digunakan adalah lilin atau wax, gliserol, dan asam lemak.

Kelebihan edible film yang dibuat dari hidrokoloid diantaranya memiliki kemampuan yang baik untuk melindungi produk terhadap oksigen, karbondioksida, dan lipid serta memiliki sifat mekanis yang diinginkan dan meningkatkan kesatuan struktural produk. Kelemahannya, film dari karbohidrat kurang bagus digunakan untuk mengatur migrasi uap air sementara film dari protein sangat dipengaruhi oleh perubahan pH.

Kelebihan edible film dari lipid adalah memiliki kemampuan yang baik untuk melindungi produk dari penguapan air. Sedangkan kekurangannya yaitu kegunaannya dalam bentuk murni sebagai pelapis masih terbatas, karena mempunyai kekurangan dari segi ketahanannya.

Edible film dari komposit (gabungan hidrokoloid dan lipid) dapat meningkatkan kelebihan film dari hidrokoloid dan film dari lipid, serta mengurangi kelemahannya. Pembentukan edible film merupakan proses pertumbuhan fragmen-fragmen kecil yang akan membentuk suatu polimer. Prinsip pembentukan edible film adalah interaksi rantai polimer menghasilkan polimer yang lebih besar dan stabil (Syamsir E.,2008).


(51)

2.5.1. Zat pemlastis (plasticizer)

Plasticizer didefenisikan sebagai bahan non volatil, bertitik didih tinggi. Jika ditambahkan pada material lain dapat merubah sifat material tersebut. Penambahan plasticizer dapat menurunkan kekuatan intermolekuler, meningkatkan fleksibilitas film, dan menurunkan sifat barrier film.

Gliserol dan sorbitol merupakan plasticizer yang efektif karena memiliki kemampuan untuk mengurangi ikatan hidrogen internal pada ikatan intermolekuler. Plasticizer ditambahkan pada pembuatan edible film untuk mengurangi kerapuhan, meningkatkan fleksibilitas dan ketahanan film terutama jika disimpan pada suhu rendah ( poliol (gliserol, sorbitol, dan polyethylene glikol) biasa digunakan sebagai plasticizer pada pembentukan film hidrofilik (Gontard and Guilbert, 1992)

Pemlastis adalah suatu bahan yang ditambahkan kedalam suatu material berupa elastomer untuk meningkatkan pengolahannya, fleksibilitas, dan tarikannya. Suatu pemlastis dapat menurunkan viskositas leburnya, temperature transisi gelas, dan modulus elastis dari produk tanpa mengubah bentuk karakter kimia dari material pemlastis (Muller,1990).

2.5.2. Sifat edible film

Sifat dari edible film yang penting diketahui sebelum digunakan untuk mengemas produk dan penentuan umur simpan, antara lain permeabilitas terhadap uap air, permeabilitas terhadap gas, dan permeabilitas terhadap lipid. Permeabilitas uap air adalah kecepatan atau laju transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan yang permukaannya rata dengan ketebalan tertentu, sebagai akibat dari suatu perbedaan unit tekanan uap antara dua permukaan tertentu pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu.


(52)

Komponen kimia alamiah berperan penting dalam menentukan sifat sekat lintas film yang terbentuk. Sebagai contoh polimer dengan polaritas tinggi, seperti polisakarida dan protein, pada umumnya akan menghasilkan film dengan nilai permeabilitas terhadap uap air yang tinggi, sebaliknya nilai permeabilitas terhadap oksigen yang rendah.

Hal ini disebabkan polimer dengan polaritas tinggi mempunyai ikatan hidrogen yang besar. Polimer dengan gugus hidrofilik akan menghasilkan film yang rentan terhadap uap air, sebaliknya polimer dengan gugus hidrofobik tinggi akan menghasilkan film dengan sifat sekat (barrier) yang baik terhadap uap air. Kebalikan dari teori tersebut, polimer dengan komponen hidrofilik tinggi cenderung akan menjadi sekat lintas yang baik bagi gas oksigen (Paramawati R.,2001).

2.5.3. Aplikasi edible film

Komponen penyusun edible film mempengaruhi secara langsung bentuk morfologi maupun karakteristik pengemas yang dihasilkan. Komponen utama penyusun edible film dikelompokkan menjadi tiga, yaitu hidrokoloid, lipida, dan komposit. Bahan-bahan tamBahan-bahan yang sering dijumpai dalam pembuatan edible film adalah antimikroba, antioksidan, flavor, dan pewarna.

Komponen yang cukup besar dalam pembuatan edible film adalah plasticizer, yang berfungsi untuk meningkatkan fleksibilitas, menghindari film dari keretakan, meningkatkan permeabilitas terhadap gas,uap air, zat terlarut, dan meningkatkan elastisitas film. Beberapa jenis plasticizer yang dapat digunakan dalam pembuatan edible film adalah gliserol, polivinil alkohol, dan sorbitol.

Aplikasi dari edible film dapat dikelompokkan atas :

1. Sebagai kemasan primer dari produk pangan

Contoh dari penggunaan edible film sebagai kemasan primer adalah pada permen, sayur-sayuran, dan buah-buahan segar, sosis, daging dan produk hasil laut.


(53)

2. Sebagai barrier

Penggunaan edible film sebagai barrier dapat dilihat dari contoh-contoh berikut: Gellan gum yang direaksikan dengan garam mono atau bivalen yang membentuk film, diperdagangkan dengan nama dagang Kelcoge, yang merupakan barrier yang baik untuk adsorbsi minyak pada bahan pangan yang digoreng, sehingga menghasilkan bahan dengan kandungan minyak yang rendah.

Di Jepang bahan ini digunakan untuk mengoreng tempura. Edible film yang terbuat dari zein (protein jagung), dengan nama dagang Z’coat TM (Cozean) digunakan untuk produk-produk seperti permen dan coklat. Fry shield yang dipatenkan oleh Kerry Ingredient, terdiri dari pektin, remah-remahan roti dan kalsium, digunakan untuk mengurangi lemak pada saat penggorengan, seperti pada penggorengan French fries.

3. Sebagai pengikat

Edible film juga dapat diaplikasikan pada snack atau crackers yang diberi bumbu, yaitu sebagai pengikat atau adhesif dari bumbu yang diberikan agar dapat lebih melekat pada produk. Pelapisan ini berguna untuk mengurangi lemak pada bahan yang digoreng dengan penambahan bumbu.

4. Pelapis

Edible film dapat bersifat sebagai pelapis untuk meningkatkan penampilan dari produk-produk bakery, yaitu untuk menggantikan pelapisan dengan telur. Keuntungan dari pelapisan dengan edible film, adalah dapat menghindari masuknya mikroba yang dapat terjadi jika dilapisi dengan telur(Julianti E. dan Nurminah M., 2007).


(54)

2.6. Bahan yang ditambahkan dalam pembuatan edible film

Bahan baku yang ditambahkan dalam pembuatan edible film antara lain antimikroba, antioksidan, flavor, pewarna, dan plasticizer. Bahan antimikroba yang umumnya sering digunakan adalah asam benzoat, asam askorbat, kalium sorbat, dan asam propionat. Antioksidan yang sering digunakan berupa senyawa asam dan senyawa fenolik. Senyawa asam yang digunakan antara lain asam sitrat dan asam sorbet. Sedangkan senyawa fenolik yang dipakai adalah BHA, BHT (Mumtaaz,2006).

Pada pembuatan edible film dari bahan dasar yang terbuat dari nata de coco, digunakan bahan – bahan seperti gula, urea, pati, gliserin, dan kitosan. Yang masing – masing dari bahan tersebut mempunyai fungsi sebagai sumber karbohidrat, sumber nitrogen, plasticizer, dan antimikroba.

2.6.1. Pati

Amilum atau dalam kehidupan sehari-hari disebut pati terdapat pada umbi, daun, batang dan biji-bijian. Amilum terdiri atas dua macam polisakarida yang kedua-duanya adalah polimer dari glukosa, yaitu amilosa dan sisanya amilopektin.

Amilosa terdiri atas 250-300 unit D-glukosa yang terikat dengan ikatan α 1,4 -glikosidik, jadi molekulnya merupakan rantai terbuka. Amilopektin juga terdiri atas molekul D-glukosa yang sebagian besar mempunyai ikatan 1,4-glikosidik dan sebagian lagi ikatan 1,6-glikosidik. Adanya ikatan 1,6-glikosidik ini menyebabkan terjadinya cabang, sehingga molekul amilopektin berbentuk rantai terbuka dan bercabang (Poedjiadi,1994).

Pati dapat dipisahkan menjadi dua fraksi utama berdasarkan kelarutan bila ditambahkan dengan air panas: sekitar 20% pati adalah amilosa (larut) dan 80% sisanya ialah amilopektin (tidak larut).


(55)

Amilosa. Hidrolisis lengkap amilosa meghasilkan hanya D-Glukosa; hidrolisis parsial menghasilkan maltose sebagai satu-satunya disakarida. Disimpulkan bahwa amilosa adalah polimer linear dari α-D-glukosa yang dihubungkan secara-1,4. Beda antara amilosa dan selulosa ialah ikatan glikosidanya β dalam selulosa, dan α dalam amilosa. Hal ini menyebabkan perbedaan sifat antara kedua polisakarida ini. Terdapat 250 satuan glukosa atau lebih per molekul amilosa, banyaknya satuan bergantung spesi hewan atau tumbuhan itu.

Gambar 2.12 struktur amilosa

Amilopektin. Suatu polisakarida yang jauh lebih besar daripada amilosa, mengandung 1000 satuan glukosa atau lebih per molekul. Seperti rantai dalam amilosa, rantai utama dari amilopektin mengandung 1,4-α-D-glukosa. Tidak seperti amilosa, amilopektin bercabang sehingga terdapat satu glukosa ujung kira-kira tiap 25 satuan glukosa. Ikatan pada titik percabangan ialah ikatan 1,6-α-glikosida.


(56)

Hidrolisis lengkap amilopektin hanya menghasilkan D-glukosa. Namun hidrolisis tak lengkap menghasilkan suatu campuran disakarida maltosa dan isomaltosa, yang kedua ini berasal dari percabangan-1,6 (Fesenden,1986).

2.6.2. Gliserin

Gliserin yang merupakan produk samping dari industri oleokimia yang memiliki sifat higroskopis, larut dalam air dan alkohol, tidak berwarna, tidak berbau dan memiliki rasa manis. Gliserin banyak digunakan untuk farmasi, bahan makanan, kosmetik, emulsifier dan minyak pelumas. Adapun kegunaan gliserin adalah sebagai berikut : a) Farmasi

Gliserin banyak digunakan sebagai salep, obat batuk, pembuatan multi vitamin, vaksin, obat infeksi, stimulan jantung, antiseptik, pencuci mulut, pasta gigi.

b) Bahan makanan

Gliserin digunakan sebagai pelarut ekstrak buah seperti vanili, kopi, koumarin. Gliserin juga digunakan untuk minuman berkarbonat, pembuatan keju, permen jeli. c) Kosmetik

Gliserin yang memiliki sifat tidak beracun, tidak iritasi dan tidak berwarna digunakan untuk pelembut dan pelembab kulit, krem kulit, sabun, pembersih wajah. Gliserin juga digunakan sebagai pelarut parfum, pewarna dan pembersih kendaraan (Minner,1953).

Gliserin dengan rantai HO-CH2-CH-(OH)-CH2-OH adalah produk samping dari reaksi hidrolisis antara minyak nabati dengan air untuk menghasilkan asam lemak. Senyawa ini bisa menurunkan titik beku pelarutnya dengan mengganggu pembentukan kristal es pelarut.


(57)

Gliserin juga dapat meningkatkan titik didih pelarutnya dengan menghalangi molekul-molekul pelarut saling bertumbukan, dengan demikian mengurangi tekanan uap pelarutnya. Gliserin berbentuk cairan jernih, tidak berbau dan memiliki rasa manis.

CH2 – OH |

CH – OH |

CH2 – OH

Gambar 2.10 struktur gliserin

Gliserin merupakan humektan yang biasa dipakai untuk kosmetik (hand and body lotion, cream pelembab, dll), untuk bahan dasar pembuatan sabun juga merupakan bahan utama untuk pasta gigi. Fungsinya adalah untuk mengikat air/pelembab sehingga cream selalu basah dan tidak cepat mengering di udara bebas.

Gliserin mudah dicerna dan tidak beracun dan bermetabolisme bersama karbohidrat, meskipun berada dalam bentuk kombinasi pada sayuran dan lemak binatang. Untuk produk makanan dan pembungkus makanan yang kontak langsung dengan konsumen, syarat utamanya adalah tidak beracun. Kegunaannya di dalam produk makanan dan minuman antara lain sebagai :

- Pelarut untuk pemberi rasa - Pengental dalam sirup

- Bahan pengisi dalam makan rendah lemak (biskuit) - Pencegah kristalisasi gula pada permen dan es (http:susyanairi.blogspot.com/gliserin/html)


(58)

2.6.3. Kitosan

Kitosan adalah poli 2-amino-2-deoksi-β-1,4-D-glukopiranosa dengan rumus molekul (C6H11O4)n yang dapat diperoleh dari deasetilasi kitin. Kitosan juga dijumpai secara alamiah di beberapa organisme.

Gambar 2.11 Struktur kitosan

Kitosan merupakan padatan amorf yang berwarna putih kekuningan. Kitosan larut pada kebanyakan larutan asam organik pada pH sekitar 4, tetapi tidak larut pada pH lebih besar dari 6,5 juga tidak larut dalam pelarut air, alkohol, dan aseton.

Dalam kondisi asam berair, gugus amino (NH2) kitosan akan menangkap H+ dari lingkungannya, sehingga gugus aminonya terprotonasi menjadi NH3+. Gugus NH3+ inilah yang menyebabkan kitosan bertindak sebagai garam, sehingga dapat larut dalam air, analog dengan pelarutan garam dapur dalam air.

Selain itu, muatan positif NH3+ dapat dimanfaatkan untuk adsorpsi (penyerapan) zat warna anionik (bermuatan negatif). Karena jumlah gugus NH2 kitosan lebih banyak dibandingkan dengan kitin, kemampuan adsorpsi kitosan lebih tinggi daripada kitin.


(59)

Dewasa ini aplikasi kitin dan kitosan sangat banyak dan meluas. Di bidang industry, kitin dan kitosan berperan antara lain sebagai koagulan polielektrolit pengolahan limbah cair, pengikat, dan penjerap ion logam, mikroorganisme, mikroalga, pewarna, residu pestisida, lemak, tannin, PCB (poliklorinasi bifenil), mineral dan asam organik, media kromatografi afinitas, gel dan perukaran ion, penyalut berbagai serat alami dan sintetik, pembentuk film dan membran mudah terurai, meningkatkan kualitas kertas, pulp, dan produk tekstil.

Sementara di bidang pertanian dan pangan, kitin dan kitosan digunakan antara lain untuk pencampur ransum pakan ternak, anti mikroba, anti jamur, serat bahan pangan, penstabil, pembentuk gel, pembentuk tekstur, pengental, dan pengemulsi produk olahan pangan, pembawa zat aditif makanan, flavor, zat gizi, pestisida, herbisida, virusida tanaman, dan deasidifikasi buah-buahan, sayuran, dan penjernih sari buah. Fungsinya sebagai anti mikroba dan anti jamur juga diterapkan di bidang kedokteran. Kitin dan kitosan berguna sebagai anti koagulan, anti tumor, anti virus, ginjal sintetik, bahan pembuat lensa kontak, pembalut luka dan benang bedah yang mudah diserap, serta mempertinggi daya kekebalan, anti infeksi (Purwatiningsih,2009).

Kitosan merupakan turunan utama kitin yang disediakan dengan cara deasetilasi alkali pada kitin. Jumlah gugus asetil yang dihilangkan dalam penyediaan kitosan dari rantai kitin tidak dapat diketahui pasti, tergantung pada kekuatan larutan alkali dan waktu yang digunakan pada reaksi deasetilasi. Oleh sebab itu, agak sukar untuk memisahkan kitin dan kitosan. Penghilangan 3 gugus asetil dari 4 gugus asetil dari kitin akan menghasilkan kitosan.


(60)

Kitosan tidak larut dalam air, pelarut-pelarut organik, juga tidak larut dalam alkali dan asam-asam mineral pada pH di atas 6,5 kecuali di bawah kondisi-kondisi tertentu. Dengan adanya sejumlah asam, maka dapat larut dalam metanol, air-etanol, air-aseton, dan campuran lainnya. Kitosan larut dalam asam formiat dan asam asetat (Muzzarelli R.A.,1976).

Kitosan dengan rumus molekul (C6H11NO4)n pertama sekali ditemukan oleh C. Rughet pada tahun 1859 dengan cara memasak kitin dengan basa. Hal tersebut menyebabkan gugus asetil dari kitin terlepas dan diperoleh gugus amina. Kitosan adalah senyawa yang tidak larut dalam air dan dalam larutan basa kuat, sedikit larut dalam HCl, HNO3,H3PO4 0,5%, sedangkan dalam H2SO4 tidak larut. Kitosan juga tidak larut dalam beberapa pelarut organik, seperti alkohol, aseton, tetapi kitosan dengan mudah larut dalam asam organik berair seperti asam asetat, asam propionat, asam formiat, dan asam laktat. Kitosan tidak beracun dan mudah terbiodegradasi. Berat molekul sekitar 1,2 x 105, bergantung juga kepada proses yang terjadi selama deasetilasi (Bastaman S.,1989).

Kitosan dapat digunakan sebagai coating semi permeabel yang dapat dimodifikasi sehingga dapat menunda pematangan (delaying repenning) dan menurunkan transpirasi pada buah dan sayuran pada film yang menggunakan kitosan aqueous jernih, kuat, fleksibel, dan baik sebagai penghambat oksigen (Stanford, 1989).

2.6.3.1. Zat aktif kitosan sebagai anti mikroba

Kitosan yang diperoleh dari dinding sel jamur atau dinding crustacea mampu menghambat pertumbuhan jamur dan bakteri yang bersifat patogen dan menyebabkan resistensi tumbuhan terhadap infeksi jamur dan virus. Namun kitosan dengan berat molekul rendah, kehilangan kemampuan untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme tapi masih dapat melindungi tanaman dari bakteri patogen.


(61)

Aktivitas anti mikroba kitosan dan turunannya tergantung pada berat molekul rata-rata. Mikrokristalin kitosan dan turunannya, khususnya garam-garam, menunjukkan anti virus yang tinggi (Synoweeiky J.,2003).

Aktivitas anti mikroba dari kitosan, disebabkan kitosan yang bermuatan positif dalam larutan asam encer berinteraksi secara elektrostatis dengan permukaan sel bakteri yang bermuatan negatif dan mengganggu sitosis normal pada permukaan. Tokura melaporkan bahwa aktifitas anti mikroba dari kitosan bergantung pada berat molekul dan interaksi yang ditunjukkan diantara sel bakteri dan kitosan. (Tokura,1977)

Adapun aktivitas kitosan sebagai anti mikroba telah diuji pada penelitian pengaruh kitosan terhadap bakteri pada popok bayi. Kain popok bayi yang telah dilapisi kitosan dilakukan uji aktivitas bakteri menggunakan metode total plate count (TPC) untuk mengetahui jumlah koloni bakteri yang tumbuh pada masing-masing media sampel. Metode ini tidak menentukan jenis bakteri, hanya menghitung total koloni bakteri yang tumbuh. Kain popok tanpa perlakuan kitosan digunakan sebagai kontrol. Hasil yang diperoleh seperti yang terlihat pada tabel berikut:

Tabel 2.2 aktivitas kitosan sebagai anti bakteri

Sampel Jumlah koloni bakteri yang tumbuh CFU/g

Kain popok baru tanpa kitosan 210

Kain popok baru dengan kitosan 0,05% Tidak ditemukan Kain popok baru dengan kitosan 0,10% 900 Kain popok baru dengan kitosan 0,15% 2230 Kain popok bekas dengan kitosan 0,05% 2460

Berdasarkan tabel diatas, menunjukkan bahwa konsentrasi optimum kitosan dalam menghambat pertumbuhan bakteri adalah 0,05% (b/v). Semakin besar


(62)

Hal ini menunjukkan bahwa kitosan tidak hanya memiliki sifat menghambat tapi juga dapat mempercepat pertumbuhan bakteri. Adanya atom nitrogen menjadikan kitosan sebagai inhibitor dan sumber makanan bakteri sekaligus. Bakteri membutuhkan konsentrasi tertentu untuk bisa mengubah kitosan sebagai sumber makanannya. Semakin besar konsentrasi kitosan (di atas 0,05%), sifat kitosan sebagai sumber makanan semakin besar sehingga sifat kitosan sebagai inhibitor semakin turun (Http: //www.uns.ac.id/files/aktivitas kitosan).

2.6.3.2. Kegunaan kitosan

Kitosan memberikan karakteristik yang unik seperti biokompatibel, biodegradable, bersifat anti bakteri dan memberikan afinitas terhadap protein. Oleh sebab itu, kitosan dapat digunakan untuk berbagai aplikasi biomedikal dan farmasetika, kosmetik, pertanian dan pengawetan makanan, serta tekstil (Synowiecki J.,2003).

a. Obat-obatan dan kesehatan

Karakteristik yang paling relevan dari kitin dan kitosan adalah biodegradebilitas, biokompatibilitas, dan meningkatkan proses penyembuhan luka. Materi yang dapat terurai dan nontoksik dapat mencegah infeksi dan mempercepat penyembuhan luka. Biodegradebilitas dibuktikan dalam banyak jenis pembalut luka.

b. Kosmetik

Kitosan dan turunannya dapat digunakan sebagai bahan kosmetik, pasta gigi, krim badan dan tangan, serta produk perawatan rambut. Biopolimer ini juga telah diteliti sebagai bahan formulasi kosmetik khususnya untuk kulit yang sensitive. Kitosan dapat mempengaruhi kelembaban kulit serta memberikan perlindungan terhadap kerusakan pada rambut, tergantung pada berat molekul dan derajat deasetilasinya. Krim kosmetik yang ditambahkan 1 % kitosan akan meningkatkan bioaktifasi unsur-unsur lipofilik seperti vitamin, sehingga dapat meresap lebih baik pada permukaan kulit.


(63)

c. Pertanian dan pengawetan makanan

Kitosan yang dihasilkan dari dinding sel jamur atau dari kulit crustacea mampu menghambat pertumbuhan jamur dan bakteri yang bersifat pathogen dan menyebabkan resistensi tumbuhan terhadap infeksi jamur dan virus. Namun, kitosan dengan berat molekul rendah, kehilangan kemampuan untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme tapi masih dapat melindungi tanaman dari patogen. Efek penghambat meningkat segera setelah daun diberi kitosan.

Resistensi terhadap jamur berkaitan dengan destruksi hidrolitik dinding selnya oleh kitinase tanaman dan glukonase serta pelepasan kitosan yang menginduksi sintesis phytoalexin. Produk ini berfungsi untuk menekan pertumbuhan jamur.

d. Industri tekstil

Kitin dan turunannya banyak digunakan sebagai coating material untuk serat selulosa, nilon, kapas, dan wool. Penggunaan sebagai serat termodifikasi antara lain meliputi bahan pembalut luka, pakaian olah raga, serta kaus kaki. Penambahan kitin sebagai coating pada tekstil meningkatkan permeabilitas terhadap uap air. Serat wool mengandung kitin dan turunannya meningkatkkan daya celup pakaian (Synowiecki J.,2003).

e. Industri penjernihan air

Penggunaan yang paling besar dari kitosan adalah penjernihan air limbah. Kesadaran yang makin meningkat akan masalah ekologi dan kesehatan yang berkaitan dengan logam berat dan pestisida dan akumulasinya melalui rantai makanan telah mendesak tuntutan untuk penjernihan air industri sebelum digunakan. Kemampuan gugus –NH2 dari kitosan untuk membentuk kovalen dengan ion-ion logam menjadi suatu hal yang menarik.


(1)

Hidayat, N. 2006. Mikrobiologi Industri. Yogyakarta: C. V. Andi Offset Hoenich, N. 2006. Cellulose for Medical Application. Bioresources.

Http: //susyanairi.blogspot.com/gliserin/html. Diakses pada tanggal 7 Oktober 2010 Http: //www.uns.ac.id/files/aktivitas kitosan. Diakses pada tanggal 13 Maret 2010 Http: //www.emc.maricopa.edu/faculty. Diakses pada tanggal 3 Februari 2011 Http: //www.res.titech.ac.jp. Diakses pada tanggal 5 Februari 2011

Oktober 2010.

Http : //www.wisegeek.com/gliserin. Diakses pada tanggal 12 Oktober 2010.

2010.

Julianti, E. dan Nurminah, M. 2007. Buku Ajar Teknologi Pengemasan.

Krochta, J. M. 1994. Edible Coating and Film to Improve Food Quality. Lancester : Tehnomic Publisher. Co. Inc

Manskaya, S. M. 1968. Geochemistry of Organic Substance. Moscow: A.V. USSR Mckane, L. dan Judy, K. 1996. Microbiology Essentials and Applications. Second Edition. New York : McGraw Hill, Inc.

Minner, C. S. 1953. Glycerol. New York : Reinhold publishing corporation. Moss, M. O. 1995. Food Microbiology. Cambridge : Royal Society of Chemistry.


(2)

Muller, H. 1990. Plastic Additive Handbook. 3rd edition. Munich : Hanser Publisher Mumtaaz. 2006. Bahan Baku Edible Coating pada tanggal 22 Agustus 2010.

Muzzarelli, R. A. A. 1976. Chitin. Oxford: Pergamon Press.

Palungkun, R. 1992. Aneka Produk Olahan Kelapa. Cetakan ketujuh. Jakarta: Penebar Swadaya.

Pambayun, R. 2002. Teknologi Pengolahan Nata de Coco. Yogyakarta: Kanisius. Paramawati, R. 2001. “Kajian Fisik dan Mekanik Terhadap Karakteristik Film

Kemasan Organik dari Zein Jagung”. Disertasi program studi ilmu pangan IPB. Bogor.

Pelczar dan Chan. 1988. Dasar – Dasar Mikrobiologi. Jilid 2. Cetakan Pertama. Jakarta: UI – Press.

Philip, G. O. dan William, P. A. 2000. Handbook od Hydrocolloids. Cambridge : Woodhead Publishing Limited.

Prasetyo, S. 2003. “Ditemukan Lima Spesies Baru Bakteri Asli Indonesia”. Sinar Harapan.

Poedjiadi, A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: penerbit Universitas Indonesia. Purnomo, H. 1995. Aktivitas Air dan Peranannya dalam Pengawetan Pangan. Malang : Universitas Negri Malang

Purwatiningsih. 2009. Kitosan : Sumber Biomaterial Masa Depan. Bogor: IPB press. Robinson, S. R. 1976. Perspectives in Organic Chemistry. Cambridge : Merck & Co.Inc.


(3)

Sediaoetama, A. D. 2008. Ilmu Gizi. Jilid 1. Jakarta : Penerbit Dian Rakyat. Soekarto, S. T. 1981. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Sudarmadji, S. 1992. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Jakarta : Erlangga. Suhardiman, P. 1999. Bertanam Kelapa Hibrida. Jakarta: Penebar Swadaya. Suhardiyo, L.J. 1982. Pangan, Gizi, dan Pertanian. Jakarta: UI-Press.

Syamsir,E. 2008. Mengenal Edible Film. Diakses pada tanggal 26 Agustus 2010.

Synoweeiky, J. 2003. Production Properties and Some New Application of Chitin and Chitosan Application, Reaktif and Functional Polymers.

Tharanathan. 2003. Chitin The Undisputed Biomolecule of Great Potensial Critical Revews in Food Science an Nutrition. Pro Quest Medical library.

Tokura. 1977. Material Science of Chitin and Chitosan. Tokyo : Kodansha Ltd. Warisno. 2004. Mudah dan Praktis Membuat Nata de Coco. Jakarta: Media Pustaka. Winarno, F. G. 1992. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta : PT Gramedia.

Wirjosentono, B. 1996. Analisis dan Karakterisasi Polimer. Medan : USU Press. Yanuar, A. 2003. Preparasi dan Karakterisasi Selulosa Mikrokristal dari Nata de Coco untuk Bahan Pembantu Pembuatan Tablet. ISTECS Journal. Volume IV.


(4)

(5)

Tabel 1. Harga erf (t) atau ert (hx) dari harga T

T

erf t

t

erf t

t

erf t

.00 .01 .02 .03 .04 .05 .06 .07 .08 .09 .10 .11 .12 .13 .14 .15 .16 .17 .18 .19 .20 .21 .22 .23 .24 .25 .26 .27 .28 .29 .30 .31 .32 .33 .34 .35 .36 .37 .38 .39 .40 .41 .42 .43 .00000 .01123 .02256 .03384 .04511 .05637 .06762 .07886 .09008 .10128 .11246 .12362 .13476 .14587 .15695 .16800 .17901 .18999 .20094 .21184 .22270 .23352 .24430 .25502 .26570 .27633 .28690 .29742 .30788 .31828 .32863 .33891 .34913 .35928 .36936 .37938 .38933 .39921 .40901 .41874 .42839 .43797 .44747 .45689 .44 .45 .46 .47 .48 .49 .50 .51 .52 .53 .54 .55 .56 .57 .58 .59 .60 .61 .62 .63 .64 .65 .66 .67 .68 .69 .70 .71 .72 .73 .74 .46623 .47548 .48466 .49375 .50275 .51167 .52050 .52924 .53790 .54646 .55494 .56332 .57162 .57982 .58792 .59594 .60386 .61168 .61951 .62705 .63459 .64203 .64938 .65663 .66378 .67084 .67780 .68467 .69143 .69810 .70468 .75 .80 .85 .90 .95 1.00 1.05 1.10 1.15 1.20 1.25 1.30 1.35 1.40 1.45 1.50 1.55 1.60 1.65 1.70 1.75 1.80 1.85 1.90 1.95 2.00 .71116 .74210 .77067 .79691 .82089 .84270 .86244 .88021 .89612 .91031 .92290 .93401 .94376 .95229 .95970 .96611 .97162 .97635 .98038 .98379 .98667 .98909 .99111 .99279 .99418 .99532


(6)

Tabel 2. Data hasil pengujian kekuatan tarik ( σ ) dan kemuluran ( ε ) edible film dari nata de coco dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan Edible film dari

nata de coco dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan

Tegangan (load)

Regangan (Stroke)

Kuat tarik

( σ ) Kemuluran ( ε )

Ulangan I 10,12 kgf 3,23 mm 0,0557 kgf�mm2 19,5757 %

Ulangan II 10,11 kgf 3,21 mm 0,0574 kgf�mm2 20,0625 %

Ulangan III 10,14 kgf 3,25 mm 0,0559 kgf mm2

� 19,6968 %

Rata-rata 10,1233 kgf 3,23 mm 0,0563 kgf mm2

� 19,7783 %

Gambar 1. Nata de coco dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan