Pemahaman Keagamaan. LANDASAN TEORI

ibadah yang mereka yakini sebagai sesuatu yang bid’ah. Sudah barang tentu aktivitas kaum modernis ini mendapatkan tentangan yang keras dari ulama-ulama kelompok tradisionalis. Salah satu metode yang kerap dilakukan oleh kelompok modernis adalah melakukan ijtihad, ini dimaksudkan untuk mereformasi Islam yang dianggap tidak lagi murni. Sebuah tradisi yang mungkin tabu dilakukan oleh kelompok tradisionalis, karena mereka beranggapan ijtihad dalam hal hukum Islam dirasa tidak perlu dan tidak mungkin dilakukan. Menurut kelompok modernis dengan cara ijtihad inilah dapat menetapkan mana yang otentik dan mana yang dianggap sebagai sesuatu yang bid’ah atau amalan baru yang tidak bersumber dari Islam. Atas pertimbangan itulah meninjau kembali hukum-hukum Islam kelompok modernis dengan tegas menolak dan mengkritik praktek-praktek keagamaan kelompok tradisionalis seperti, talkin membisikan syahadat pada jenazah sebelum dikuburkan, membaca Do’a qunut pada shalat shubuh, mengucap niat sebelum shalat, palaksanaan shalat tarawih sebanyak duapuluh tiga raka’at, serta ziarah kubur, tawassul menyebut nama mereka sebelum berdo’a dan lain sebagainya menurut kelompok modernis praktek-praktek semacam ini dianggap bid’ah dan syirik atau menyekutukan Allah. Secara singkat kelompok modernis berupaya menghapusmenghilangkan praktek-praktek agama yang dianggap tidak sesuai seperti telah disebut diatas, tujuan utama kelompok modernis ini mengembalikan agama Islam kepada dua sumber utamanya yang murni yaitu sunnah Rasulullah s.a.w, sekaligus membuka pintu ijtihad dan menutup pintu taklid, meninggalkan segala bentuk praktek agama yang tidak bersumberkan pada ajaran agama bid’ah serta churafat. 2. Tradisionalis. Islam adalah agama yang memiliki misi “Rahmatan lil al-‘alamin” bukan hanya pada umat Islam saja melainkan pada seluruh alam. Islam dianggap sebagai agama yang paling akomodatif dan apresiasif pada tradisi masyarakat, selama tradisi tersebut tidak bertentangan dengan prinsif-prinsif ajaran Islam itu sendiri. Hal ini dianggap logis mengingat penyebaran dakwah Islam menyentuh masyarakat dunia. Islam di haruskan dapat mengikuti perkembangan segala bentuk kemajuan dan dinamika peradabannya, termasuk bentuk tradisi dimana Islam berkembang pada suatu daerah. 11 Salah satu alasan kemudian Islam dapat diterima di masyarakat Indonesia adalah melakukan pendekatan yang bersifat kultural identik dengan lapisan bawah dan tradisonalis, akomodatifnya Islam terhadap tradsi-tradisi dan budaya lokal suatu daerah, dan mengisinya dengan ruh, semangat dan nilai-nilai ke- Islaman secara damai, tidak dengan cara-cara kasar, terlebih melakukan penggusuran terhadap tradsi dan budaya lokal yang dianggap sebagian atau sekelompk orang kelompok modernis sebagai sesuatu yang salah dan harus di hapuskan. 11 Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal-Jama’ah Dalam Persepsi dan Tadisi NU, Jakarta: Lantabora Press, 2005, h. 216. Bila melihat sejarah dapat dikatakan cara atau corak dalam ekpresi yang dilakukan Islam tradisonalis merupakan inspirasi dari apa yang dilakukan oleh Wali Songo dalam menyebarkan Islam dahulu. Pada masanya Wali Songo melakukan dakwah dengan cara-cara damai perlahan tapi pasti masuk dalam tradisi-tradisi dan budaya masyarakat saat itu, yang di masukan pula nilai-nilai dan ajaran Islam, seperti membuat kidung dan tembang, sholawat dan kasidah, dari karawitan sampai rebana dari sesajen sampai selametan dan sedekahan, walimahan dan lain-lain, ini merupakan proses dakwah yang dilakukan dengan cara mengubah nilai-nilai pra Islam menjadi nilai baru yang Islami, dan tradisi lama ke tradsi baru yang lebih Islami. Penyerapan nilai-nilai lokal non-Islam oleh Islam tradisional tumbuh dari kepercayaan bahwa suatu amalan dapat secara sah diambil dan diterapkan sejauh tidak bertentangan dengan sya’riat, 12 atas dasar keyakinan tersebut menjadi landasan penyerapan berbagai ritual budaya lokal non Islam Hindu dan Budha kedalam amalan orang-orang Muslim. Sebagai contoh seperti selametan, ziarah kubur, serta berbagai ritual mistis dan magis yang berasal dari tradisi setempat dan penyerapan dari agama Hindu. Mereka menganggap ini sebagai pengkayaan keimanan dan sebagai cara untuk memudahkan penyebaran Islam. Bagi kelompok Islam tradisonalis bahwa Islam mempunyai “core values” nilai-nilai utamanilai inti yang universal berlaku kapan saja dan dimana saja, tetapi Islam juga memiliki kelenturan dalam mensikapi tradisi-tradisi dan budaya lokal yang 12 Greag Fealy, Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU 1952-1967. Penerjemah Farid Wajidi dan Mulni Adelina. h. 26. tidak jelas-jelas bertentangan dengan prinsip-prinsipnya sebagai wujud kerahmatan bagi umat manusia. 13 Hingga saat ini kita masih dapat merasakan bahkan mempraktekan segala ritual yang dilakukan kaum tradisonalis itu dikarenakan sifatnya Islam yang akomaodatif, walaupun dalam kenyataannya jelas-jelas ada fihak yang dengan tegas menolak bahkan berupaya menghapuskan segala bentuk dan ritual yang kerap dilakukan kelompok ini, yaitu dari kalangan modernis. Sebagai contoh banyak dari masyarakat kita yang mempraktekan hal-hal yang dianggap tidak sesuai dengan prinsif Islam, seperti sinkretisme pencampur adukan keyakinan, pemberian sesajen di tempat keramat, minta kekuatan dan kekebalan, minta rizki pada kuburan dan lain-lain itu karenakan proses dakwah yang belum selesai.

D. Organisasi Keagamaan.

Khilafiyat dalam urusan ajaran agama antara kelompok-kelompok agama nampaknya tak dapat di elakan perdebatan antara kelompok modernis dan kelompok tradsionalis berlanjut pada pembentukan organisasi-organisasi keagamaan, seperti organisasi Muhammadiyyah, Al-Irsyad, Jam’iat Al-choirat, dan Persatuan Islam Persis yang dikatagorikan sebagai organisasi berhaluan modernis dengan prinsif-prinsif kemodernisan yang telah disebut diatas, ada pula organisasi Nahdlatul Ulama NU yang tetap berupaya melestarikan tradisi-tradisi yang telah ditetapkan oleh ulama klasik serta mempertahankan adat-istiadat yang 13 Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal-Jama’ah Dalam Persepsi dan Tadisi NU, h. 217. bercampur dengan ajaran islam itu sendiri yang merepresentasikan sebagai kelompok tradisonalis.

1. Persatuan Islam Persis.

Persatuan Islam Persis didirikan di Bandung pada tanggal 23 September 1923 oleh sekelompok Muslim yang melihat pembaharuan-pembaharuan dalam agama Islam yeng telah dilakukan di berbagai daerah di Indonesia. Ide dan gagasan pembentukan organisasi keagamaan ini bermula dari pertemuan yang bersifat informal kenduri yang diadakan di rumah salah seorang kelompok tersebut yang merupakan para perantau yang berasal daerah sumatra, walaupun demikian mereka merasa sebagai penduduk pribumi, pendudk asli Bandung karena telah lama tinggal dan menetap di Bandung dengan urusan berdagang. Pada pertemuan kenduri yang besifat informal ini mereka kerap membincang dan berdiskusi mengenai wacana ke-Islaman. Dalam pembicaraan dan diskusi mengenai ajaran agama ini ada dua tokoh yang dianggap sebagai guru yaitu Haji Zam-zam dan Haji Muhammad Yunus karena pemahaman yang luas mengenai ajaran agama Islam. Haji Zamzam memperoleh pengetahuannya dari belajar di Timur Tengah, beliau menghabiskan waktunya selama tiga tahun di Mekkah dan belajar di lembaga Daar al-Ulum dan sekembalinya dari Mekkah beliau menjadi guru dan mengajar di Daarul Muta’allimin, sebuah sekolah agama di Bandung sekitar tahun 1910, 14 sedangkan Muhammad Junus adalah seorang pedagang yang menguasai bahasa Arab kepandaiannya dalam agama diperoleh dari pendidikan agama secara tradisional dan beliau tidak mengajar. Beliau tergolong sebagai orang kaya pada saat itu, dengan kekayaannya membantu dalam menunjang kehausannya dalam mempelajari ajaran Islam dengan membeli kitab- kitab yang dia perlukan. Diskusi yang dilakukan oleh Haji Zamzam, Muhammad Junus dan yang lainnya merupakan cikal bakal pembentukan dari pada organisasi Persatuan Islam. Isi dari diskusinya selain membincang masalah ajaran agama mereka juga membicarakan tentang gerakan pembaharuan Islam yang telah lebih dulu dilakukan didaerah lain seperti di Sumatra, juga mereka membincang tentang konflik antar gagasan-gagasan baru itu dan sistem keagamaan yang telah mapan, selain itu mereka juga mengkaji isi majalah Al-Manar sebuah majalah yang dterbitkan muslim modernis di Kairo, dan Al-Munir majalah serupa yang diterbitkan di Padang oleh para ulama Indonesia yang pernah belajar di Mekkah 15 dan masalah komunis yang telah meresahkan umat Islam di Bandung dan juga telah memecah Sarekat Islam, sarekat Islam lokal Bandung dengan resmi mendukung komunisme pada kongres nasional partai tersebut. Dalam perkembangannya Persatuan Islam kurang memberikan perhatian dan tekanan terhadap kegiatan organisasinya, Persis tidak berminat untuk 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996, h. 96. 15 Howard M. Federspiel, Labirin Ideologi Muslim: Pencarian dan Pergulatan PERSIS di Era Kemunculan Negara Indonesia 1923-1957. Penerjemah Ruslani dan Kurniawan Abdullah Jakarta: Serambi, 2004, h. 112.