Nahdlatul Ulama NU. Organisasi Keagamaan.
Dr. Sutomo. Diskusi-diskusi hangat tadi dicemari dengan perdebatan-perdebatan prihal masalah-masalah khilafiyah dalam Islam, mengenai bidang tauhid dan fiqh.
Fase selanjutnya adalah masa-masa terjadinya perbedaan dan perdebatan antara kaum tradisionalis Wahab Hasbullah dan kawan-kawan dengan kaum reformis
Ahmad Soorkati pendiri al-Irsyad dan Ahmad Dahlan dari Muhammadiyyah. Pengaruh diskusi-diskusi itu dapat dirasakan ketika umat islam harus
menghadapi kongres khilafat yang menggemparkan dunia Islam dan sempat menyedot perhatian dari penjajah Belanda, Dikarenakan yang hadir pada kongres
tersebut adalah orang-orang yang memilik pengaruh besar pada umat Islam itu sendiri seperti, Wahab Hasbullah, Tjokroaminoto, H.Agus Salim, Ahmad Dahlan,
Sangaji, Mas Mansur dan tokoh-tokoh penting lainnya. Hal ini ditakutkan Belanda dikarenakan perhatian yang besar dari ulama-ulama Indonesia atas jatuhnya
kekholifahan Turki setelah perang dunia pertama dan berkuasanya Raja Ibnu Sa’ud di kota Mekkah.
Semakin panas dan puncaknya pada kongres al-Islam yang terjadi di Bandung, begitupun golongan pembaharu Islam, guna mempersiapkan undangan
yang dilayangkan pada umat Islam Indonesia oleh raja Sa’ud untuk menghadri kongres di Mekkah. Terbukti pada kongres terakhir yang terjadi di Bandung
memutuskan untuk mengirim Tjokroaminoto dari Sarikat Islam dan Mas Mansur dari Muhammadiyah ke Mekkah untuk menghadiri kongres. Sementara itu Abdul
Wahab atas nama kalangan tradisi memajukan usul-usul agar kebiasan-kebiasan agama seperti membangun kuburan, membaca do’a seperti dalail al-khirat, ajaran
madzhab, dihormati oleh kepala negera Arab yang baru dalam negaranya,
termasuk di Mekkah dan Madinah,
21
namun hasil keputusan kongres di Bandung itu tidak menyambut baik usulan-usulan yang diberikan, sehingga Abdul Wahab
dan tiga orang pendukungnya keluar dari komite khilfat, dan selanjutnya Abdul Wahab berinisiatif untuk mengumpulkan ulama dari golongan tua untuk
melakukan rapat dan bersepakat untuk mendirikan suatu panitia yang disebut Komite Merembuk Hijaz.
Komite Hijaz inilah yang selanjutnya menjadi cikal-bakal terbentuknya Nahdlatul Ulama pada suatu rapat yang dilakukan di Surabaya pada tanggal 31
Januari 1926 yang dihadiri oleh K.H, Hasyim Asy’ari dari Tebuireng, Kiai Bisri dari Jombang, Riduan dari semarang, Nawai dari Pasuruan, Asnawi dari kudus,
Nachrowi dari Malang, kholil dari Bangkalan dan lain-lain.
22
Dari sinilah diambil dua keputusan penting yang pertama: mengirim utusan ulama Indonesia untuk
menghadri kongres dunia Islam di Mekkah, untuk memperjuagkan hukum-hukum ibadah dalam empat mazhab. Kedua: membentuk suatu organisasi atau Jam’iyyah
yang akan mengirim utusan itu yang kemudian atas usulan dari K.H Alwi Abdul Aziz diberi nama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama NU berdiri di Surabaya pada
tanggal 16 rajab 1344 H. hari itu juga dibentuk pengurus yang terdiri dari dua badan, badan Suriah dan Tanfhidziah.
23
Pengurus Suriah diketuai oleh Hasyim Asy’ari dengan gelar raisul akbar, wakil ketua K.H Dahlan dan K.H Wahab Hasbullah sebagai katib atau sekretasis.
Sedangkan pengurus tanfhidziah terdiri dari ketua H. Hasan Dipo dan M Sidik
21
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, h. 243.
22
L. Stoddard, Dunia baru Islam, h.325
.
23
Ibid., h. 326..
sebagai penulis. Sebagai utusan ke Mekkah dikirim K.H Wahab Hasbullah dan Syekh Ahmad Ganaim al-Amir al-Misri, yang kemudian membawa keputusan-
keputusan mengenai ibadah dan pengajian, serta tindakan untuk mencegah pemerintah Saudi Arabia untuk meneruskan pengrusakan terhadap kuburan dari
keluarga Nabi Muhammad saw. Sebagai buktinya pemerintah Saudi Arabia menjamin untuk menjalankan ibadah menurut mazhabnya masing-masing. Itu
tertuang dalam surat yang dilayangkan pemerintah Saudi Arabia pada Pengurus Besar Nahlatul Ulama dalam suratnya no 2082 tanggal 13 Juni 1928.
24
Dalam kesadaran nasional Nahdaltul Ulama NU tidak ketinggalan dengan organisasi-organisasi lainnya akan kemerdekaan tanah airnya. Perbaikan
dalam penggunaan bahasa Indonesia sedikit demi sedikit di perbaiki dalam setiap kongres yang dilaksanakan oleh kelompok ini, juga mendorong Indonesia agar
segera mempunyai parlemen. Selain itu dalam kongres organisasi ini juga kerap membahas segala hal yang menyangkut hukum-hukum syar’i, tata-
kemasyarakatan, ketata-nagaraan. Karena itu maka terhadap ‘Guru Ordonansi’ NU juga menuntut pencabutannya karena itu tudak sesuai dengan perkembangan
bangsa Indonesia sendiri yang lebih banyak menuntut kebebasan dan kemajuan zaman, menuntut pembebasan pajak yang berdasakan pada pekerjaan-pekerjaan
yang berhubungan dengan agama dan menutut penyediaan tempat-tempat sembahyang di lokasi umum.
25
24
Ibid., h. 326.
25
Ibid., h. 327.