Riwayat Hidup Habib Mundzir Al-Musawwa
yang saat itu di Cipayung. Jika tidak memiliki ongkos ia sering sekali menumpang truk dan sering pula kehujanan. Sering ia datang ke maulid
Habib Umar bin Hud Alattas setiap malam jum‟at dalam keadaan basah kuyup karena kehujanan, dan ia diusir oleh pembantu dari Habib Umar
Alattas, karena karpet tebal dan mahal itu sangat bersih, tak pantas ia yang kotor menginjaknnya. Habib Mundzir terpksa berdiri saja berteduh
dibawah pohon sampai hujan berhenti dan tamu berdatangan. Maka ia duduk diluar teras saja karena baju basah dan takut dihardik sang penjaga.
Habib Mundzir juga sering melakukan ziarah ke Luar Batang Pasar Ikan Jakarta Utara, makam Al-Habib Husein Bin Abu Bakar Alaydrus.
Suatu kali ia datang lupa membawa peci dikarenakan datang langsung dari Cipanas, maka ia berkata dalam hati. Wahai Allah aku datang sebagai
tamu seorang wali Mu, maka tak beradab jika aku berziarah tanpa peci, tapi uangku pas-pasan, dan aku lapar, jika aku membeli peci maka aku tak
makan dan ongkos pulangku berkurang, seraya berkata di dalam hatinya seperti itu.
Karena akhlak maka ia memutuskan untuk membeli peci berwarna hijau, pada saat itu hanya peci tersebutlah yang paling murah diemparan
penjual peci, dia membelinya lalu masuk untuk berziarah. Sambil membaca surah Yaasin untuk dihadiahkan kepada almarhum, ia menangisi
kehidupannya yang penuh ketidak tentuan, mengecewakan orang tua dan selalu lari dari sanak kerabat, karena selalu dicemooh. Mereka berkata
semua kakak-kakakmu sukses, ayahmu lulusan Makkah dan juga New York University kok anaknya centeng losmen. Maka saat sering dicemooh
ia menghindari kerabat-kerabat sekitarnya, saat lebaranpun ia jarang berani datang karena terus dicemooh.
7
Dalam tangis ia berkata wahai wali Allah, aku tamumu dan aku membeli peci untuk beradab padamu, hamba yang shaleh disisi Allah,
pastilah kau dermawan dan memuliakan tamu, aku lapar dan tak cukup ongkos pulang. Lalu dalam hati ia merenung dan tidak lama kemudian
datanglah ronmbongan teman-temannya yang dahulu satu pesantren di pondok Sayyidul Walid Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf untuk
berziarah. Mereka datang dengan satu mobil, mereka senang jumpa dengannya, dia pun diajak makan bersama teman-temannya, kemudian
Mundzir langsung teringat inilah keberkahan dari beradab dimakam wali Allah.
8
Lalu ia ditanya dengan siapa dan mau kemana, dia katakana dia sendiri dan ingin pulang ke rumah kerabat ibunya di Pasar Sawo, Kebon
Nanas, Jakarta Selatan, teman-teannya lantas memberi tawaran untuk ikut bersama mereka sampai Kebon Nanas. Maka ia pun semakin bersyukur
kepada Allah karena memang ongkosnya tak cukup untuk pulang ke Cipanas. Dia sampai larut malam di kediaman bibi dari ibundanya, di
Pasar Sawo Kebon Nanas, lalu esok harinya dia diberi uang cukup untuk pulang, dia pun pulang ke Cipanas.
Tak lama dia berdoa, wahai Allah, pertemukan saya dengan guru dari orang yang paling dicintai Rasul , maka tak lama dari situ Mundzir
7
Habib Mundzir Al Musawwa, Kenalilah Aqidahmu, edisi I Jakarta: Nafas 2010, h. 21.
8
Habib Mundzir Al Musawwa, Kenalilah Aqidahmu, edisi I Jakarta: Nafas 2010, h. 25.
masuk pesantren Al Habib Hamid Nagib bin Syeikh Abu bakar di Bekasi Timur, dan setiap pembacaan maulid tepatnya saat mahal qiyam yaitu
posisi berdiri saat pembacaan sirah nabawi, dimaksudkan untuk menyambut kedatanagan Nabi Muhammad SAW, sebagaimana yang
dilakukan kaum Anshor di Madinah ia menangis dan berdoa kepada Allah rindu kepada Rasul, dan meminta agar dipertemukan dengan guru yang
paling dicintai Rasul. Dalam beberapa bulan saja datanglah Guru Mulia Al Musnid Al Allamah Al Habib Umar bin Hafidh ke Pondok itu, kunjungan
pertama beliau ke Indonesiapada tahun 1994. Selepas beliau menyampaikan ceramah, beliau meliriknya dengan
tajam, Mundzir ketika itu hanya menangis memandangi wajah sejuk dari Habib Umar bin Hafidh, lalu saat beliau sudah naik kemobil bersama
Almarhum Al-Habib Umar Maula Khela, maka Habib Umar bin Hafidh memanggil Habib Nagib bin Syekh Abu Bakar Bin Salim, Habib Umar bin
Hafidh berkata bahwa beliau ingin sekali Mundzir ketika itu dikirim ke Tarim Hadramaut Yaman untuk belajar dan menjadi muridnya saat itu.
9
Guru Mundzir pada saat itu Habib Nagib Bin Syekh Abu bakar mengatakan kepada Habib Umar bin Hafidh bahwa Mundzir belum siap,
belum bisa bahasa Arab karena murid baru dan belum mengetahui apa- apa., mungkin beliau salah pilih, maka Habib Umar saat itu jarinya tertuju
kepada Mundzir Al-Musawwa, anak muda yang memakai peci hijau itu, dialah yang saya inginkan. Maka gurunya Habib Nagib memanggilnya
untuk jumpa dengan Habib Umar, lalu Habib Umar bertanya dari dalam mobil ya
ng pintunya masih dalam keadaan terbuka, siapa namamu?”dalam
9
Habib Mundzir Al Musawwa, Kenalilah Aqidahmu, edisi I Jakarta: Nafas 2010, h. 68.
bahasa arab tentunya” dia tak bisa menjawab karena tidak faham, maka gurunya Habib Nagib menjawab saat itu, kau ditanya siapa namamu,
maka dia menjawab nama saya Mundzir, dan Habib Umar bin Hafidh tersenyum.
Kemudian keesokan harinya Mundzir bertemu kembali dengan Habib Umar bin Hafidh dikediaman Habib Bagir Alattas, saat itu banyak
para Habaib dan ulama mengajukan anaknya dan muridnya untuk bisa menjadi murid Habib Umar bin Hafidh, maka Habib Umar bin Hafidh
mengangguk-angguk sambil kebingungan menghadapi serbuan mereka, lalu Habib Umar melihat Mundzir dari kejauhan saat itu, lalu beliau
berkata kepada Almarhum Habib Umar Maula Khela itu anak itu, jangan lupa dicatat ya, dia yang memakai peci hijau itu.
Habib Umar kembali ke Yaman, Mundzir pun langsung ditegur gurunya Habib Nagib bin Syekh Abu Bakar, ia berkata wahai Mundzir,
kau harus bersiap-siap dan bersunguh-sungguh, kau sudah diminta berangkat, dan kau tak akan berangkat sebelum kau siap.
Dua bulan kemudian datanglah Almarhum Al-Habib Umar Maula Khela ke pesantren, dan menanyakan pada Mundzir saat itu, Almarhum
Habib Umar Maula Khela berkata pada Habib Nagib mana itu Mundzir anaknya Habib Fuad Al Musawwa, dia harus berangkat minggu ini, saya
ditugasi untuk memberangkatkannya, maka Habib Nagib berkata bahwa Mundzir belum siap. Namun Almarhum Habib Umar Maula Khela tidak
mau tahu namanya sudah tercantum dan harus berangkat, ini permintaan Al-Habib Umar Bin Hafidh, ia harus berangkat dalam dua minggu ini
bersama rombongan pertama.
10
Akhirnya dia dipersiapkan pasport dan persiapan lainnya, namun ayahnya keberatan, ayahnya berkata kau ini sakit-sakitan, apabila kau ke
Makkah ayah tenang, karena banyak teman disana, namun ke Hadramaut ayah tak ada kenalan, disanan negri tandus, bagaimana kalau kau sakit dan
siapa yang menjagamu. Mundzir pun datang mengadu kepada Almarhum Al-Arif billah Al-
Habib Umar bin Hud Alattas, beliau sudah sangat sepuh dan bilau berkata, katakana pada ayahmu aku yang menjaminmu berangkatlah.
Kemudian Mundzir mengatakan pada ayahnya, maka ayahnya diam namun hatinya tetap berat untuk mengizinkan dirinya berangkat, saat
ia mesti berangkat kebandara ayahnya tak mau melihat wajahnya Mundzir saat itu, ayahnya memalingkan muka dan hanya memberikan tangnnya
tanpa mau melihat wajahnya. Mundzir kecewa namun dengan berat ia tetap melangkah ke mobil travel yang akan dinaikinya, namun saat ia naik
terasa ingin berpaling kebelakang, menengong kebelakang ayahnya berdiri dipagar rumah dengan tangis melihat keberangkatannya, beliau
melambaikan tangan tanda ridho, ternyata bukan karena ayahnya tidak meridhoinya, akan tetapi karena Mundzir adalah anak yang paling
disayanginya dan dimanjaknnya, beliau berat berpisah dengannya dan akhirnya ia berangkat dengan air mata sedih.
Sesampainya di Tarim Hadramaut Yaman Utara, tepatnya dikediaman Habib Umar bin Hafidh, beliau mengabsen nama-nama dari
semua alumni pertama saat itu, ketika sampai pada nama Mundzir Habib
10
Habib Mundzir Al Musawwa, Kenalilah Aqidahmu, edisi I Jakarta: Nafas 2010, h. 10.
Umar bin Hafidh tersenyum indah kepadanya. Tak lama kemudian saat itu terjadi perang antara Yaman Utara dan
Yaman Selatan, pasokan makanan berkurang, sehingga makanan sulit, listrik mati, sehingga mereka harus berjalan kaki kemana-mana menempuh
jalan 3-4 km untuk taklim, karena biasanya dengan mobil milik Habib Umar bin Hafidh, namun dimasa perang pasokan bahan bakar untuk
kendaraan sangatlah minim.
Suatu hari Mundzir dilirik oleh Habib Umar bin Hfidh dan berkata namamu Mundzir, Mundzir artinya memberi peringatan, ia pun
mengangguk, lalu Habib Umar bin Hafidh berkata lagi bahwa kamu Mundzir akan memberi peringatan pada jamanmu kelak, dan Mundzir pun
mengaminkannya di dalam hati. Maka Mundzir tercenung dan terngiang-ngiang dengan ucapan
gurunya tersebut, kamu akan memberi peringatan pada jamanmu kelak, lalu Mundzir berkata di dalam hati, saya akan punya jama‟ah, saya miskin
begini bahkan untuk mencuci baju pun tidak memiliki uang untuk membeli sabun cuci.
Untuk mencuci bajunya mundzir mau mencucikan baju temannya dengan upah agar ia mendapat bagian dari sabun cuci dari pemilik baju,
namun terkadang ia mendapat hardik bahwa cucianmu tidak bersih, orang lain sajalah yang mencuci baju ini. Maka ia terpaksa mencuci bajunya dari
air bekas cucian orang lain, air sabun cuci yang mengalir itulah yang Mundzir pakai untuk mencuci bajunya.
Hari demi hari Habib Umar bin Hafidh makin sibuk, maka Mundzir pun mulai berkhidmat pada Habib Umar bin Hafidh, dan lebih
memilih membantu segala permasalahan santri, seperti makan, minuman, tempat menginap dan segala masalah rumah tangga santri, ia tinggalkan
pelajaran demi berbakti pada guru mulia yaitu membantu beliau, dengan itu dia lebih sering berjumpa dengan gurunya.
Dua tahun di Yaman, ayahnya Mundzir sakit, dan menelepon ke ma‟had Darul Mustafa, ayahnya menanyakan kapan Mundzir pulang, ayah
sudah rindu padamu, Mundzir menjawab dua tahun lagi insya Allah ayah, ayahnya menjawab dengan sedih ditelepon, masih lama sekali ya, tiga hari
kemudian ayah dari Mundzir wafat. Mundzir pun menangis sedih dan berkata pada dirinya sendiri sungguh apabila saya tahu bahwa saat pamitan
itu adalah terakhir kali saya berjumpa dengan beliau dan beliau memalingkan wajahnya saat saya mencium tangan beliau, namun beliau
masih mengikuti saya rupanya, keluar dari kamar, dan berdiri di pintu pagar halaman rumah sambil melambaikan tangan dan mengalirkan air
mata, dan dirinya menjawab, andai saja saya tahu bahwa itu adalah terakhir kali saya melihatnya, rahimahullah.
11
Tahun 1998 Mundzir pulang ke Indonesia, dan memulai dakwahnya sendiri di Cipanas, namun kurang berkembang, maka ia pindah
dan memulai dakwahnya di kota Jakarta, ia tinggal dan menginap berpindah-pindah dari rumah-kerumah murid sekaligus temannya, majelis
malam selasa saat itu masih berpindah-pindah dari rumah-kerumah, mereka murid-muridnya umumnya berumur lebih tua dari Mundzir, dan
mereka kebanyakan dari kalangan awam. Maka ketika majelis akan dimulai dan Mundzir sudah duduk kemudian siap untuk mengajar, mereka
11
Habib Mundzir Al Musawwa, Kenalilah Aqidahmu,edisi I Jakarta: Nafas 2010, h. 12.
masih ada yang belum datang, mau tidak mau Mundzir pun menannti kedatangan mereka, setibanya mereka yang hanya belasan saja, tidak
langsung mengaji akan tetapi, mereka santai-santai terlebih dulu, dengan merokok sambil minum kopi, dengan kesabaran Mundzir menanti sampai
mereka puas, barulah dimulai pengajian dengan awal pembacaan Dhiya‟ullami. Hari demi hari jama‟ah semakin bertambah dan semakin
banyak, mulai tak cukup dirumah, maka pindah-pindah dari mushola ke mushola, jama‟ah pun terus bertambah dan banyak, tidak mencukupi pula
mushola untuk menampung jam‟ah, mulai pindah dari masjid ke masjid. Ja
ma‟ah yang terus bartambah dan terus semakin banyak, Mundzir pun memutuskan untuk membuka majelis serta ditetapkan waktu dan
tempatnya, maka hari selasa ditetapkan waktunya dan masjid Al- Munawwar
tempat yang pas untuk menampung jama‟ah, yang saat itu baru seperempat masjid saja yang terpakai dan saat itu Habib Mundzir berkata
jama‟ah akan semakin banyak, nanti akan setengah dari masjid ini terpakai, lalu memenuhi masjid ini, lalu akan sampai keluar masjid insya
Allah, jama‟ah mengaminkan. Mulailah dibutuhkan kop surat, untuk undangan, namun saat itu
majelis belum diberi nama, dan ia merasa bahwa dakwah tak membutuhkan butuh nama, untuk nama
jama‟ah menyarankan Majelis Habib Mundzir saja, namun Habib Mundzir menolaknya, Habib Mundzir
memutuskan nama untuk majelis adalah Majelis Rasulullah saja. Kini jama‟ah majelis Rasulullah sudah banyak mencapai jutaan, di
JABODETABEK, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Mataram, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Singapura, Malaysia, bahkan
sampai ke Jepang. Dari banyak tamu yang hadir salah satunya tamu dari Jepang di majelis Rasulullah pada saat haul badr di Monas, yaitu seorang
Profesor, dia datang ke Indonesia ingin mempelajari bidang sosial, namun kedatangannya juga didasari ingin jumpa dengan Habib Mundzir Al
Musawwa. Karena ia pengunjung setia website www.majelisrasulullah.org yang berbahasa English.
Itulah awal mula majelis Rasulullah berkembang dari satu tempat ke tempat yang lainnya dan pada akhirnya sampai majelis ini demikian
besar. Habib Mundzir kini berusia 38 tahun jika dengan perhitungan hijriah dan 37 tahun
dengan perhitungan masehi, beliau lahir pada jmu‟at pagi 19 Muharram 1393 H, atau 23 Februari1973 M. perjanjian jumpa
dengan Rasulullah Saw sebelum usianya tepat 40 tahun, kini suda 1432 H, beliau berkata dalam hatinya mungkin sebelum sempurna 19 Muharram
1433 H beliau sudah jumpa dengan Rasulullah Saw namun apakah Allah akan menambah usia pendosa ini.
12