Transformasi Sistem Dakwah Majelis Rasulullah SAW Di Jakarta

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh

Muhammad Ardiansyah NIM: 1111051000013

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/ 2016 M


(2)

(3)

(4)

(5)

ii

Transformasi Sistem Dakwah Majelis Rasulullah SAW di Jakarta

Di Indonesia peran majelis taklim sangat besar dalam menyebarkan nilai-nilai dakwah Islam. Majelis taklim menjadi wadah pendidikan Islam yang masih tetap bertahan hingga saat ini baik di pedesaan maupun di perkotaan. Majelis Rasulullah SAW (MR) sebagai sistem majelis taklim yang berada di DKI Jakarta pada masa kepemimpinan Habib Munzir, hanya berfokus pada praktek dakwah berupa pengajian yang dilakukan pada malam selasa. Namun, untuk mempertahankan eksistensinya, praktek-praktek dakwah MR terus berkembang dan bertransformasi hingga sekarang paska wafatnya Habib Munzir yang diteruskan oleh Dewan Syuro.

Berdasarkan konteks di atas, transformasi yang dilakukan MR terlihat pada beberapa praktek dakwah yang masih tetap dan akan terus dilakukan. Maka rumusan masalah dalam penelitian ini ialah bagaimana transformasi sistem dakwah Majelis Rasulullah SAW pada periode Habib Munzir hingga periode Dewan Syuro?

Teori yang digunakan adalah teori sistem dan teori strukturasi oleh Anthony Giddens. Sistem dapat didefinisikan sebagai sebuah entitas yang di dalamnya terdapat bagian-bagian yang saling terikat satu sama lain. Kemudian, Anthony Giddens melihat bahwa segala perubahan praktek sosial pasti melalui teori strukturasi. Teori strukturasi menjelaskan bahwa terlaksananya praktek sosial tercermin dari adanya hubungan yang terjalin antara para pelaku (agen) dan struktur yang saling mengandaikan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode deskriptif dengan menjelaskan data ke dalam tulisan yang mendalam dan terstruktur. Metode deskriptif menitikberatkan pada observasi dan suasana alamiah (naturalistic setting). Metode deskriptif merupakan penggambaran, pemahaman, penamaan, interpretasi, penafsiran, pengembangan dan eksplorasi terhadap suatu masalah penelitian.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, MR mencoba bertransformasi dari majelis taklim tradisional ke modern. Dalam praktek-praktek dakwahnya, MR yang awalnya hanya berfokus pada praktek dakwah berupa pengajian, sekarang sudah mulai masuk ke bidang sosial dengan melakukan mitra ke berbagai perusahaan, instansi swasta dan pemerintahan. Selain itu, MR juga memanfaatkan kemajuan teknologi informasi seperti website dan media sosial serta aplikasi di gadget guna menunjang serangkaian program dakwahnya.

Jadi, pada periode Habib Munzir, MR masih mengadopsi sistem dakwah otoritarian atau kediktatoran yang masih tersentral kepada penokohan Sang Habib dalam segala prakteknya. Sedangkan paska wafatnya Habib Munzir hingga sekarang, MR yang dipimpin oleh Dewan Syuro, mengadopsi sistem majelis taklim struktural dengan tidak adanya otoritas pelaku melainkan kesepakatan bersama dari para pelaku yang ada di dalam dewan tersebut

Kata kunci: Transformasi, Sistem Dakwah, Majelis Rasulullah SAW, Habib Munzir, dan Dewan Syuro.


(6)

iii









Alhamdulillahi Rabbil „alamin, segala puji berserta syukur bagi Allah SWT yang selalu memberikan berbagai nikmat dan petunjuk kepada penulis, sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini. Shalawat beserta salam terhaturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW serta para keluarga dan sahabatnya yang telah membimbing umat dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang.

Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian skripsi ini masih banyak kekurangan dan keterbatasan yang penulis miliki, dan tidak sedikit kesulitan serta hambatan yang di alami penulis. Namun, berkat hidayah dan inayah Allah SWT dan berkat kerja penulis disertai dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, maka segala kesulitan dan hambatan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan pada waktunya.

Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tiada terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan atas terselesaikannya skripsi ini. Terima kasih ini penulis sampaikan kepada:

1. Dr. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Suparto, M.Ed, Ph.D selaku Wakil Dekan I Bidang Akademik, Dr. Hj. Roudhonah, M.Ag selaku Wakil Dekan II Bidang Administrasi dan Keuangan, dan Dr. Suhami, M.Si selaku Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan.

2. Drs. Masran, MA selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam dan Fita Fathurokhmah, SS, M.Si selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. 3. Dosen Pembimbing Skripsi sekaligus motivator, Bintan Humeira, M.Si yang telah


(7)

iv

5. Segenap Pengurus Majelis Rasulullah SAW, Ustadz Syukron Makmun yang telah meluangkan banyak waktunya untuk memberikan banyak informasi dan data-data yang dibutuhkan, Habib Muhammad Al Kaff, Nurul Hidayatullah, dan para staf sekretariat sebagai tuan rumah yang selalu mendampingi penulis di markasnya.

6. Jajaran dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, atas kontribusi memberikan pandangan, motivasi dan ilmu selama ini.

7. Seluruh staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, perpustakaan Universitas Indonesia, dan perpustakan Nasional Republik Indonesia.

8. Orang tua tercinta, Bapak Ansori Mukhsin dan Emak Aisyah yang selalu mendoakan, memberikan semangat serta menjadi motivasi penulis disaat malas mengerjakan skripsi ini.

9. Kakak dan adik penulis, Muhamad Bakir, Muhammad Firmansyah dan Nur Adliyati yang selalu memberikan nasihat dan penyemangat.

10. Yosi Mawarni yang selalu memberi semangat, motivasi, bantuan materi dalam proses skripsi ini.

11. Teman-teman Lailatul Qodar di antaranya Syifa, Dewi, Adul, Angki, Pici, Bani, Ziah dan Putri yang selalu memberikan motivasi, keceriaan dan pencerahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Teman-teman KPI A 2011, yang telah banyak melukiskan sejarah kehidupan penulis selama menimba ilmu dalam satu kelas yang sama.


(8)

v menyelesaikan skripsi ini.

14. Seluruh pihak yang membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat walaupun masih banyak kekurangan. Penulis juga berharap adanya kritik dan saran dari para pembaca agar dapat membuat penelitian yang lebih sempurna.

Depok, 27 September 2016


(9)

vi

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Fokus dan Rumusan Masalah ... 6

1. Fokus Masalah ... 6

2. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

1. Manfaat Akademis... 6

2. Manfaat Praktis ... 7

E. Tinjauan Pustaka ... 7

F. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II KONSEP TEORITIK A. Transformasi ... 10

B. Sistem ... 10

C. Majelis Taklim... 15

1. Pengertian Majelis Taklim ... 15

2. Tujuan dan Fungsi Majelis Taklim... 18

3. Jenis-jenis Majelis Taklim ... 19

4. Unsur-unsur Majelis Taklim ... 23

D. Teori Strukturasi ... 24

1. Dasar Pemikiran Teori Strukturasi Anthony Giddens ... 24

2. Pelaku dan Perilaku Tindakan (agen dan agency) ... 29


(10)

vii BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Paradigma Penelitian ... 37

B. Metode Penelitian ... 38

C. Pendekatan Penelitian ... 39

D. Subjek dan Objek Penelitian ... 39

E. Tempat dan Waktu Penelitian ... 39

F. Sumber dan Jenis Data ... 40

G. Teknis Pengumpulan Data ... 40

1. Observasi Partisipatif... 40

2. Wawancara Mendalam ... 42

3. Dokumentasi ... 43

H. Teknik Analisis Data ... 44

1. Pengodean Terbuka (Open Coding) ... 44

2. Pengodean Berporos (Axial Coding) ... 45

3. Pengodean Berpilih (Selective Coding) ... 45

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN ANALISIS DATA A. Profil Majelis Rasulullah SAW ... 47

1. Sejarah Berdirinya Majelis Rasulullah SAW ... 50

2. Visi dan Misi ... 55

3. Struktur Kepengurusan ... 55

4. Kantor Sekertariat ... 57

5. Program-program ... 57

B. Transformasi Sistem Dakwah Majelis Rasulullah SAW ... 61

1. Transformasi dalam Aspek Internal Organisasi ... 63

2. Transformasi dalam Bidang Dakwah ... 71

3. Transformasi dalam Bidang Sosial ... 81


(11)

viii

B. Saran ... 95

DAFTAR PUSTAKA ... 96 LAMPIRAN ... 100


(12)

ix

Tabel 2.1. Sifat Sistem sebagai Sebuah Metode ... 12 Tabel 2.2. Konsep Struktur, Sistem dan Strukturasi ... 34


(13)

x

Gambar 4.1. Pemberitaan MR di WSJ ... 48

Gambar 4.2. Buletin Jumat MR ... 79

Gambar 4.3. Aplikasi MR Dakwah ... 80

Gambar 4.4. Stiker Himbauan Tertib Berlalu Lintas ... 83

Gambar 4.5. Stiker Himbauan Peduli Kebersihan ... 83


(14)

1 1. Latar Belakang Masalah

Kegiatan belajar agama secara bersama atau berkelompok sudah dikenal sejak awal perkembangan Islam. Kegiatan tersebut menjadi wadah yang efektif dan efisien untuk menyampaikan pesan-pesan agama kepada orang-orang yang mengambil bagian di dalamnya. Hanya saja wujud dan perhatian terhadap kegiatan belajar bersama, tidak selalu sama pada setiap komunitas muslim lainnya.

Kelompok belajar yang di dalamnya membahas tentang ajaran agama Islam secara bersama sering disebut kelompok pengajian. Kelompok tersebut biasanya menyelenggarakan kegiatan belajar rutin di bawah bimbingan orang yang dipandang mengetahui tentang ajaran agama. Pembimbing tersebut biasa disapa dengan sebutan Ustadz (Ustadzah untuk perempuan), Kiai, Habib, Tuan Guru atau sapaan penghormatan lainnya. Sebutan lain yang muncul untuk kelompok belajar tersebut di Indonesia ialah majelis taklim.

Majelis taklim sebagai lembaga pendidikan Islam non-formal memiliki kedudukan yang penting di tengah masyarakat muslim Indonesia, yakni sebagai wadah pembinaan dan pengembangan kehidupan beragama, serta wadah silaturahmi yang hidup dan terus berkembang. Majelis taklim juga menjadi media penyampaian gagasan yang bermanfaat bagi pembangunan umat dan bangsa.1

1


(15)

Dewasa ini di Indonesia tumbuh suburnya majelis taklim menjadi satu fenomena yang mengembirakan dalam perkembangan dakwah dan pendidikan Islam. Lahirnya banyak majelis taklim terutama di kota-kota besar, baik yang diprakarsai oleh umat yang membutuhkannya, maupun yang terbentuk atas prakarsa tokoh agama, lembaga keagamaan maupun tokoh politik, menunjukkan betapa pentingnya dakwah dan pendidikan keagamaan bagi masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan majelis taklim, tidak hanya untuk menambah pengetahuan masyarakat tentang Islam, tetapi juga berperan di dalam meningkatkan wawasan keberagamaan masyarakat. Selain dari itu, majelis taklim menjadi wadah yang dapat membina keakraban di antara sesama jamaah.

Majelis taklim tampaknya memperlihatkan perkembangan yang beragam. Hal tersebut dapat dilihat dari segi kuantitas jamaahnya. Di daerah tertentu kegiatan majelis taklim dapat menghadirkan jamaah dalam jumlah ratusan atau ribuan bahkan lebih dari itu mencapai puluhan ribu orang secara rutin. Sementara ada juga sejumlah daerah yang geliat kehidupan beragama semacam itu hampir tidak terlihat. Masyarakatnya tidak terbiasa dengan kegiatan belajar agama secara massal. Mereka lebih memilih kegiatan belajar agama yang hanya beberapa orang dan bersifat kursus.

Menjamurnya kelompok-kelompok belajar agama seperti majelis taklim, menjawab kerancuan terhadap paradoks yang terjadi di masyarakat. Tak jarang kelompok berpotensi negatif bagi individu maupun kelompok itu sendiri. Umumnya individu-individu tersebut adalah mereka yang mengikuti kegiatan kelompok dan kurang lebih menerima pendapat orang lain secara


(16)

pasif, bertindak sebagai seorang pendengar dalam diskusi dan keputusan kelompok.2 Seperti yang dewasa ini menjadi buah bibir di tengah masyarakat yakni kelompok teroris dengan mengatas namakan jihad dalam prosesnya, karena bertentangan dengan norma sosial maupun agama. Selain itu, ada pula gerakan dakwah komunitas radikalisme Islam yang berwujud paham tokoh Muhammad ibn Abdul Wahab, yang dinamakan paham Wahabiyah.3 Menurut pengamatan Noorhaidi Hasan, komunitas radikalisme tersebut menginjakkan kakinya secara terbuka di dunia muslim Timur Tengah, termasuk Indonesia, sejak tahun 1980an.4

Dari permasalahan tersebut, majelis taklim hadir dalam rangka meluruskan kekeliruan dan kekhawatiran yang terjadi di masyarakat.

Memberikan penjelasan tentang ajaran Islam yang sesuai dengan Al Qur‟an

dan Sunnah. Maka dari itu, majelis taklim perlu mengembangkan nilai-nilai Islam yang disampaikan serta mengorganisir sistem atau struktur dalam mencapai tujuannya. Menjadi sebuah organisasi yang bergerak di bidang dakwah dengan metode-metode tertentu yang digunakan.

DKI Jakarta sebagai Ibukota negara Indonesia terdapat sejumlah majelis taklim yang masih bertahan menjadi wadah pendidikan agama Islam. Majelis taklim yang memiliki ratusan bahkan sampai ribuan jamaah satiap majelis rutin yang mereka adakan. Majelis yang tidak hanya dihadiri orang tua saja bahkan remaja menjadi mayoritas di sana. Salah satu diantaranya ialah Majelis Rasulullah SAW pimpinan Habib Munzir Al Musawa.

2

Alvin A. Goldberg dan Carl E. Larson, Komunikasi Kelompok : proses-proses diskusi dan penerapannya, (Jakarta: UI Press, 2006), h. 122-123.

3

Acep Aripudin, Sisiologi Dakwah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), h. 67. 4

Noerhaidi Hasan, Laskar Jihad : Islam, Militansi dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca-Orde Baru, (Jakarta: LP3ES, 2008), h. 31.


(17)

Majelis Rasulullah SAW atau yang biasa disebut MR, merupakan majelis taklim yang memiliki banyak jamaah. Tidak hanya jamaah dari Jakarta saja, tetapi dari luar Jakarta bahkan Luar Pulau sampai ke Luar Negeri. MR yang pertama di prakarsai oleh Habib Munzir di awal terbentuknya banyak mengalami rintangan dan hambatan. Selepas Sang Habib belajar menimba ilmu agama di Yaman pada tahun 1998 dan mulai mengamalkan apa yang didapat di sana. Sang Habib berdakwah dari rumah kerumah yang awalnya jamaah hanya berjumlah tidak lebih dari sepuluh orang, kemudian jamaah sudah semakin banyak dan perlu tempat yang cukup untuk menampung jamaah. Akhirnya pindah dari Mushola ke Mushola dan terus jamaah semakin bertambah hingga Mushola pun tak bisa menampung jamaah. Hingga kemudian berpindah dari Masjid ke Masjid.

MR tidak hanya sebagai majelis taklim yang di dalamnya terdapat pembelajaran agama saja, tetapi juga sebagai Majelis Dzikir dan Majelis Sholawat. Sebab metode yang diusung tidak hanya untuk memberikan ilmu agama Islam tapi juga sebagai wadah mengingat Sang Pencipta dan Rasul-Nya. Mengenalkan kepada penduduk Jakarta khususnya dan kota-kota lain pada umumnya yang semakin disibukkan dengan urusan duniawi. Membangkitkan semangat kaum Muslimin untuk mencintai Sunnah Rasulullah SAW serta menyerukan ajaran-ajaran yang dibawa Rasul dengan dakwah kedamaian, lemah lembut dan kasih sayang terhadap sesama.

Sejak berdirinya MR yang hingga kini sudah mencapai 18 tahun, sungguh perjuangan yang tidak sebentar. MR berupaya beradaptasi dengan perubahan-perubahan untuk tetap terus eksis sebagai wadah pembinaan umat. Seperti


(18)

sekarang ini, perkembangan teknologi yang semakin canggih dengan hadirnya internet, mengharuskan MR untuk membuat website agar dakwahnya bisa dilihat dunia luas melalui internet. Kemudian media sosial guna mensosialisasikan program-programnya serta membuat aplikasi untuk pengguna smartphone agar mempermudah dalam mengakses informasi yang berkaitan dengan MR.

Perubahan internal yang terjadi di dalam MR sendiri yakni ketika pembina sekaligus pendiri MR yaitu Habib Munzir bin Fuad Al Musawa wafat pada 15 September 2013. Hal tersebut menjadi sebuah polemik yang terjadi di dalam sistem MR. Tetapi hal tersebut tidak membuat MR menjadi vakum atau berhenti, bahkan hingga sekarang masih tetap berjalan. Seperti motivasi yang pernah dikatakan Mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono ketika memberikan pidato kepresidenan saat bertakziah ke rumah duka Habib Munzir, bahwa wafatnya Habib Munzir bukan berarti berakhirnya Majelis Rasulullah SAW, majelis ilmu yakni Majelis Rasulullah akan terus bergerak dan bertambah besar, bahkan mempengaruhi dunia baik ada atau tidaknya Habib Munzir. Sudah masanya tonggak dakwah diambil alih oleh jamaah dan seluruh umat Rasulullah SAW.5

MR menjadi sebuah majelis taklim yang hingga sekarang terus bertahan dengan perubahan sistem dan tetap konsisten dengan nilai-nilai dakwah yang dibawakan serta terus melakukan perubahan-perubahan untuk tetap berjalan mencapai tujuannya. Dengan alasan-alasan di atas, maka penelitian ini layak

5

M. Guntur dan Tim Majelis Rasulullah, Habib Munzir: Menanam Cinta untuk Para Kekasih Rasulullah, (Jakarta: QultumMedia, 2013), h. 134.


(19)

diajukan dengan judul “Transformasi Sistem Dakwah Majelis Rasulullah SAW di Jakarta”.

2. Fokus dan Rumusan Masalah 1. Fokus Masalah

Berdasarkan uraian yang disampaikan di atas, peneliti memfokuskan penelitian ini pada pembahasan terkait transformasi sistem dakwah Majelis Rasulullah SAW. Membagi periode majelis tersebut berdasarkan penokohan menjadi dua yakni periode Habib Munzir dan periode setelah wafatnya Habib Munzir yang dipimpin oleh Dewan Syuro.

2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini ialah: Bagaimana transformasi sistem dakwah Majelis Rasulullah SAW pada periode Habib Munzir hingga periode Dewan Syuro?

3. Tujuan Penelitian

Berlandaskan dari permasalah yang dijelaskan di atas, maka tujuan penelitian ini ialah: Untuk menggambarkan transformasi sistem dakwah Majelis Rasulullah SAW pada periode Habib Munzir hingga periode Dewan Syuro.

4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah: A. Manfaat Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih ilmiah dalam kajian ilmu dakwah bagi Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) khususnya jurusan Komunikasi Penyiaran Islam


(20)

mengenai sistem dakwah majelis taklim sebagai wadah pembinaan umat yang masih tetap eksis dari awal berdiri dan terus berkembang hingga sekarang.

B. Manfaat Praktis

Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi kepada pembaca dan praktisi dakwah tentang transformasi sistem dakwah majelis taklim yang masih terus bertahan dengan perubahan-perubahan situasi ataupun kondisi serta melihat hubungan antara para pelaku yang ada dalam majelis taklim dengan struktur yang dibentuknya.

5. Tinjauan Pustaka

Penelitian ini hadir berdasarkan adanya masukan dari beberapa penelitian sebelumnya yang membuat peneliti dapat menemukan permasalahan dalam penelitian. Maka dari itu terdapat beberapa penelitian yang memiliki kesamaan fokus penelitian namun tetap memiliki perbedaan di dalam penelitiannya. Berikut beberapa penelitian yang menjadi acuan dan memiliki kesamaan pada penelitian ini. Diantaranya yaitu:

1. Manajemen Majelis Taklim Darussa‟adah Cilandak Timur Jakarta

Selatan, skripsi Chairul Anshory. Permasalahan dalam penelitian ini ialah melihat penerapan fungsi-fungsi manajemen pada Majelis Taklim

Darussa‟adah. Fokus pada penelitian ini menjelaskan bidang keilmuan

manajemen yang diterapkan dalam sebuah institusi islam yakni majelis taklim. Berbeda dengan peneliti yang melihat praktek-praktek sosial yang ada dalam sebuah majelis taklim.


(21)

2. Pembinaan Akhlak Remaja melalui Majelis Taklim Al-Barkah (Studi Kasus Majlis Taklim Remaja Masjid Jami‟ Al-Barkah Duren – Sawit Jakarta Timur), skripsi Marfuah. Permasalahan dalam penelitian ini ialah melihat bentuk kegiatan pembinaan akhlak remaja melalui majelis taklim

remaja Masjid Jami‟ Al-Barkah dan menjelaskan hambatan-hambatan apa

saja yang dialami majelis taklim tersebut dalam pembinaan akhlak remaja. Penelitian ini mencoba menjelaskan tentang manfaat yang ditimbulkan dengan hadirnya majelis taklim berupa pembinaan akhlak remaja. Sedangkan pada penelitian ini, peneliti melihat majelis taklim sebagai sebuah sistem yang juga berfungsi sebagai pembinaan umat dengan program atau struktur yang terbentuk dari praktek-praktek sosialnya.

6. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penlitian ini merujuk kepada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi dkk, yang diterbitkan CEQDA (Center for Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini terdiri dari lima bab, yaitu:

BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari enam sub, yakni latar belakang, fokus dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.

BAB II : Pada bab kedua ini membahas tentang konsep teoritik yang digunakan dalam penelitian yang terdiri dari tiga sub, yakni majelis taklim, teori sistem dan teori strukturasi.


(22)

BAB III : Pada bab ketiga ini membahas tentang metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yang terdiri dari paradigma, metode, pendekatan penelitian, sibjek dan objek, tempat dan waktu penelitian serta teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.

BAB IV : Pada bab keempat ini membahas tentang hasil dan analisis data yang berisi gambaran umum Majelis Rasulullah SAW yang terdiri dari profil Majelis Rasulullah SAW, sejarah berdirinya, visi dan misi, struktur kepengurusan dan program dakwah serta analisis dan interpretasi data penelitian.

BAB V : Pada bab ini merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran dari peneliti. Lanjutan dari bab ini juga dilengkapi dengan daftar pustaka beserta lampiran-lampiran yang mendukung penulis berdasarkan hasil penelitian.


(23)

10 1. Transformasi

Transformasi dalam bahasa Inggris adalah transform yang berarti merubah bentuk atau rupa, sedangkan transformation yang berarti perubahan bentuk atau penjelmaan.1 Menjelaskan istilah transformasi tanpa dikaitkan dengan suatu yang lain menurut Ryadi Gunawan merupakan upaya pengalihan dari sebuah bentuk kepada bentuk yang lebih mapan. Sebagai sebuah proses, tranformasi merupakan tahapan atau titik balik yang cepat bagi sebuah makna perubahan yang terus menerus dilakukan.2 Dalam penelitian ini maksud transformasi ialah perubahan yang berangsur-angsur dengan proses yang panjang terkait dengan aktifitas-aktifitas yang dilakukan dalam segala hal. 2. Sistem

Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani yakni “systema” yang

mempunyai pengertian sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan menjadi satu kesatuan. Pengertian tersebut pada perkembangannya hanya merupakan salah satu pengertian saja. Sebab istilah itu hanya dipergunakan untuk banyak hal. Optner mengatakan bahwa tidak semua dalam tulisan N. Jordan yang berjudul Some Thinking about System (1960) yang mengemukakan 15 macam cara orang menggunakan istilah sistem, penting untuk diketahui. Yang dianggap penting ialah

1

Peter Salim, The Contempory English-Indonesia Dictionary, (Jakarta: Modern English Press, 1996), h. 2099.

2

Ryadi Gunawan, Transformasi Sosial Politik: Antara Demokratisasi dan Stabilitas, (Yogyakarta: KPSM, 1993), h. 228.


(24)

pengetahuan akan istilah sistem yang ternyata tidak hanya dipakai untuk menunjukkan satu atau dua pengertian saja, melainkan banyak sekali.3

Secara garis besar Shrode dan Voich menjelaskan dua golongan penggunaan istilah sistem, yaitu sistem sebagai suatu wujud (entitas) atau benda yang memiliki aturan atau sususan strultural dari bagian-bagainnya dan sistem sebagai suatu metode atau rencana, alat, tata cara untuk mencapai sesuatu. Namun kedua penggunaan istilah tersebut tidaklah mempunyai perbedaan yang cukup berarti, sebab keteraturan, ketertiban atau adanya struktur itu merupakan hal yang mendasar bagi keduanya.

Pertama, sistem sebagai sebuah wujud (entitas). Suatu sistem dikatakan sebagai suatu himpunan bagian yang saling berkaitan yang membentuk satu keseluruhan yang rumit atau kompleks tetapi merupakan satu kesatuan. Contoh sistem sebagai wujud atau entitas dari pengertian tersebut sangat beragam, misalnya manusia, mobil, jam, lembaga pemerintahan, lembaga keagamaan, alam semesta dan masih banyak lagi. Menganggap sistem sebagai suatu wujud atau entitas pada dasarnya bersifat deskriptif atau menggambarkan. Hal demikian berguna sekali ketika memberikan gambaran dan membedakan antara benda-benda yang berlainan, untuk mempermudah serta menetapkan suatu batasan untuk kepentingan analisa dan untuk mempermudah pemecahan masalah.

Kedua, sistem sebagai suatu metode. Penggunaan istilah sistem sebagai suatu metode mempunyai makna metodologik. Berbeda dengan penggunaan istilah sistem sebelumnya yang bersifat deskriptif, dalam penggunaan istilah

3

Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), h. 1-2.


(25)

sistem disini bersifat preskriptif yakni menggandung makna adanya pendekatan yang rasional dan logik dalam mencapai tujuannya. Untuk dapat memahami antara kedua sifat tersebut dapat diperhatikan contoh dalam tabel berikut:

Deskriptif Preskriptif

Ini sebuah mobil

Ini program investasi

Ini perlengkapan keamanan

versus

versus

versus

Ini mobil yang bisa memberikan layanan transportasi yang ekonomik. Ini program investasi yang akan meningkatkan deviden.

Ini perlengkapan keamanan yang akan mencegah kecelakaan.

(Tabel 2.1)

Sifat Sistem sebagai Sebuah Metode

Contoh-contoh tersebut masing-masing menunjuk pada suatu wujud barang atau benda dalam pengertian deskriptif yang berlainan dengan benda yang dipergunakan dalam pengertian preskriptif, yaitu sebuah metode atau alat untuk mencapai sesuatu. Maka sebagai metode, sistem dikenal dengan pendekatan sistem yang pada dasarnya merupakan penerapan dari metode ilmiah di dalam pemecahan masalah. Pendekatan sistem memandang sesuatu bersegi banyak (multidimensi) dan rumit, serta memandang sesuatu sistem sebagai bagian dari sistem yang lebih luas atau besar.4

Dapat disimpulkan bahwa definisi lengkap tentang suatu sistem tertentu menunjukkan unsur-unsur sistem, tujuan sistem, kegiatan yang dilakukan sistem untuk mencapai tujuan, dan apa yang diproses oleh sistem itu serta apa hasilnya beserta ukuran keberhasilan pemrosesan tersebut. Dalam penelitian

4


(26)

ini, sistem yang dimaksud ialah sistem majelis taklim. Majelis taklim sebagai sebuah entitas lembaga keagamaan non formal yang bergerak dibidang dakwah dan didalamnya terdapat bentuk-bentuk praktek pengaplikasian yang menjadi tujuan dakwahnya.

Littlejohn lebih mendalam menyatakan tentang sistem yang memiliki beberapa sifat. Di antaranya:

1. Keseluruhan dan saling ketergantungan (wholeness and interdependence) Suatu sistem adalah suatu keseluruhan yang unik, karena bagian-bagiannya berhubungan satu sama lain dan tidak dapat dipahami secara terpisah. Suatu sistem adalah produk dari kekuatan-kekuatan atau interaksi-interaksi diantara bagian-bagiannya. Dan bagian-bagian dari sistem saling bergantungan atau saling mempengaruhi tidak bebas.

2. Hirarki (hierarchy)

Sistem cenderung untuk melekatkan satu dengan yang lain. Maksudnya suatu sistem adalah bagian dari sistem yang lebih besar. Sistem yang lebih besar kemudian disebut sebagai Suprasistem dan yang lebih kecil disebut dengan subsistem. Suatu sistem terdiri dari dua atau lebih subsistem dan setiap subsistem terdiri lagi dari subsistem yang lebih kecil dan begitu seterusnya. Adanya tingkatan dalam sebuah bagian sistem itulah yang disebut hirarki.

3. Pengaturan diri dan kontrol (self-regulation and control)

Sistem-sistem paling sering dipandang sebagai organisasi yang berorientasi kepada tujuan. Aktifitas-aktifitas suatu sistem dikendalikan oleh tujuan-tujuannya dan sistem itu mengatur perilakunya untuk


(27)

mencapai tujuan-tujuan tersebut. Suatu sistem memiliki kontrol dalam memberikan masukan (input) kepada setiap aktifitas yang dilakukan subsistem dan keluaran (output) yang diperlukan sebagai masukan bagi subsistem lain.

4. Pertukaran dengan lingkungan (interchange with environment)

Suatu sistem mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Segala aktifitas yang dilakukan karena adanya umpan balik antara sistem dengan lingkungan tersebut. Sistem memasukan energi kepada lingkungan ataupun sebaliknya.

5. Keseimbangan (balance)

Keseimbangan, seringkali merujuk kepada homeostatis (merawat sendiri). Salah satu tugas dari suatu sistem jika ingin tetap ada adalah dapat tinggal dalam keseimbangan. Sistem haruslah mampu mendeteksi bilamana ada bagian dari sistem yang rusak dan membuat penyesuaian untuk kembali di atas jalurnya. Bila tidak mampu menyeimbangkan sistemnya misalkan adanya penyimpangan atau perubahan yang akan merusak dirinya, pada akhirnya sistem itu akan rusak dan runtuh.

6. Kemampuan berubah dan beradaptasi (change and adaptibity)

Karena sistem tetap ada dalam suatu lingkungan yang dinamis, sistem haruslah dapat beradaptasi. Sebaliknya untuk bertahan hidup, suatu sistem haruslah memiliki keseimbangan tapi ia juga harus berubah. Sistem-sistem yang kompleks seringkali perlu berubah secara struktural untuk beradaptasi terhadap lingkungan, dan jenis perubahan itu berarti keluaran dari keimbangan untuk sesaat. Sistem-sistem yang telah maju haruslah


(28)

mampu mengatur kembali dirinya untuk menyesuaikan terhadap tekanan-tekanan lingkungan. Pengertian teknis bagi perubahan sistem adalah morfogenesis yakni proses perubahan yang dilakukan bagian-bagian sistem sesuai dengan tugas masing-masing bagian sistem.

7. Batas akhir (equifinality)

Finalitas adalah tujuan yang dicapai atau penyelesaian tugas dari suatu sistem. Equifinalty adalah suatu keadaan final tertentu bisa jadi diselesaikan dengan cara-cara yang berbeda dan titik-titik awal yang berbeda. Sistem-sistem yang dapat beradaptasi, yang memiliki keadaan final suatu tujuan, dapat mencapai tujuan itu dalam suatu beragam kondisi lingkungan. Sistem mampu dalam memproses masukan-masukan dengan cara-cara yang berbeda untuk menghasilkan keluarannya.5

3. Majelis Taklim

A. Pengertian Majelis Taklim

Kata “majelis” berasal dari Bahasa Arab, yakni dari kata

jalasa-yajlisu-juluusan yang berarti tempat duduk, tempat sidang, dewan.6 Sedangkan dalam kamus Bahasa Indonesia, majelis adalah pertemuan atau perkumpulan orang banyak atau bangunan tempat orang berkumpul.7 Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa majelis adalah suatu

5

Stephen W. Littlejohn and Karen A. Foss (Eds), Encyclopedia of Communication Theory, (Los Angeles: SAGE Publication, 2009), h. 950-951.

6

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), cet. ke-10, h. 615.

7

Departemen Agama RI, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Depag RI, 1987/1988), jilid 2, h.556.


(29)

tempat atau wadah yang didalamnya terdapat sekelompok orang atau manusia yamg melakukan segala aktifitas dan perbuatan.8

Sedangkan kata “taklim” berasal dari kata Arab a‟llama-yua‟llimu

-ta‟liiman yang berarti pengajaran.9 Menurut Mahmud Yunus taklim diartikan dengan allamahul i‟lma, yang berarti mengajarkan ilmu kepadanya.10

Bila digabungkan kata majelis dan taklim menjadi majelis taklim, maka dapat diartikan dengan tempat pengajaran atau tempat memberikan dan mengajarkan agama.11 Jika dilihat dari asal katanya, maka majelis taklim merupakan wadah atau tempat berlangsungnya kegiatan belajar mengajar agama. Di dalamnya terdapat orang yang belajar, yaitu jamaah, guru atau ustadz, materi yang diajarkan, sarana dan tujuan.12 Koordinasi Dakwah Islam mendefinisikan majelis taklim secara lughawiyah (bahasa) adalah tempat melaksanakan pengajaran atau pengajian agama Islam.13

Pada Musyawarah majelis taklim se-DKI Jakarta yang berlangsung pada tahun1980, memberikan batasan tentang definisi majelis taklim. Yakni majelis taklim adalah lembaga pendidikan Islam non-formal yang memiliki kurikulum pembelajaran tersendiri, diselenggarakan secara berskala dan teratur, diikuti jamaah yang relatif banyak, dan bertujuan untuk membina dan mengembangkan hubungan yang santun dan serasi antara manusia dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesamanya,

8

Achmad Warson Munawwir, Al-Munawir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), cet. ke-14, h. 108.

9

Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Jakarta: PT Hilda Karya Agung, 2007), h. 277.

10

Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, h. 90. 11

Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, h. 277. 12

Departemen Agama RI, Ensiklopedia Islam, h.556-557. 13


(30)

dan antara manusia dengan lingkungannya, dalam rangka membina masyarakat yang bertakwa kepada Allah SWT.14

Dari beberapa pengertian di atas tentang majelis taklim, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Majelis taklim adalah suatu tempat atau wadah yang didalamnya terdapat sekumpulan orang, diantaranya jamaah, guru atau ustadz dan orang yang membantu terlaksananya majelis taklim, yang melakukan kegiatan pengajian atau pembelajaran tentang agama Islam.

2. Majelis taklim merupakan lempaga pendidikan non-formal Islam yang memiliki pedoman dan kurikulum pembelajaran tersendiri serta bertujuan untuk membina dan mengembangkan hubungan baik antara Allah, manusia dan lingkungannya dengan santun dan serasi, diselenggarakan berskala secara rutin, baik itu mingguan, bulanan atupun tahunan.

Sedangkan dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan majelis taklim ialah suatu tempat atau wadah berkumpul orang untuk melaksanakan pengajian atau pembelajaran agama Islam, tidak hanya pengajian semata, namun dengan malaksanakan kegiatan yang dapat mengembangkan bakat dan menambah pengetahuan serta wawasan bagi para jamaah khususnya berkaitan dengan ajaran agama Islam. Majelis taklim dalam penelitian ini ialah Majelis Rasulullah SAW.

14

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), h. 96.


(31)

B. Tujuan dan Fungsi Majelis Taklim

Dalam proses terbentuknya, majelis taklim memiliki beberapa tujuan. Sebagaimana yang disebutkan dalam Ensiklopedi Islam, diantaranya:15 meningkatkan pengetahuan dan kesadaran beragama di kalangan masyarakat khususnya jamaah, meningkatkan amal ibadah jamah, mempererat tali silaturrahmi antar jamaah dan membina kader dikalangan jamaah.

Manfred Zimek mengatakan bahwa tujuan majelis taklim adalah menyampaikan pengetahuan dan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama, maupun tentang gambaran akhlak yang membentuk kepribadian dan memantapkan akhlak.16

Mengenai bermacam-macamnya rumusan yang menjadi tujuan dari terbentuknya majelis taklim, Dr. Hj. Tutty Alawiyah merumuskan tujuan majelis taklim dari segi fungsinya. Pertama berfungsi sebagai tempat belajar, maka tujuan majelis taklim adalah menambah ilmu dan keyakinan agama, yang akan mendorong pengalaman ajaran agama. Kedua berfungsi sebagai kontak sosial, maka tujuannya adalah untuk silaturrahmi. Ketiga

berfungsi mewujudkan minat sosial, maka tujuannya untuk meningkatkan kesadaran dan kesejahteraan rumah tangga dan lingkungan jamahnya.17

Majelis taklim merupakan suatu lembaga dakwah dan juga sebagai lembaga pengajaran masyarakat yang tumbuh dan berkembang dari kalangan masyarakat Islam itu sendiri yang berkepentingan untuk

15

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Majelis, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Haeve, 1994), h. 122.

16

Manfred Zimek, Pesantren dan Perubahan Sosial, (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 57. 17

Tutty Alawiyah, Strategi Dakwah di Lingkungan Majelis Taklim, (Bandung: Mizan, 1997), h. 78.


(32)

kemaslahatan umat manusia. Oleh karena itu, majelis taklim dapat disebut sebagai lembaga swadaya masyarakat yang hidupnya didasarkan kepada Ta‟awun dan Ruhama‟u bainahum (tolong menolong dan berkasih sayang).18

Sebagai lembaga dakwah dan juga sebagai lembaga pendidikan Islam non-formal, majelis taklim memiliki fungsi:19 Membina dan mengembangkan ajaran Islam dalam hal membentuk masyarakat yang bertakwa kepada Allah SWT, sebagai taman rekreasi rohaniah, sebagai wadah berlangsungnya silaturrahmi yang dapat menghidupkan dakwah dan ukhuwah Islamiyah, sebagai sarana bertemu dan berdialog antara

ulama dan umara‟ dengan umat secara berkesinambungan, sebagai media

penyampaian gagasan yang bermanfaat bagi pembangunan umat dan bangsa secara umum.

C. Jenis-jenis Majelis Taklim

Dalam penyelenggaraan majelis taklim bersifat tidak mengikat dan tidak pula selalu mengambil tempat-tempat ibadah seperti masjid, langgar atau mushola, tetapi bisa di rumah keluarga, ruang aula di suatu instansi, lapangan yang bisa menampung jamaah dengan skala besar, hotel, kantor, balai pertemuan dan lain sebagainya pelaksanaannya pun bervarisasi, tergantung pada pemimpin atau panita dalam majelis taklim tersebut. a. Ditinjau dari lingkungan jamaah majelis taklim, maka dapat

diklasifikasikan sebagai berikut: 1) Majelis taklim pinggiran. Maksud pinggiran dalam istilah ini bukan berarti pinggiran kota, melainkan

18

Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 94.

19


(33)

menunjuk pada daerah pemukiman lama yang umumnya dialami atau yang mayoritas masyarakat ekonomi lemah. Majelis taklim gedongan. Majelis taklim ini terdapat di daerah elit lama dan baru yang mayoritas penduduknya dianggap kaya dan terpelajar. 2) Majelis taklim komplek. Biasanya suatu instansi tertentu membangun perumahan karyawannya. Kemudian di komplek tersebut membuat majelis taklim yang mereka sebagai jamaah yang terdiri dari kalangan menengah dan terkait dengan instansinya. 3) Majelis taklim pemukiman baru. Majelis taklim yang terbentuk di suatu perumahan baru, jamaah terpelajar, ekonomi menengah dan tidak terikat dengan instansi tertentu. 4) Majelis taklim kantoran. Diselenggarakan oleh karyawan kantor, yang memiliki ikatan dengan kebijakan kantor. 5) Majelis taklim khusus. Pengajian yang dikhususkan kepada orang tertentu, misalnya pengajian para pejabat, khsusus untuk jamaah pendiri organisasi tertentu. 6) Majelis taklim umum. Pengajian yang jamaahnya siapa saja, tanpa ada perbedaan. 20

b. Ditinjau dari tempat penyelenggaraannya, majelis taklim memiliki beberapa klasifikasi. Diantaranya:21 Di masjid atau mushola, di madrasah atau ruang khusus, di rumah secara tetap atau berpindah-pindah, di ruang atau aula kantor dan di lapangan.

c. Ditinjau dari metode penyajian atau penyampaian materi majelis taklim, terdiri dari:22

20

Koordinasi Dakwah Islam, Pola Pembinaan Majelis Taklim di Jakarta, (Jakarta: KODI, 1987), h. 3.

21

Tutty Alawiyah, Strategi Dakwah di Lingkungan Majelis Taklim, h. 77. 22


(34)

a. Majelis taklim yang diselenggarakan dengan metode ceramah. Metode ini dilaksanakan dengan dua cara: Ceramah Umum. Guru/Ustadz/Kiai bertindak aktif dengan memberikan materi atau ceramah, sedangkan peserta atau jamaah pasif yaitu hanya mendengarkan dan menerima materi yang disampaikan melalui ceramah. Ceramah Terbatas. Guru/ Ustadz/ Kiai maupun peserta atau jamaah sama-sama aktif. Terdapat kesempatan bertanya dari jamaah kepada pemberi materi atau penceramah.

b. Majelis taklim yang diselenggarakan dengan metode halaqah. Dalam hal ini Guru/Ustadz/Kiai memberikan pengajaran biasanya dengan memegang suatu kitab tertentu. Peserta atau jamaah mendengarkan apa yang disampaikan oleh pengajar sambil menyimak kitab yang sama atau melihat ke papan tulis atau ke layar dimana pengajar menuliskan segala hal yang diterangkan. Berbeda dengan metode ceramah terbatas, metode halaqoh

menjadikan pengajar sebagai pembimbing jamaah jauh lebih menonjol. Guru/Ustadz/Kiai sering kali mengulang-ulang suatu bacaan dengan diikuti atau ditirukan oleh jamaah serta membetulkan bacaan dari jamaah yang salah atau keliru.

c. Majelis taklim yang diselenggarakan dengan metode mudzakarah. Metode ini dilaksanakan dengan cara menukar pendapat atau diskusi mengenai suatu masalah yang disepakai untuk dibahas. Dalam metode ini mengandaikan bahwa Guru/Ustadz/Kiai tidak ada karena semua peserta biasanya terdiri dari orang-orang yang


(35)

memiliki pemahaman dan pengetahuan agamanya setaraf atau terdiri dari para ulama. Namun peserta awam biasanya diberi kesempatan untuk mengikutinya sebagai pendengar.

d. Majelis taklim yang diselenggarakan dengan metode campuran. Yakni suatu majelis taklim yang menyelenggarakan kegiatan pengajian tidak dengan satu macam metode saja, melainkan dengan berbagai metode dengan cara bergantian atau berseling-seling.

Sedangkan berdasarkan organisasi jamaah, makan majelis taklim mempunyai beberapa klasifikasi, di antaranya: pertama majelis taklim yang dibuka, dipimpin dan bertempat khusus yang dibuat oleh pengurus atau guru yang menjadi pengajar. Kedua majelis taklim yang didirikan, dikelola dan ditempati bersama. Mereka memiliki pengurus dapat berganti sesuai periode kepengurusan (di pemukiman dan di kantor). Ketiga majelis taklim yang mempunyai organisasi induk.23

Majelis taklim ditinjau dari lingkungan jamaahnya sepintas dapat dilihat beberapa perbedaan baik dari lingkungan sosial maupun fungsi sosial dari masing-masing majelis taklim tersebut. pembentukan suasana belajar dan pergaulan akan berbeda ketika ditinjau dari tempat penyelenggaraannya. Materi-materi yang diajarkan akan berbeda pula. Pengklasifikasian organisasi majelis taklim mungkin akan menunjukkan mutu materi dan kegiatan tambahan dari majelis taklim.

23


(36)

D. Unsur-unsur Majelis Taklim

Majelis taklim terdiri dari beberapa unsur yang dibagi menjadi dua bagian yaitu organik (guru, jamaah) dan anorganik (materi, media).24 Berikut penjelasan dari unsur-unsur tersebut:

1) Guru/Ustadz/Kiai

Peran guru dalam meningkatkan kemakmuran majelis taklim sangan besar. Dari para guru, diharapkan meningkatkan tanggung jawab jamaah terhadap kemakmuran majelis taklim. Oleh sebab itu, memiliki sumber daya guru yang berkualitas bagi majelis taklim merupakan sesuatu yang amat penting. Sangat disayangkan justru ketika ada majelis-majelis taklim mengalami krisis guru, artinya majelis taklim tidak memiliki guru dalam jumlah yang memadai atau cukup jumlah gurunya akan tetapi kurang memiliki kualitas yang memadai. Bahkan ada pula majelis taklim tidak memiliki guru dan cadangannya, sehingga ketika pengurus dan jamaah majelis taklim kebingungan saat guru yang diundang atau dijadwalkan belum datang. 2) Jamaah

Jamaah merupakan bagian yang tidak kalah penting dari unsur-unsur majelis taklim lain. Sebab, sukses tidaknya majelis taklim bisa terlihat dari jumlah jamaah yang ada. Keterlibatan jamaah dalam majelis taklim memang dirasakan masih amat rendah bila dibandingkan dengan jumlah penduduk muslim disekitar majelis taklim, hal demikian dapat dirasakan oleh banyak pengurus majelis

24


(37)

taklim. Walaupun juga biasanya banyak jamaah yang datang dengan jumlah yang tidak sedikit, itupun hanya pada peringatan tertentu

seperti Maulid Nabi, Isra‟ Mi‟raj dan peringatan lain yang lain.

Sementara untuk kegiatan rutin diikuti oleh jamaah dalam jumlah yang sedikit.

3) Materi

Secara garis besar, terdapat dua kelompok materi dalam majelis taklim. Diantaranya: Kelompok pengetahuan agama. Ajaran-ajaran dalam kelompok ini merujuk pada ilmu agama Islam yakni tauhid, fiqih, hadits, akhlak dan b. Arab. Kelompok pengetahuan umum.

Karena banyaknya pengetahuan umum, maka tema-tema yang disampaikan hendaknya hal-hal yang langsung ada kaitannya dengan kehidupan masyarakat. Kesemuanya itu dikaitkan dengan agama, artinya dalam menyampaikan uraian-uraian tersebut dibahas dalam

kajian Islam yang merujuk pada dalil Al Qur‟an dan Hadits.

4) Media

Banyak media-media yang digunakan oleh majelis taklim, diantaranya media elektronik (televisi, radio), media cetak (koran, majalah, buletin) dan media cyber (internet dan aplikasi).

4. Teori Strukturasi

a. Dasar Pemikiran Teori Strukturasi Anthony Giddens

Sebelum melihat lebih dalam tentang teori strukturasi yang digunakan dalam penelitian ini, penulis memaparkan terlebih dahulu hal-hal yang menjadi landasan pemikiran Anthony Giddens dalam teorinya. Sejarah


(38)

pemikiran ilmu sosial terbentuk oleh perdebatan dua kubu mazhab teoritis besar. Pada kubu pertama memprioritaskan pemikiran bahwa gejala keseluruhan di atas pengalaman pelaku perorangan seperti fungsionalisme, strukturalisme dan post-strukturalisme. Pemikir kubu pertama di antaranya Karl Marx, Emile Durkheim, Talcott Parsons dan Louis Althusser. Kubu kedua memprioritaskan tindakan pelaku perorangan di atas gejala keseluruhan, diantaranya fenomenologi, etnometodologi dan psikoanalisis. Mereka antara lain Erving Goffman, Alfred Schuts, Harold Garfinkel dan dalam hal tertentu juga termasuk Max Weber.25

Anthony Giddens memulai pemikiran teorinya dari dua kubu mazhab besar ilmu sosial tersebut. Giddens secara khusus memfokuskan perhatian pada masalah dualisme yang menjadi gejala dalam teori ilmu-ilmu sosial. Dualisme itu berupa tegangan antara subjektivisme dan objektivisme, voluntarisme dan determinisme. Subjektivisme dan voluntarisme merupakan kecenderungan cara pandang yang memprioritaskan tindakan atau pengalaman individu di atas gejala keseluruhan. Sedangkan objektivisme dan determinisme merupakan kecenderungan cara pandang yang memprioritaskan gejala keseluruhan di atas tindakan atau pengalaman individu.26

Menurut Giddens, akar dualisme terletak pada kerancuan melihat

objek kajian ilmu sosial. Objek utama ilmu sosial bukan “peran sosial” seperti dalam fungsionalisme Parson, bukan pula “kode tersembunyi”

seperti dalam strkturalisme Levi-Strauss, bukan. Bukan keseluruhan,

25

Ida Bagus Wirawan, Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma: fakta sosial, definisi sosial dan perilaku sosial, ( Jakarta: Kencana, 2013), h. 291.

26


(39)

bukan bagian struktur dan bukan bagian pelaku perorangan, melainkan titik temu antara struktur dan pelaku. Itulah praktek sosial yang berulang dan terpola dalam lintas ruang dan waktu.27 Praktek sosial itu bisa berupa korupsi, praktek lalu lintas di jalan atau kebiasaan sekolah mengadakan ujian nasional.

Gagasan tersebut perlu dipahami lebih dalam ketika Giddens mulai membangun teorinya, yaitu ketika ilmu-ilmu sosial dikuasai oleh mazhab pemikiran fungsionalisme dan strukturalisme. Dalam refleksi Giddens, mahzab tersebut hanya memprioritaskan pada struktur dengan menisbikan pelaku. Ia melihat bahwa kaitan yang memadai antara keseluruhan dan bagian hanya bisa dimulai dari kekurangan yang ada yakni kurangnya teori tindakan. Untuk memahami refleksi kritis itu, baiknya bisa melihat dua contoh kritik Giddens terhadap fungisonalisme dan strukturalisme.

Pertama, kritik terhadap fungsionalisme Talcott Parsons yang merupakan mazhab pemikiran yang cukup laris di Indonesia. Dalam tindakan apapun, kita sebagai anggota masyarakat merupakan pelaksana peran-peran sosial tertentu. Peran sosial inilah yang menjadi fokus utama kajian ilmu sosial dalam mahzab ini, entah peran itu disebut buruh, manajer, guru ataupun murid. Peran tidak diciptakan oleh individu, karena apa yang menjadi isi peran sosial adalah apa yang dituntut atau diharapkan oleh peran tersebut.

Ada tiga hal yang membuat Giddens keberatan dengan pemikiran ini. Pertama, fungsionalisme meniadakan fakta bahwa kita sebagai anggota

27

Anthony Giddens, Teori Strukturasi: dasar-dasar pembentukan struktur sosial masyarakat. Penerjemah Maufur dan Daryanto, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010), h. 3.


(40)

masyarakat bukan orang-orang dungu. Kita mengetahui apa yang terjadi di sekitar kita dan buka pula robot yang bertindak berdasarkan naskah peran yang sudah ditentukan. Kedua, yang juga merupakan kunci dari kritik ini bahwa fungsionalisme merupakan cara berfikir yang mengklaim sistem sosial punya kebutuhan yang harus dipenuhi. Tetapi menurut Giddens, sistem sosial tidak punya kebutuhan apapun melainkan kita sebagai pelaku yang punya kebutuhan. Sebagai contoh bahwa tidak mungkin ada kediktatoran tanpa ada tindakan otoriter dari seseorang. Ketiga, fungsionalisme membuang dimensi ruang dan waktu dalam menjelaskan gejala sosial.

Kedua, kritik terhadap strukturalisme yang merupakan gagasan dalam filsafat bahasa Ferdianand de Saussure.28 Dalam ilmu-ilmu sosial, strukturalisme merupakan penerapan analisis bahasa ke dalam gejala sosial. Pokok strukturalisme yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosial adalah perbedaaan antara bahasa (lengue) dan ujaran/percakapan (parole). Sebagai contoh kata „presiden‟ merupakan kata umum dalam tataran

lengue. Pada tataran itu kata tersebut bisa merujuk pada Barack Obama di

Amerika ataupun Joko Widodo di Indonesia. Adapun „presiden yang

memerintah Indonesia selama 32 tahun‟ merupakan ujaran spesifik pada

taraf parole. Yang tidak mungkin menunjuk selain kepada Soeharto dari tahun 1966 sampai 1998.

Ketika diterapkan dalam ilmu sosial seperti yang dilakukan oleh Claude Levi-Strauss, hanya menjelaskan secara analogis. Analisis sosial

28


(41)

yang menjadi pokok utamanya adalah menemukan „kode tersembunyi‟ yang ada di balik gejala kasat mata, sebagaimana langue menjadi kunci otonom untuk memahami arti parole. Kode tersembunyi itulah yang

disebut struktur. Dari contoh di atas, istilah „presiden‟ dipakai bukan

karena orang yang menjadi kepala negara dalam pemerintahan presidensial, melainkan karena kaitan dan perbedaanya dengan kata-kata

„gubernur‟, „camat‟, „raja‟ dan lain sebagainya. Begitu juga halnya dengan

kata „kursi‟ yang tidak ada kaitannya dengan benda yang kita duduki. Itu

disebut kursi karena ada hubungannya dengan kata lain seperti „meja‟,

„lemari‟, „pintu‟ dan sebagainya. Dengan kata lain, pada tataran logue,

semua bisa dipahami secara lepas atau otonom, dan tidak terikat dengan objek yang ditunjuk.

Giddens mengakui bahwa dia mengartikan struktur dalam pengertian yang lebih dekat dengan yang dipakai mazhab strukturalisme ketimbang dengan apa yang dipakai dalam fungsionalisme. Akan tetapi, Giddens tetap tidak menerima bahwa subjek tersingkirkan di dalam strukturalisme tersebut.29

b. Pelaku dan Perilaku Tindakan (agen dan agency)

Dalam teori strukturasi, yang dimaksud pelaku atau agen adalah orang-orang yang secara konkret dalam arus kontinu tindakan dan peristiwa.30 Orang-orang yang melakukan tindakan dengan terus menerus dan terpola melintasi ruang dan waktu. Setiap individu dalam pengalaman kesehariannya bertindak dengan rangkaian hasil dari apa yang dilihatnya.

29

B. Herry Priyono, Anthony Giddens: suatu pengantar, h. 17. 30


(42)

Mereka melihat kondisi-kondisi di mana dan kapan tindakan itu dilakukan. Maka tidak mungkin ada suatu tindakan tanpa adanya pelaku.

Giddens membedakan tiga dimensi internal pelaku yang didasari dari gagasan Freud, yaitu motivasi tak sadar, kesadaran diskursif dan kesadaran praktis.31 Motivasi tidak sadar menunjuk pada keinginan pelaku yang berpotensi mengarahkan tindakan, tetapi bukanlah tindakan itu sendiri. Berbeda dengan motivasi tak sadar, kesadaran diskursif mengacu pada kapasitas pelaku merefleksikan dan memberikan penjelasan secara rinci atas tindakan yang dilakukan. Sedangkan kesadaran praktis adalah kawasan diri pelaku yang berisi pengetahuan praktis yang tidak bisa selalu diuraikan secara eksplisit.

Kesadaran praktis merupakan kunci memahami proses bagaimana berbagai tindakan dan praktik sosial yang dilakukan para pelaku yang lambat laun akan menjadi struktur dan bagaimana struktur tersebut mengekang serta memampukan tindakan atau praktek sosial. Reproduksi sosial berlangsung lewat keterulangan praktek sosial yang jarang dipertanyakan kembali. Namun tidak berarti bahwa yang terjadi hanyalah reproduksi tanpa adanya perubahan. Dalam refeksi Giddens, perubahan selalu terlibat dalam proses strukturasi, betapapun kecilnya perubahan itu.32

Batas antara kesadaran praktis dan kesadaran diskursif sangat cair dan fleksibel serta tidak ada dinding pemisah, tidak seperti kesadaran diskursif dengan motivasi tak sadar. Dengan mengadopsi gagasan Ervin Goffman,

31

Anthony Giddens, Teori Strukturasi: dasar-dasar pembentukan struktur sosial masyarakat. Penerjemah Maufur dan Daryanto, h. 10-12.

32


(43)

Giddens mengajukan argumen bahwa setiap pelaku mempunyai kemampuan untuk introspeksi atau mawas diri.33 Gagasan tersebut terlihat sebagaimana gambar berikut:

(Gambar 2.1)

Kemampuan Introspeksi Pelaku

Pada level monitoring tindakan reflektif, aktifitas merupakan ciri dari terus menerusnya tindakan sehari-hari dan melibatkan perilaku yang tidak hanya individu namun juga perilaku orang-orang lain. Pada intinya, para pelaku tidak hanya senantiasa memonitoring arus aktivitasnya sendiri, tetapi mengharapkan orang lain melakukan seperti yang dilakukan.

Pada level rasionalitas tindakan, monitoring tindakan reflektif dihadapkan kepada latar belakang rasionalitas tindakan, yakni kemampuan pelaku menjelaskan mengapa mereka bertindak berdasarkan alasan yang mereka lakukan. Pada level inilah tindakan dapat ditemukan motif dan alasan tindakan aktor.

Sementara itu, pada level atau komponen motivasi tindakan yakni bagian atau aspek kesadaran dan ketidaksadaran pengetahuan serta emosi

33

Anthony Giddens, Teori Strukturasi: dasar-dasar pembentukan struktur sosial masyarakat. Penerjemah Maufur dan Daryanto, h. 6-7.


(44)

aktor. Giddens mengatakan bahwa konsepsi ketidak sadaran adalah sesuatu yang sangat penting dalam teori sosial.34

c. Struktur (structure)

Teori strukturasi memang berpijak pada pandangan tentang struktur. Namun konsep tentang struktur Giddens berbeda dengan pandangan strukturalisme ataupun post-strukturalisme, meskipun hingga pada batas tertentu konsep Giddens mengenai struktur tidak mudah dipahami dan mengundang kritik.35 Dalam teori ini struktur dapat diartikan sebagai sebuah aturan (rules) dan sumber daya (resourse) yang terbentuk dari dan membentuk perulangan praktek sosial. Aturan yang dimaksud bisa bersifat konstitutif dan regulatif, guna memberikan kerangka pemaknaan dan norma. Adapun sember daya menunjuk pada sumber alokatif (ekonomi) dan sumber otoritatif (politik).

Berbeda dengan pandangan strukturalisme yang memandang struktur berada di luar (eksternal) yang menentang dan mengekang pelaku, teori strukturasi Giddens memandang struktur tidak bersifat eksternal melainkan melekat pada tindakan dan praktek sosial yang kita lakukan. Struktur bukanlah benda melainkan skema yang hanya dapat terlihat dalam pengorganisasian berbagai praktek-praktek sosial.36

Dari berbagai prinsip struktural, Giddens melihat ada tiga gugus besar dalam struktur. Pertama, struktur penanda atua signifikasi (signification) yang menyangkut skema simbolik, pemaknaan, penyebutan dan wacana.

34

Zainuddin Maliki, Rekonstruksi Teori Sosial Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), h. 305-308.

35

Ida Bagus Wirawan, Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma: fakta sosial, definisi sosial dan perilaku sosial, h. 316.

36


(45)

Kedua, struktur penguasaan atau dominasi (domination) yang mencakup skema penguasaan atas orang (politik) dan barang/hal (ekonomi). Ketiga, struktur pembenaran atau legitimasi (legitimation) yang menyangkut skema peraturan normative, yang terungkap dalam tata hukum.37

Dari ketiga gugus tersebut, Giddens memberikan analisisnya terkait dengan kekuasaan. Dualitas struktur yang terbingkai dalam gugus di atas dapat berfungsi sebagai alat analisis kehidupan sosial yang penting terutama mengenai hubungan antara tindakan manusia dengan struktur. Ketiga gugus tersebut dalam prosesnya saling berkaitan satu dengan lainnya. Struktur signifikasi pada gilirannya mencakup struktur dominasi dan legitimasi. Begitu pula dengan struktur dominasi, dengan adanya struktur signifikasi memiliki kekuasaan dengan membuat struktur legitimasi.

d. Dualitas Struktur

Hubungan pelaku dan struktur merupakan poros dari pemikiran Giddens dalam teori strukturasi. Mengatakan bahwa pelaku berbeda dengan struktur sama dengan mengatakan sesuatu yang sudah jelas. Begitu pula jika mengatakan bahwa struktur terkait dengan pelaku dan sebaliknya. Masalah yang mendasar ialah perbedaan antara pelaku dan struktur berupa dualisme (pertentangan) ataukah dualitas (timbal balik)? Disini Giddens melihat bahwa ilmu-ilmu sosial dijajah oleh gagasan dualisme pelaku vesus struktur. Ia memproklamirkan hubungan keduanya

37


(46)

dengan relasi dualitas, yakni tindakan dan struktur saling mengandaikan seperti dua mata koin.

Dualitas struktur dan pelaku terletak dalam proses dimana struktur sosial merupakan sarana (medium) dan sekaligus hasil (outcome) dari praktek sosial.38 Terdapat proses dinamis yang terjadi secara berkelanjutan dan terpola dari dan dalam suatu struktur. Reproduksi hubungan dan praktek sosial juga sekaligus suatu proses produksi, sebab tidak dilakukan oleh subjek yang pasif. Oleh karena itu, suatu struktur sosial dapat dipandang sebagai sistem aturan dan sumber daya yang diperoleh dari tindakan manusia, dimana proses dan hasil produksi tersebut hanya mungkin terjadi bila ada struktur yang menjadi saranannya.

Bagi Giddens struktur merujuk pada aturan-aturan dan sarana-sarana atau sumber daya yang memiliki perlengkapan-perlengkapan struktural yang memungkinkan pengikatan ruang dan waktu yang mereproduksi praktik-praktik sosial dalam sistem-sistem sosial kehidupan masyarakat. Giddens memformulasikan konsep struktur, sistem, dan strukturasi sebagai berikut:39

Strktur Sistem Strukturasi

Aturan dan sumber daya, atau seperangkat relasi transformasi terorganisasi sebagai

kelengkapan-kelengkapan dari

Relasi-relasi yang direproduksi di antara para aktor atau

kolektivitas, terorganisasi sebagai praktek-praktek sosial regular. Kondisi-kondisi yang mengatur keterulangan atau transformasi struktur-struktur, dan karenanya reproduksi sistem-sistem sosial 38

Zainuddin Maliki, Rekonstruksi Teori Sosial Modern, h. 300. 39

Anthony Giddens, Teori Strukturasi: dasar-dasar pembentukan struktur sosial masyarakat. Penerjemah Maufur dan Daryanto, h. 40.


(47)

sistem-sistem sosial. itu sendiri.

(Tabel 2.2)

Konsep Struktur, Sistem dan Strukturasi

Dalam hal ini, struktur, sistem dan strukturasi dapat dikatakan memiliki wujudnya masing-masing. Struktur digambarkan sebagai sebuah aturan dan sumber daya atau rangkaian jaringan perubahan dalam bentuk properti praktek sosial. Struktur mengikat ruang dan waktu, dan ditandai dengan tanpa kehadiran subjek. Sementara sistem sosial memuat tentang situasi aktivitas manusia sebagai pelaku melakukan proses produksi dan reproduksi sepanjang ruang dan waktu. Sedangkan strukturasi merupakan mode dimana sistem sosial didasarkan pada aktivitas aktor yang diketahui yang juga menggambarkan aturan dan sumber daya dalam berbagai konteks tindakan.40

e. Ruang dan Waktu

Berkaitan dengan ruang dan waktu, dalam teori strukturasi Giddens memberikan kritiknya terhadap beberapa teori-teori sosial yang cenderung memperlakukan waktu dan ruang sebagai lingkungan (environment) tempat suatu tindakan sosial dilakukan atau sebagai faktor yang tidak tetap. Padahal menurut Giddens, ruang dan waktu turut serta membentuk tindakan atau kegiatan sosial. Tanpa ruang dan waktu tidak akan ada suatu yang dimaknakan sebagai tindakan. Misalnya ketika mahasiswa mendengarkan dosen di kelas (ruang) pada jam 8 sampai jam 10 (waktu), tindakan tersebut dimaknakan sebagai berkuliah.

40


(48)

Dalam berbicara tentang ruang, Gidens mengartikan ruang sebagai lokal (locale) daripada tempat. Dalam konteks ini Giddens menawarkan konsep regionalitas (regionalization) dimana konsep tersebut menujuk pada pola lokalisasi atau penzonaan tindakan sosial sehari-hari manusia dalam ruang dan waktu. Saat di kampus misalnya, terdapat ruang kelas, ruang dosen dan kamar mandi. Berbagai ruang tersebut tidaklah sama waktu penggunaan, siapa yang menggunakan, aktivitas apa yang dilakukan, maupun cara menggunakannya. Contoh tersebut sebagai ilustrasi sederhana yang memberikan gambaran adanya regionalisasi atau penzonaan tindakan sosial sehari-hari dalam konteks ruang dan waktu.

Guna mengkaji lebih dalam tentang ruang dan waktu dalam strukturasi, Giddens memberikan konsep perentangan waktu-ruang ( time-space distanciation). Yang sebenarnya berisi pencabutan waktu dari ruang. Perentangan waktu-ruang merupakan merentangkan sistem-sistem sosial melintasi ruang-waktu, atas dasar mekanisme sistem sosial dan integrasi sistem. Dalam konteks ini, integrasi sosial adalah timbal balik antara pelaku individual atau kelompok dalam rentang waktu yang lebih luas di luar kehadirannya satu sama lain (co presence).41 Dari konsep ini, Giddens membedakan masyarakat moderen dengan masyarakat tradisional melihat pada bentuk pengkoordinasian ruang dan waktu dalam praktek-praktek sosial yang dilakukan. Pada masyarakat tradisional, koordinasi sosial beserta praktek-prakteknya dilakukan melalui pertemuan atau kehadiran pelaku (co presence). Transaksi jual beli harus dengan

41

Ida Bagus Wirawan, Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma: fakta sosial, definisi sosial dan perilaku sosial, h.303.


(49)

pertemuan antara pembeli dan penjual. Memakan waktu yang cukup lama jika melihat jarak antara pembeli dan penjual berada di daerah yang berbeda. Sedangkan dalam konteks masyarakat moderen, transaksi tesebut bisa dilakukan dalam sekejap lewat telepon. Pada konteks ini, transaksi jual beli moderen tersebut merupakan tindakan pencabutan (disembedding) waktu dari ruang.


(50)

37 1. Paradigma Penelitian

Menurut Patton, para peneliti konstruktivis mempelajari beragam realita yang terkonstruksi oleh individu dan implikasi dari konstruksi tersebut bagi kehidupan mereka dengan yang lain dalam konstruktivis, setiap individu memiliki pengalaman unik. Dengan demikian, penelitian dengan strategi seperti ini menyarankan bahwa setiap cara yang diambil individu dalam memandang dunia adalah valid, dan perlu adanya rasa menghargai atas pandangan tersebut.1

Creswell menyatakan hal yang serupa dengan Patton dalam hal menafsirkan kerangka konstruktivisme. Individu-individu berusaha memahami dunia tempat mereka hidup dan bekerja. Mereka mengembangkan makna-makna subjektif yang mengarah pada objek tertentu dalam menafsirkan pengalaman mereka. Para peneliti konstruktivis sering kali berfokus pada proses interaksi di antara individu. Mereka juga memfokuskan penelitiannya pada konteks spesifik di mana masyarakat hidup dan bekerja dalam rangka untuk memahami latar belakang sejarah kebudayaan para partisipan.2

Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis. Paradigma konstruktivis bersifat subjektif. Data adalah sesuatu yang menjadi perasaan dan keinginan pihak yang diteliti untuk menyatakannya dengan penafsiran

1

Michael Quinn Patton, Qualitative Research and Evaluation Methods, 3rd ed. (California: Sage Publications, Inc, 2002), h. 96-97.

2

John W. Creswell, Penelitian Kualitatif & Desain Riset: Memilih Di Antara Lima Pendekatan, penerjemah Ahmad Lintang, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2014), h. 32-33.


(51)

atau konstruksi makna.3 Kajian paradigma konstruktivisme ini menempatkan posisi peneliti setara dan sebisa mungkin masuk dengan subjeknya, dan berusaha memahami dan mengkonstruksikan sesuatu yang menjadi pemahaman subjek yang akan diteliti.

2. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara atau strategi menyeluruh untuk menemukan atau memperoleh data yang diperlukan.4 Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif adalah mencari keadaan, variabel, dan fenomena-fenomena yang terjadi. Metode deskriptif menitikberatkan pada observasi dan suasana alamiah (naturalistic setting). Metode deskriptif ini tidak menguji sebuah hipotesis atau membuat prediksi.5

Metode deskriptif merupakan penggambaran, pemahaman, penamaan, interpretasi, penafsiran, pengembangan dan eksplorasi terhadap suatu masalah penelitian. Metode ini mengharuskan peneliti untuk terjun ke lapangan serta tidak berusaha memanipulasi variabel. Penggambaran yang dilakukan berkenaan dengan transformasi yang ada pada sistem Majelis Rasulullah SAW dalam praktek-praktek dakwahnya. Teori strukturasi juga memerlukan penafsiran dan penggambaran secara deskriptif dalam melihat hubungan para pelaku dan struktur yang terpapar dalam praktek-praktek dakwah di Majelis Rasulullah SAW.

3

Creswell, Penelitian Kualitatif & Desain Riset: Memilih Di Antara Lima Pendekatan, h. 32.

4

Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h. 9.

5

Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi dilengkapi Contoh Analisis Statistik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), h. 24-25.


(52)

3. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data yang mendalam.6

Dengan mengamati kasus dari berbagai sumber data yang digunakan untuk meneliti, menguraikan dan menjelaskan secara komprehensif, berbagai aspek individu, kelompok suatu program, organisasi atau peristiwa secara sistematis. Penelaah berbagai sumber data ini membutuhkan berbagai macam instrumen pengumuman data. Karena itu, periset menggunakan wawancara, observasi partisipan, dokumentasi-dokumentasi, rekaman bukti-bukti fisik.7 4. Subjek dan Objek Penelitian

Dalam riset ilmu sosial, hal yang penting adalah menentukan sesuatu yang berkaitan dengan apa dan siapa yang ditelaah.8 Yang menjadi subjek penelitian dalam penelitian ini adalah pelaku yang ada dalam sistem Majelis Rasulullah SAW diantaranya Habib Munzir, Dewan Syuro, Tim Inti, Staf, Crew, Aktivis dan Jamaah. Adapun yang menjadi objek penelitiannya adalah praktek sosial yang ada di Majelis Rasulullah SAW.

5. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Sekretariat Majelis Rasulullah SAW dan pada Majelis Rasulullah SAW rutin malam Senin di Masjid Al Munawar Pancoran, Jakarta Selatan. Adapun waktu penelitian ini sejak April 2016 – Agustus 2016.

6

Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 56.

7

Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi Dilengkapi Contoh Analisis Statistik, h. 25. 8


(53)

6. Sumber dan Jenis Data

Untuk memperoleh data-data yang lengkap dan akurat, peneliti menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari narasumber melalui observasi dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti di lapangan. Dalam menetapkan informan untuk pengambilan sampel dengan bantuan key-informan, dari key-informan inilah akan berkembang sesuai petunjuknya.9 Dalam hal ini peneliti hanya mengungkapkan kriteria sebagai persyaratan untuk dijadikan sampel. Data sekunder adalah data yang peneliti peroleh dari sumber-sumber tertulis seperti yang terdapat dalam buku, jurnal, dokumentasi atau arsip-arsip dan literatur lainnya yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.10 Data sekunder tidak hanya berupa tulisan tetapi juga berupa data yang diperoleh dari informan yang mengetahui informasi tentang apa yang sedang diteliti serta mendukung penelitian tersebut.

7. Teknis Pengumpulan Data 1. Observasi Partisipatif

Secara luas, observasi atau pengamatan berarti kegiatan untuk melakukan pengukuran.11 Proses pengumpulan data primer dengan cara pengamatan langsung dan melakukan pencatatan terhadap objek-objek terkait. Yang termasuk dalam teknik observasi adalah interaksi (perilaku) yang terjadi di antara subjek yang diriset.12 Menurut

9

P. Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 31.

10

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 137.

11

Soehartono, Metode Penelitian Sosial, h. 69. 12


(54)

Stainback, dalam obeservasi partisipatif peneliti mengamati hal-hal yang dikerjakan orang, mendengarkan apa yang mereka ucapkan dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan mereka.13

Penelitian ini mengkhususkan observasi partisipatif ke dalam bentuk partisipasi lengkap (complete participation). Dalam melakukan pengumpulan data, peneliti sudah terlibat sepenuhnya terhadap segala kegiatan yang dilakukan sumber data.14 Peneliti pada penelitian ini masih menjadi jamaah aktif yang rutin hadir di Majelis Rasulullah SAW selama kurang lebih 6 tahun hingga sekarang dan mengalami masa kepemimpinan Habib Munzir sebagai pendiri serta masa setelah wafatnya Habib Munzir yakni Dewan Syuro.

Alasan peneliti menggunakan pengamatan ini ialah pertama untuk memperoleh pandangan secara menyeluruh tentang gejala yang diteliti, kedua menemukan hal-hal yang tidak terkungkap dalam wawancara, ketiga menemukan hal yang di luar dari persepsi narasumber wawancara, sehingga peneliti memperoleh gambaran yang lebih komprehensif dan keempat untuk memperkaya data penelitian dengan menjelaskan perasaan suasana situasi dan kondisi sosial yang diteliti.

Objek pengamatan dalam penelitian ini seperti yang dikemukakan Spradley ialah sebagai situasi sosial.15 Objek tersebut terdiri dari tiga komponen yaitu place, tempat berlangsungnya aktivitas dalam situasi sosial yakni dalam penelitian ini Majelis Rasulullah SAW di Masjid Al Munawar. Actor, orang atau pelaku yang melakukan aktivitas tertentu

13

Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi: Mixed Methods, h. 310. 14

Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi: Mixed Methods, h. 312. 15


(55)

yakni Dewan Syuro, Dewan Guru, Staff, Crew atau panitia dan Jamaah Majelis Rasulullah SAW. Activity kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku dalam situasi sosial yang sedang berlangsung yakni tindakan-tindakan yang dilakukan para pelaku dalam Majelis Rasulullah SAW. 2. Wawancara Mendalam

Wawancara merupakan metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya.16 Wawancara menurut Esterberg (2002) merupakan pertemuan dua orang atau lebih untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab sehingga dapat digambarkan makna dalam topik tertentu.17 Wawancara juga sebagai teknik pelengkap dalam proses mengumpulkan data penelitian setelah observasi untuk mengetahui lebih mendalam tentang partisipan atau situasi dan fenomena yang hendak diteliti. Bahkan lebih dari itu, Esterberg (2002) juga mengatakan bahwa wawancara merupakan hatinya penelitan sosial. Bila kita melihat penelitian ilmu sosial, maka akan dapat ditemui wawancara menjadi dasar dalam penelitian tersebut.18

Dalam penelitian ini, jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara semiterstruktur (semistructure interview) yakni tidak menggunakan pertanyaan tertulis dan tidak menggunakan jawaban sebagai alternatif yang digunakan ketika bertanya kepada narasumber seperti pada wawancara terstruktur.19 Peneliti dalam wawancara ini

16

Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, h. 100. 17

Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi: Mixed Methods, h. 316. 18

Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi: Mixed Methods, h. 317. 19


(56)

telah membuat atau merumuskan kerangka dan garis besar pokok-pokok yang akan ditanyakan, meskipun tidak ditanyakan secara berurutan. Pokok-pokok wawancara hanyalah berisi petunjuk secara garis besar tentang proses dan isi wawancara untuk menjaga agar pokok-pokok yang direncanakan dapat seluruhnya tercakup.20

Pada penelitian ini, narasumber yang akan diwawancarai adalah orang-orang yang mengalami periode kepemimpinan Habib Munzir dan Dewan Syuro. Pertama ialah Muhammad Syukron Makmun selaku tim inti pada masa Habib Munzir dan sebagai salah satu bagian Dewan Pengurus Pusat pada masa Dewan Syuro. Habib Muhammad Al Kaff dan Nurul Hidayat selaku bagian lain dari Dewan Pengurus Pusat. Dalam prosesnya, alat-alat yang digunakan dalam wawancara ialah buku catatan untuk mencatat poin yang disampaikan oleh narasumber dan tape recorder untuk merekam percakapan agar tidak terlewatkan yang sebelumnya sudah diberikan izin oleh sumber data untuk menggunakannya.

3. Dokumentasi

Dokumen merupakan catatan suatu kejadian atau peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berupa tulisan, gambar, video, atau karya-karya monumental dari seseorang.21 Penggunaan data dokumentasi dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi yang berhubungan dengan data-data tentang berbagai hal yang berhubungan dengan objek yang diteliti yakni Majelis Rasulullah

20

Soehartono, Metode Penelitian Sosial, h. 67. 21


(57)

SAW. Dokumentasi tersebut bersumber dari buku-buku, artikel, situs milik Majelis Rasulullah SAW, Wikipedia, youtube, dan media-media online serta VCD dan DVD ceramah ataupun perjalanan dakwah Majelis Rasulullah SAW.

8. Teknik Analisis Data

Menurut Patton seperti yang dikutip oleh Moleong, bahwa analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, mengkategorikan pola dan memberikan uraian dasar dari katergori-kategori tersebut.22 Pengertian tersebut memberikan gambaran tentang betapa pentingnya kadudukan analisis data dilihat dari segi tujuan penelitian serta untuk menemukan teori dari data tersebut sebagai prinsip pokok dari penelitian kualitatif.

Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah menggunakan prosedur analisis yang dikemukakan oleh Strauss dan Corbin dengan tiga jenis pengkodean utama, yaitu:23

A. Pengodean Terbuka (Open Coding)

Pengodean terbuka merupakan bagian analisis berhubungan dengan penamaan dan pengkategorian suatu fenomena melalui pegujian data sacara detail dan teliti. Selama proses pengodean terbuka, data dipecah ke dalam bagian-bagian yang terpisah. Kemudian diuji secara cermat, dibandingkan persamaan ataupun perbedaanya dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tercermin dalam data.

22

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), h. 103.

23

Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif: Tatalangkah dan Teknik-teknik Teoritisasi Data, penerjemah Shodiq dan Imam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 55-156.


(58)

Proses dalam pengodean terbuka dilakukan dengan beberapa cara.

Pertama, memberikan pelabelan pada fenomena. Yakni menguraikan dan mengonseptualisasikan dalam hasil data observasi, transkip wawancara, ataupun dokumentasi baik itu berupa kalimat, paragraf, insiden, ide, atau peristiwa, menjadi sebuah konsep yang mewakili suatu fenomena. Kedua, menemukan kategori-kategori setelah mengidentifikasi fenomena dalam data. Mengelompokkan konsep yang sangat banyak menjadi satu kesatuan yang memiliki keterhubungan makna yang bisa disebut pengkategorian.

Ketiga, pemberian nama sebuah kategori yang berikan oleh peneliti. Nama yang dipilih ialah nama yang logis berhubungan dengan data yang mewakilinya. Pengkategorian tersebut juga tidak terlepas dari teori yang digunakan peneliti dalam penelitian.

B. Pengodean Berporos (Axial Coding)

Pengodean berporos merupakan seperangkat prosedur penempatan data kembali dengan cara-cara baru setelah pengodean terbuka, membuat dimensi hubungan antara kategori dan subkategori berdasarkan kondisi kausal yang memunculkannya. Teori substantif muncul melalui pengujian adanya persamaan dan perbedaan dalam tata hubungan tersebut. Pengodean berporos pada umumnya menyederhanakan kategori-kategori yang kompleks menjadi dimensi-dimensi untuk mempermudah mengaitkan dengan teori substantif yang digunakan.

C. Pengodean Berpilih (Selective Coding)

Pengodean berpilih juga merupakan proses pemilihan kategori inti, pengaitan kategori inti terhadap kategori lainnya secara sistematis,


(59)

pengabsahan hubunganannya, mengganti kategori yang perlu diperbaiki dan dikembangkan lebih lanjut. Langkah yang digunakan dalam pengodean selektif diantaranya ialah membuat cerita (story) deskriptif tentang fenomena penelitian yang utama, dikembangkan menjadi alur cerita (story line) berupa konseptualisasi cerita dan dimunculkan kategori inti (core category) yakni berupa fenomena utama yang menggabungkan kategori-kategori lainnya. Menghubungkan kategori-kategori tambahan di sekitar kaegori inti dengan paradigma lalu menghubungkan kategori-kategori pada level dimensionalnya.


(1)

Foto Guru Mulia Habib Umar bin Hafidh Sumber: Dokumentasi Majelis Rasulullah SAW

Habib Munzir Al Musawa Sumber: www.majelisrasulullah.org


(2)

Dari Kiri Habib Mukhsin bin Idrus Al Hamid dan Habib Nabil Al Musawa (Dewan Syuro Majelis Rasulullah SAW)

Sumber: www.majelisrasulullah.org

Dari Kiri Habib Ja’far Al Athas, Habib Alwi Al Habsyi, dan Habib Baqir bin Yahya

(Dewan Guru Majelis Rasulullah SAW) Sumber: www.majelisrasulullah.org


(3)

(4)

SANAD KEILMUAN GURU DI MR

Sumber: Dokumentasi Majelis Rasulullah SAW

SANAD KEPADA IMAM BUKHARI

Dari guru Mulia Al Allamah Al Musnid Alhabib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidh,

Alhafidh,

Dari guru beliau Al Allamah Al Musnid Alhabib Ibrahim bin Umar bin Aqil bin Yahya

Alhafidh,

Dari guru beliau Al Allamah Al Musnid Alhabib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi (kwitang)

Alhafidh,,

Dari guru beliau Al Muhaddits Al Musnid Alhabib Idrus bin Umar Alhabsyi Alhafidh,

Dari guru beliau Al Allamah Al Musnid Alhabib Abdullah bin Husein bin Thahir Alhafidh,

Dari guru beliau Al Allamah Al Musnid Alhabib Umar bin Segaf Assegaf Alhafidh,

Dari ayah beliau sekaligus guru beliau Al Allamah Al Musnid Alhabib Segaf bin Muhammad

bin Umar Assegaf Alhafidh,

Dari guru beliau Al Allamah Al Musnid Alhabib Abdurrahman bin Abdullah Balfaqih

Alhafidh,,

Dari guru beliau Al Allamah Al Muhaddits Al Musnid Alhabib Abdullah bin Alwi Alhaddad

shohiburratib Alhafidh,

Dari guru beliau Al Allamah Al Musnid Alhabib Abdurrahman bin Abdullah bin Ahmad

Baharun Alhafidh,

Dari guru beliau Al Allamah Al Musnid Alhabib Abubakar bin Abdurrahhman Ibn

Shihabuddin Alhafidh,,

Dari ayah beliau sekaligus guru beliau Al Allamah Al Musnid Alhabib Abdurrahman bin

Shihabuddin Ahmad bin Abdurrahman bin Syeikh Ali Alhafidh, Dari guru beliau Al Muhaddits yang termasyhur Al Imam Muhammad bin Ali

Khird Alhafidh,

Dari guru beliau Al Muhaddits yang termasyhur Al Imam Muhammad bin Abdurrahman Al

Asqa‟ Balfaqih Alhafidh,

Dari guru beliau Al Musnid Al Muhaddits yang termasyhur Al Imam Abdullah Alaydrus Al


(5)

Akbar bin Abubakar, Alhafidh,

Dari guru beliau Al Musnid Al Imam Umar Al Muhdhor bin Imam Abdurrahman Assegaf

Alhafidh,

Dari ayah beliau sekaligus guru beliau Al Musnid Al Imam Abdurrahman Assegaf bin

Muhamad, Alhafidh,,

Dari guru beliau Al Musnid Al Imam Muhammad bin Alwi shohibul „Amaa‟im,

Alhafidh,

Dari guru beliau Al Musnid Al Imam Abdullah bin Alwi, Alhafidh, Dari ayahanda beliau sekaligus guru beliau Al Musnid Al Imam Alwi bin Faqihil

Muqaddam

Muhammad bin Ali, Alhafidh,

Dari ayahanda beliau sekaligus guru beliau Al Musnid Al Imam Faqihil Muqaddam

Muhammad bin Ali Ba‟alawiy, Alhafidh,

Dari guru beliau Al Musnid Al Imam Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Jadiid, Alhafidh,

Dari guru beliau Al Musnid Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Ibn Abi Shaif Alyamaniy,

Alhafidh,

Dari guru beliau Assyeikh Al Musnid Abil Hasan Ali bin Humaid bin Ammar Al Athrabalsiy,

Alhafidh,

Dari guru beliau Assyeikh Al Musnid Abu Maktum Isa bin Abi Dzarr Al harawiy, Alhafidh,

Dari ayah beliau sekaligus guru beliau Assyeikh Abu Dzarr bin Abd bin Ahmad Al harawiy,

Alhafidh,

Dari guru beliau Abu Ishaq Ibrahim bin Amad Al Balakhiy Almustamaliy, Alhafidh,

Dari guru beliau Al Imam Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf bin Matharr AL Firabriy,

Alhafidh,

Dari guru beliau Hujjatul Islam wa Barakatul Anaam Al Imam Abu Abdillah Muhammad bin


(6)

SANAD KEPADA IMAM MUSLIM

Dari guru mulia Al Allamah Almusnid Alhabib Umar bin Hafidh, Dari Almusnid Alhabib Ibrahim bin Aqil bin Yahya,

Dari Almusnid Assayyid Salim Assirri,

Dari Almusnid Alhabib Muhammad bin Ibrahim Balfaqih, Dari Almusnid Alhabib Ahmad bin Ali Aljunaid, Dari Almusnid Alhabib Abdullah bin Husein Balfaqih, Dari ayahnya, Almusnid Alhabib Husein bin Abdullah Balfaqih,

Dari ayahnya, Almusnid Alhabib Abdullah bin Alwi balfaqih, Dari Almusnid Alhabib Idrus bin Abdurrahman Balfaqih, Dari Almusnid Al Imam Alhabib Idrus bin Abdurrahman Balfaqih, Dari Almusnid Al Imam Alhabib Abdurrahman bin Abdullah Balfaqih

Dari hujjatul IslamAl Musnid Al Imam Abdullah bin Alwi Alhaddad, Dari Almusnid Alhabib Abdurrahman bin Abdullah bin Ahmad Baharun, Dari Almusnid Al Imam Alhabib Abubakar bin Abdurrahman bin Syahab,

Dari ayahnya Almusnid Al Imam Abdurrahman bin Syahabuddin, Dari Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Ali Khirid,

Dari Al Muhaddits Al Imam Assayyid Muhammad bin Abdurrahman Al Asqa‟,

Balfaqih,

Dari Al Imam Abdullah bin Abi Bakar Alaidrus, Dari Al Imam Umar Almuhdhor bin Abdurrahman Assegaf,

Dari Al Imam Muhammad bin Hasan Jamalullail, Dari Al Imam Abdurrahman bin Muhammad Assegaf,

Dari Almusnid Al Imam Muhammad bin Alwi shahibul „amaim,

Dari Almusnid Assayyid Abdullah bin Alwi bin Alfaqihilmuqaddam, Dari ayahnya, Al Musnid Assayyid Alwi bin Al Faqihilmuqaddam Muhammad,

Dari ayahnya, Hujjatul Islam Al Imam Muhammad Faqihil Muqaddam Muhammad bin Ali,

Dari Al Imam Alhafidh Assayyid Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Jadiid, Dari Al Hafidh Al Imam Abi Ali bin Husein Al Anshariy Al Batlyusiy,

Dari Assyeikh Abi Abdillah Muhammad bin Alfadhl Assha‟idiy Al farrawiy,

Dari Alhusein Abdulghafir bin Muhammad bin Abdulqadir Al Farisiy, Dari Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin Isa Al Jaludiy Annaisaburiy,

Dari Syeikh Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan ALfaqiih Azzahid, Dari Hujjatul Islam Al Imam Abul Husein Muslim bin Hajjaj Alqusyairiy

Annaisaburiy