Fungsi Emosi Sebagai Pengembangan Intelektual

kepandaian menggugah tanggapan yang dikehendaki orang lain. Ketiga unsur pokok inilah yang membentuk kecerdasan emosional secara utuh.

F. Fungsi Emosi Sebagai Pengembangan Intelektual

Menurut Amaryllia Puspasari, fungsi emosi sebagai pengembangan intelektual diantaranya: 1. Fungsi pengatur terhadap pertumbuhan jiwa. Emosi yang terlatih dapat mengembangkan tingkat kedewasaan seseorang, dalam arti lain semakin kita mengerti pemahaman emosi kita semakin kita tahu cara pengendaliannya. 17 Anak yang dikembangkan dengan dilatih emosi secara intensif oleh orang tuanya tentu akan memahami arti emosi bagi dirinya dan orang lain. Anak tahu ketika ibunya senang, ia dapat meminta mainan kesukaanya tanpa perlu omelan panjang dan tidak memakan waktu lama. Tentunya, anak akan mengerti bahwa jangan meminta mainan kepada ibunya ketika ibunya sedang dalam kondisi tidak menyenangkan. Sang anak berpikir jangankan membeli mainan, bisa saja dia menjadi korban ibunya. Rasa empati tidak akan muncul dengan sendirinya. Anak yang diajarkan untuk berbagi dengan saudaranya baik dalam hal mainan maupun makanan, ia memiliki konsep konsep terhadap empati yang berbeda dengan anak yang di didik individualistic. Beberapa penelitian psikologi menunjukkan behwa anak tunggal umumnya memiliki kesulitan terhadap memahami arti berbagi dibandingkan dengan anak yang memiliki saudara, meskipun kadangkala mereka memiliki pencapaian akademis yang lebih baik. Langkah awal untuk mengajarkan anak agar bersikap lebih peduli adalah dengan menerima anak dengan kelebihan dan kekurangannya. Selain itu anak perlu diberikan contoh. Perlihatkan simpati orang tua pada perasaan anak maupun orang lain, untuk menumbuhkan rasa empati anak pada lingkungan 17 Amaryllia Puspasari, Emotional intelligence Parenting, Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2009 hal.10 sekitarnya. Memberikan anak tanggung jawab yang ringan misalnya membereskan mainannya. Mengajak si kecil bersosialisasi juga dapat menumbuhkan sifat peduli. Dalam pergaulan, dia akan melihat pentingnya sikap berbagi dan saling memperhatikan orang lain. 18 Empati dapat berkembang dan membantu pembentukan intelektualitas. Keterbukaan seseorang akan banyak membantu orang tersebut dalam mengumpulkan pesan emosi yang sangat berguna dalam pembentukan kemampuan verbalnya. Anak yang memiliki empati tentu akan memiliki kemampuan mengorganisasikan bahasa dalam berkomunikasi kepada setiap orang. 2. Memahami dan melakukan anallisis terhadap emosi; memperkaya pengetahuan terhadap emosi. Emosi harus terus menerus dilatih untuk menjadi kaya. Seorang anak yang memiliki interaksi social yang tinggi dengan teman sebayanya, saudaranya maupun orangtuanya tentu akan memiliki pengetahuan emosi yang lebih kaya dibandingkan anak sebayanya yang memilki interaksi social lebih rendah. Kebiasaan seorang kakak menjahili adiknya adalah sebagian perilaku anak untuk mengendalikan emosi. Ia melihat kalau ia menunjukan mimik lucu pada wajahnya, adiknya akan tertawa, kalau ia berteriak-teriak disamping adiknya, adiknya akan menangis karena terkejut. Kalau ia mencubit pipi adiknya, adiknya akan menangis kesakitan. Respons yang berbeda yang ditimbulkan oleh adik mengenalkan arti emosi kepada sang kakak. Pengetahuan akan emosi akan membantu pengembangan intelektual, terutama dalam bidang studi yang berkaitan dengan adanya kausal sebab akibat seperti sejarah dan bahasa, juga akan membantu proses pemahaman logika sederhana. 19 18 Dyah Pitaloka, Melejitkan Kecerdasan IntelektualEmosional Buah Hati, Yogyakarta: Lentera Media, 2009, hal. 102 19 Amaryllia Puspasari, Emotional intelligence ………………. hal.12 3. Emosi sebagai penunjang pola berpikir. Mungkin hanya beberapa orang yang menyadari bahwa emosi sangat menunjang pola berpikir. Kecenderungan seorang anak dapat berpikir kreatif apabila berada di sekeliling orang yang menciptakan emosi positif seperti membuat dirinya senang, tenang dan bersemangat, pasti dipahami oleh seluruh orang tua. Sebaliknya dalam kondisi yang tidak menyenangkan, tentu seorang anak akan sulit berpikir. Kadang kala kesulitan seorang anak dalam mempelajari matematika lebih disebabkan adanya ketakutan yang berlebihan, akibatnya soal matematika yang mudah terlihat menjadi sulit untuk dikerjakan. Mengapa? Ternyata guru yang tegas dan keras serta tidak segan untuk menghukum lompat kodok kepada murid, menyebabkan seorang anak menjadi cemas dan tidak mampu menyerap maupun memahami pelajaran matematika yang diberikan. Namun, apakah terjadi kepada semua murid? Ternyata tidak, murid yang memiliki kecerdasan emosi yang cukup tinggi melihat bahwa tekanan tersebut merupakan salah satu tantangan untuk terus maju dan berkembang. 20 Anak yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi memiliki kesempatan untuk mengembangkan pola berpikirnya menjadi lebih baik karena ia mengurangi tekanan maupun kecemasan yang disebabkan oleh pengaturan emosi yang tidak tepat dan berlebihan. 4. Persepsi, penghargaan, dan ekspresi emosi. Ekspresi terbentuk dari emosi, pola asuh anak selalu melibatkan emosi. Normalnya ketika orang tua melakukan kontak dengan anaknya selama proses pengasuhan maka orang tua membina keterikatan emosi. 21 Anak menyadari bahwa apabila dia menangis maka sang ibu akan mendekatinya dan menanyakan apa yang terjadi dengan wajah berusaha melindungi anaknya. Terbentuklah adanya persepsi emosi pada sang anak, bahwa ibunya menyayanginya dan melindunginya apabila 20 Amaryllia Puspasari, Emotional intelligence ………………. hal.13 21 Amaryllia Puspasari, Emotional intelligence ………………. hal.14 anak merasa terancam dan tidak nyaman. Akhirnya dari ekspresi emosi yang orang tua timbulkan menimbulkan bentukan persepsi emosi pada seorang anak. BAB IV KETERKAITAN ANTARA KELUARGA DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL ANAK A. Keluarga sebagai Wahana Pertama dan Utama Pendidikan Karakter Anak Para sosiolog meyakini bahwa keluarga memiliki peran penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa, sehingga mereka berteori bahwa keluarga adalah unit yang penting sekali dalam masyarakat, sehingga jika keluarga-keluarga yang merupakan fondasi masyarakat lemah, maka masyarakat pun akan lemah. Oleh karena itu, para sosiolog meyakini bahwa berbagai masalah masyarakat - seperti kejahatan seksual dan kekerasan yang merajalela, serta segala macam kebobrokan di masyarakat - merupakan akibat dari lemahnya institusi keluarga. 1 Orang tua adalah pembina pribadi yang pertama dalam hidup anak. Kepribadian orang tua, sikap dan 1 Melly Latifah, “Peranan Keluarga Dalam Pendidikan Karakter Anak”, dari www.blogspot.com, 1 Maret 2008 gaya hidup mereka, merupakan unsur-unsur pendidikan yang tidak langsung, yang dengan sendirinya akan masuk ke dalam pribadi anak yang sedang bertumbuh itu. Sikap anak terhadap guru agama dan pendidikan agama di sekolah sangat dipengaruhi oleh sikap kedua orang tuanya terhadap agama dan guru agama khususnya. 2 Bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Fungsi utama keluarga adalah ”sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh, dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga, sejahtera”. Menurut pakar pendidikan, William Bennett, keluarga merupakan tempat yang paling awal dan efektif untuk menjalankan fungsi Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan. 3 Apabila keluarga gagal untuk mengajarkan kejujuran, semangat, keinginan untuk menjadi yang terbaik, dan kemampuan- kemampuan dasar, maka akan sulit sekali bagi institusi-institusi lain untuk memperbaiki kegagalan-kegagalannya. Hubungan orang tua sesama anak sangat mempengaruhi pertumbuhan jiwa anak. Hubungan yang serasi, penuh pengertian dan kasih sayang, akan membawa kepada pembinaan pribadi yang tenang, terbuka dan mudah dididik, karena dia mempunyai kesempatan yang cukup dan baik untuk bertumbuh dan berkembang. Tapi hubungan orang tua yang tidak serasi, banyak percekcokan dan perselisihan akan membawa anak kepada pertumbuhan pribadi yang sukar dan tidak mudah dibentuk, karena anak tidak mendapatkan suasana yang baik untuk berkembang, sebab selalu terganggu oleh suasana orang tuanya. 4 Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak. Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit 2 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: PT Bulan Bintang,2003, Cet.16, hal. 67 3 Melly Latifah, “Peranan Keluarga Dalam ………………………. 4 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa ……………………………..…… hal. 67 bagi institusi-institusi lain di luar keluarga termasuk sekolah untuk memperbaikinya. Dalam mendidik anak-anak, sekolah melanjutkan pendidikan anak- anak yang telah dilakukan orang tua di rumah. Berhasil atau tidaknya pendidikan di sekolah bergantung pada dan dipengaruhi oleh pendidikan di dalam keluarga. Pendidikan keluarga adalah fundamen atau dasar dari pendidikan anak selanjutnya, baik di sekolah maupun di masyarakat. 5 Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak di rumah. B. Aspek-aspek Penting dalam Pendidikan Karakter Anak Untuk membentuk karakter anak diperlukan syarat-syarat mendasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik. Ada tiga kebutuhan dasar anak yang harus dipenuhi, yaitu maternal bonding, rasa aman, dan stimulasi fisik dan mental. 1. Maternal bonding kelekatan psikologis dengan ibunya merupakan dasar penting dalam pembentukan karakter anak karena aspek ini berperan dalam pembentukan dasar kepercayaan kepada orang lain trust pada anak. Kelekatan ini membuat anak merasa diperhatikan dan menumbuhkan rasa aman sehingga menumbuhkan rasa percaya. Menurut Erikson, dasar kepercayaan yang ditumbuhkan melalui hubungan ibu-anak pada tahun-tahun pertama kehidupan anak akan memberi bekal bagi kesuksesan anak dalam kehidupan sosialnya ketika ia dewasa. Dengan kata lain, ikatan emosional yang erat antara ibu-anak di usia awal dapat membentuk kepribadian yang baik pada anak. 2. Kebutuhan akan rasa aman yaitu kebutuhan anak akan lingkungan yang stabil dan aman. Kebutuhan ini penting bagi pembentukan karakter anak karena lingkungan 5 M.Ngalim Poerwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 1995, cet.Ke‐8, hal.79 yang berubah-ubah akan membahayakan perkembangan emosi bayi. Pengasuh yang berganti-ganti juga akan berpengaruh negatif pada perkembangan emosi anak. Menurut Bowlby, normal bagi seorang bayi untuk mencari kontak dengan hanya satu orang biasanya ibu pada tahap-tahap awal masa bayi. Kekacauan emosi anak yang terjadi karena tidak adanya rasa aman ini diduga oleh para ahli gizi berkaitan dengan masalah kesulitan makan pada anak. Tentu saja hal ini tidak kondusif bagi pertumbuhan anak yang optimal. 6 3. Kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental juga merupakan aspek penting dalam pembentukan karakter anak. Tentu saja hal ini membutuhkan perhatian yang besar dari orang tua dan reaksi timbal balik antara ibu dan anaknya. Menurut pakar pendidikan anak, seorang ibu yang sangat perhatian yang diukur dari seringnya ibu melihat mata anaknya, mengelus, menggendong, dan berbicara kepada anaknya terhadap anaknya yang berusia usia di bawah enam bulan akan mempengaruhi sikap bayinya sehingga menjadi anak yang gembira, antusias mengeksplorasi lingkungannya, dan menjadikannya anak yang kreatif. C. Pola Asuh Menentukan Keberhasilan Pendidikan Karakter Anak dalam Keluarga Keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai kebajikan karakter pada anak sangat tergantung pada jenis pola asuh yang diterapkan orang tua pada anaknya. Pola asuh dapat didefinisikan sebagai pola interaksi antara anak dengan orangtua yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik seperti makan, minum dan lain- lain dan kebutuhan psikologis seperti rasa aman, kasih sayang dan lain-lain, serta sosialisasi norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras 6 Melly Latifah, “Peranan Keluarga Dalam ………………………. dengan lingkungannya. 7 Dengan kata lain, pola asuh juga meliputi pola interaksi orang tua dengan anak dalam rangka pendidikan karakter anak. Secara umum, Tutu April A.Suseno mengkategorikan pola asuh menjadi tiga jenis, yaitu : Pola asuh otoriter, pola asuh permisif , dan pola asuh otoritatif. Pola asuh otoriter mempunyai ciri orangtua membuat semua keputusan, anak harus tunduk, patuh, dan tidak boleh bertanya. Orang tua otoriter memberlakukan peraturan-peraturan yang ketat dan menuntut agar peraturan-peraturan itu dipatuhi. Mereka yakin bahwa anak-anak harus “berada di tempat yang telah ditentukan” dan tidak boleh menyuarakan pendapatnya. Orang tua otoriter berusaha menjalankan rumah tangga yang didasarkan pada struktur dan tradisi, walaupun dalam banyak hal, tekanan mereka akan keteraturan dan pengawasan membebani anak. Dalam bukunya, Raising a Responsible Child, Elizabeth Elis menulis, “Banyak penelitian menyatakan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga yang menerapkan keotoriteran dan pengawasan ketat tidak memperlihatkan pola yang berhasil. Anak-anak cenderung tidak bahagia, penyendiri dan sulit memercayai orang lain. Kadar harga dirinya paling rendah dibanding anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua yang tidak terlalu mengatur”. 8 Pola asuh permisif mempunyai ciri orangtua memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat. Orang tua permisif berusaha menerima dan mendidik sebaik mungkin, tapi cenderung sangat pasif ketika sampai ke masalah penetapan batas-batas atau menanggapi ketidakpatuhan. Orang tua permisif tidak begitu menuntut, juga tidak menetapkan sasaran yang jelas bagi anaknya, karena yakin bahwa anak-anak seharusnya berkembang sesuai dengan kecenderungan alamiahnya. Orang tua otoritatif, berbeda dengan orang tua otoriter maupun orang tua permisif, berusaha menyeimbangkan antara batas-batas yang jelas dan lingkungan rumah yang baik untuk tumbuh. Orang tua memberi bimbingan, tetapi tidak 7 Melly Latifah, “Peranan Keluarga Dalam ………………………. 8 Tutu April A.Suseno, EQ Orang Tua VS EQ Anak, Yogyakarta:Diglossia Printika, 2009. Cet.1, hal. 16 mengatur, mereka memberi penjelasan tentang yang mereka lakukan serta membolekan anak member masukan dalam pengambilan keputusan-keputusan penting. Orang tua otoritatif menghargai kemandirian anak-anaknya, tetapi menuntut mereka memenuhi standar tanggung jawab yang tinggi kepada keluarga, teman dan masyarakat. Ketergantungan dan sifat kekanak-kanakan tidak diberi tempat. Upaya untuk berprestasi mendapat dorongan dan pujian. 9 Dari setiap penelitian, orang tua otoritatif dianggap mempunyai gaya yang lebih mungkin menghasilkan anak-anak percaya diri, mandiri, imajinatif, mudah beradaptasi, dan disukai banyak orang, yakni anak-anak dengan kecerdasan emosional berderajat tinggi. Kita dapat mengetahui pola asuh apa yang diterapkan oleh orang tua dari ciri- ciri masing-masing pola asuh tersebut, yaitu sebagai berikut : Pola asuh otoriter mempunyai ciri : a. Kekuasaan orangtua dominan b. Anak tidak diakui sebagai pribadi. c. Kontrol terhadap tingkah laku anak sangat ketat. d. Orangtua menghukum anak jika anak tidak patuh. Pola asuh demokratis mempunyai ciri : a. Ada kerjasama antara orangtua dan anak. b. Anak diakui sebagai pribadi. c. Ada bimbingan dan pengarahan dari orangtua. d. Ada kontrol dari orangtua yang tidak kaku. Pola asuh permisif mempunyai ciri : a. Dominasi pada anak. b. Sikap longgar atau kebebasan dari orangtua. c. Tidak ada bimbingan dan pengarahan dari orangtua. d. Kontrol dan perhatian orangtua sangat kurang. 10 9 Tutu April A.Suseno, EQ Orang Tua …………., hal. 16 10 Melly Latifah, “Peranan Keluarga Dalam ………………………. Melalui pola asuh yang dilakukan oleh orang tua, anak belajar tentang banyak hal, termasuk karakter. Tentu saja pola asuh otoriter yang cenderung menuntut anak untuk patuh terhadap segala keputusan orang tua dan pola asuh permisif yang cenderung memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat sangat berbeda dampaknya dengan pola asuh demokratis yang cenderung mendorong anak untuk terbuka, namun bertanggung jawab dan mandiri terhadap hasil pendidikan karakter anak. Artinya, jenis pola asuh yang diterapkan oleh orang tua terhadap anaknya menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak oleh keluarga. Pola asuh otoriter cenderung membatasi perilaku kasih sayang, sentuhan, dan kelekatan emosi orangtua - anak sehingga antara orang tua dan anak seakan memiliki dinding pembatas yang memisahkan “si otoriter” orang tua dengan “si patuh” anak. Ada keterkaitan antara faktor keluarga dan tingkat kenakalan keluarga, di mana keluarga yang broken home, kurangnya kebersamaan dan interaksi antar keluarga, dan orang tua yang otoriter cenderung menghasilkan remaja yang bermasalah. Pada akhirnya, hal ini akan berpengaruh terhadap kualitas karakter anak. Pola asuh permisif yang cenderung memberi kebebesan terhadap anak untuk berbuat apa saja sangat tidak kondusif bagi pembentukan karakter anak. Bagaimana pun anak tetap memerlukan arahan dari orang tua untuk mengenal mana yang baik mana yang salah. Dengan memberi kebebasan yang berlebihan, apalagi terkesan membiarkan, akan membuat anak bingung dan berpotensi salah arah. Pola asuh demokratis tampaknya lebih kondusif dalam pendidikan karakter anak. Orangtua yang demokratis lebih mendukung perkembangan anak terutama dalam kemandirian dan tanggungjawab. Sementara, orangtua yang otoriter merugikan, karena anak tidak mandiri, kurang tanggungjawab serta agresif, sedangkan orangtua yang permisif mengakibatkan anak kurang mampu dalam menyesuaikan diri di luar rumah., anak yang dididik dengan cara demokratis umumnya cenderung mengungkapkan agresivitasnya dalam tindakan-tindakan yang konstruktif atau dalam bentuk kebencian yang sifatnya sementara saja. Di sisi lain, anak yang dididik secara otoriter atau ditolak memiliki kecenderungan untuk mengungkapkan agresivitasnya dalam bentuk tindakan-tindakan merugikan. Sementara itu, anak yang dididik secara permisif cenderung mengembangkan tingkah laku agresif secara terbuka atau terang-terangan. Ada beberapa kesalahan orang tua dalam mendidik anak yang dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi anak sehingga berakibat pada pembentukan karakternya, yaitu : 1. Kurang menunjukkan ekspresi kasih sayang baik secara verbal maupun fisik. 2. Kurang meluangkan waktu yang cukup untuk anaknya. 3. Bersikap kasar secara verbal, misainya menyindir, mengecilkan anak, dan berkata- kata kasar. 4. Bersikap kasar secara fisik, misalnya memukul, mencubit, dan memberikan hukuman badan lainnya. 5. Terlalu memaksa anak untuk menguasai kemampuan kognitif secara dini. 6. Tidak menanamkan good character kepada anak. 11 Dampak yang ditimbulkan dari salah asuh seperti di atas, akan menghasilkan anak-anak yang mempunyai kepribadian bermasalah atau mempunyai kecerdasan emosi rendah. • Anak menjadi acuh tak acuh, tidak butuh orang lain, dan tidak dapat menerima persahabatan. Karena sejak kecil mengalami kemarahan, rasa tidak percaya, dan gangguan emosi negatif lainnya. Ketika dewasa ia akan menolak dukungan, simpati, cinta dan respons positif lainnya dari orang di sekitarnya. la kelihatan sangat mandiri, tetapi tidak hangat dan tidak disenangi oleh orang lain. • Secara emosional tidak responsif, dimana anak yang ditolak akan tidak mampu memberikan cinta kepada orang lain. • Berperilaku agresif, yaitu selalu ingin menyakiti orang baik secara verbal maupun fisik. • Menjadi minder, merasa diri tidak berharga dan berguna. 11 Melly Latifah, “Peranan Keluarga Dalam ………………………. • Selalu berpandangan negatif pada lingkungan sekitarnya, seperti rasa tidak aman, khawatir, minder, curiga dengan orang lain, dan merasa orang lain sedang mengkritiknya. • Ketidakstabilan emosional, yaitu tidak toleran atau tidak tahan terhadap stress, mudah tersinggung, mudah marah, dan sifat yang tidak dapat dipreaiksi oleh orang lain. • Keseimbangan antara perkembangan emosional dan intelektual. Dampak negatif lainnya dapat berupa mogok belajar, dan bahkan dapat memicu kenakalan remaja, tawuran, dan lainnya. • Orang tua yang tidak memberikan rasa aman dan terlalu menekan anak, akan membuat anak merasa tidak dekat, dan tidak menjadikan orang tuannya sebagai teladan atau panutan. Anak akan lebih percaya kepada teman kelompoknya sehingga mudah terpengaruh dengan pergaulan negatif.

D. Pengaruh Lingkungan Keluarga Terhadap Pendidikan Anak-Anak

Dokumen yang terkait

Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Sikap Siswa dalam Pembelajaran Bermuatan Multikultural di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda (YPSIM)

0 47 150

Hubungan Kecerdasan Emosional Ibu dengan Perilaku Memelihara Kesehatan Gigi dan Mulut Serta Indeks Plak Gigi Anak di TK.Y.P Kristen Andreas Medan

1 42 53

Komunikasi Antar Pribadi Ayah Dan Perkembangan Kecerdasan Emosional Anak Remaja (Studi Korelasional tentang Pengaruh Komunikasi Antar Pribadi Ayah terhadap Perkembangan Kecerdasan Emosional Anak Remaja di SMA Swasta Al- Ulum, Medan)

0 44 140

Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Perilaku Delinkuen Pada Remaja Laki-Laki

8 51 85

Pengaruh Kecerdasan Emosional Dan Spiritual Terhadap Sikap Etis Mahasiswa Akuntansi Dipandang Dari Segi Gender (Studi Pada Perguruan Tinggi Negeri Di Kota Medan)

8 82 161

IMPLEMENTASI POLA ASUH SINGLE PARENT TERHADAP PERKEMBANGAN KECERDASAN EMOSIONAL ANAK PRA IMPLEMENTASI POLA ASUH SINGLE PARENT TERHADAP PERKEMBANGAN KECERDASAN EMOSIONAL ANAK PRA SEKOLAH DI TK PERTIWI REMBUN NOGOSARI BOYOLALI.

0 1 12

PERANAN ORANG TUA TERHADAP PERKEMBANGAN SOSIAL EMOSIONAL ANAK Peranan Orang Tua Terhadap Perkembangan Sosial Emosional Anak Kelompok B Di TK Pertiwi 1 Sine Sragen Tahun Ajaran 2011/2012.

0 1 15

PERANAN ORANG TUA TERHADAP PERKEMBANGAN SOSIAL EMOSIONAL ANAK Peranan Orang Tua Terhadap Perkembangan Sosial Emosional Anak Kelompok B Di TK Pertiwi 1 Sine Sragen Tahun Ajaran 2011/2012.

0 0 16

Perkembangan Kecerdasan Emosional and Mo

0 0 21

Peranan Keluarga dalam Pendidikan Emosional Anak

0 0 10