BAB V UPAYA-UPAYA UNTUK MENGEMBANGKAN KECERDASAN
EMOSIONAL ANAK
A. Peran Orang Tua
Peran orang tua untuk mengembangkan kecerdasan emosional anak diantaranya: 1.
Memberikan Keteladanan Yang Baik Keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang berpengaruh dan
terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritualitas dan etos sosial anak. Para orang tua dituntut untuk memberikan
keteladanan yang baik, sebab anak yang sedang tumbuh dan berkembang akan mengamati perilaku dan ucapan keduanya, serta akan bertanya-tanya tentang hal dari
sebab tersebut. Seandainya perilaku dan ucapan orang tuanya baik, maka ia akan tumbuh baik pula, seperti yang dilakukan seorang anak yang bernama Abdullah bin
Abi Bakrah yang mengamati doa-doa yang dipanjatkan ayahnya, lalu menanyakan tentang doa tersebut, dan ayahnya menjawabnya.
Dari Abdullah bin Abi Bakrah Rahimahullah berkata, saya berkata kepada ayahku, “Wahai ayah, saya mendengar engkau selalu berdoa, “Ya Tuhanku,
ampunilah aku dalam pendengaranku, Ya Tuhanku ampunilah aku dalam penglihatanku, dan tiada Tuhan kecuali Engkau” sebanyak tiga kali pada pagi
hari dan tiga kali pula pada waktu sore. Ayahnya menjawab, “wahai anakku, saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berdoa
dengan doa tersebut, dan saya ingin mengikuti sunnahnya.”
1
Para orang tua dituntut untuk mempraktikkan perintah-perintah Allah dan sunnah Rasul-Nya, baik berupa perilaku, amalan, atau hal-hal lainnya. Karena, anak-
anak mereka terus-menerus mengamati tindak-tanduk mereka, baik di waktu pagi dan sore hari, atau dalam setiap waktu. Maka, kemampuan anak untuk merespon orang
tua baik sadar ataupun tidak adalah sangat besar, bahkan lebih besar dari yang kita duga biasanya, dan kita sering melihatnya sebagai sosok kecil yang tidak mengetahui
dan tidak menyadari apapun. Teladan dalam pendidikan merupakan sarana yang paling berpengaruh dalam
mempersiapkan anak secara moral dan membentuknya secara psikologis dan sosial. Ini disebabkan, seorang pendidik merupakan contoh yang paling tepat dalam
pandangan anak sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya, dan sebagai teladan yang paling baik di mata mereka. Ia akan meniru, baik secara perilaku atau
moral, dengan sadar ataupun tidak. Lebih dari itu akan tercetak dalam jiwa dan perasaanya gambaran gurunya tersebut, dari sisi ucapan, perbuatan, perasaan dan sifat
internalnya, baik disadari ataupun tidak. Dengan demikian, teladan merupakan faktor yang besar dalam memperbaiki
anak, atau merusaknya. Jika seorang pengasuh atau pendidik itu memiliki akhlak yang baik, mulia, berani dan menjaga kehormatan dirinya, maka anak akan tumbuh
1
Muhammad Rasyid Dimas, 25 Cara Mempengaruhi JiwaAkal Anak, Jakarta: Pustaka Al‐ Kautsar,
2006, Cet.2, hal. 15
dalam kejujuran, amanah, berakhlak mulia, berani dan menjaga dirinya. Sebaliknya apabila pendidik itu memiliki sifat pendusta, khianat, memutuskan silaturahim,
pengecut dan hina, maka anak juga akan tumbuh dalam kebohongan, khianat, memutuskan silaturahim, pengecut dan hina.
Karena itu, para pendahulu kita telah memperhatikan hal ini dengan memilih sebaik-baik pengasuhpendidik bagi anak-anak mereka. Umar bin Utbah menulis
kepada pengasuh anaknya, “hendaknya langkah pertama dalam memperbaiki anakku adalah memperbaiki dirimu terlebih dahulu, karena mata mereka tergantung pada
matamu, sehingga yang baik bagi mereka adalah apa yang engkau lakukan, sedangkan yang buruk bagi mereka adalah apa yang engkau tinggalkan.”
2
Sifat ini juga mutlak harus ada pada diri orang tua sebagai pendidik yang pertama dan utama
bagi anak, setelah itu baru para gurupendidik di luar rumah. Sesungguhnya anak, meskipun kesiapannya terhadap kebaikan sangat besar,
dan meskipun fitrahnya murni dan lurus, tetapi ia tidak akan mampu merespon prinsip-prinsip kebaikan dan dasar-dasar pendidikan yang utama selama ia tidak
melihat orang tua atau pengasuhnya memiliki puncak dan nilai kebaikan, serta menjadi teladan yang tepat.
Adalah hal yang mudah bagi setiap orang tua untuk membimbing anak dengan salah satu metode pendidikan. Tetapi, merupakan hal yang sulit bagi anak
untuk merespon metode ini ketika ia melihat orang yang mendidik dan mengarahkannya tidak mereliasisasikan metode tersebut, dan tidak mempraktikkan
dasar dan prinsip-prinsipnya. Karena itu, hindarilah kontradiksi antara ucapan dan perbuatan kita. Seandainya kita merenungi Al-Quran, niscaya akan mendapati di
dalamnya sangat mengingkari segala sesuatu yang bertentangan antara perbuatan dan ucapannya, termasuk di dalamnya, para ayah, ibu, dan para pendidik lainnya, serta
seluruh orang yang di pundaknya memikul tanggung jawab pendidikan.
2
Muhammad Rasyid Dimas, 25 Cara Mempengaruhi ……………, hal. 16
Allah SWT berfirman,
“ Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu
mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan?” Ash-Shaf: 2-3.
Jika para orang tua meremehkan sholat dan tidak berusaha melaksanakan pada waktunya, bagaimana mungkin orang tua menuntut anak-anaknya untuk menjaga dan
memperhatikan sholatnya ? Jika orang tua tidak bersikap jujur, tanggung jawab, dan lain-lain, bagaimana mungkin orang tua mencegah anak-anaknya dari berbohong dan
meminta mereka untuk bersikap amanah. Ada ayah berkata kepada anaknya, “Katakanlah kepada si Fulan bahwa ayah
tidak ada” Secara tidak langsung, sang ayah telah mengajarkan kebohongan kepada anaknya. Pengalaman akan menancap di hati anak, sekuat apapun sang ayah
menasihatinya tentang pentingnya bersikap jujur, tak akan meresap ke hati dan jiwa anak. Jadi, mata anak terhadap orang tua adalah bagaikan mikroskop,
3
dimana ia melihat sesuatu yang kecil dengan jelas. Orang tua mungkin pernah mengatakan
kepada seseorang “dasar bodoh”, ucapan orang tua ini akan tertanam di benak putra- putri mereka dan terkadang para orang tua tidak menyadari hal itu, kecuali setelah
melihatnya berkata “dasar bodoh” kepada teman atau saudaranya dengan emosi.
3
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga dan Sekolah, Jakarta: Ruhama, 1995, cet
II, hal.113
Oleh karena itu, Rasulullah SAW melarang orang berbohong kepada anak- anak, walau dengan bercanda atau bermain-main. Dikhawatirkan anak akan
mengentengkan sikap berbohong. Abdullah Ibn Amir berkata, “Rasulullah datang ke rumah kami dan ketika itu
aku masih anak-anak. Kemudian aku hendak bergegas keluar rumah untuk bermain. Ibuku lantas berkata, ‘Wahai Abdullah kemarilah. Aku akan
memberimu sesuatu’ kemudian Rasulullah bertanya, ‘Apa yang akan engkau berikan kepadanya?’ Ibuku menjawab, ‘Aku akan memberinya kurma.’
Rasulullah berkata, ‘Jika saja engkau tidak memberinya sesuatu, engkau akan dicatat telah berdusta” HR. Abu Daud dan Ahmad.
Merokok adalah kebiasaan buruk yang tidak boleh dilakukan oleh siapapun. Seberat apapun seseorang kecanduan rokok, pasti dia tidak akan rela anak-anaknya
melakukan itu. Akan tetapi anak-anak akan meniru ayahnya. Paling tidak, dia akan menganggap lumrah kebiasaan itu. Maka ketika ia hendak mencobanya, tangannya
tidak akan ragu lagi untuk menyentuh bungkus rokok. Yang lebih dahsyat lagi, rumah menjadi tempat yang nyaman untuk berbagai
maksiat, film-film yang merusak akhlak, majalah-majalah porno, nyanyian-nyanyian murahan dan seterusnya. Anak-anak melihat berbagai pemandangan cabul melalui
layar televisi dan para orang tua tidak peduli. Apakah orang tua mengharapkan anak- anaknya akan tumbuh menjadi manusia yang konsisten, taat dan jauh dari keharaman,
tapi mereka dididik dengan pemandangan seperti tersebut di atas ? seorang penyair berkata, “Jika kepala rumah tangga menabuh gendang, maka anggota keluarga akan
menjadi penari.”
4
Jadi, para orang tua hendaknya mengetahui bahwa orang tua yang tidak menjadi teladan seperti orang yang menulis di atas air.
5
Ia tidak akan melihat bekasnya, nasihatnya tidak berguna, arah-arahannya tidak akan dilaksanakan,
perkataanya tidak didengar, dan dalam segalanya ia tidak akan dihormati. Anak-anak
4
Anas Ahmad Karzun, Anak Adalah Amanat, Jakarta: Qisthi Press, 2006, Cet. 1, hal. 59
5
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga……… hal.113
bagaikan bahan yang elastis. Jika bahan itu orang tua tempatkan di dalam cetakan sampai mengering dan bebentuk, maka orang tua akan mengalami kesulitan untuk
mengembalikannya. Karena itu sebelum terlambat, pilihlah bentuk yang paling baik ketika mereka masih mudah dibentuk.
Menurut Covey, kata-kata hanya memberi dampak sekitar 20 persen kepada anak. Sedangkan keteladanan memegang peran yang lebih efektif. Orang tua yang
berkomitmen menjadi teladan kecerdasan emosi akan memancarkan radiasi emosi positif kepada lingkungan dan memudahkan bagi anak-anak untuk meningkatkan
kecerdasan emosi.
6
Memberikan teladan yang baik dalam pandangan Islam merupakan metode pendidikan yang paling membekas pada anak didik. Ketika si anak menemukan
kedua orang tua memiliki teladan yang baik dalam segala hal, maka ia telah meneguhkan prinsip-prinsip kebaikan yang membekas dalam jiwa anak. Ketika kedua
orang tua menginginkan sang anak tumbuh dalam kejujuran, amanah, menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak diridhoi agama, kasih sayang, maka hendaklah kedua
orang tua memberikan teladan yang baik. Tanpa memberikan teladan yang baik, pendidikan tidak akan berhasil dan nasihat tidak akan berpengaruh.
2. Membiasakan Anak Menentukan Perasaan Secara Tepat
Orang tua sebaiknya mulai membiasakan anak untuk menentukan perasaannya sendiri. Orang tua bias memulainya ketika anak masih dini, yakni usia 2
tahun karena biasanya pada usia tersebut anak sudah dapat membedakan perasaan yang bergejolak dalam dirinya.
7
6
Agus Nggermanto, Quantum Quotient, Bandung: Penerbit Nuansa: 2002 hal. 106
7
Al.Tridhonanto, Melejitkan Kecerdasan Emosi EQ Buah Hati, Jakarta: PT Gramedia, 2009, hal.
48
Dalam hal ini peran orang tua sangat diperlukan sebab pada usia dini ia akan mencontoh segala perilaku orang tua. Mereka harus mengajarkan anak untuk
mengungkapkan perasaan secara benar sehingga tidak terkesan negatif atau terdengar kasar. Misalnya, ketika orang tua dengan anak sedang berbelanja di supermarket,
tiba-tiba sewaktu akan pulang turun hujan. Orang tua mengatakan, “Wah … menyebalkan kenapa juga harus hujan” Bagaimana jika kalimat tersebut diganti,
“Ternyata kita harus bersabar ya .. nak, untuk menunggu hujan reda.” Dengan kata yang kedua terlihat kalimatnya lebih santun. Itu karena pengungkapan perasaan
kecewa, namun diungkapkan secara positif.
8
Dengan pengungkapan kalimat dari perasaan yang muncul dari diri anda secara tepat, anak juga akan belajar untuk mengungkapkan perasaanya secara tepat
namun juga positif. Ajarkanlah anak untuk selalu mengungkapkan perasaan tanpa menilai kondisi
atau situasi secara terburu-buru. Misalnya saja seorang anak mengeluh ketika diberi hadiah oleh pamannya, “Lho .. aku kan sudah punya mainan seperti ini, lagian lebih
bagus mainanku.” Dari contoh tersebut, si anak langsung menilai tidak suka dengan hadiah dari pamannya karena sudah memiliki mainan yang sama dengan hadiah
tersebut. Penilaian sesaat tersebut malah membuat ketidakenakan di lain pihak. Untuk itu, sebaiknya anak tersebut diajarkan bagaimana caranya berterima kasih serta
mengungkapkan perasaanya tanpa menyinggung perasaan orang lain. Bagaimana jika ungkapan tersebut diganti dengan, “Terima kasih atas hadiahnya paman, kini aku
punya dua mainan yang sama satu merah dan yang lain biru.” Perasaan tidak selalu positif atau menyenangkan sebab suatu saat perasaan
yang muncul adalah perasaan yang kurang menyenangkan atau negatif. Orang tua dapat mengajarkan bagaimana anak untuk mengekspresikan emosinya secara tepat
8
Al.Tridhonanto, Melejitkan Kecerdasan Emosi……………., hal. 49
dengan berbagai kegiatan di antarannya mengenalkan warna, mengenalkan lagu dan musik, melukis dan menggambar, bercerita atau mendongeng. Dengan adanya
kegiatan tersebut, kesadaran anak akan perasaan, tumbuh dan ia pun mampu mengekspresikan perasaan secara tepat dan positif. Jika anak tidak dilatih untuk
mengungkapkan perasaannya secara tepat, maka setelah remaja dan beranjak dewasa akan terbiasa menyatakan emosinya dengan brutal, luapan kemarahan dan
menyinggung perasaan orang lain. 3.
Mengajarkan Anak Menyatakan Kebutuhan Emosinya Emosi yang tersalurkan dengan baik akan membawa energi yang positif bagi
seseorang. Pokok bahasan kali ini berhubungan dengan bagaimana cara seseorang dalam menyikapi perasaannya.
Seorang anak juga perlu diajarkan untuk menyatakan kebutuhan emosi atau menyikapi emosi yang ada di dalam dirinya. Hal ini dapat dimulai dari orang tua.
Misalnya, sepulang dari perjalanan akhirnya pulang ke rumah. Dengan riang gembira anak menyambut kedatangan orang tua. Karena itu, orang tua dapat memeluk
anaknya dan mengatakan, “Nak, ibu kangen banget..” Dengan demikian, anak akan mencontoh orang tua untuk menyatakan kebutuhan emosinya bila suatu saat dia juga
mengalami kangen dengan orang lain.
9
Mengungkapkan kebutuhan emosi juga sama halnya dengan mengungkapkan pendapat pribadi. Seorang anak akan bebas mengungkapkan kebutuhan emosi apabila
lingkungan mendukung. Seorang anak tidak akan segan-segan menceritakan apapun jika orang tua mau mendengarkan serta tidak memberikan sebuah ancaman.
Bila anak ingin berbicara kepada orang tua, sementara orang tua sedang melakukan pekerjaan, sepert misalnya menyapu, hentikan pekerjaan itu barang
sejenak. Kemudian perhatikkan anak sewaktu ia menceritakan sesuatu, dengan
9
Al.Tridhonanto, Melejitkan Kecerdasan Emosi……………., hal. 50
demikian ia akan merasa diperhatikan. Ia tidak akan merasa tertekan bila hendak menceritakan sesuatu kepada orang tua, baik itu pengalaman yang menyenangkan
maupun sebaliknya. Bila anak mengungkapkan sesuatu hal yang kurang menyenangkan,sebaiknya
orang tua jangan langsung memberikan penilaian. Namun, biarkanlah ia mengungkapkan semua hal yang tidak menyenangkan itu, baru kemudian ajaklah dia
berdiskusi. Dengan diskusi, anak juga akan belajar memecahkan masalahnya sendiri. Tetapi terlalu membebaskan anak dalam mengungkapkan emosi dapat sangat
memengaruhi pola pengasuhan terhadap karakteristik emosi anak tersebut. Dapat dikenali bahwa kebebasan yang berlebihan cenderung mendapatkan respon yang
negative dan terlihat terlalu mengeksplorasi pola pengasuhan yang ada. Anak yang terlalu mudah untuk menangis apabila ditemukan adanya masalah yang mengganggu,
atau mudah untuk marah dan memiliki kecenderungan untuk secara agresif mengungkapkan emosi yang dimilikinya. Terlalu terbukanya emosi anak dapat
membuat adanya dugaan bahwa anak mencari perhatian, sebagai akibat dari kurangnya perrhatian yang didapatkan oleh anak tersebut yang merupakan bagian
dari tanggung jawab orang tua untuk memeberikan perhatian kepada anak. Poin utama yang dibutuhkan dalam pengendalian emosi dan pembatasan eksplorasi emosi
yang muncul adalah agar anak lebih memerhatikan situasi dan kondisi yang tepat untuk menunjukkan emosi yang muncul. Amarah yang berlebihan ataupun rasa sedih
yang terlalu diumbar dapat menyebabkan orang melihat sensitivitas emosi yang tinggi pada anak dan kadang kala orang di sekitar lingkungan anak melihat hal ini sebagai
nilai lemah dan negatif dari anak yang kemudian akan membatasi lingkungan pergaulan dari anak itu sendiri.
10
10
Amaryllia Puspasari, Emotional Intelligent Parenting, Jakarta: PT Gramedia, 2009 hal. 59
4. Menghormati Perasaan Orang Lain
Seorang anak bebas untuk mengungkapkan perasaannya ataupun mengungkapkan kebutuhan emosi. Namun, di lain sisi ia juga harus menghormati
perasaan orang lain yang juga diungkapkan. Dalam hal ini, anak dapat diajarkan untuk menerima perbedaan yang ada.
Orang tua dapat mengajarkan anak untuk menghormati perasaan orang lain dengan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Bila anak mengatakan bahwa ia sudah
capek untuk belajar, jangan paksa ia untuk kembali belajar. Biarkanlah ia untuk beristirahat beberapa saat, kemudian orang tua dapat melanjutkan kegiatan belajar
bila anak sudah tidak capek lagi. Dengan demikian, ia pun merasa bahwa ungkapan perasaannya diperhatikan orang tua sehingga ia pun dapat belajar menerapkannya
pada teman maupun orang lain. Sebagai orang tua, sebaiknya hindari pola asuh yang bersifat over protective
dan otoriter. Sebab, semakin anak dikekang, kepekaannya dalam menghormati perasaan orang lain menjadi berkurang. Biarkanlah ia bebas mengutarakan isi hatinya
kepada orang tua, kemudian lakukan diskusi dengan anak. Sebab, pola asuh demokratis akan membiasakan anak untuk peduli dengan perasaan orang lain.
Bila anak mengutarakan suatu pendapat tanyakan alasannya, “Kenapa, Fido memilih baju merah ini?” Ajaklah ia untuk kritis memahami gejolak perasaanya
sendiri, kemudian biarlah dia bebas mengutarakan pendapatnya. Jika anak dapat menjawab dengan alasan yang tepat, ia juga telah belajar bertanggung jawab atas
pendapatnya.
11
5. Menunjukkan Empati dan Peduli Pada Orang Lain
11
Al.Tridhonanto, Melejitkan Kecerdasan Emosi ……………… hal. 52
Menurut J.Piaget seorang psikolog perkembangan anak, perkembngan egosentrisme anak umumnya dimulai pada anak usia 2-7 tahun, namun hal ini
tergantung juga pada kematangan kognitif masing-masing anak dan tentu saja proses pembelajarannya yang berlangsung terus-menerus.
12
Sering kita jumpai anak-anak di sekitar kita yang cuek pada lingkungannya, sulit berempati dengan orang lain bahkan
tidak peduli terhadap lingkungan. Sikap tidak peduli, umumnya dikarenakan balita masih berada pada masa egosentris yang memandang dirinya sebagai pusat dunia.
Sehingga tak heran pada masa ini balita cenderung berpikir dari sudut pandang dan kepentingannya saja. Memang tak mudah mencetak anak yang punya rasa kepedulian
yang tinggi. Suasana keluarga yang hangat dan saling peduli diantara anggota keluarga menjadi ajang belajar anak untuk meningkatkan sikap peduli kepada
sekitarnya. Seperti yang dikatakan sebelumnya, empati adalah kemampuan alam perasaan seseorang untuk menempatkan perasaan dirinya ke dalam alam perasaan
orang lain sehingga dapat memahami pikiran, perasaan dan perilaku orang lain. Berikut adalah beberapa upaya yang dilakukan orang tua untuk
mengembangkan empati buah hatinya : a.
Memberi kasih sayang yang cukup pada buah hati. b.
Memberi pengertian makna persahabatan pada buah hati. c.
Selalu mendengarkan anak ketika berbicara kepada orang tua. d.
Mengarahkan anak agar selalu memerhatikan keadaan orang lain, seperti membantu teman ketika kesusahan dan mengunjungi teman
yang sakit.
e. Mengajak anak untuk mendoakan orang lain yang sedang mengalami
penderitaan.
12
Dyah Pitaloka, Melejitkan Kecerdasan IntelektualEmosional Sang Buah Hati, Yogyakarta: Lentera
Media, 2009 Cet. 1, hal.102
f. Melibatkan anak untuk membantu pekerjaan orang tua. Misalnya,
membantu ayah mencuci mobil, ataupun membantu ibu menyiapkan masakan.
g. Mengajak anak untuk peduli akan kepentingan umum dan menjelaskan
maksudnya, seperti menjaga kebersihan tempat umum dan membuang sampah pada tempatnya.
h. Memberi contoh pada anak untuk melakukan perbuatan amal dan
menjelaskan maksudnya, seperti memberi sedekah pada pengemis dan memberi pakaian pantas untuk korban bencana.
13
Tujuan yang dicapai dari mengembangkan empati pada anak adalah mengembangkan empati kognitif agar ia mampu melihat dari sudut pandang orang
lain. Untuk usia anak-anak, biasanya ia terbatas memberikan empatinya dengan orang yang pernah dijumpai. Dengan demikian, dia akan peduli dengan sesama untuk
sementara adalah teman sebaya, keluarga ataupun orang-orang dalam lingkup lingkungannya. Namun, pada perkembangannya nanti, kepedulian anak akan
berkembang sesuai dengan kedewasaan dan pergaulannya. 6.
Mengutamakan Hubungan Dengan Orang Lain Berilah pengertian kepada anak bahwa kita adalah makhluk sosial, yakni
makhluk yang selalu hidup berdampingan dan saling membutuhkan. Seorang anak akan merasa bahwa ia bagian dari kehidupan sosial bila ia juga terlibat dalam
hubungan social. Hubungan social sangat berpengaruh terhadap kematangan emosi anak. Bila anak terbiasa dalam berhubungan sosial, ia akan banyak mendapatkan
pelajaran berharga untuk kematangan emosinya. Berbeda dengan anak yang jarang melakukan kontak dengan orang lain selain orang tua, emosinya akan labil.
Dalam mengembangkan sosialisasi anak, orang tua dan orang dewasa lainnya merupakan guru yang penting bagi anak untuk belajar bagaimana dia dapat
berhubungan dengan teman-temanya. Jika orang tua adalah tipe pemalu atau kurang
13
Al.Tridhonanto, Melejitkan Kecerdasan Emosi EQ ……………………hal. 53
peka dengan aturan social, kemungkinan anak pun akan berkembang menjadi individu yang demikian.
14
Disadari atau tidak, orang tua memengaruhi cara anak berteman.
Jika seorang anak dapat menjalin hubungan dengan orang lain, ia akan merasa bahagia. Kebahagiaan dalam berhubungan sosial dapat memicu perkembangan
kepribadian dan emosi anak. Seorang anak akan belajar banyak hal dari hubungan dengan orang tua, teman, maupun orang lain. Ia akan belajar untuk menghargai,
mengungkapkan perasaan, rasa empati, bahkan mengelola emosi saat berhubungan sosial.
Orang tua dapat membiasakan anak untuk memberikan salam pada orang lain yang berkenalan dengannya, misalnya dengan mengucapkan nama ketika berjabat
tangan. Dengan demikian, anak akan belajar kesopanan ketika berkenalan dengan orang yang masih asing.
Pada usia dini, biasanya, anak masih terlalu mementingkan diri sendiri. Namun tidak menutup kemungkinan bila orang tua mengajarkan bagaimana caranya
untuk berbagi dengan orang lain. Orang tua dapat mengajarkan bagaimana bertindak adil, misalnya dengan pembagian kue sama besar dan panjang pada anak-anak, ketika
makan bersama. Dengan demkian, ia pun termotivasi untuk menunjukkan kerelaannya pada orang lain untuk berbagi.
Dalam berhubungan sosial, kadang ditemukan kebuntuan ataupun penolakan. Siapapun tentu tidak mengiginkan tragedi itu terjadi. Namun, kadang hal itu tak dapat
dihindari. Bagi seorang anak biasanya penolakan dalam berhubungan social merupakan hal yang ditakuti. Misalnya saja, tiba-tiba sekelompok anak melarang
seorang anak lain untuk main bersama. Biasanya anak yang ditolak dalam kelompoknya akan merasa kecewa. Tetapi sebenarnya dapat disikapi jika anak
14
Indra Soefandi dan Ahmad Pramudya, Strategi Mengembangkan Potensi Kecerdasan Anak, Jakarta:
Bee Media Indonesia, 2009, hal. 102
memiliki kerelaan untuk menerima apapun kondisinya. Ajaklah anak untuk selalu merefleksikan kondisi penolakan tersebut, kemudian besarkan hatinya. “Kenapa adik
sedih ? Adik kan bisa main dengan kakak di rumah bila teman-teman tidak mau bermain.” Dengan adanya kekecewaan karena penolakan kelompok, sebenarnya anak
sedang belajar mengenai kehidupan social sebab tidak selamanya hidup itu menyenangkan. Namun, ketegaran menghadapi apapun juga mesti dipupuk sejak dini
ketika ia masih anak-anak.
15
Orang tua jangan segan-segan untuk menunjukkan perasaan ketika anak berprestasi. Misalnya dengan memberi pujian dan menunjukkan rasa bangga ketika
anak meraih prestasi yang gemilang atau memuji anak yang sudah bisa mandiri dalam melakukan beberapa hal.
7. Menggunakan “Rasa” Ketika Akan Mengambil Keputusan
Dalam mengambil keputusan kadang seorang anak masih cenderung spontan tanpa harus dia renungkan terlebih dahulu. Akibat dari pengambilan keputusan yang
salah menimbulkan kekecewaan bagi diri anak. Untuk anak-anak yang lebih dewasa, yakni usia 5 tahun ke atas, biasannya
mereka sudah mampu mengolah rasa untuk mengambil keputusan. Namun, untuk anak yang di bawah umur 5 tahun, sering kali mereka mengambil keputusan tanpa
pertimbangan. Misalnya saja, ketika seorang ibu menawarkan minuman kepada anaknya dengan menanyakan, “Ahmad mau minum susu apa teh?” Tanpa berpikir
panjang Ahmad menjawab, “Teh” Ketika ibunya menyodorkan minuman teh, Ahmad menolak. Ternyata yang ia inginkan adalah minum susu. Jika anak masih
bingung menentukan pilihannya, ajaklah anak untuk ke dapur, untuk melihat macam
15
Al.Tridhonanto, Melejitkan Kecerdasan Emosi EQ ……………………hal. 55
minuman yang dimaksud. Dengan demikian, ia tidak salah lagi menentukan pilihannya.
16
Pengambilan keputusan anak ini berhubungan dengan hati nuraninya. Bila anak merasa senang melakukannya, ia akan mengambil keputusan itu. Tetapi, bila ia
tidak menyukainnya, ia tidak akan melakukannya. Walau demikian sebaiknya orang tua mengajarkan bagaimana anak mengolah rasa dalam mengambil keputusan.
Cobalah untuk mengajarkan anak budi pekerti. Orang tua dapat menanamkan budi pekerti melalui cerita ataupun larangan serta alasan atas larangan tersebut. Orang tua
boleh melarang anak untuk tidak bermain di terik matahari terlalu lama, namun sebutkan alasan yang tepat sehingga anak juga tahu alasannya. Dengan demikian,
anak pun dapat mengembangkan perasaannya berdasarkan hati nuraninya untuk mengambil keputusan dengan baik.
B. Peran Lingkungan Keluarga