Landasan Hukum Murabahah Pembiayaan Murabahah

14 dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu ” QS. Al-Nisa’ : 29. Dalam ayat lain yang masih berkaitan dengan landasan hukum pembiayaan murabahah adalah firman Allah SWT sebagai berikut : ... ... ةﺮ ا : 275 . Artinya : “…. Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …” QS. Al-Baqarah : 175 Pembiayaan murabahah tidak hanya tertera dalam Al-Qur’an, tetapi juga terdapat dalam hadits Rasulullah SAW sebagai berikut : ْﻦ ْﻴﻬ ﻲﺿر ﷲا ْ نأ ﻲ ا ﻰ ﷲا ْﻴ و لﺎ : ث ﺛ ﻦﻬْﻴﻓ ﺔآﺮ ْا : ْﻴ ْا ﻰ ا ، ﺟﺁ ،ﺔﺿرﺎ ْاو ْﺧو ﺮ ْا ﺮْﻴ ﺎ ﺖْﻴ ْ ْﻴ ْ اور ﻦ ا ﺟﺎ . 14 Artinya : “Dari Suhaeb ra. sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda : Ada tiga hal yang mengandung berkah yaitu jual beli tidak secara tunai, dan mencampuri gandum dengan tepung untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual ” HR. Ibnu Majah. Hadits lain yang erat kaitannya dengan masalah pembiayaan murabahah adalah sabda Rasulullah SAW sebagai berikut : ْﻦ ﺮ ﻦْا فْﻮ ﻲﺿر ﷲا ْ ،لﺎ لﺎ لْﻮ ر ﷲا ﻰ ﷲا ْﻴ و : ْ ا ﺰﺋﺎﺟ ﻦْﻴ ﻦْﻴ ْ ْا ا ﺎ ْ مﺮ ْوا ا ﺎ اﺮ نْﻮ ْ ْاو ﻰ ْ ﻬ ْوﺮ ا ﺎ ْﺮ مﺮ ْوا ا ﺎ اﺮ اور ﺬﻴ ﺮﺘ ا . 15 Artinya : “Dari Amr bin Auf ra. berkata, bersabda Rasulullah SAW : Perdamaian itu dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat 14 Al-Shan’any, Subul Al-Salaam, Bandung: Dahlan Press, t.th, Juz III, h. 76 15 Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulug Al-Marram Min Adillatil Ahkam, Beirut: Daar Al- Ihya, 1973, h. 175 - 176 15 kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram ” HR. Turmudzi. Selain Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW yang dijadikan landasan sebagai dasar hukum murabahah, maka ijma’ ulama juga dapat dijadikan acuan hukum murabahah. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Abdullah Syeed : Al-Qur’an tidak membuat acuan langsung berkenaan dengan murabahah , walaupun ada beberapa acuan di dalamnya untuk menjual, keuntungan, kerugian dan perdagangan. Demikian pula, tidak ada hadits yang memiliki acuan langsung kepada murabahah. Karena nampaknya tidak ada acuan langsung kepadanya dalam Al-Qur’an atau hadits yang diterima umum, para ahli hukum harus membenarkan murabahah berdasarkan landasan lain. 16 Menurut Imam Malik, murabahah itu dibolehkan dengan berlandaskan pada orang-orang Madinah, yaitu ada konsensus pendapat di Madinah mengenai hukum orang yang membeli baju di sebuah kota, dan mengambilnya ke kota lain untuk menjualnya berdasarkan suatu kesepakatan berdasarkan keuntungan. 17 Imam Syafi’i mengatakan jika seseorang menunjukkan komoditas kepada seseorang dan mengatakan “kamu beli untukku, aku akan memberikan keuntungan begini, begitu”, kemudian orang itu membelinya, maka transaksi itu sah. 18 Sedangkan Marghinani serorang faqih mazhab Hanafi membenarkan keabsahan murabahah berdasarkan 16 Abdullah Syeed, Menyoal Bank Syari’ah; Kritik Atas Interpretasi Bunga Kaum Neorevivalis , Jakarta: Paramadina, 2004, Cet. ke-2, h. 119 17 Abdullah Syeed, Menyoal Bank Syari’ah; Kritik Atas Interpretasi Bunga Kaum Neorevivalis , h. 120 18 Abdullah Syeed, Menyoal Bank Syari’ah; Kritik Atas Interpretasi Bunga Kaum Neorevivalis , h. 120 16 kondisi penting bagi validitas penjualan di dalamnya, dan juga karena manusia sangat membutuhkannya. Demikian pula Nawawi dari mazhab Syafi’i, secara sederhana mengemukakan bahwa penjualan murabahah sah menurut hukum tanpa bantahan. 19 Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa landasan hukum pembiayaan murabahah tidak hanya tertera dalam Al-Qur’an, tetapi juga terdapat dalam hadits Rasulullah SAW sebagai landasan yang kedua setelah Al-Qur’an serta ijma’ para ulama. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa landasan hukum pembiayaan murabahah adalah Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW serta ijma’ ulama.

3. Rukun dan Syarat Murabahah

Menurut Zulkifli, rukun murabahah terdiri atas pembeli dan penjual, ijab dan qabul barang yang dibeli serta ada nilai tukar pengganti. 20 Sedangkan menurut Adiwarman, rukun murabahah itu terdiri atas pelaku, objek, ijab dan qabul . 21 Ulama Hanafiyah mengemukakan bahwa rukun murabahah adalah ijab dan qabul. Sedangkan menurut Jumhur rukun murabahah itu terdiri atas pembeli dan penjual, objek serta ijab dan qabul. 22 Adapun syarat-syarat murabahah sesuai dengan rukun yang dikemukakan Jumhur Ulama di atas adalah hal-hal yang berkaitan dengan 19 Abdullah Syeed, Menyoal Bank Syari’ah; Kritik Atas Interpretasi Bunga Kaum eorevivalis, h. 120 20 Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari’ah, h. 57 21 Adiwarman Azwar Karim, Bank Islam; Analisis Fiqh dan Keuangan, h. 177 22 Azharuddin Lathif, Fiqh Mu’amalah, h. 135 17 orang yang melakukan akad. Para ulama fiqh sepakat bahwa orang yang melakukan aqad murabahah itu harus memenuhi syarat-syarat yaitu baligh dan yang melakukan akad adalah orang-orang yang berbeda. Artinya seseorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus pembeli. 23 Sedangkan syarat yang berkaitan dengan ijab dan qabul, para ulama fiqh sepakat bahwa unsur utama dari murabahah adalah kerelaan kedua belah pihak. Kerelaan kedua belah pihak ini dapat dilihat dari ijab dan qabul yang dilangsungkan. Untuk itu, para ulama fiqh mengemukakan bahwa syarat qabul itu harus sesuai dengan ijab. Misalnya, penjual mengatakan: “Saya jual buku ini seharga Rp. 15.000,- Ijab dan qabul itu dilakukan dalam satu majelis. Artinya kedua belah pihak yang melakukan akad murabahah hadir dan membicarakan topik yang sama. 24 Adapun syarat-syarat yang berkaitan dengan barang yang diperjualbelikan disebutkan bahwa barang itu ada atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu. Kemudian dapat manfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. Oleh sebab itu, bangkai, khamar dan darah tidak sah menjadi obyek jual beli. Barang tersebut adalah milik orang yang berakad dan boleh diserahkan saat akad berlangsung atau pada waktu yang disepakati bersama ketika transaksi berlangsung. 25 23 Nasroen Harun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000, Cet. ke-1, h. 115 24 Nasroen Harun, Fiqh Muamalah, h. 115 25 Nasroen Harun, Fiqh Muamalah, h. 116