Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ajaran yang terkandung di dalam al- Qur’ n mengandung tiga aspek yaitu akidah, ibadah dan muamalah. Dari ketiga aspek di atas, akidah atau tauhid merupa- kan ajaran terpenting karena mengandung ajaran tentang pengakuan terhadap keesaan All h secara murni dan konsekuen. 1 Ajaran tauhid menjadi basis utama seorang bisa dikatakan sebagai Muslim. Di dalam literatur Islam ajaran tentang tauhid dibahas di dalam ilmu kalam. 2 Dalam hal ini ilmu kalam merupakan ilmu yang paling mulia 3 dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya karena menyangkut masalah keimanan seorang kepada All h tanpa ada rasa ragu dan bimbang. 4 Di dalam sejarah Islam dikenal banyak kelompok firqoh yang mewarnai perkembangan pemikiran kalam di kalangan ulama salaf di antaranya; Khaw rij, Murji’ah, Mu‘tazilah, Ahl al-Sunnah dan sebagainya. 5 Kalau dilihat secara sepintas ada gap antara satu kelompok dan kelompok yang lain yang tak jarang pula karena tidak bisa dikompromikan menjurus kepada klaim kebenaran sepihak yang ber- implikasi adanya klaim kufr terhadap kelompok yang dinilai berseberangan paham dengan paham lainnya. Masing-masing kelompok dalam mempertahankan argu- 1 Harun Nasution mengemukakan bahwa 86 dari 114 surat al- Qur’ n merupakan surat Makkiah dan 28 merupakan surat Madaniah. Kalau ditinjau dari segi ayat, jumlahnya adalah 6236 dan 4780 ayat atau 76,65 daripadanya adalah ayat-ayat Makkiah yang merupakan tiga perempat dari isi al- Qur’ n dan pada umumnya mengandung petunjuk dan penjelasan tentang keimanan. Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam Jakarta: UIPress, 1980, h. 26-7. 2 Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan Bandung: Mizan, 1987, h. 277- 8. 3 Mu ammad bin ‘Abd al-Ra m n al-Kham s, I‘tiq d al-A’immah al-Arba‘ah ẒRiy : Maktabah al-Malik Fahd, 1345 H, h. 18. 4 A mad Far d, ‘Aqīdah Ahl al-Sunnah Wa al-Jam ‘ah Kairo: Maktabah al-Fayy , 2005, h. 4. 5 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan Jakarta: UI Press, 2011, h. 11. mennya beristimba dengan dalil-dalil yang ada di dalam al- Qur’ n dan ad ts. Walaupun antara satu kelompok dengan kelompok yang lain beristimba dengan dua sumber utama al- Qur’ n dan ad ts yang sama, tetapi karena adanya perbeda- an penafsiran dan pemahaman terhadap na maka perbedaan antar kelompok di dalam ilmu kalam menjadi hal yang niscaya. Oleh karena itu, mengetahui pemikiran kalam seorang ulama salaf dan cara mereka beristimba menjadi sangat penting mengingat mereka adalah generasi awal yang notabenenya adalah orang yang masa hidupnya dekat dengan Nabi Saw. dan dikenal sebagai generasi terbaik karena dalam hal bertindak selalu berdasarkan apa yang dilakukan oleh Sahabat dan Nabi Saw. termasuk dalam hal akidah. 6 Ulama salaf yang paling layak dijadikan prototype di dalam masalah akidah adalah Abū an fah Ẓ80-150 H. Ia adalah imam panutan orang-orang salaf dalam masalah akidah 7 dan termasuk mutakallim pertama —dari kalangan al-fuqah ’— dalam sejarah umat Islam yang banyak berbicara tentang dasar-dasar agama al- u l al-dīniyyah. Selain dikenal sebagai mutakallim pertama, ia juga dikenal seba- gai orang pertama yang mengodifikasikan dasar-dasar agama al-u l al-dīniyyah ke dalam sebuah tulisan buku bahkan ia secara sistematis menuliskannya ke dalam bab-bab 8 yang tidak ada seorang pun yang mendahuluinya. Hal ini dikarenakan para sahabat dan t b‘ n tidak menuliskan ilmu-ilmu agama ke dalam bentuk buku kitab 6 Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Saw, هريُ َنرُقَيه َنييياهيُ هريُ َنرُقَيه َنييياهيُ ه يِرر َقه يِم ُ ثهُ رَْ ‘sebaik-baik umatku adalah yang hidup pada zamanku sahabat, kemudian generasi setelahnya t bi‘īn, dan generasi setelahnya t bi‘ al-t bi‘īn’. Ibn ajar al-‘Asqal n , Fat al-B rī Bi Syar a ī al- Bukh rī ẒBeirut: D r al-Fikr, t.tn, Jld. 7, h. 3. 7 Wahb Sulaym n Gh wij , Ab anīfah al-Nu‘m n: Im m al-A’immah al-Fuqah ’ Beirut: D r al-Qalam, 1993, h. 299. Selanjutnya disebut Wahb Sulaym n, Ab anīfah al-Nu‘m n 8 ‘Abd al-Q hir bin hir al-Baghd d , U l al-Dīn Istanbul: al-Dawlah, 1928, h. 308., A mad bin asan al- Bay al- anaf , Isy r t al-Mar m Min ‘Ib r t al-Im m Abī anīfah al- Nu‘m n Fī l al-Dīn ẒBeirut: D r Kutub al-‘Ilmiyyah, 2007ẓ, h. 19. Selanjutnya disebut al- Bay , Isy r t al-Mar m tetapi mereka mengandalkan kekuatan hafalan yang disimpan di dalam hati. 9 Tercatat dari banyak karyanya yang dapat dibaca sampai zaman sekarang di antara- nya al-Fiqh al-Akbar, al-Fiqh al-Absa , al- ‘ lim Wa al-Muta‘allim, Ris lah kepada ‘Utsm n al-Batt dan al-Wa iyyah. Di dalam lima karyanya di atas ia begitu jeli melihat berbagai persoalan yang terkait dengan masalah akidah, ia juga menyajikan berbagai argumennya dengan dalil-dalil yang jelas dan akurat untuk membantah berbagai macam paham yang menurutnya tidak sejalan dengan al- Qur’ n dan ad ts dari kelompok-kelompok Mu‘tazilah, Khaw rij, Sy ‘ah, Qadariyyah, Dahriyyah, dan sebagainya. Hal inilah yang mengindikasikan bahwa Abū an fah menaruh perhatian yang sangat besar terhadap masalah akidah, sekaligus membantah pandangan yang mengatakan bahwa ia telah meninggalkan pemikiran ahl al-kalam untuk kemudian beralih ke pemikiran u l al-fiqh dengan berpegang teguh kepadanya dan meninggalkan diskursus seputar kalam. Berdasarkan argumen di atas maka tidak heran jika banyak peneliti yang membahas tentang pemikiran Abū an fah sebatas permasalahan seputar ilmu fiqh dan u l al-fiqh ketimbang dari aspek akidahnya. Padahal Abū an fah sendiri pernah mengatakan di dalam al-Fiqh al-Absa bahwa al- fiqh fī al-dīn af al min al- fiqh fī al-a k mṬ Walian yatafaqqah al-rajul kayfa ya‘budu rabbahu khayrun lahu min an yajma‘a al-‘ilm al-katsīr pemahaman agama [akidah] lebih baik ketimbang 9 Dalam kondisi seperti itulah Abū an fah berinisiatif untuk menuliskan ilmu-ilmu agama ke dalam bentuk buku karena melihat persebaran ilmu yang sudah meluas dan dikhawatirkan akan musnah. Sebagaimana disabdakan oleh Nabi Saw. ههوس تناهنمه زنيهاازناهيق ّاهضه ياه اهتن هكرماه زنيه متنإ ىهيكهوء مق ّا ه ْغاهنرهفيكهو ت جهء حؤ نرتقلضههنرتقليكهيق ه . ‘All h tidak akan mencabut ilmu sekaligus dari manusia, tetapi dengan perantara matinya ulama. Sampai tersisa pemimpin-pemimpin bodoh yang memberi fatwa tanpa dengan ilmu maka menjadi sesat dan bertambah sesat’. Ibn ibb n, a ī Ibn ibb n bi Tartīb Ibn Balb n ẒBeirut: Mu’assah al-Ris lah, 1993ẓ, Jld. 15, h. 118. pemahaman hukum [fikih] karena pemahaman seorang bagaimana menyembah Tuhannya lebih baik ketimbang mengumpulkan ilmu yang banyak. 10 Dari ucapan di atas nampak bahwa yang menjadi prioritas utama baginya adalah tentang masalah akidah karena menyangkut masalah keimanan seorang hamba dengan Tuhannya. Bukankah hal yang pertama kali wajib bagi setiap makhluk adalah mengenal Tuhan ma‘rifat al-il h? 11 dan pembahasan tentang ini mengenal All h tidaklah dibahas melainkan di dalam masalah akidah kalam. Pada umumnya pendapat Abū an fah tentang kalam sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang terkandung di dalam al- Qur’ n dan ad ts. Karena menurutnya al- Qur’ n dan ad ts adalah dua sumber primer di dalam Islam yang wajib diikuti. Selain berpegang kepada al- Qur’ n dan ad ts, ia juga banyak menggunakan dalil- dalil ‘aqliyyah sehingga banyak ulama yang menyebutnya sebagai ahl al-ra’y orang-orang yang menempatkan rasio pada posisi tertinggi. 12 Perpaduan antara ketiganya al- Qur’ n, ad ts dan rasio inilah yang membuat setiap argumennya sulit untuk dibantah oleh setiap lawannya sehingga pendapatnya banyak diikuti oleh generasi setelahnya. Selain itu, pendapat Abū an fah juga memiliki banyak persamaan dengan pendapat-pendapat imam ahl al-sunnah wa al-jam ‘ah dan bahkan menurut ‘Al S m al-Nasysy r, Abū an fah beserta ulama salaf dari golongan ahl al- ad ts 13 adalah penabur benih paham ahl al-sunnah wa al-jam ‘ah 10 Abū an fah, al-Fiqh al-Absa Kairo: al-Anw r, 1368, h. 40. 11 ‘Abd al-Ra m n bin A mad al- j , al-Maw qif Fī ‘Ilm al-Kal m ẒMakah: D r al-B r, t.tẓ, h. 32. 12 Mu af ’ ‘Abd al-R ziq, Tamhīd Li T rīkh al-Falsafah al-Isl miyyah Kairo: Lajnah al- Ta’l f Wa al-Tarjamah, 1959, h. 205. 13 ‘Al Mu af ’ al-Ghur b telah membuat periodisasi yang sangat bagus terkait dengan perkembangan ilmu kalam mulai zaman Nabi Saw, sahabat, dan masa setelahnya yang pada akhirnya ia mengatakan bahwa benih-benih pemikiran kalam sudah ada pada zaman Nabi Saw. ‘Al Mu af ’ al-Ghur b , T rīkh al-Firaq al-Isl miyyah Wa Nasy’at ‘Ilm al-Kal m ‘Ind al-Muslimīn Kairo: Maktabah Mu ammad ‘Al ab h wa Awl duhu, t.tẓ, h. 8-40. Selanjutnya disebut al- Ghur b , T rīkh al-Firaq al-Isl miyyah sebelum di-bentuk formulasi yang baku oleh Ab ū al- asan al-Asy‘ar dan Abū Man ūr al-M tur d . 14 Pendapat Abū an fah yang paling terkenal adalah pendapatnya tentang sifat Tuhan. Di saat dunia Islam dihebohkan dengan pendapat Mu‘tazilah bahwa All h tidak mempunyai sifat ta‘ īl al- ifat, dilain pihak ada kolompok yang mengatakan bahwa sifat All h identik dengan makhluk-Nya tasybīh, ia lebih memilih posisi tengah-tengah wasa di mana ia mengatakan: All h mengetahui, tetapi bukan dengan cara kita mengetahui, Dia berkuasa, tetapi bukan dengan cara kita berkuasa, Dia melihat, tetapi bukan cara kita melihat. Dia mendengar, tetapi bukan dengan cara kita mendengar. Dia ber- bicara, tetapi bukan dengan cara kita berbicara. Kita berbicara dengan anggota dan bunyi, tetapi All h tidak berbicara dengan anggota dan bunyi. Bunyi adalah makhluk, sedangkan perkataan All h bukan makhluk. 15 Abū an fah membuat sintesis dengan mengambil sikap di antara paham ta‘ īl dan tasybīh. Paham ta‘ īl menurutnya telah mengingkari sifat Tuhan yang ter- dapat di dalam ẓ hir ayat al-Qur’ n, sementara paham tasybīh telah mempersama- kan sifat Tuhan yang terdapat di dalam al- Qur’ n dengan sifat makhluk. Menurut- nya kedua paham ini telah menyalahi na dan bertentangan dengan akal sehat al- ‘aql al-salīm. Sikap yang diambil dalam masalah ini adalah menetapkan sifat Tuhan seperti wajah wajh, tangan yad, mata ‘ayn dan lain-lain. Sebagaimana yang terdapat di dalam al- Qur’ n Ẓkhabar al- diq, dan tidak dipersepsikan dengan bentuk rah yang sama dengan makhluk. 16 Pendapat yang tidak kalah menarik dari persoalan di atas adalah tentang per- soalan iman dan kafir. Ia mengatakan bahwa: 14 ‘Al S m al-Nasysy r, Nasy’at al-Fikr al-Falsafī ẒKairo: D r al-Ma‘ rif, 1977ẓ, Jld. 1, h. 234. Selanjutnya disebut al- Nasysy r, Nasy’at al-Fikr al-Falsafī 15 Al-Mu ll ‘Al al- anaf , Syar al-Fiqh al-Akbar Li al-Im m Abī anīfah ẒBeirut: D r al- Kutub al- ‘Ilmiyyah, 1984ẓ, h. 50-1. ẒSelanjutnya disebut ‘Al al- anaf , Syar al-Fiqh al-Akbar 16 Al- Bayhaq , al-Asm ’ Wa al- if t ẒBeirut: D r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.tẓ, h. 363. Iman adalah pengakuan iqr r dengan lisan dan membenarkan dengan hati jann n. Maka hanya dengan iqr r saja, tidaklah seorang bisa dikatakan sebagai beriman. Karena kalau hanya iqr r saja bisa dikatakan beriman, maka orang-orang munafik semuanya adalah beriman. Begitu juga mengetahui All h [sebagai pencipta] semata tidak bisa dikatakan sebagai orang yang beriman. Karena kalau hanya mengetahui All h [sebagai pencipta] maka ahli kitab orang Yahudi dan Nasrani semuanya adalah beriman. 17 Jika dicermati berbagai pendapat- pendapat yang dikemukakan oleh Abū an fah di dalam karya-karyanya maka akan banyak ditemukan pandangannya ten- tang akidah yang sejalan dengan pandangan al-salaf al- li īn dari kalangan ahl al- ad ts, di mana corak pemikiran seperti ini adalah basis bagi corak pemikiran ahl al-sunnah wa al-jam ‘ah. Namun demikian ada beberapa aspek yang berbeda antara pandangan Abū an fah dengan mayoritas pandangan al-salaf al- li īn misalnya dalam masalah keimanan. Mayoritas al-salaf al- li īn berpendapat bahwa kadar keimanan seseorang dapat bertambah dan berkurang al- īm n yazīd wa yanqu , tetapi Abū an fah justru berpendapat sebaliknya dengan mengatakan al- īm n l yazīd wa l yanqu . 18 Terkai t dengan hal ini, Sufy n al-Tsawr w.161 H pernah berkata, ‘perbedaan yang mencolok antara akidah kami al-salaf al- li īn dan orang Murji’ah adalah kami berpendapat bahwa al- īm n yazīd wa yanqu sedangkan mereka Murji’ah mengatakan al- īm n l yazīd wa l yanqu ’. 19 Dalam menyikapi pendapat seperti di atas, Abū an fah banyak melakukan pembelaan terhadap diri sendiri, lebih jauh ia mengatakan ‘berkurangnya iman mengindikasikan akan bertambahnya kekafir- an, dan bertambahnya iman mengindikasikan berkurangnya kekafi ran’. Bagaimana 17 Akmal al- D n al-B bart , Syar Wa iyyah al-Im m Abī anīfah Ẓ‘Amm n: D r al-Fat , 2009, h. 141. 18 Akmal al- D n al-B bart , Syar Wa iyyah, h. 141. 19 Al- usayn bin Mas‘ūd al-Baghaw , Syar al-Sunnah Beirut: al-Maktabah al-Isl m , 1983, Jld. 1, h. 41. mungkin seseorang dalam satu waktu beriman dan di waktu lain kafir? Tandas Abū an fah. 20 Dalam hal ini rasio memainkan peranan yang sangat penting dalam setiap argumen yang dibangun olehnya yang kemudian menjadi dasar yang kuat bagi paradigma pemikiran kalam yang dibentuknya. Pada umumnya, pemikiran kalam Abū an fah yang tersebar luas di dalam karya-karyanya merupakan jawaban atas berbagai macam problematika yang diha- dapinya pada masa itu khususnya dalam mengcounter pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh kelompok Khaw rij, Mu‘tazilah, Murji’ah, Qadariyyah, Jabariy- yah dan sebagainya. Pendapat-pendapat tersebut pada masa itu berkembang pesat di wilayah ‘Ir q, khususnya di Ba rah dan Kūfah sehingga berdampak banyak masyarakat yang terpengaruh dan mulai mempertanyakan akidah yang selama ini mereka pegang. Kemunculan kelompok di atas juga membuat para ulama dari kalangan ahl al- ad ts dan fikih berbondong-bondong menyusun strategi untuk menolak paham tersebut yang disinyalir menyalahi ketentuan na dan berbeda dengan paham ahl al- sunnah. 21 Dalam hal ini, Abū an fah sebagai ahli kalam mutakallim sekaligus ahli ad ts Ẓmu addits dan ahli fikih faqīh mencoba memberikan alternatif jawaban yang relatif berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh kelompok tersebut yaitu jawaban yang berdasarkan argumentasi rasional yang sejalan dengan na . Berkat jawaban-jawaban yang diberikan tersebut, Abū an fah mempunyai peranan yang signifikan dalam meneruskan tongkat estafet akidah para salaf yang sesuai dengan koridor al- Qur’ n dan ad ts. Sehingga banyak ulama setelahnya 20 Akmal al- D n al-B bart , Syar Wa iyyah, h. 63. 21 Mu af ’ ilm , Manhaj ‘Ulam ’ al- adīts Wa al-Sunnah Fī U l al-Dīn ẒKairo: D r al- ‘Ulūm, 1992ẓ, h. 50. yang mengikuti manhaj yang ia digunakan dalam menolak paham kelompok Khaw rij, Mu‘tazilah, Murji’ah, dan sebagainya. Ulama yang secara terang- terangan mengikuti paham Abū an fah dalam masalah akidah adalah Abū Man ūr al- M tur d w.333 H yang dikenal sebagai syaykh ahl al-sunnah. Hal ini dibuktikan dengan persisnya penjelasan yang dikemukakan oleh al- M tur d di dalam kitab-kitabnya dengan penjelasan Abū an fah. Bukan hanya sebatas itu, al- M tur d juga secara khusus telah menulis komentar Ẓsyar atas kitab al-Fiqh al- Akbar karya Abū an fah. 22 Ulama lainnya yang mengikuti manhaj Abū an fah adalah Abū Ja‘far al- a w . Di dalam pendahuluan kitab ‘Aqīdah al- a wiyyah ia menjelaskan bahwa pembahasan akidah di dalam kitabnya tersebut berdasarkan pendapat Abū an fah, Ab ū Yūsuf al-An r , dan Abū ‘Abdillah al-Syayb n . 23 Selain Ab ū an fah yang mempunyai pemikiran kalam yang sejalan dengan akidah al-salaf al- li īn, akan dijumpai pula pemikiran kalam yang tidak jauh berbeda dengannya dari pemikiran ulama-ulama terdahulu seperti M lik bin Anas w.179 H, al- Sy fi‘ w.204 H, A mad bin ambal w.241 H, al-Awz ‘ w.157 H, Ibn al- Mub rak w.181 H, al-Tsawr w.161 H, al-Layts bin Sa‘d w.175 H, Is q bin Ruhawayh w.238 H, Mu ammad bin Khuzaymah w.311 H, Ibn Jar r al- abar w.310 H, al-Bukh r w.256 H, dan lain-lain dari ulama al-salaf al- li īn. 24 Akidah mereka adalah sama seperti apa yang dilakukan oleh para sahabat dan t bi‘ n yaitu apa yang tertera di dalam al-Qur’ n dan ad ts. 22 Abū Man ūr al-M tur d , Syar al-Fiqh al-Akbar Qatar: al-Syu’ūn al-D niyyah, t.t 23 ‘Al bin ‘Al bin Ab al-‘Iz, Syar ‘Aqīdah al- a wiyyah Beirut: al-Maktabah al-Islam , 2006, h. 6. 24 A mad bin ‘Abd al- al m bin Taymiyyah al- arr n , Manh j al-Sunnah al-Nabawiyyah Beirut: Mu’assasah Qur ubah, 1405 H, Jld. 2, h. 106.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah