Pembatasan dan Rumusan Masalah

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Pembatasan masalah pada suatu penelitian harus dilakukan supaya tidak membahas semua kemungkinan yang bisa muncul. Oleh karena itu, dalam pene- litian ini perlu diketahui tentang pengertian dari ilmu kalam itu sendiri dan siapa yang disebut dengan istilah mutakallim orang yang concern dalam bidang kalam. Al- j mendefinisikan ilmu kalam sebagai ‘ilmu yaqtadiru ma‘ahu ‘al itsb t al- ‘ q ’id al-dīniyyah bi īr d al- ujaj wa daf‘ al-syibah 25 ilmu yang memberikan kemampuan untuk membuktikan kebenaran akidah agama dengan menunjukkan ujjah guna melenyapkan keraguan. Senada dengan al- j , A mad Fu d al-Ahw n —sarjana muslim asal Mesir yang banyak menulis tentang filsafat —mendefinisikan ilmu kalam sebagai rangkai- an argumentasi rasional al- ujjah al- ‘aqliyyah yang disusun secara sistematik untuk memperkokoh kebenaran akidah agama Islam. 26 Dari definisi yang dikemukakan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang membahas tentang masalah akidah keimanan sese- orang dengan menggunakan argumentasi rasional al-adillah al- ‘aqliyyah. 27 Al- Ghazz l menambahkan bahwa tujuan dari ilmu kalam adalah untuk menjaga akidah ahl al-sunnah yang benar dari kekacauan akidah ahl al- bid‘ah. 28 Jika yang dimaksud dengan ilmu kalam adalah sebagaimana yang didefinisi- kan di atas, maka setiap orang yang mempertahankan akidah yang benar dari 25 Al- j , al-Maw qif Fī ‘Ilm al-Kal m, h. 7. 26 A mad Fu d al-Ahw n , Filsafat Islam Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008, h. 17. 27 Al-Nasys y r, Nasy’at al-Fikr al-Falsafī, Jld. 1, h. 48. 28 Mu ammad bin Mu ammad al- Ghazz l , Ilj m al-‘Aw m ‘An ‘Ilm al-Kal m ẒBeirut: D r al-Fikr, 1993, h. 33. akidah ahl al- bid‘ah dengan menggunakan argumentasi rasional dapat disebut sebagai mutakallim. Dalam hal ini, Abd al- Q hir al-Baghd d telah mengungkapkan bahwa istilah mutakallim sudah ada dari masa ke masa yaitu dimulai dari masa sahabat. Ia juga menyebutkan nama-nama mutakallim dari kalangan ahl al-sunnah di antaranya ‘Al bin Ab lib, ‘Abdullah bin ‘Umar Ẓdari kalangan sahabatẓ, ‘Umar bin ‘Abd al- ‘Az z, Zayd bin ‘Al bin al- usayn bin ‘Ali bin Ab lib, al- asan al-Ba r , al- Sya‘b , al-Zuhr Ẓdari kalangan t bi‘ nẓ, Ja‘far bin Mu ammad al- diq, Abū an fah, al-Sy fi‘ , al- rits bin Asad al-Mu sib , Abū ‘Ali al-Kur b s , arma- lah al-Buway , D wud al-I bah n , dan lain-lain. 29 Mereka merupakan para pemuka mutakallimin dari kalangan ahl al-sunnah yang senantiasa mempertahan- kan akidah yang benar dari akidah yang ‘menyimpang’ seperti kaum Qadariyyah, Jabariyyah, Mu‘tazilah, Khaw rij dan sebagainya. 30 Pada umumnya pembahasan atau masalah pokok yang dikemukakan dalam ilmu kalam —sebagaimana yang dikatakan Mu ammad ‘Abduh—membahas tentang wujud All h, sifat-sifat yang wajib dan boleh bagi-Nya, dan apa yang wajib 29 ‘Abd al-Q hir bin hir al-Baghd d , U l al-Dīn Istanbul: al-Dawlah, 1928, h. 308. 30 Pelabelan kata ‘menyimpang’, ‘sesat’, ‘kafir’, dan lainnya kepada kelompok Qadariyyah, Jabariyyah, Mu‘tazilah, Khaw rij dan sebagainya menurut sebagian peneliti mempunyai problematikanya sendiri karena tidak ada ketegorisasi yang baku rigid tentang definisi kelompok yang menyimpang. Kelompok yang dikatakan ‘menyimpang’ seperti disebut di atas hanya mempunyai justifikasi dari kalangan yang berafiliasi pada kelompok ahl al-sunnah. Sementara kalau dilihat dari kacamata mereka, kelompok ahl al- sunnah juga dicap sebagai kelompok ‘menyimpang’. Hal ini menjadikan klaim kebenaran truth claim dari satu pihak dan menganggap pihak lain salah tidak dapat dielakka n. Namun perlu ditegaskan di sini bahwa penyebutan kata ‘menyimpang’ kepada kelompok selain ahl al- sunnah dalam penelitian ini mengikuti apa yang dikatakan oleh Abū an fah yang menganggap kelompok di atas sebagai kelompok yang ‘menyimpang’. Menurut al-Bay , diperbolehkan memberi label ‘menyimpang’ pada suatu kelompok jika berkaitan dengan urusan yang mesti dilakukan dalam hal agama al- ar riyy t al-dīniyy tẓ, seperti menjauhkan dz t All h dari segala sifat kekurangan, dll. Kam l al-D n A mad bin usayn al-Bay , Isy r t al-Mar m Min ‘Ibar t al-Im m Abī anīfah al-Nu‘m n Fī U l al-Dīn ẒBeirut: D r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2007, h. 147., dan hal ini juga tidak bisa dilepas dari kepentingan politik, sosial, dan keagamaan sebagian kelompok atas kelompok yang lain yang berkembang pada masa itu. dinafikan bagi-Nya, juga membahas tentang rasul-rasul-Nya, untuk membuktikan kebenaran tugas kerasulan mereka, dan apa yang wajib ada pada mereka dan apa yang boleh dinisbatkan kepada mereka. 31 Sebagian yang lain mengemukakan bahwa masalah yang paling urgen dalam ilmu kalam adalah tentang masalah keesaan Tuhan. Di samping itu juga dibahas tentang masalah kerasulan, akal, dan wahyu, al- Qur’ n, soal mukmin, kafir, dan musyrik, soal hubungan antara khalik dan makhluk-Nya terutama manusia, yaitu menyangkut perbuatan manusia, janji dan ancaman, kemutlakan kehendak dan kekuasaan Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan Tuhan, surga dan neraka, soal taklif dan lain sebagainya. 32 Abū an fah di dalam lima karyanya yang sudah tersebar luas di dunia Islam yaitu al-Fiqh al-Akbar, al-Fiqh al-Absa , al- ‘ lim Wa al-Muta‘allim, Ris lah kepa- da ‘Utsm n al-Batt dan al-Wa iyyah juga banyak membahas tentang persoalan- persoalan seputar kalam sebagaimana yang dijelaskan di atas. Namun dalam peneli- tian ini akan dibatasi pada pemikiran kalam Abū an fah tentang Tuhan dan manu- sia. Karena kedua pembahasan tersebut merupakan inti dari pemikiran Abū an fah yang tersebar di dalam karya-karyanya. Sedangkan dalam merumuskan masalah dalam penelitian ini, penulis akan mengajukan pertanyaan, pertama, bagaimana pemikiran kalam Abū an fah tentang Tuhan dan kedua, bagaimana pemikiran kalam Abū an fah tentang manusia? 31 Mu ammad ‘Abduh, Ris lat al-Taw īd ẒKairo: D r al-Man r, 1366 Hẓ, h. 7. 32 Tsuroya Kiswali, al-Juwaini, Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam Jakarta: Erlangga, 2005, h. 7.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian