C. Free Will dan Predestination
Free will Qadariyyah adalah paham yang mengatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuat-
annya. Sedangkan predestination Jabariyyah adalah paham yang mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan
perbuatannya.
84
Dalam berbagai karyanya, Abū an fah banyak membicarakan
persoalan ini khususnya dalam mengetengahkan dua paham yang saling bertentang- an yaitu kelompok Mu‘tazilah yang berpaham Qadariyyah dan kelompok
Jahmiyyah yang berpaham Jabariyyah. Tulisan ini akan menguraikan berbagai persoalan yang terkait dengan kedua
paham di atas di antaranya pembahasan tentang hubungan antara kehendak mutlak Tuhan dan manusia, daya manusia tercipta bersamaan dengan perbuatan tersebut,
dan teori kasb yang dicetuskan oleh Abū an fah. Berikut penjelasannya;
1. Antara kehendak Tuhan dan Manusia
Pada masa di mana Abū an fah hidup terdapat dua paham yang saling ber-
tentangan dalam memberikan porsi terhadap kehendak mutlak Tuhan dan manusia. Di satu sisi ada kelompok Mu‘tazilah yang berpendapat bahwa Tuhan tidak
mempunyai kehendak mutlak semutlak-mutlaknya karena telah dibatasi oleh kebebasan yang telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan
perbuatan. Di sisi lain ada kelompok Jabariyyah yang berpendapat Tuhan bersifat mutlak sehingga manusia tidak mempunyai daya dan kekuasaan sama sekali.
85
84
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 33.
85
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 118-9.
Dalam menyikapi persoalan di atas Abū an fah memberikan kontribusi
besar dalam menyelesaikan persoalan tersebut dengan mengambil jalan tengah wasa . Di mana ia mempertahankan kehendak mutlak Tuhan tetapi tidak sebanyak
yang diberikan oleh kelompok Jabariyyah dan memberikan daya dan kekuasaan kepada manusia tetapi tidak sebanyak yang diberikan kelompok Mu‘tazilah.
Abū an fah memberikan uraian yang sangat baik terkait dengan pembahas- an kehendak mutlak Tuhan di dalam al-Fiqh al-Absa , di mana Tuhan dipandang-
nya sebagai Dz t Yang Maha Berkuasa dan Maha Berkehendak. Tuhan bersifat
absolut dalam kehendak dan kekuasaan-Nya. Di samping itu manusia juga memiliki daya yang dapat merealisasikan perbuatannya tersebut. Dalam dialog dengan
Abū Mu
‘ al-Balkh , ia menulis sebagai berikut:
86
Abū an fah ditanya; bagaimana pendapatmu jika All h menghendaki untuk menciptakan semua makhluk menjadi taat seperti Malaikat, apakah
All h mampu berbuat demikian?
87
Jika anda mengatakan ‘tidak’, berarti Ẓandaẓ telah menyifatkan All h dengan sesuatu yang tidak disifatkan untuk diri-Nya, sementara
All h berfirman Dan Dia- lah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya: Qs. al-
An‘ m[6]:18ẓ, dan Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu: Qs. al-
An‘ m[6]:65. Ya,
All h mampu berbuat demikian, jawab Abū an fah Bagaimana pendapatmu jika
All h menghendaki Iblis menjadi taat seperti Jibril. Apakah
All h mampu berbuat demikian?
86
Abū an fah, al-Fiqh al-Absa Kairo: al-Anw r, 1368 Hẓ, h. 55.
87
Abū an fah, al-Fiqh al-Absa , h. 55.
Jika anda mengatakan ‘tidak’, berarti anda tidak percaya dengan firman-Nya dan telah menyifatkan
All h dengan sifat yang tidak semestinya. Ya,
All h mampu berbuat demikian, jawab Abū an fah Lantas, apakah orang yang berzina, meminum arak, atau menuduh berzina itu
semua atas kehendak All h?
Ya, atas kehendak All h, jawab Abū an fah
Mengapa orang tersebut terkena hukuman? Karena ia tidak meninggalkan apa yang
All h perintahkan untuk meninggal- kan hal tersebut.
88
Ia membuat permisalan seandainya seorang membunuh budaknya yang itu merupakan atas kehendak
All h, maka atas dasar orang tersebut membunuh selu- ruh manusia akan mencelanya. Sementara jika ia membebaskan budaknya, maka
seluruh manusia akan memujinya. Kedua hal tersebut terjadi atas kehendak All h.
Seorang berbuat atas kehendak All h tetapi dari segi ia melakukan perbuatan mak-
siat, All h tidak meri ai perbuatan tersebut. Karena jika All h melakukan hal
tersebut maka All h bersifat tidak adil.
89
Adapun pertanyaan mengapa seorang tersebut terkena hukuman adalah pertanyaan yang cacat lantaran mereka tidak meyakini akan kehendak
All h dalam perbuatan maksiat. Tidaklah hukuman diberikan kecuali kepada orang yang mela-
kukannya seperti meminum arak dan semua orang melakukan perbuatan tersebut atas kehendak
All h.
90
88
Abū an fah, al-Fiqh al-Absa , h. 55.
89
Abū an fah, al-Fiqh al-Absa , h. 55.
90
Abū an fah, al-Fiqh al-Absa , h. 55.
Dalam banyak kasus sebagaimana disebut di atas nampak bahwa kehendak mutlak Tuhan mendominasi sistem teologi
Abū an fah, di mana ia meyakini bah- wa segala apa yang
All h kehendaki itu pasti ada bisa dan apa yang tidak All h kehendaki maka tidak akan ada. Kekuasaan dan kehendak mutlak
All h seperti yang digambarkan di atas juga dapat dilihat dari pendapatnya tentang pelaku dosa
besar. Dalam kasus pelaku dosa besar ia mengatakan bahwa apabila pelaku dosa besar meninggal dunia sebelum bertaubat maka nasibnya ditentukan oleh kehendak
mutlak All h. Jika All h mengendaki maka akan di masukkan ke dalam neraka
begitu juga jika All h menghendaki maka akan dimasukkan ke dalam surga.
91
Pada dasarnya semua yang ada di alam ini berjalan atas kekuasaan All h dan
kehendak-Nya . Atas dasar ini pula Abū an fah mendefinisikan keadilan Tuhan se-
bagai Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan tidak ada yang berkuasa selain-Nya. Sedangkan ke
ẓ liman didefinisikan apabila hak-hak manusia sebagai hamba diabaikan oleh
All h.
92
Persoalan selanjutnya adalah jika dikatakan bahwa menurutnya segala yang ada di alam ini atas kehendak mutlak
All h, mengapa orang yang melakukan perbu- atan maksiat akan disiksa di neraka? Bukankah manusia berbuat demikian atas
kehendak-Nya? Apakah All h juga menciptakan sekaligus menghendaki kafir dan
beriman pada diri manusia? Jika demikian mengapa All h mencela dan memasuk-
kan orang kafir ke dalam neraka. Bukankah hal demikian atas kehendak-Nya? Dalam pandangan Abū an fah, walaupun semuanya terjadi atas kehendak
All h tetapi perbuatan yang dilakukan oleh manusia tersebut tidak disukai atau
91
Penjelasan tentang pelaku dosa besar sudah penulis paparkan secara panjang lebar pada bab sebelumnya.
92
Abū an fah, al- lim Wa al-Muta‘allim, h. 16.
diri ai oleh All h Swt. Karena menentang ri a All h, tidaklah dikatakan bahwa
All h bersifat tidak adil kalau memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat.
93
Lalu apakah dalam hal ini sistem pemikiran teologinya, Tuhan mempunyai kekuasaan dan kehendak semutlak-mutlaknya sebagaimana yang dikatakan oleh
Jahm bin afw n sehingga manusia tidak mempunyai daya sama sekali?
94
Sehingga muncul anggapan bahwa
All h sudah menciptakan kekafiran pada diri seseorang pada zaman
azalī sebagaimana All h juga menciptakan orang yang beriman pada zama
azalī? Posisi mana yang diambil Abū an fah dalam menjawab diskursus tentang iman dan kafir. Apakah iman berasal dari All h yang diberikan kepada
manusia atau berasal dari manusia itu sendiri atau bahkan setengah dari All h dan setengah dari usaha manusia?
Pertanyaan di atas dijawab oleh Abū an fah dengan mengatakan bahwa
All h menciptakan semua makhluk terbebas dari kesan kafir dan beriman, sampai datanglah khi
b berupa perintah amr dan larangan nahy. Kemudian berimanlah orang yang beriman dan kafirlah orang yang kafir. Orang kafir disebabkan oleh
perbuatan, keingkaran, dan penentangannya sendiri dengan kehinaan yang ditimpa- kan
All h. Sedangkan orang beriman disebabkan oleh perbuatan, penetapan, dan pembenarannya sendiri dengan taufiq dan pertolongan-Nya.
95
Kedua sifat ini iman dan kafir adalah upaya yang dilakukan manusia di dunia.
96
93
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 127.
94
‘Al Mu af al-Ghur b , T rīkh al-Firaq al-Isl miyyah Wa Nasy’at ‘Ilm al-Kal m ‘Ind al- Muslimīn Kairo: Maktabah Mu ammad ‘Al ab h wa Awl duhu, t.t,
h. 21.
95
‘Al al-Q r , Syar al-Fiqh al-Akbar, h. 72-3.
96
‘Al S m al-Nasysy r, Nasy’at al-Fikr al-Falsafī Kairo: D r al-Ma‘ rif, 1977, Jld. 1, h. 239.
Senada dengan apa yang dikemukakan oleh Abū an fah, Maymūn bin
Mu ammad al- Nasaf Ẓw.508 H, pengikut al-Matur diyyah, dalam Ba r al-Kal m
mengatakan bahwa iman adalah hasil perbuatan manusia dengan bantuan hidayah All h. Perkenalan Ẓta‘rīfẓ iman sendiri dari All h, sedangkan mengetahui dan usaha
untuk mengenal ta‘arrufẓ berasal dari manusia. Hidayah dari All h, sedangkan
mencari hidayah dari manusia. Tawfīq dari All h, sedangkan mengharapkan tawfīq
dari manusia.
97
Al- Nasaf memberikan konklusi atas pandangan Abū an fah di atas dengan
mengatakan bahwa iman dan kafir tidak mungkin diciptakan oleh manusia itu sendiri, karena akan menjurus pada pandangan Qadariyyah yang menganggap
manusia sanggup untuk mewujudkan segala perbuatannya sendiri bahkan jauh sebelum perbuatan itu dikerjakan qabl al-
fi‘l dan tidak membutuhkan kepada kekuatan dan pertolongan All h Swt. Iman
juga bukan berasal dari All h yang diberikan kepada manusia, karena akan menjurus pada pandangan Jabariyyah yang
menganggap manusia dalam keterpaksaan majb r menerima iman dan kafir. Dan
iman juga bukan hasil ciptaan perpaduan antara Tuhan dan manusia, karena akan dipersepsikan akan ada dua pencipta yang berarti musyrik dan ini tidak dapat
dibenarkan di dalam agama.
98
Selanjutnya untuk memperkuat argumentasinya tersebut Abū an fah
mengembangkan pemikirannya tentang iman dan kafir atas upaya yang dilakukan oleh diri manusia itu sendiri dengan menyebut surat al-
A‘raf [7] ayat 172:
97
Al- Nasaf , Ba r al-Kal m, h. 66-7.
98
Al- Nasaf , Ba r al-Kal m, h. 66-7.
هريُكِ َرخياه ُبخر ََّثهريي خي ُفرنَثه َ َىهريُ َ َ خردَثَههريُ َهخضِ ُذهريي ي رخُ ُظهرنخيمهََّلته ييخَاهرنيمهَك َ هَذَ َثهرذيإَه
ه ه َ خَاهارُّ خَق
هَيي ر
ّاهَّررَيهارُّرُ َ هرن َ
ثه َنر ي َد هَنيقيك ََهاَذَ هرنَعه ه
ُكه ني هيةَم .
Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan
All h mengambil kesaksian terhadap diri mereka seraya berfirmanẓ: ‘Bukanlah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul ẒEng-
kau Tuhan kamiẓ, kami menjadi saksi’. ẒKami melakukan yang demikian ituẓ agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami Ẓbani
Adam adalah orang-orang yang lengah terhadap ini keesaan All hẓ’.
Ayat di atas mengandung pengertian bahwa pada awalnya arwah-arwah manusia menghadap
All h kemudian diperintahkan untuk beriman kepada-Nya dan melarang mereka kafir, maka mereka menetapkan akan ketuhanan
All h. Pada saat itu mereka semua beriman. Sebagian mereka ada yang dilahirkan menurut fitrah
akan tetapi mereka lalai dengan janji ini pada alam dunia sekarang. Sebagian mereka ada yang sadar akan fitrahnya, dan sebagian lain tidak sadar akan fitrahnya
dan berlaku kafir. Jadi mereka mengubah keimanan secara fitrah dengan usaha ikhtiar dan perbuatannya.
99
Jawaban-jawaban yang diberikan oleh Abū an fah di atas terkait dengan
hubungan antara kehendak Tuhan dan manusia terutama dalam menjawab problem seputar penciptaan sifat iman dan kafir dalam diri manusia menjadi angin segar bagi
masyarakat ‘Ir q pada masa itu dalam mengetengahkan pendapat Qadariyyah dan Jabariyyah yang keduanya tidak memberikan proporsi yang berimbang
mīz n al- mu‘tadil antara kehendak Tuhan dan kehendak manusia.
Menurut kelompok Jabariyyah All h sudah menciptakan Ẓkhalaqa orang mukmin sebagai mukmin semenjak awal penciptaan, begitu juga menciptakan
orang kafir sebagai kafir semenjak awal penciptaan . Ibl s sudah tercipta dalam
99
Al- Nasysy r, Nasy’at al-Fikr al-Falsafī, Jld. 1, h. 239.
keadaan kafir, seperti Abū Bakar al- idd q dan ‘Umar bin Kha b sudah tercipta mukmin sebelum Islam. Para nabi, menurut kelompok Jabariyyah, sudah menjadi
Nabi bahkan sebelum diberikan wahyu, karena menurut mereka orang kafir terpaksa atas kehendak A
ll h supaya menjadi kafir dan bermaksiat dan mereka akan disiksa. Begitu juga orang mukmin terpaksa menjadi orang mukmin atas kehendak
mutlak A ll h supaya berlaku taat dan beriman.
100
Padahal seandainya kita melihat dengan hati terbuka dan pikiran jernih maka kita akan mengatakan bahwa setiap individu al-
‘abd memiliki daya untuk memilih mukhayyar yang sanggup menciptakan atau merealisasikan perbuatan
taat dan maksiat, bukan terpaksa majb r atas kehendak mutlak All h. Dalam hal
ini, Abū an fah tampil dalam garda terdepan menentang pendapat yang
menurutnya menyimpang tersebut dan menunjukkan pendapat yang menurutnya lebih moderat yaitu bahwa orang kafir disebabkan oleh perbuatan, keingkaran, dan
penentangannya sendiri dengan kehinaan yang ditimpakan All h. Sedangkan orang beriman disebabkan oleh perbuatan, penetapan, dan pembenarannya sendiri dengan
taufiq dan pertolongan-Nya.
101
2. Kasb; Sebuah Alternatif Penyelesaian