Kalam Allāh Berdiri Pada Dzāt-Nya

syarat waktu. Ia mengartikan kata kun Ẓjadilahẓ yang terdapat di dalam surat Y s n [36]: 82 merupakan proses penciptaan dan yak n terjadi sebagai proses yang berwujud dalam waktu. 64

B. Kalam Allāh Al-Qur’ān

Pada pembahasan tentang kalam All h setidaknya ada tiga macam diskursus yang diangkat dalam pemikiran kalam Ab ū an fah. Pertama, menurutnya kalam All h berdiri pada dz t-Nya yang berarti ia bersifat qadīm. Kedua, di lain pihak banyak juga pendapat yang mengatakan bahwa menurut Ab ū an fah al-Qur’ n adalah makhluk. Ketiga, ada indikasi Ab ū an fah membuat diferensiasi antara kalam nafsī dan kalam lafẓī. Berikut penjelasannya:

1. Kalam Allāh Berdiri Pada Dzāt-Nya

Pandangan Abū an fah tentang kalam All h tidak terlepas dari pandangan- nya tentang sifat Tuhan. Menurutnya semua sifat Tuhan Ẓbaik sifat dz t atau sifat fi‘lẓ adalah qadīm terdahulu yang mempunyai pengertian tidak diciptakan ghayr m jid dari suatu ketiadaan ‘adam. Salah satu sifat Tuhan adalah berbicara kal m yang bersifat qadīm seperti dz t Tuhan. Dengan gaya bahasa yang sangat filosofis ia menyebutkan bahwa kalam All h berdiri pada dz t-Nya kal m All h q ’im bi dz tihi. 65 Karena kalam All h berdiri pada dz t-Nya yang qadīm dan tidak terpisah l yanfakku dari-Nya maka hal ini menjadikan kalam All h bersifat qadīm seperti dz t-Nya. 64 Al- M tur d , Kit b al-Taw īd, h. 48-9. 65 Akmal al- D n al-B bart , Syar Wa iyyah al-Im m Abī anīfah Ẓ‘Amm n: D r al-Fat , 2009, h. 93. , ‘Al al-Q r , Syar al-Fiqh al-Akbar, h. 40. Abū an fah membedakan antara kalam All h yang qadīm dengan kalam manusia yang baru mu dats ẓ. Adapun kalam All h yang qadīm yang berdiri pada dz t-Nya tidak bisa didengar dengan telinga, tidak bisa dilihat dengan mata, dan wujudnya abstrak immaterial. Berbeda dengan kalam manusia yang serba bisa diindra material. Pendapat Abū an fah tentang kalam All h yang berdiri pada dz -Nya yang bersifat q adīm, tidak terlepas dari bantahannya kepada kelompok Mu‘tazilah yang berkembang pesat pada masa itu yang dimotori oleh W il bin ‘A ’. Menurut kelompok Mu‘tazilah kalam All h bukanlah sifat-Nya, melainkan perbuatannya. Bagi mereka kalam All h adalah baru mu dats dan diciptakan makhl q. Dengan disertai dengan argumentasi rasional, ‘Abd al-Jabb r menjelaskan tentang kebaruan kalam All h bahwa kalam All h Ẓal-Qur’ nẓ terdiri dari huruf, ayat dan surat. Huruf yang satu mendahului huruf yang lain, ayat yang satu mendahului ayat yang lain, surat yang satu mendahului surat yang lain, dan sebagainya. Adanya sifat saling mendahului di antara huruf, ayat, dan surat mengindikasikan bahwa kalam All h adalah baru mu dats. 66 Selain mengemukakan argumentasi rasional , kelompok Mu‘tazilah juga memperkuat dengan argumentasi skriptual dari ayat-ayat al- Qur’ n yang secara eksplisit menyebut kan bahwa kalam All h adalah baru, di antaranya surat surat al- Anbiy ’ [21] ayat 2; هٍ َ ر ُآهريي ِ َ هرنيمهٍر ركيذهرنيمهريي يي رأَيه َم. Dalam ayat di atas All h menyifati al- Qur’ n Ẓal-dzikr dengan kata mu dats baru. 66 Al- Q Abd Al-Jabb r, Syar U l al-Khamsah Kairo: Maktabah Wahbah, 1988, h. 531. Menurut Abū an fah, Mu‘tazilah salah dalam memahami persoalan tentang kalam All h karena hanya memandang kalam All h yang bersifat majazī yaitu yang tersusun di dalam mu af, dapat dibaca, diperdengarkan, dan sebagainya. Mereka mengindahkan kalam All h yang bersifat aqīqī yang berada di law ma f ẓ yang bersifat immaterial. Kalam All h yang majazī hanya sebagai sarana dan media bagi manusia untuk memahami dan mengerti apa yang sebenarnya terkandung di dalam kalam yang aqīqī. 67 Abū an fah sendiri memandang bahwa kalam All h yang majazī sebagai baru sebagaimana layaknya argumentasi yang dikemukakan oleh kelompok Mu‘tazilah. Tetapi di samping ada kalam All h yang majazī juga ada kalam All h yang aqīqī. Kalam All h yang aqīqī yang berada di law ma f ẓ adalah qadīm karena berdiri pada dz t-Nya yang qadīm, sedangkan kalam All h yang majazī yang dapat diindera dan berbentuk mu af adalah baru mu dats. Pernyataan tersebut m enjadi dasar bagi Abū an fah untuk membuat diferensiasi antara kalam All h yang aqīqī sebagai kalam nafsī, dan kalam All h yang majazī sebagai kalam laf ẓī. Kalam nafsī adalah qadīm, sedangkan kalam lafẓī adalah baru mu dats. Kelompok Mu‘tazilah menolak adanya kalam nafsī karena faktor; pertama, batasan kalam menurut mereka adalah huruf yang tersusun dan mengandung suara. Sesuatu yang bukan huruf dan suara tidak dapat dikatakan sebagai kalam. Kedua, sesuai dengan salah satu ajaran mereka yaitu al-taw īd, mereka menolak adanya yang qadīm selain dz t All h Ẓl qadīma ill All hẓ. Seandainya kalam All h qadīm akan terjadi banyak yang qadīm ta‘addud al-qudam ’, hal ini mustahil. Ketiga, kalam All h dalam pandangan mereka bukan termasuk sifat All h, melainkan 67 ‘Al al-Q r , Syar al-Fiqh al-Akbar, h. 40. perbuatan-Nya fi‘l All h karena ada keterkaitannya dengan makhluk manusia yang baru. Sehubungan dengan itu maka mutakallim pembicara menurut mereka adalah subjek yang berbicara f ‘il al-kal m, oleh karena itu, kalam sebagai perbuatan All h tergolong kepada baru, karena ia tidak ada, kecuali ketika All h menghendaki berbuat kalam. 68

2. Problematika Kemakhlukan al-Qur’ān