al- ‘Ib d,
82
Ibn Qutaybah dalam al- Ikhtil f fī Lafẓ Wa al-Rad ‘Al al-Jahmiyyah Wa
al-Musyabbihah,
83
‘Utsm n bin Sa‘ d al-D rim dalam al-Rad ‘Al al-Jahmiyyah
84
dan dalam al-Rad al- Im m al-D rimī ‘Al al-Marīsī,
85
dan lain sebagainya.
C. Ayat Tasybīh dan Tajsīm Anthropomorphisme
Pemikiran tentang tasybīh penyerupaan All h dengan makhluk dan tajsīm
menganggap All h memiliki anggota badan seperti makhluk tak luput dari pemba-
h asan Abū an fah. Paham ini memang sedari awal sudah muncul dan merebak
luas di tengah- tengah masyarakat ‘Ir q pada masa Abū an fah. Inti paham ini
sangat berkaitan dengan perbedaan cara pandang dan interpretasi para ahli kalam tentang sifat Tuhan yang terdapat di dalam al-
Qur’ n seperti muka Ẓwajh, tangan yad, kaki rijl, mata
‘ayn, bersemayam istiw ’ dan lain sebagainya. Apakah sifat-sifat tersebut harus diterima apa adanya dalam artian tidak menakwilkan sifat
tersebut lebih jauh atau sifat tersebut harus ditakwilkan supaya All h tidak terkesan
sama dengan makhluk-Nya.
86
Kelompok yang pertama kali mendeklarasikan paham ini adalah Sy ‘ah R fi ah dan al- asyawiyyah dari ahl al- ad ts.
87
Kelompok yang kedua mengata- kan bahwa Tuhan dapat disentuh dan dapat berjabat tangan dengan manusia.
Bahkan orang yang imannya tinggi dapat memeluk Tuhan di dunia dan di akhirat selama ia dapat membersihkan ruhaninya melalui latihan
riy ah dan perjuangan
82
Al- Bukh r , Khalq Af‘ l al-‘Ib d, dalam ‘Al S m al-Nasysy r Ẓed.ẓ, ‘Aq ’id al-Salaf
Alexandria: al- Ma‘ rif, 1971ẓ, h. 177.
83
Ibn Qutaybah, al- Ikhtil f Fī Lafẓ, h. 24.
84
‘Utsm n bin Sa‘ d al-D rim , al-Rad ‘Al al-Jahmiyyah, dalam ‘Al S m al-Nasysy r ed.,
‘Aq ’id al-Salaf Alexandria: al-Ma‘ rif, 1971ẓ, h. 337.
85
Al- D rim , al-Rad al-Im m al-D rimī ‘Al al-Marīsī, dalam ‘Al S m al-Nasysy r Ẓed.ẓ,
‘Aq ’id al-Salaf Alexandria: al-Ma‘ rif, 1971, h. 363.
86
Al- Syahrast n , al-Milal Wa al-Ni al, h. 76.
87
Al- Ghur b , T rīkh al-Firaq al-Isl miyyah, h. 301.
spiritual muj hadah yang berakhir bersatu dengan Tuhan.
88
Tidak hanya sebatas itu
—sebagaimana disebutkan oleh al-Syahrast n —kelompok ini mengatakan Tuhan memiliki jasad, darah dan daging, mempunyai anggota tubuh seperti tangan,
kaki, kepala, lidah dan daun telinga. Namun anggota tubuh Tuhan tidak sama dengan anggota tubuh makhluk. Darah Tuhan tidak sama dengan darah manusia,
daging Tuhan tidak sama dengan daging manusia, demikian berlaku pada sifat-sifat Tuhan yang lainnya. Ada pula riwayat yang mengatakan Tuhan mempunyai rongga
dari atas sampai dada. Tuhan mempunyai kuku yang berwarna hitam dan berambut keriting.
89
Kelompok Musyabbihah mendasarkan pendapatnya tersebut lantaran meng- artikan secara harfiyah ayat-ayat yang terkesan bahwa
All h mempunyai tubuh sebagaimana banyak terdapat di dalam ayat al-
Qur’ n dan ad ts, di antaranya sebagai berikut:
هُ رجَههيَيَ هارَّرُعه َمَهري َ
أَك ا
.
90
‘Maka di manapun kalian menghadap di sana ada wajah All h’ هُ َي
ا ه
هريي يي ري َ
ثه َلررَك .
91
‘Tangan All h di atas tangan mereka’ هُيُ ُ ِذَ ُحَه
ا ه
هُ َ رفَن .
92
‘Dan All h memperingatkan kalian akan diri-Nya’ ع رئهىهّلتهاق ه اهن
.
93
88
Al- Syahrast n , al-Milal Wa al-Ni al, h. 90.
89
Al- Syahrast n , al-Milal Wa al-Ni al, h. 90.
90
Qs. Al-Baqarah 2: 115.
91
Qs. Al-Fat 48:10.
92
Qs . Ali ‘Imr n Ẓ3ẓ: 28.
93
Muslim bin ajj j, a ī Muslim ẒBeirut: D r al-J l, t.tẓ, Jld. 8, h. 32., Ibn ibb n, a ī
Ibn ibb n bi Tartīb Ibn Balb n ẒBeirut: Mu’assah al-Ris lah, 1993ẓ, Jld. 12, h. 419., A mad bin
anbal, Musnad A mad bin anbal ẒKairo: Mu’assasah Qur ubah, t.t, Jld. 2, h. 519., Ibn ajar al-
‘Asqal n , Fat al-B rī Bi Syar a ī al-Bukh rī ẒBeirut: D r al-Ma‘rifah, t.tẓ, Jld. 5, h. 4.
‘All h menciptakan Adam berdasarkan bentuk-Nya’ Dari ayat-ayat di atas kelompok musyabbihah hanya mengartikan sebagai-
mana adanya tanpa menakwilkan lebih jauh. Sehingga dari ayat-ayat tersebut terke- san bahwa
All h mempunyai ciri-ciri layaknya manusia. Hal senada juga dikatakan oleh Abū an fah yang lebih cenderung pada pan-
dangan tasybīh. Ia mengatakan di dalam al-Fiqh al-Akbar secara jelas bahwa All h
mempunyai tangan, wajah, dan jiwa فنهه جههه يه sebagaimana disebutkan di
dalam al- Qur’ n.
94
Namun penisbatan sifat-sifat tersebut kepada All h sebagai-
mana layaknya dimiliki Sang Kh lik bukan dipersamakan dengan apa yang dinis- batkan kepada Makhluk. Maha Suci
All h dari menyamai makhluk-Nya. Sifat-sifat tersebut menurut
Abū an fah tidak bisa dipertanyakan bagaimana caranya bil kayf? Dalam hal ini ia menetapkan sifat sebagaimana terdapat di dalam na tanpa
perlu mempertanyakan lebih jauh atau menakwilkannya. Semuanya diserahkan tafwī kepada-Nya tanpa mempertanyakan bagaimana dan menyamakan dengan
makhluk-Nya. Ia mengatakan All h mengetahui tetapi tidak sama dengan cara kita
mengetahui, All h berkuasa tetapi tidak sama dengan cara kita berkuasa, All h
melihat tetapi tidak sama dengan cara kita melihat, All h mendengar tetapi tidak
sama dengan cara kita mendengar, All h berbicara tetapi tidak sama dengan cara
kita berbicara.
95
Abū an fah juga mengkritik keras kelompok Qadariyyah pada umumnya dan kelompok Mu‘tazilah pada khususnya karena mereka menegasikan sifat Tuhan
dan kemudian menakwilkannya kepada makna yang jauh dari makna asalnya.
94
‘Al al-Q r , Syar al-Fiqh al-Akbar, h. 58.
95
‘Al al-Q r , Syar al-Fiqh al-Akbar, h. 49-50.
Mereka mengartikan lafa ẓ tangan yad yang terdapat di dalam al-Qur’ n sebagai
kekuasaan atau nikmat All h. Di sini Abū an fah mengatakan tidak boleh meng-
artikan hal semacam itu karena akan berimplikasi pada menegasikan sifat yad yang terdapat di dalam al-
Qur’ n. Akan tetapi sifat-sifat tersebut ditetapkan sebagaimana adanya. Kata yad adalah sifat-Nya tanpa bertanya bagaimana
bil kayf, begitu juga dengan sifat murka gha ab dan rela ri
’-Nya adalah sifat All h tanpa bertanya bagaimana
bil kayf.
96
Hal senada juga dikemukakan oleh Abū an fah dalam masalah istiw ’ ber-
semayam di atas ‘Arasy, sebagaimana terdapat di dalam al-Wa iyyah sebagai
berikut: ه اهتنأخخاهرخخ ن
هرخخ ههو خخيق ه ار هخخحاههةخخج كه هنرخخكعهنثهْخخغهنخخمهودرهخخحاهترخخ ّاهىهّ خخ ع ههْا خخعههيّ خخ ّاهل خخج هىه خخقه خخ ه خخج هآهنَهرخخقكهوا خخيهكاهْخخغهنخخمهترخخ ّاهْخخغههترخخ ّاهاك خخك
َهرخخّههونقرخخق َ هكخخّذهنخخ ه اه خخ عه اهنَهنخخيثهترخخ ّاهاخخق هلخخه كه ارخخ ّاههسرخخقجاهّ ه خخج هآهن
اْهكهاترق .
97
ه Kami meyakini bahwa
All h bersemayam di ‘Arasy tanpa butuh dan menetap di atasnya. Dia sebagai penjaga ‘Arasy dan lainnya tanpa membutuhkannya.
Seandainya All h butuh maka Dia tidak akan kuasa untuk menjadikan alam
semesta dan mengaturnya seperti makhluk yang lain. Seandainya All h
butuh untuk duduk dan menetap, maka sebelum menciptakan ‘Arasy di mana All h menetap? Maha luhur All h dari semua itu, All h maha luhur dan
agung. Walaupun
Abū an fah dalam hal ini lebih cenderung pada pemahaman tasybīh namun ia bukan termasuk kelompok musyabbihah yang mempersamakan
Tuhan dengan makhluk-Nya karena mempunyai karakteristik fisik yang sama. Ia hanya menetapkan sifat yang ada di dalam al-
Qur’ n tanpa menakwilkan sifat-sifat
96
‘Al al-Q r , Syar al-Fiqh al-Akbar, h. 59.
97
Akmal al- D n al-B bart , Syar al-Wa iyyah, h. 87.
tersebut seperti kelompok Mu‘tazilah yang berimplikasi pada penegasian sifat Tuhan.
Al- Bay di dalam kitabnya Isy rat al-Mar m memberikan pemahaman
berbeda dengan disertai ulasan yang sangat baik terkait dengan masalah ini. Di mana dia mengatakan bahwa pada hakikatnya
Abū an fah juga menakwilkan ayat- ayat
tasybīh—sebagaimana yang dilakukan oleh Mu‘tazilah. Hanya saja—menurut al-
Bay —takwil yang digunakan Abū an fah berbeda dengan apa yang diguna- kan
oleh Mu‘tazilah. Dalam hal ini takwil dibagi menjadi dua macam yaitu takwil global al-
ta’wīl al-
ijm lī dan takwil partikular al-ta’wīl al-taf īlī. Takwil yang digunakan oleh Abū an fah dalam menentang paham tasybīh dinamakan dengan al-ta’wīl al-
ijm lī sebagaimana yang terdapat di dalam al-Fiqh al-Akbar فيكهااه فنهه جههه يه ه.
Kalimat di atas dimaksudkan bahwa All h mempunyai sifat seperti tangan, wajah,
dan jiwa tanpa ditanyakan bagaimananya kayfiyyah, tidak mempunyai anggota badan
j ri ah, dan tidak disamakan dengan makhluk-Nya. Sifat tersebut harus dipahami sebagai kalimat metafora
maj z dan harus dilihat dengan menggunakan al-
ta’wīl al-ijm lī,
98
yaitu menerangkan secara global makna sifat tersebut bahwa All h tidak sama dengan makhluk-Nya. Takwil semacam inilah yang dibenarkan di
dalam agama karena tidak menegasikan sifat Tuhan yang terdapat di dalam al- Qur’ n dan ad ts seperti kelompok Mu‘tazilah dan tidak menetapkan sifat tersebut
secara hakiki seperti kelompok Musyabbihah.
98
Al- Bay , Isy rat al-Mar m, h. 155.
Sementara takwil yang tidak dibenarkan dalam agama adalah al- ta’wīl al-
taf īlī karena akan mengakibatkan penegasian sifat nafy al- ifat yang secara jelas
terdapat di dalam al- Qur’ n. Tentang al-ta’wīl al-taf īlī ini Abū an fah mengata-
kan ارثه ه ص هه ه ر ه هلغه ياه
ا tidak boleh diartikan murka
All h sebagai
pemberian hukuman-Nya dan ri a-Nya sebagai pemberian pahala-Nya.
99
Juga tidak boleh dikatakan tangan-Nya sebagai kekuasaan atau nikmat-Nya.
100
Seandai- nya dikatakan demikian maka akan berimplikasi pada penegasian sifat murka dan
ri a bagi All h Swt. Oleh karenanya mengartikan makna lahir suatu ayat kepada
makna maj zī hanya akan merubah makna hakikat dari ayat tersebut. Alangkah
lebih baiknya kita meyakini apa yang terdapat di dalam al- Qur’ n dan ad ts seraya
menyucikan tanzīh dz t All h dari makna lahir ayat tersebut dan tidak merincinya
lebih jauh. Ab
ū an fah juga menolak pemikiran tasybīh di atas dengan mengungkapkan prinsip
‘kesesuatuan’ syay’iyyah
101
pada Tuhan seraya mengatakan هنمه ئيده هشياه
اهه ق ء يد اَاه يدهر ههو ق هنمه يده هشي
All h tidak menyerupai segala sesuatu dari
makhluk-Nya dan segala sesuatu dari makhluk-Nya tidak ada yang menyerupai All h. All h disebut dengan Sesuatu namun tidak sama dengan sesuatu-sesuatu
yang lain.
102
99
Al- Bay , Isy rat al-Mar m, h. 156.
100
Al- Bay , Isy rat al-Mar m, h. 160.
101
Menurut Nasysy r, Abū an fah adalah orang yang pertama kali menggunakan kata ‘Sesuatu’ kepada All h. Al-Nasysy r, Nasy’at al-Fikr al-Falsafī, Jld. 1, h. 235
102
‘Al al-Q r , Syar al-Fiqh al-Akbar, h. 55.
Lantas apa yang dimaksud dengan al- syay’ sesuatu itu sendiri sehingga
All h bisa disebut dengan kata tersebut? Apakah penisbatan syay’ kepada All h pantas dari segi teologis karena lafa tersebut sering dinisbatkan kepada makhluk?
Para ahli kalam mutakallim n terbagi menjadi dua pendapat yang berbeda
tentang masalah apakah All h bisa disebut dengan sesuatu atau tidak. Orang yang
paling ‘getol’ menyerukan All h bukanlah atau tidak bisa disebut dengan sesuatu adalah Jahm bin
afw n di mana ia mengatakan يشبه يّه اه تن ‘All h bukanlah
sesuatu’.
103
Senada dengan apa yang dikatakan oleh Jahm, sebagian dari kelompok al-Zaydiyyah juga berpendapat bahwa tidak boleh dikatakan
All h adalah sesuatu karena sesuatu adalah makhluk yang mempunyai persamaan mitsal sedangkan
A ll h tidak ada yang sama dengan-Nya.
104
Sementara penyebutan All h dengan ‘Sesuatu’ oleh Abū an fah berbeda
dengan apa yang dideskripsikan oleh Jahm dan sebagian kelompok al-Zaydiyyah di atas. Penyebutan Sesuatu, di sini dimaksudkan untuk menyebut bahwa All
h itu ada dengan
dz t dan sifat-Nya. Walaupun All h itu ada sehingga dikatakan dengan Sesuatu, namun keberadaan-Nya tidak sama dengan segala sesuatu yang ada di
alam ini, baik sama dari segi dz t atau sifat-Nya. Jadi penyebutan All h dengan
‘Sesuatu’ tidak menunjukkan pada sesuatu yang sering dinisbatkan kepada makh- luk, namun penisbatan kata
‘Sesuatu’ untuk All h sebagaimana Dia sifatkan kepada diri-Nya sendiri.
Abū an fah memperjelas statemennya tentang ‘Sesuatu’ ini
103
Ibn Jawz , Talbīs Iblīs, h. 120.
104
Sementara mayoritas dari al-Zaydiyyah mengatakan All h adalah sesuatu tetapi tidak
sama dengan sesuatu yang lain sya’un l ka al-asyy ’ dan tidak menyerupai sesuatu yang lain
sya’un l tusybihuhu al-asyy ’. Al-Asy‘ar , Maq l t al-Isl miyyīn, Jld. 1, h. 137-8.
dengan mengatakan bahwa Sesuatu yang dinisbatkan kepada All h tidak sama
dengan sesuatu lain yang dinisbatkan kepada makhluk, ء يد اَاه يدهر ه.
105
Prinsip kesesuatuan syay’iyyahẓ yang dikemukakan oleh Abū an fah juga
sebagai bantahan terhadap berbagai macam pandangan yang berkembang pada masa itu seperti pandangan trinitas dalam agama Nasrani dan pandangan hulul
dalam pandangan kelompok ekstrimis Sy ‘ah.
Kaum Nasrani berpandangan bahwa Tuhan adalah Dz t Yang Satu jauhar
w id, yang berdiri sendiri. Akan tetapi Tuhan Yang Satu tersebut terdiri dari tiga oknum. Yang dimaksud dengan oknum adalah sifat seperti Ada wujud,
mengetahui ‘ilm, dan hidup ay t yang mereka sebut dengan Bapa, Anak dan
Roh Kudus. Kemudian kalimat All h yang merupakan oknum sifat mengetahui
‘ilm bersatu itti ad dengan tubuh al-Mas .
106
Dalam tradisi agama Nasrani meyakini bahwa ruh ketuhanan dapat menjelma dalam bentuk manusia dan menurut mereka cara persatuan dan penjelmaan dalam
bentuk manusia dengan cara cahaya Tuhan masuk ke tubuh seperti cahaya menembus benda bening. Sebagian lain mengatakan Tuhan lahir ke dunia seperti
lahirnya rohani ke dalam jasmani. Sebagian lain mengatakan ruh ketuhanan bercampur pada tubuh manusia seperti percampuran air dengan susu.
107
Sedangkan dalam pandangan ekstrimis Sy ‘ah dari kelompok al-Bay niyyah mengatakan bahwa ‘Al adalah reinkarnasi dari Tuhan. Lebih dari itu mereka
105
Al- Nasysy r, Nasy’at al-Fikr al-Falsafī, Jld. 1, h. 235-6., dan dasar bagi Abū an fah
menetapkan All h dengan ‘Sesuatu’ berlandaskan ayat al-Qur’ n surat al-An‘ m ayat 19 yang
berbunyi اهلقهوقل دهغكثه يده ثهلق ẒKatakanlah, ‘Sesuatu [siapakah] yang lebih kuat kesaksiannya?
Katakanlah, All h’ẓ. Ayat di atas secara jelas mengatakan bahwa All h menamai diri-Nya dengan
‘Sesuatu’.
106
Al- Syahrast n , al-Milal Wa al-Ni al, h. 202.
107
Al- Syahrast n , al-Milal Wa al-Ni al, h. 202.
mengatakan Dz t Tuhan melekat pada diri ‘Al kemudian menjelma dalam dirinya
alla fī ‘Alī juz‘un il hiyyun wa ittakhadza bi jasadihi.
108
Bahkan ‘Abdullah bin Sab ’ terang-terangan mengatakan di depan ‘Al , ‘anta al-il h’.
109
Abū an fah jelas menolak semua paham yang menyerupakan All h dengan makhluk-Nya dengan mengemukakan prinsip kesesuatuan
syay’iyyah seperti disebut di atas. Al-
Bay memperjelas statemen Abū an fah dengan mengatakan tidak mungkin dua entitas yang berbeda bergabung menjadi satu kesatuan. Hal ini
akan memunculkan persepsi bahwa All h sebagai Dz t yang wajib adalah makhluk
sebagai Dz t yang mumkin, tentu ini mustahil adanya.
110
Oleh karenanya, All h
tidak sama dengan makhluk-Nya baik dari segi sifat atau perbuatan-Nya.
D. Melihat Allāh Ru’yat Allāh