Pemikiran kalam Abu Hanifah

(1)

Skripsi

Diajukan ke Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Theology Islam (S.Th.I)

Oleh:

Muhamad Bindaniji NIM: 1110033100011

PROGRAM STUDI AQIDAH FALSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1436 H./2014 M.


(2)

Skripsi

Diajukan ke Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Theology Islam (S.Th.I)

Oleh:

Muhamad Bindaniji NIM: 1110033100011

Dosen Pembimbing:

Dr. Syamsuri, MA NIP: 19590405 198903 1 003

PROGRAM STUDI AQIDAH FALSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1436 H./2014 M.


(3)

sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan nilai A (Sangat Baik) pada tanggal 6 November 2014.

Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana program starta satu (S1) pada program studi Aqidah Falsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 28 November 2014 Sidang Munaqasyah;

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota

Dr. Edwin Syarif, MA Dra. Tien Rahmatin, MA

NIP: 19670918 199703 1 001 NIP: 19680803 199403 2 002

Anggota;

Penguji 1, Penguji 2,

Prof. Dr. Zainun Kamaluddin F, MA Drs. Hanafi Arsyad, MA

NIP: 19500804 198603 1 002 NIP: 19691216 199603 1 002

Pembimbing;

Dr. Syamsuri, MA NIP: 19590405 198903 1 003


(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Theology Islam (S.Th.I) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai ketentuan yang berlaku.

3. Skripsi ini sudah diajukan dalam Munaqasyah dan telah direvisi sebagaimana tercantum dalam keterangan.

4. Jika dikemudian hari terbukti bahwa Skripsi ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku.

Ciputat, 28 November 2014

Muhamad Bindaniji

Poin-Poin Revisi:

1. Latar Belakang Masalah 2. Rumusan Masalah 3. Transliterasi


(5)

Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris

ا a a ط

ب b b ظ

ت t t ع

ث ts th غ gh gh

ج j j ف f f

ح ق q q

خ kh kh ك k k

د d d ل l l

ذ dz dh م m m

ر r r ن n n

ز z z و w w

س s s ه h h

ش sy sh ء , ,

ص ي y y

ض ة h h

Vokal Panjang

Arab Indonesia Inggris

أ ā ā

ىإ


(6)

kir (mutakallimẓ awal dalam Islam yaitu Abū an fah Ẓ80-150 H) terutama dalam dua aspek, (1) mendeskripsikan pemikiran kalamnya yang berkaitan dengan dz t dan sifat Tuhan, dan (2) mendeskripsikan pemikiran kalamnya yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan manusia.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis, yang akan mendeskripsikan secara terperinci terkait dengan masalah yang hendak diteliti kemudian menganalisis setiap masalah untuk memperoleh pemahaman secara komprehensif. Sementara teknik pengumpulan data yang digunakan dalam peneliti-an ini adalah library research dengan menggunakan sumber primer karya Abū

an fah sendiri beserta penjelasan (syar )nya, selain itu akan dikomparasikan dengan referensi yang menunjang lainnya.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa dalam memandang dz t dan sifat Tuhan pertama, Abū an fah berpendapat bahwa All h adalah Dz t Yang Esa lagi

‘unik’ dan mempunyai sifat yang kekal (qadīm) baik itu sifat dz t dan sifat fi‘l (perbuatan). Kedua, adapun tentang ayat tasybīh dan tajsīm yang ada di dalam na sebaiknya tidak diinterpretasikan supaya tidak terkesan ada penegasian sifat (nafy

al- ifat). Ketiga, kalam Tuhan diartikan sebagai sesuatu yang berdiri pada dz t-Nya

yang qadīm, sehingga menurutnya al-Qur’ n yang merupakan kalam Tuhan adalah qadīm juga. keempat, All h dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat dengan tanpa cara (bil kayf).

Sementara dalam memandang perbuatan-perbuatan manusia pertama, ia ber-pendapat bahwa manusia dengan akalnya wajib beriman kepada All h dan berte-rima kasih kepada-Nya. Kedua, iman tidak bertambah dan berkurang sehingga tidak ada perbedaan iman di antara semua manusia. Ketiga, pelaku dosa besar masih dianggap mukmin bukan kafir karena masih ada secercah keimanan di dalam hati-nya. Keempat, manusia mempunyai daya untuk mewujudkan segala perbuatannya sehingga pahala dan siksaan didasarkan atas perbuatan yang dilakukan ketika hidup di dunia.

Penelitian ini mempunyai kesimpulan bahwa Abū an fah adalah pemikir (mutakallim) pertama dalam Islam yang secara komprehensif membahas isu-isu kalam, khususnya dalam mengcounter pendapat-pendapat kelompok Khaw rij,

Murji’ah, Mu‘tazilah, Sy‘ah dan lainnya. Selain itu, manhaj yang digunakan oleh Abū an fah dalam masalah kalam banyak diikuti oleh para pemikir setelahnya seperti al- a w (w.321 H), al-Asy‘ar (w.324 H), dan al-M turd (w.333 H). Bahkan pemikiran kalam yang mereka usung tidak lebih dari kutipan dan penjelasan dari pendapat Abū anfah.

Kata kunci: kalam, kehendak mutlak Tuhan, tasybīh dan tajsīm, kasb, akal,


(7)

theolog (mutakalim) in Islam i.e Abū anfah (80-150 H) especially within two aspects, (1) to describe his islamic theology related to the essence and attribute of God, and (2) to classify his islamic theology dealing with human’s action.

The method of research uses analysis descriptive method, which goes to describe researched problem specifically, then to analyze each problem to capture comprehensive understanding. While the technique of collecting data for this research is library research in which it takes the work of Abū anfah himself along with its explanation (shar ), in addition it will be compared to other supported reference.

The result of the research concludes that in construing the essence and attribute of God, first, Abū anfah argues that All h is the only essence even more unique and having the everlasting essence (qadīm) both essence ( ifat dh t) and action ( ifat fi‘l). Second, dealing with tashbīh and tajsīm verse found within na ,

it’s better to not to be interpreted in order to negate the essence (nafy al- ifat). Third,

God’s saying construed as something that stands upon His everlasting essense, thus in accordance with him al-Qur’ n that constitutes God’s saying is everlasting, too.

Fourth, All h can be seen with the eyes in the beyond without meaning.

Meanwhile, in looking at the human’s action, first, he has a notion that human with him reason obliges to believe in All h and gives thank to Him. Second, faith is neither increased nor diminished so that there is no different faith among human being. Third, big-sin actors still regarded as the believer not the unbeliever because there are a slight faith inside their hearts. Fourth, human has a power to create her act thus reward and punishment is based upon what they have done in the whole life.

The conslusion of this study is that Abū an fah is the first theolog (mutakallim) in Islam who comprehensively discusses the issues in theology, particularly in encountering arguments from Khaw rij, Murji’ah, Mu‘tazila, Sy‘a, and others. In addition, manhaj which is applied by Abū an fah in the realm of theology mostly was followed by his further theolog, like al- a w (d.321 H), al-Ash‘ar (d.324 H), and al-M tur d (d.333 H). Moreover, their construing Islamic theology are not even more than the quotation and explanation from Abū anfah’s argument.

Keywords: theology, God’s absolute willingness, tashbīh and tajsīm, kasb,


(8)

هتينا كرا هىه ت الهلرخخقوه ت ههو خخه ر هه خخهتي ا

ه خخيكر اههترخخق ّاهك فخخلاه خختكره اهرخخ ه ن هخخحهو خخهتي

ه خختمثهو خخ ق ه خخي هّ ه رخخ ه اه ه خخئهه تهىهه خختمآه ن تيخخحهىهّاخخ ت ّاههقاخخ تلّاههو ،ثهأهييخخ اه : ا ه Puji Syukur kepada All h yang telah memberikan nikmat Iman dan Islam. Atas limpahan karunia dan rahmat-Nya penulisan skripsi yang berjudul PEMIKIRAN KALAM AB ḤAN FAH dapat diselesaikan tanpa ada kendala yang berarti. Salawat dan Salam atas nabi Mu ammad Saw, keluarga dan para sahabatnya.

Keinginan untuk menulis pemikiran kalam salah satu tokoh bermula dari kegemaran penulis membaca dan menelaah berbagai macam buku akidah (u l al -dīn) yang bertebaran di perpustakaan untuk kemudian ditulis dalam bentuk makalah dan dipresentasikan di depan para kolega. Dalam proses ‘pembacaan sebuah teks’ sempat terbesit di dalam hati untuk menyusun genealogi atau silsilah pemikiran kalam ahl al-sunnah wa al-jam ‘ah yang menurut para santri berasal dari pemikiran

Abū asan al-Asy‘ar Ẓw.324 Hẓ dan Abū Man ūr al-M tur d Ẓw.333 Hẓ. Hal ini berdasarkan statemen dari al-Zab d di dalam itti f al-s d t bahwa yang dimaksud dengan ahl al-sunnah wa al-jam ‘ah adalah pengikut kedua pemikir di atas. Lantas apakah mereka berdua (al-Asy‘ar dan al-M tur d ẓ mengembangkan pemikiran tersebut sendiri secara otodidak atau melalui proses al-ta’tsīr wa al-ta’atstsur. Pertanyaan tersebut dapat dijawab ketika penulis membaca statemen al-Baghd d di dalam kitabnya U l al-Dīn bahwa pemikiran ahl al-sunnah wa al-jam ‘ah sudah


(9)

dikemukakan oleh Abū an fah Ẓ80-150 H) bahkan jauh sebelum al-Asy‘ar dan al

-M tur d dilahirkan di dunia.

Adapun mengenai asal pokok pemikiran al-M tur d , al-Bay dalam Isy r t al-Mar m pernah mengatakan bahwa pemikiran tokoh tersebut berasal dari

pemikiran Abū an fah, bahkan ia hanya sebagai perinci Ẓmufa il) pemikiran imam pendiri madzhab anaf tersebut. Selain al-M tur d , tokoh ahl al-sunnah lainnya yang secara terang-terangan mengikuti jalan pemikiran Abū an fah adalah al- a w (w.321 H) yang ia kemukakan di dalam muqaddimah ‘Aqīdah al

-a wiyyah. Ada juga al-Asy‘ar , yang walaupun tidak pernah menyinggung keterpengaruhan pemikiran orang lain dalam membangun sistem kalamnya yang ia dakwa berasal dari sabda nabi Saw. namun sangat memungkinkan ada keterpenga-ruhan dari pihak lain di luar dirinya sendiri, terlebih pemikiran kalam Abū an fah sudah menyebar luas sampai ke Ba rah (tempat domisili al-Asy‘ar ẓ. Selain itu

Al-Asy‘ar juga pernah beberapa kali mengutip pendapat atau riwayat dari Abū an fah di dalam ib nah walaupun dalam beberapa kasus kutipannya tersebut tidak benar. Atas dasar pertimbangan tersebut, penulis meyakini bahwa ada pemikir di luar dirinya—selain dari kalangan Mu‘tazilah—yang mempengaruhi corak pemikiran kalam yang akan dibentuknya pada kemudian hari. Salah satu pemikir

tersebut tidak lain adalah Abū an fah.

Ketertarikan penulis untuk membahas sisi pemikiran teologis Abū an fah

disebabkan oleh tiga hal. Pertama, ia dilahirkan pada periode igh r al- a bah dan termasuk t bi‘ n yang digolongkan sebagai generasi terbaik umat Islam. Selain


(10)

tidak keluar dari koridor yang benar. Kedua, ia adalah pemikir Islam pertama yang menuliskan pemikiran dalam bentuk tulisan yang tercetak rapih dan menyusunnya dalam bentuk bab per bab. Tercatat bidang ilmu yang ditulisnya yang ada hingga saat sekarang adalah ad ts, fiqh, dan kalam. Khusus dalam masalah kalam, ia telah menulis lima buku yang secara komprehensif menggambarkan keadaan dan situasi yang terjadi pada masa itu khususnya dalam membantah kelompok yang menurut-nya salah. Ketiga, pemikiran kalam yang dicetuskan oleh Abū an fah merupakan akar pondasi yang kuat dalam membentuk manhaj kalam ahl sunnah wa

al-jam ‘ah di mana sebelumnya tidak ada pemikir yang merumuskan paham tersebut dengan terstruktur dan sistematis.

Pada akhirnya penelitian ini tidak akan terselesaikan tanpa adanya berbagai macam pihak yang turut membantu baik secara moril ataupun meteriil yang turut andil dalam terselesainya penelitian ini.

Ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Masri Mansoer, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang juga merangkap sebagai dosen Pembimbing Akademik (PA), yang telah memberikan arahan dan nasihatnya selama penulis menjalani studi S1. Kepada Dr. Edwin Syarif, MA dan Dra. Tien Rahmatin, MA, yang selalu enak diajak ngobrol santai sehingga penulis tidak merasa canggung untuk berkonsultasi.

Terima kasih tak terhingga, penulis sampaikan kepada Dr. Syamsuri, MA, selaku pembimbing penulisan skripsi ini, atas berbagai masukan yang diberikan ikut memperkuat argumentasi di dalam penelitian ini.


(11)

menyempurnakan penelitian ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Hanafi Arsyad, MA selaku penguji 2 yang telah membaca teks penelitian ini dengan sangat cermat dan teliti sehingga mengetahui semua gagasan yang hendak penulis sampaikan. Segala arahan dan kritikan beliau telah turut serta dalam penyempurna-an dalam penelitipenyempurna-an ini.

Secara khusus penulis sampaikan terima kasih kepada segenap dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang secara umum telah membentuk dan memperluas horizon pemikiran penulis di antaranya Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, MA, Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara, MA, Dr. Sri Mulyati, MA, dan Drs. Nanang Tahqiq, MA.

Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Prof. Dr. Ali Mustafa Yakqub, MA, selaku Kh dim al-Ma‘had Darus Sunnah Internasional Institute For Hadith Sciences, yang telah mengajarkan ilmu hadis sekaligus memperkenalkan tentang pentingnya mempelajari khazanah klasik. Dari beliau pula diajarkan pentingnya membaca dan merujuk kepada kitab-kitab yang autentik (mu‘tamad).

Rasa hormat yang tulus kepada KH. Hasanuddin Kriyani dan KH. Faqih Ibrahim, selaku pengasuh pondok Asy-Syakiroh Buntet Pesantren Cirebon. Beliau

yang selalu mengharapkan agar setiap santrinya menjadi ‘santri intelek’ dan hal itu yang menjadi motivasi utama penulis dalam belajar dan beraktivitas lainnya.

Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Kementerian Agama Republik Indonesia lewat Direktorat Jendral Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, di mana tepat setelah tiga minggu skripsi ini diujikan, telah memberikan


(12)

Diah, Rahmi, Shofi, Nina dan yang tergabung dalam aliansi ‘Rumah Peradaban’, kalian juga ikut serta dalam proses akhir penulisan karya ini. Semoga karya ini dapat memotivasi kalian untuk menghasilkan karya yang lebih baik.

Sembah sujud dan penghormatan kepada kedua orang tua penulis, r ī KH. Abdul Bari dan Hj. Asiroh yang telah membesarkan dan mendidik dengan penuh kasih sayang. Kepada beliau lah karya ini dipersembahkan.

Ciputat, 28 November 2014


(13)

Lembar Pernyataan Orisinalitas ………... iii

Pedoman Transliterasi ……… iv

Abstrak ………. v

Kata Pengantar ……… vii

Daftar Isi ……….. xii

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ……….. 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………... 12

D. Tinjauan Kepustakaan ………... 12

E. Metodologi Penelitian ………... 18

1. Sumber Data ……… 18

2. Jenis Penelitian ……… 20

3. Teknik Pengumpulan Data ……….. 20

4. Teknik Analisis Data ……….. 20

F. Sistematika Pembahasan ………... 21

BAB II AB ḤAN FAH: RIWAYAT, PEMIKIRAN, DAN KARYANYA ... 24

A. Latar Belakang Keluarga ……….. 24

B. Kondisi Kebudayaan dan Keagamaan di ‘Ir q……..…………... 30

C. Pandangan ‘Ulama terhadap Abū an fah………... 39

D. Karya-Karya Abū an fah……….... 42

BAB III PEMIKIRAN AB ḤAN FAH TENTANG TUHAN ………. 50

A. Dz t dan Sifat Tuhan ………. 50

1. All h Dz t Yang Esa ……….. 50

2. Sifat Tuhan antara qadīm dan adīts……….. 55

3. Sifat dz t dan sifat fi‘l………. 66

B. Kalam All h (Al-Qur’ n) ………. 72

1. Kalam All h Berdiri Pada Dz t-Nya ……….. 72

2. Problematika Kemakhlukan al-Qur’ n………... 75

C. Ayat tasybīh dan tajsīm ………... 80

D. Melihat All h ẒRu’yat All h) ... 88

BAB IV PEMIKIRAN AB ḤAN FAH TENTANG MANUSIA ……… 96

A. Konsep Iman dan Kafir ……….... 96

1. Kewajiban beriman kepada All h……… 97

2. Hakikat iman ………... 105


(14)

3. Standardisasi pengafiran ………... 123

C. Free Will dan Predestination ………. 125

1. Antara Kehendak Tuhan dan Manusia ……….….…….. 125

2. Kasb; Sebuah Alternatif Penyelesaian ………..…….. 132

BAB V PENUTUP ……… 140

A. Kesimpulan ………... 140

B. Saran-Saran ………... 142

Daftar Pustaka ……….… 144


(15)

A.Latar Belakang Masalah

Ajaran yang terkandung di dalam al-Qur’ n mengandung tiga aspek yaitu akidah, ibadah dan muamalah. Dari ketiga aspek di atas, akidah atau tauhid merupa-kan ajaran terpenting karena mengandung ajaran tentang pengakuan terhadap keesaan All h secara murni dan konsekuen.1 Ajaran tauhid menjadi basis utama seorang bisa dikatakan sebagai Muslim. Di dalam literatur Islam ajaran tentang tauhid dibahas di dalam ilmu kalam.2 Dalam hal ini ilmu kalam merupakan ilmu yang paling mulia3 dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya karena menyangkut

masalah keimanan seorang kepada All h tanpa ada rasa ragu dan bimbang.4

Di dalam sejarah Islam dikenal banyak kelompok (firqoh) yang mewarnai perkembangan pemikiran kalam di kalangan ulama salaf di antaranya; Khaw rij,

Murji’ah, Mu‘tazilah, Ahl al-Sunnah dan sebagainya.5 Kalau dilihat secara sepintas ada gap antara satu kelompok dan kelompok yang lain yang tak jarang pula karena tidak bisa dikompromikan menjurus kepada klaim kebenaran sepihak yang ber-implikasi adanya klaim kufr terhadap kelompok yang dinilai berseberangan paham dengan paham lainnya. Masing-masing kelompok dalam mempertahankan

1 Harun Nasution mengemukakan bahwa 86 dari 114 surat al-Qur’ n merupakan surat

Makkiah dan 28 merupakan surat Madaniah. Kalau ditinjau dari segi ayat, jumlahnya adalah 6236 dan 4780 ayat atau 76,65 % daripadanya adalah ayat-ayat Makkiah yang merupakan tiga perempat dari isi al-Qur’ n dan pada umumnya mengandung petunjuk dan penjelasan tentang keimanan. Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UIPress, 1980), h. 26-7.

2 Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987), h.

277-8.

3 Mu ammad bin ‘Abd al-Ra m n al-Kham s, I‘tiq d al-A’immah al-Arba‘ah ẒRiy :

Maktabah al-Malik Fahd, 1345 H), h. 18.

4 A mad Far d, ‘Aqīdah Ahl al-Sunnah Wa al-Jam ‘ah (Kairo: Maktabah al-Fayy , 2005),

h. 4.

5 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI


(16)

mennya beristimba dengan dalil-dalil yang ada di dalam al-Qur’ n dan ad ts. Walaupun antara satu kelompok dengan kelompok yang lain beristimba dengan dua sumber utama (al-Qur’ n dan ad ts) yang sama, tetapi karena adanya perbeda-an penafsirperbeda-an dperbeda-an pemahamperbeda-an terhadap na maka perbedaan antar kelompok di dalam ilmu kalam menjadi hal yang niscaya. Oleh karena itu, mengetahui pemikiran kalam seorang ulama salaf dan cara mereka beristimba menjadi sangat penting mengingat mereka adalah generasi awal yang notabenenya adalah orang yang masa hidupnya dekat dengan Nabi Saw. dan dikenal sebagai generasi terbaik karena dalam hal bertindak selalu berdasarkan apa yang dilakukan oleh Sahabat dan Nabi Saw. termasuk dalam hal akidah.6

Ulama salaf yang paling layak dijadikan prototype di dalam masalah akidah adalah Abū an fah Ẓ80-150 H). Ia adalah imam panutan orang-orang salaf dalam masalah akidah7 dan termasuk mutakallim pertamadari kalangan al-fuqah ’—

dalam sejarah umat Islam yang banyak berbicara tentang dasar-dasar agama (al-u l al-dīniyyah). Selain dikenal sebagai mutakallim pertama, ia juga dikenal seba-gai orang pertama yang mengodifikasikan dasar-dasar agama (al-u l al-dīniyyah) ke dalam sebuah tulisan (buku) bahkan ia secara sistematis menuliskannya ke dalam bab-bab8 yang tidak ada seorang pun yang mendahuluinya. Hal ini dikarenakan para

sahabat dan t b‘ n tidak menuliskan ilmu-ilmu agama ke dalam bentuk buku (kitab)

6

Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Saw, هريُ َنرُقَيه َنييياهيُ هريُ َنرُقَيه َنييياهيُ ه يِررَقه يِمُثهُ رَْ ‘sebaik-baik umatku adalah (yang hidup) pada zamanku (sahabat), kemudian generasi setelahnya (t bi‘īn), dan generasi setelahnya (t bi‘ al-t bi‘īn)’. Ibn ajar al-‘Asqal n , Fat al-B rī Bi Syar a ī al-Bukh rī ẒBeirut: D r al-Fikr, t.tn), Jld. 7, h. 3.

7Wahb Sulaym n Gh wij , Ab anīfah al-Nu‘m n: Im m al-A’immah al-Fuqah ’ (Beirut:

D r al-Qalam, 1993), h. 299. (Selanjutnya disebut Wahb Sulaym n, Ab anīfah al-Nu‘m n)

8‘Abd al-Q hir bin hir al-Baghd d , U l al-Dīn (Istanbul: al-Dawlah, 1928), h. 308.,

A mad bin asan al-Bay al- anaf , Isy r t Mar m Min ‘Ib r t Im m Abī anīfah

al-Nu‘m n Fī l al-Dīn ẒBeirut: D r Kutub al-‘Ilmiyyah, 2007ẓ, h. 19. (Selanjutnya disebut


(17)

tetapi mereka mengandalkan kekuatan hafalan yang disimpan di dalam hati.9

Tercatat dari banyak karyanya yang dapat dibaca sampai zaman sekarang di antara-nya al-Fiqh al-Akbar, al-Fiqh al-Absa, al-‘ lim Wa al-Muta‘allim, Ris lah kepada

‘Utsm n al-Batt dan al-Wa iyyah.

Di dalam lima karyanya di atas ia begitu jeli melihat berbagai persoalan yang terkait dengan masalah akidah, ia juga menyajikan berbagai argumennya dengan dalil-dalil yang jelas dan akurat untuk membantah berbagai macam paham yang menurutnya tidak sejalan dengan al-Qur’ n dan adts dari kelompok-kelompok

Mu‘tazilah, Khaw rij, Sy ‘ah, Qadariyyah, Dahriyyah, dan sebagainya. Hal inilah

yang mengindikasikan bahwa Abū an fah menaruh perhatian yang sangat besar

terhadap masalah akidah, sekaligus membantah pandangan yang mengatakan bahwa ia telah meninggalkan pemikiran ahl al-kalam untuk kemudian beralih ke pemikiran u l al-fiqh dengan berpegang teguh kepadanya dan meninggalkan diskursus seputar kalam.

Berdasarkan argumen di atas maka tidak heran jika banyak peneliti yang membahas tentang pemikiran Abū an fah sebatas permasalahan seputar ilmu fiqh dan u l al-fiqh ketimbang dari aspek akidahnya. Padahal Abū an fah sendiri pernah mengatakan di dalam al-Fiqh al-Absa bahwa al-fiqh fī al-dīn af al min al-fiqh fī al-a k mṬ Walian yatafaqqah al-rajul kayfa ya‘budu rabbahu khayrun lahu min an yajma‘a al-‘ilm al-katsīr (pemahaman agama [akidah] lebih baik ketimbang

9

Dalam kondisi seperti itulah Abū an fah berinisiatif untuk menuliskan ilmu-ilmu agama ke dalam bentuk buku karena melihat persebaran ilmu yang sudah meluas dan dikhawatirkan akan musnah. Sebagaimana disabdakan oleh Nabi Saw. هكرماه زنيه متنإههوس تناهنمه زنيهاازناهيق ّاهضه ياه اهتن

ىهيكهوء مق ّا ه

ْغاهنرهفيكهو ت جهء حؤ نرتقلضههنرتقليكهيق ه

. ‘All h tidak akan mencabut ilmu sekaligus dari

manusia, tetapi dengan perantara matinya ulama. Sampai tersisa pemimpin-pemimpin bodoh yang

memberi fatwa tanpa dengan ilmu maka menjadi sesat dan bertambah sesat’. Ibn ibb n, a ī Ibn ibb n bi Tartīb Ibn Balb n ẒBeirut: Mu’assah al-Ris lah, 1993ẓ, Jld. 15, h. 118.


(18)

pemahaman hukum [fikih] karena pemahaman seorang bagaimana menyembah Tuhannya lebih baik ketimbang mengumpulkan ilmu yang banyak).10 Dari ucapan di atas nampak bahwa yang menjadi prioritas utama baginya adalah tentang masalah akidah karena menyangkut masalah keimanan seorang hamba dengan Tuhannya. Bukankah hal yang pertama kali wajib bagi setiap makhluk adalah mengenal Tuhan (ma‘rifat al-il h)?11 dan pembahasan tentang ini (mengenal All h)

tidaklah dibahas melainkan di dalam masalah akidah (kalam).

Pada umumnya pendapat Abū an fah tentang kalam sangat dipengaruhi oleh

nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur’ n dan ad ts. Karena menurutnya

al-Qur’ n dan adts adalah dua sumber primer di dalam Islam yang wajib diikuti. Selain berpegang kepada al-Qur’ n dan adts, ia juga banyak menggunakan dalil-dalil ‘aqliyyah sehingga banyak ulama yang menyebutnya sebagai ahl al-ra’y (orang-orang yang menempatkan rasio pada posisi tertinggi).12 Perpaduan antara

ketiganya (al-Qur’ n, adts dan rasio) inilah yang membuat setiap argumennya sulit untuk dibantah oleh setiap lawannya sehingga pendapatnya banyak diikuti oleh generasi setelahnya. Selain itu, pendapat Abū an fah juga memiliki banyak persamaan dengan pendapat-pendapat imam ahl al-sunnah wa al-jam ‘ah dan

bahkan menurut ‘Al S m al-Nasysy r, Abū an fah beserta ulama salaf dari golongan ahl al- ad ts13 adalah penabur benih paham ahl al-sunnah wa al-jam ‘ah

10Abū an fah, al-Fiqh al-Absa (Kairo: al-Anw r, 1368), h. 40.

11‘Abd al-Ra m n bin A mad al-j , al-Maw qif Fī ‘Ilm al-Kal m ẒMakah: D r al-B r, t.tẓ,

h. 32.

12 Mu af ’ ‘Abd al-R ziq, Tamhīd Li T rīkh al-Falsafah al-Isl miyyah (Kairo: Lajnah

al-Ta’l f Wa al-Tarjamah, 1959), h. 205.

13‘Al Mu af ’ al-Ghur b telah membuat periodisasi yang sangat bagus terkait dengan

perkembangan ilmu kalam mulai zaman Nabi Saw, sahabat, dan masa setelahnya yang pada akhirnya ia mengatakan bahwa benih-benih pemikiran kalam sudah ada pada zaman Nabi Saw. ‘Al Mu af ’ al-Ghur b , T rīkh al-Firaq al-Isl miyyah Wa Nasy’at ‘Ilm al-Kal m ‘Ind al-Muslimīn (Kairo: Maktabah Mu ammad ‘Al ab h wa Awl duhu, t.tẓ, h. 8-40. (Selanjutnya disebut


(19)

sebelum di-bentuk formulasi yang baku oleh Abū al- asan al-Asy‘ar dan Abū Man ūr al-M turd .14

Pendapat Abū an fah yang paling terkenal adalah pendapatnya tentang sifat

Tuhan. Di saat dunia Islam dihebohkan dengan pendapat Mu‘tazilah bahwa All h tidak mempunyai sifat (ta‘ īl al- ifat), dilain pihak ada kolompok yang mengatakan bahwa sifat All h identik dengan makhluk-Nya (tasybīh), ia lebih memilih posisi tengah-tengah (wasa ) di mana ia mengatakan:

All h mengetahui, tetapi bukan dengan cara kita mengetahui, Dia berkuasa, tetapi bukan dengan cara kita berkuasa, Dia melihat, tetapi bukan cara kita melihat. Dia mendengar, tetapi bukan dengan cara kita mendengar. Dia ber-bicara, tetapi bukan dengan cara kita berbicara. Kita berbicara dengan anggota dan bunyi, tetapi All h tidak berbicara dengan anggota dan bunyi. Bunyi adalah makhluk, sedangkan perkataan All h bukan makhluk.15

Abū an fah membuat sintesis dengan mengambil sikap di antara paham ta‘ īl dan tasybīh. Paham ta‘ īl menurutnya telah mengingkari sifat Tuhan yang ter-dapat di dalam ẓ hir ayat al-Qur’ n, sementara paham tasybīh telah mempersama-kan sifat Tuhan yang terdapat di dalam al-Qur’ n dengan sifat makhluk. Menurut -nya kedua paham ini telah me-nyalahi na dan bertentangan dengan akal sehat (al-‘aql al-salīm). Sikap yang diambil dalam masalah ini adalah menetapkan sifat Tuhan seperti wajah (wajh), tangan (yad), mata (‘ayn) dan lain-lain. Sebagaimana yang terdapat di dalam al-Qur’ n Ẓkhabar al- diq), dan tidak dipersepsikan dengan bentuk ( rah) yang sama dengan makhluk.16

Pendapat yang tidak kalah menarik dari persoalan di atas adalah tentang per-soalan iman dan kafir. Ia mengatakan bahwa:

14‘Al S m al-Nasysy r, Nasy’at al-Fikr al-FalsafīẒKairo: D r al-Ma‘ rif, 1977ẓ, Jld. 1, h.

234. (Selanjutnya disebut al-Nasysy r, Nasy’at al-Fikr al-Falsafī)

15 Al-Mull ‘Al al- anaf , Syar al-Fiqh al-Akbar Li al-Im m Abī anīfah ẒBeirut: D r al

-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1984ẓ, h. 50-1. ẒSelanjutnya disebut ‘Al al- anaf , Syar al-Fiqh al-Akbar)


(20)

Iman adalah pengakuan (iqr r) dengan lisan dan membenarkan dengan hati (jann n). Maka hanya dengan iqr r saja, tidaklah seorang bisa dikatakan sebagai beriman. Karena kalau hanya iqr r saja bisa dikatakan beriman, maka orang-orang munafik semuanya adalah beriman. Begitu juga mengetahui

All h [sebagai pencipta] semata tidak bisa dikatakan sebagai orang yang beriman. Karena kalau hanya mengetahui All h [sebagai pencipta] maka ahli kitab (orang Yahudi dan Nasrani) semuanya adalah beriman.17

Jika dicermati berbagai pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh Abū

an fah di dalam karya-karyanya maka akan banyak ditemukan pandangannya ten-tang akidah yang sejalan dengan pandangan al-salaf al- li īn dari kalangan ahl

al-ad ts, di mana corak pemikiran seperti ini adalah basis bagi corak pemikiran ahl al-sunnah wa al-jam ‘ah. Namun demikian ada beberapa aspek yang berbeda antara pandangan Abū an fah dengan mayoritas pandangan al-salaf al- li īn misalnya dalam masalah keimanan.

Mayoritas al-salaf al- li īn berpendapat bahwa kadar keimanan seseorang dapat bertambah dan berkurang (al-īm n yazīd wa yanqu ), tetapi Abū an fah justru berpendapat sebaliknya dengan mengatakan al-īm n l yazīd wa l yanqu .18 Terkait dengan hal ini, Sufy n al-Tsawr (w.161 H) pernah berkata, ‘perbedaan yang mencolok antara akidah kami (al-salaf al- li īn) dan orang Murji’ah adalah kami berpendapat bahwa al-īm n yazīd wa yanqu sedangkan mereka (Murji’ah) mengatakan al-īm n l yazīd wa l yanqu ’.19 Dalam menyikapi pendapat seperti

di atas, Abū an fah banyak melakukan pembelaan terhadap diri sendiri, lebih jauh ia mengatakan ‘berkurangnya iman mengindikasikan akan bertambahnya kekafir-an, dan bertambahnya iman mengindikasikan berkurangnya kekafiran’. Bagaimana

17 Akmal al-D n al-B bart , Syar Wa iyyah al-Im m Abī anīfah Ẓ‘Amm n: D r al-Fat ,

2009), h. 141.

18 Akmal al-D n al-B bart , Syar Wa iyyah, h. 141.

19 Al- usayn bin Mas‘ūd al-Baghaw , Syar al-Sunnah (Beirut: al-Maktabah al-Isl m ,


(21)

mungkin seseorang dalam satu waktu beriman dan di waktu lain kafir? Tandas Abū an fah.20 Dalam hal ini rasio memainkan peranan yang sangat penting dalam

setiap argumen yang dibangun olehnya yang kemudian menjadi dasar yang kuat bagi paradigma pemikiran kalam yang dibentuknya.

Pada umumnya, pemikiran kalam Abū an fah yang tersebar luas di dalam karya-karyanya merupakan jawaban atas berbagai macam problematika yang diha-dapinya pada masa itu khususnya dalam mengcounter pendapat-pendapat yang

dikemukakan oleh kelompok Khaw rij, Mu‘tazilah, Murji’ah, Qadariyyah, Jabariy -yah dan sebagainya. Pendapat-pendapat tersebut pada masa itu berkembang pesat

di wilayah ‘Ir q, khususnya di Ba rah dan Kūfah sehingga berdampak banyak

masyarakat yang terpengaruh dan mulai mempertanyakan akidah yang selama ini mereka pegang.

Kemunculan kelompok di atas juga membuat para ulama dari kalangan ahl al- ad ts dan fikih berbondong-bondong menyusun strategi untuk menolak paham tersebut yang disinyalir menyalahi ketentuan na dan berbeda dengan paham ahl al-sunnah.21 Dalam hal ini, Abū an fah sebagai ahli kalam (mutakallim) sekaligus

ahli ad ts Ẓmu addits) dan ahli fikih (faqīh) mencoba memberikan alternatif jawaban yang relatif berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh kelompok tersebut yaitu jawaban yang berdasarkan argumentasi rasional yang sejalan dengan na . Berkat jawaban-jawaban yang diberikan tersebut, Abū an fah mempunyai peranan yang signifikan dalam meneruskan tongkat estafet akidah para salaf yang sesuai dengan koridor al-Qur’ n dan ad ts. Sehingga banyak ulama setelahnya

20

Akmal al-D n al-B bart , Syar Wa iyyah, h. 63.

21 Mu af ’ ilm , Manhaj ‘Ulam ’ al- adīts Wa al-Sunnah Fī U l al-Dīn ẒKairo: D r al


(22)

yang mengikuti manhaj yang ia digunakan dalam menolak paham kelompok

Khaw rij, Mu‘tazilah, Murji’ah, dan sebagainya. Ulama yang secara terang-terangan mengikuti paham Abū an fah dalam masalah akidah adalah Abū Man ūr al-M tur d (w.333 H) yang dikenal sebagai syaykh ahl al-sunnah. Hal ini dibuktikan dengan persisnya penjelasan yang dikemukakan oleh al-M tur d di dalam kitab-kitabnya dengan penjelasan Abū an fah. Bukan hanya sebatas itu,

al-M tur d juga secara khusus telah menulis komentar Ẓsyar ) atas kitab Fiqh

al-Akbar karya Abū an fah.22

Ulama lainnya yang mengikuti manhaj Abū an fah adalah Abū Ja‘far al-a w . Di dalam pendahuluan kitab ‘Aqīdah al- a wiyyah ia menjelaskan bahwa pembahasan akidah di dalam kitabnya tersebut berdasarkan pendapat Abū an fah, Abū Yūsuf al-An r, dan Abū ‘Abdillah al-Syayb n.23

Selain Abū an fah yang mempunyai pemikiran kalam yang sejalan dengan akidah al-salaf al- li īn, akan dijumpai pula pemikiran kalam yang tidak jauh berbeda dengannya dari pemikiran ulama-ulama terdahulu seperti M lik bin Anas (w.179 H), al-Sy fi‘ (w.204 H), A mad bin ambal (w.241 H), al-Awz ‘ (w.157 H), Ibn al-Mub rak (w.181 H), al-Tsawr (w.161 H), al-Layts bin Sa‘d (w.175 H), Is q bin Ruhawayh (w.238 H), Mu ammad bin Khuzaymah (w.311 H), Ibn Jar r al- abar (w.310 H), al-Bukh r (w.256 H), dan lain-lain dari ulama salaf

al-li īn.24 Akidah mereka adalah sama seperti apa yang dilakukan oleh para sahabat

dan t bi‘ n yaitu apa yang tertera di dalam al-Qur’ n dan ad ts.

22Abū Man ūr al

-M tur d, Syar al-Fiqh al-Akbar (Qatar: al-Syu’ūn al-D niyyah, t.t)

23‘Al bin ‘Al bin Ab al-‘Iz, Syar ‘Aqīdah al- a wiyyah (Beirut: al-Maktabah al-Islam ,

2006), h. 6.

24 A mad bin ‘Abd al- al m bin Taymiyyah al- arr n , Manh j al-Sunnah al-Nabawiyyah


(23)

B.Pembatasan dan Rumusan Masalah

Pembatasan masalah pada suatu penelitian harus dilakukan supaya tidak membahas semua kemungkinan yang bisa muncul. Oleh karena itu, dalam pene-litian ini perlu diketahui tentang pengertian dari ilmu kalam itu sendiri dan siapa yang disebut dengan istilah mutakallim (orang yang concern dalam bidang kalam). Al-j mendefinisikan ilmu kalam sebagai‘ilmu yaqtadiru ma‘ahu ‘al itsb t al-‘ q ’id al-dīniyyah bi īr d al- ujaj wa daf‘ al-syibah25 (ilmu yang memberikan kemampuan untuk membuktikan kebenaran akidah agama dengan menunjukkan

ujjah guna melenyapkan keraguan).

Senada dengan al-j, A mad Fu d al-Ahw n —sarjana muslim asal Mesir yang banyak menulis tentang filsafat—mendefinisikan ilmu kalam sebagai rangkai-an argumentasi rasional (al- ujjah al-‘aqliyyah) yang disusun secara sistematik untuk memperkokoh kebenaran akidah agama Islam.26

Dari definisi yang dikemukakan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang membahas tentang masalah akidah keimanan sese-orang dengan menggunakan argumentasi rasional (al-adillah al-‘aqliyyah).27 Al-Ghazz l menambahkan bahwa tujuan dari ilmu kalam adalah untuk menjaga akidah ahl al-sunnah (yang benar) dari kekacauan (akidah) ahl al-bid‘ah.28

Jika yang dimaksud dengan ilmu kalam adalah sebagaimana yang didefinisi-kan di atas, maka setiap orang yang mempertahandidefinisi-kan akidah (yang benar) dari

25 Al-j , al-Maw qif Fī ‘Ilm al-Kal m, h. 7.

26 A mad Fu d al-Ahw n, Filsafat Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 17. 27 Al-Nasysy r, Nasy’at al-Fikr al-Falsafī, Jld. 1, h. 48.

28 Mu ammad bin Mu ammad al-Ghazz l , Ilj m al-‘Aw m ‘An ‘Ilm al-Kal m ẒBeirut: D r


(24)

akidah ahl al-bid‘ah dengan menggunakan argumentasi rasional dapat disebut sebagai mutakallim.

Dalam hal ini, Abd al-Q hir al-Baghd d telah mengungkapkan bahwa istilah

mutakallim sudah ada dari masa ke masa yaitu dimulai dari masa sahabat. Ia juga

menyebutkan nama-nama mutakallim dari kalangan ahl al-sunnah di antaranya ‘Al

bin Ab lib, ‘Abdullah bin ‘Umar Ẓdari kalangan sahabatẓ, ‘Umar bin ‘Abd al

-‘Az z, Zayd bin ‘Al bin al- usayn bin ‘Ali bin Ab lib, al- asan al-Ba r , al

-Sya‘b , al-Zuhr Ẓdari kalangan t bi‘ nẓ, Ja‘far bin Mu ammad al- diq, Abū

an fah, al-Sy fi‘ , al- rits bin Asad al-Mu sib , Abū ‘Ali al-Kur b s , arma-lah al-Buway , D wud al-I bah n , dan lain-lain.29 Mereka merupakan para pemuka mutakallimin dari kalangan ahl al-sunnah yang senantiasa mempertahan-kan akidah yang benar dari akidah yang ‘menyimpang’ seperti kaum Qadariyyah,

Jabariyyah, Mu‘tazilah, Khaw rij dan sebagainya.30

Pada umumnya pembahasan atau masalah pokok yang dikemukakan dalam ilmu kalam—sebagaimana yang dikatakan Mu ammad ‘Abduh—membahas tentang wujud All h, sifat-sifat yang wajib dan boleh bagi-Nya, dan apa yang wajib

29‘Abd al-Q hir bin hir al-Baghd d , U l al-Dīn (Istanbul: al-Dawlah, 1928), h. 308.

30

Pelabelan kata ‘menyimpang’, ‘sesat’, ‘kafir’, dan lainnya kepada kelompok Qadariyyah,

Jabariyyah, Mu‘tazilah, Khaw rij dan sebagainya menurut sebagian peneliti mempunyai problematikanya sendiri karena tidak ada ketegorisasi yang baku (rigid) tentang definisi kelompok yang menyimpang. Kelompok yang dikatakan ‘menyimpang’ seperti disebut di atas hanya mempunyai justifikasi dari kalangan yang berafiliasi pada kelompok ahl al-sunnah. Sementara kalau dilihat dari kacamata mereka, kelompok ahl al-sunnah juga dicap sebagai kelompok ‘menyimpang’. Hal ini menjadikan klaim kebenaran (truth claim) dari satu pihak dan menganggap pihak lain salah tidak dapat dielakkan. Namun perlu ditegaskan di sini bahwa penyebutan kata ‘menyimpang’ kepada kelompok selain ahl al-sunnah dalam penelitian ini mengikuti apa yang dikatakan oleh Abū an fah

yang menganggap kelompok di atas sebagai kelompok yang ‘menyimpang’. Menurut al-Bay ,

diperbolehkan memberi label ‘menyimpang’ pada suatu kelompok jika berkaitan dengan urusan

yang mesti dilakukan dalam hal agama (al- ar riyy t al-dīniyy tẓ, seperti menjauhkan dz t All h

dari segala sifat kekurangan, dll. Kam l al-D n A mad bin usayn al-Bay , Isy r t al-Mar m

Min ‘Ibar t al-Im m Abī anīfah al-Nu‘m n Fī U l al-Dīn ẒBeirut: D r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2007), h. 147., dan hal ini juga tidak bisa dilepas dari kepentingan politik, sosial, dan keagamaan sebagian kelompok atas kelompok yang lain yang berkembang pada masa itu.


(25)

dinafikan bagi-Nya, juga membahas tentang rasul-rasul-Nya, untuk membuktikan kebenaran tugas kerasulan mereka, dan apa yang wajib ada pada mereka dan apa yang boleh dinisbatkan kepada mereka.31

Sebagian yang lain mengemukakan bahwa masalah yang paling urgen dalam ilmu kalam adalah tentang masalah keesaan Tuhan. Di samping itu juga dibahas tentang masalah kerasulan, akal, dan wahyu, al-Qur’ n, soal mukmin, kafir, dan musyrik, soal hubungan antara khalik dan makhluk-Nya terutama manusia, yaitu menyangkut perbuatan manusia, janji dan ancaman, kemutlakan kehendak dan kekuasaan Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan Tuhan, surga dan neraka, soal taklif dan lain sebagainya.32

Abū an fah di dalam lima karyanya yang sudah tersebar luas di dunia Islam yaitu al-Fiqh al-Akbar, al-Fiqh al-Absa, al-‘ lim Wa al-Muta‘allim, Ris lah

kepa-da ‘Utsm n al-Batt dan al-Wa iyyah juga banyak membahas tentang persoalan-persoalan seputar kalam sebagaimana yang dijelaskan di atas. Namun dalam peneli-tian ini akan dibatasi pada pemikiran kalam Abū an fah tentang Tuhan dan manu-sia. Karena kedua pembahasan tersebut merupakan inti dari pemikiran Abū an fah yang tersebar di dalam karya-karyanya.

Sedangkan dalam merumuskan masalah dalam penelitian ini, penulis akan mengajukan pertanyaan, pertama, bagaimana pemikiran kalam Abū an fah tentang Tuhan dan kedua, bagaimana pemikiran kalam Abū an fah tentang manusia?

31 Mu ammad ‘Abduh, Ris lat al-Taw īd ẒKairo: D r al-Man r, 1366 Hẓ, h. 7.

32 Tsuroya Kiswali, al-Juwaini, Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam (Jakarta:


(26)

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian

Secara umum penelitian ini ingin mengetahui dan mendeskripsikan

pemikir-an kalam Abū pemikir-an fah di mpemikir-ana ia merupakpemikir-an salah satu pemikir ypemikir-ang spemikir-angat berpe -ngaruh di dalam pemikiran kalam pada masa setelahnya berkat argumentasi rasio-nal yang dibangun dalam membantah pandangan kelompok Khaw rij, Mu‘tazilah,

Murji’ah, dan sebagainya. Oleh karenanya pendapat-pendapatnya dalam bidang kalam banyak diikuti oleh generasi setelahnya bahkan pemikiran kalam yang dikenal sebagai ahl al-sunnah wa al-jam ‘ah merupakan terusan dari pandangan

Abū an fah.

Secara terperinci, penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui dan

mendes-kripsikan pemikiran Abū an fah tentang dz t dan sifat Tuhan, (2) tentang kalam

All h Ẓal-Qur’ n), (3) tentang ayat tasybīh dan tajsīm, (4) tentang melihat All h (5) tentang konsep iman dan kafir, (6) tentang status pelaku dosa besar, dan (7) tentang paham Qadariyyah (Free Will) dan Jabariyyah (Predestination).

Sedangkan kegunaan dari tulisan ini adalah untuk memperkenalkan

pemikir-an kalam Abū pemikir-an fah kepada khalayak umum ypemikir-ang mpemikir-ana pemikirpemikir-annya tersebut

sesuai dengan akidah ahl al-sunnah wa al-jam ‘ah. Selain itu penelitian ini juga dapat menambah khazanah kepustakaan atau litelatur di Indonesia khususnya

tentang pemikiran Abū an fah yang dirasa kurang dan diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat turut melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya.

D.Tinjauan Kepustakaan

Sebagai figur imam dalam paham ahl al-sunnah sekaligus sebagai pemikir kalam pertama Islam, tentunya banyak peneliti yang tertarik untuk mengkaji


(27)

Peneliti yang mengkaji pemikirannya pun beragam mulai peneliti luar negeri sampai dalam negeri. Namun dari sekian banyak buku dan penelitian tersebut tidak ada yang sistematis membahas pemikiran Abū an fah dengan membandingkannya dengan pemikiran ahl al-sunnah yang lainnya dan pengaruh pemikirannya terhadap imam besar ahl al-sunnah seperti Abū Ja‘far al- a w Ẓw.321 Hẓ, Abū asan al-Asy‘ar (w.324 H) dan Abū Man ūr al-M turd (w.333 H).

Jika dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti dalam negeri baik itu dalam bentuk buku, jurnal, skripsi, tesis atau disertasi maka sedikit dijumpai tulisan yang membahas tentang pemikiran kalam Abū an fah. Di dalam negeri pemikiran kalam Abū an fah agak dikesampingkan—jika tidak mau dikatakan dilupakan sama sekali—bila dibandingkan dengan penelitian yang membahas tentang pemi-kirannya tentang fiqh dan u l al-fiqh. Ada sebuah penelitian yang ditulis oleh Muhammad Nasuha di Jurnal Teologia dengan judul ‘Pemikiran Theologis Imam Abu Hanifah’,33 yang mencoba mengungkap sisi-sisi teologis Abū an fah. Akan tetapi sumber yang digunakan dalam penelitian ini hanya terbatas pada satu karya

Abū an fah yaitu al-Fiqh al-Akbar yang telah diberi penjelasan oleh al-Mull ’

‘Al al- anaf dan tidak mengelaborasikan dengan karyanya yang lain. Padahal karya Abū an fah yang lain mempunyai signifikansinya sendiri untuk benar-benar mengungkap pemikirannya dalam bidang kalam. Penelitian ini juga tidak memban-dingkan dengan pemikiran kalam lainnya yang berkembang pada saat itu dan tidak mencantumkan pengaruh pemikirannya terhadap al- a w Ẓw.321 H), al-Asy‘ar (w.324 H) dan al-M turd (w.333 H). Penelitian yang banyak tentang Abū an fah justeru dalam bidang fiqh dan u l al-fiqh. Berikut di antara penelitian tersebut:

33 Muhammad Nasuha, Pemikiran Theologis Imam Abu Hanifah, dalam Teologia: Jurnal


(28)

Penelitian yang dilakukan oleh Mulyadi dengan judul ‘Jarimah dan Hukum

-nya Menurut Pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi‘i’,34 Sasrayelli menulis

‘Konsepsi Rukhsah Abu Hanifah dan al-Syafi‘i Dalam Pelaksanaan Hukum

Islam’,35 Abdul Hadi menulis ‘Saksi Wanita dalam Perkawinan Menurut Imam

Syafi‘i dan Imam Abu Hanifah’,36 Sukron menulis ‘Hukum Perempuan Memilih Pasangan Nikah dalam Pandangan Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi‘i’,37

Vebriani menulis ‘Perkawinan Usia Dini Berdasarkan Pandangan Asy- Syafi‘i dan Abu Hanifah Serta Kaitannya dengan Usia Nikah di Indonesia’,38 Husni Thamrin

menulis ‘Kedudukan Anak Yang Lahir di Luar Nikah Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Asy- Syafi‘i’,39 Sholahuddin menulis ‘Al-Im m Abū an fah wa al

-Im m al- Sy fi‘ Wa Manhajuhum F al-Ijtih d’,40 Nurlaila menulis ‘Mudarabah dalam Perspektif Imam Madzhab; Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi‘i, dan Imam Ahmad bin Hambal’,41 Endang Madli menulis ‘Pemahaman Dilalah

dalam Istimbat Hukum: Studi Komparatif Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi‘i

Serta Dampaknya Bagi Ketetapan Hukum’,42 Siti Vivi Luthfi’ah menulis ‘Saksi

34 Mulyadi, Jarimah dan Hukumnya Menurut Pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi‘i,

Skripsi (Jakarta: UIN JKT, 2004)

35 Sasrayelli, Konsepsi Rukhsah Abu Hanifah dan al-Syafi‘i dalam Pelaksanaan Hukum

Islam, Tesis (Jakarta: Pascasarjana UIN JKT, 2002)

36 Abdul Hadi, Saksi Wanita dalam Perkawinan Menurut Imam Syafi‘i dan Imam Abu

Hanifah, Skripsi (Jakarta: UIN JKT, 2012)

37 Sukron, Hukum Perempuan Memilih Pasangan Nikah dalam Pandangan Imam Abu

Hanifah dan Imam Syafi‘i, Skripsi (Jakarta: UIN JKT, 2007)

38 Vebriani, Perkawinan Usia Dini Berdasarkan Pandangan Asy- Syafi‘i dan Abu Hanifah

Serta Kaitannya dengan Usia Nikah di Indonesia, Skripsi (Jakarta: UIN JKT, 2006)

39 Husni Thamrin, Kedudukan Anak Yang Lahir di Luar Nikah Menurut Imam Abu Hanifah

dan Imam Asy- Syafi‘i, Skripsi (Jakarta: UIN JKT, 2006)

40 Sholahuddin, Al-Im m Abū an fah Wa al-Im m al- Sy fi‘ wa Manhajuhum f al-Ijtih d,

Skripsi (Jakarta: UIN JKT, 2002)

41 Nurlaila, Mudarabah dalam Perspektif Imam Madzhab; Imam Abu Hanifah, Imam Malik,

Imam Syafi‘i, dan Imam Ahmad bin Hambal, Skripsi (Jakarta: UIN JKT, 2004)

42 Endang Madli, Pemahaman Dilalah dalam Istimbat Hukum: Studi Komparatif Imam Abu

Hanifah dan Imam Syafi‘i Serta Dampaknya Bagi Ketetapan Hukum, Tesis (Jakarta: Pascasarjana UIN JKT, 2007)


(29)

Anak Kecil dalam Tindak Pidana Penganiayaan Menurut Abu Hanifah dan Malik Ibn Anas: Studi Analisis Terhadap Pandangan Fuqaha’.43

Tulisan dalam bentuk buku yang membahas tentang pemikiran Abū an fah baru banyak ditulis oleh peneliti luar negeri. Berikut beberapa buku yang mempunyai relevansi dengan penelitian ini, di antaranya:

Penelitian yang dilakukan oleh Mu af ’ ‘Abd al-R ziq yang berjudul Tamhīd Li T rīkh al-Falsafah al-Isl miyyah. Sejauh pengamatan penulis, karya ini adalah karya pertama yang ditulis oleh sarjana Muslim yang membahas perkembangan pemikiran dalam Islam secara komprehensif. Pembahasan pemikiran kalam Abū

an fah sangat minim tetapi ini merupakan pintu masuk bagi peneliti setelahnya

termasuk ‘Al S m al-Nasysy r untuk mengembangkan gagasan yang telah dimulai oleh Mu af ’ ‘Abd al-R ziq.44

‘Al S m al-Nasysy r, salah seorang murid Mu af ’ ‘Abd al-R ziq, menulis buku yang berjudul Nasy’at al-Fikr al-Falsafī Fī al-Isl m. Penelitian ini dengan jeli membahas sejarah pemikiran falsafi mulai dari kondisi sosial bangsa Arab pada masa awal Islam dengan adanya pengaruh al-Qur’ n sampai pada pembahasan pemikiran aliran-aliran di dalam Islam seperti kalam, tasawuf, dan u l al-fiqh.

Adapun pembahasan tentang pemikiran kalam Abū an fah diuraikan dalam bukunya tersebut pada jilid ke dua dengan membahas tentang dz t dan sifat All h, sifat al-khalq, al-‘ilm, dan kehendak manusia.45

43Siti Vivi Luthfi’ah, Saksi Anak Kecil dalam Tindak Pidana Penganiayaan Menurut Abu

Hanifah dan Malik Ibn Anas: Studi Analisis Terhadap Pandangan Fuqaha, Skripsi(Jakarta: UIN JKT, 2003)

44

Mu af ’ ‘Abd al-R ziq, Tamhīd Li T rīkh al-Falsafah al-Isl miyyah (Kairo: Lajnah

al-Ta’l f Wa al-Tarjamah, 1959).

45‘Al S m

al-Nasysy r, Nasy’at al-Fikr al-FalsafīẒKairo: D r al-Ma‘ rif, 1977ẓ, Jld. 2, h. 233-243.


(30)

Buku yang ditulis oleh Mu ammad bin ‘Abd al-Ra m n al-Kham s yang berjudul I‘tiq d al-A’immah al-Arba‘ah.46 Buku ini berisi tentang akidah empat imam yang masyh r yaitu Abū an fah Ẓ80-150 Hẓ, M lik bin Anas Ẓ93-179 H), al-Sy fi‘ (150-204 H), dan A mad bin ambal (164-241 H). Secara umum buku ini cukup komprehensif membahas tentang akidah keempat imam. Namun dalam buku ini hanya mengutip pendapat keempat imam tanpa banyak mengelaborasikan dengan pendapat ulama ahl al-sunnah yang lainnya. Sehingga menjadikan buku ini

pure pendapat dari sang imam. Adapun mengenai akidah Abū an fah, sang penulis

buku hanya membahas tentang tiga aspek yaitu masalah tauhid, qadar, iman, dan tentang sahabat.

Tetapi kemudian hari Mu ammad bin ‘Abd al-Ra m n al-Kham s menulis buku yang lebih spesifik berjudul U l al-Dīn ‘Ind al-Im m Abī anīfah.47 Namun seribu sayang karena di dalam buku tersebut banyak terdapat reduksi-reduksi filosofis karena melihat akidah sang iman dengan kacamata Ibn Taymiyah sehingga pembahasannya cenderung membosankan dan sama sekali tidak filosofis. Padahal kalau dilihat di dalam karya Abū an fah langsung maka akan didapatkan berbagai pandangannya yang sangat filosofis-rasionalis. Buku ini juga memiliki konklusi yang berbeda dalam penelitian ini terutama dalam memandang tentang peranan akal

dan sifat ta’w l Ẓinterpretasi).

Buku yang ditulis oleh Wahb Sulaym n Gh wij yang berjudul Ab anīfah al-Nu‘m n: Im m al-A’immah al-Fuqah ’.48 Isi buku ini sangat lengkap mulai dari

46 Mu ammad bin ‘Abd al-Ra m n al-Kham s, I‘tiq d al-A’immah al-Arba‘ah ẒRiy :

Maktabah al-Malik Fahd, 1345 H)

47

Mu ammad bin ‘Abd al-Ra m n al-Kham s,U l al-Dīn ‘Ind al-Im m Abī anīfah (t.tp: D r al- am ‘ , t.tẓ

48 Wahb Sulaym n Gh wij , Ab anīfah al-Nu‘m n: Im m al-A’immah al-Fuqah ’


(31)

biografi Abū an fah, guru dan muridnya sampai pada keseriusannya dalam

menuntut ilmu. Pemikiran akidahnya baru dibicarakan pada bab ketujuh dari buku ini. Itu pun berupa tulisan Abū an fah yaitu al-Fiqh al-Akbar dengan sedikit komentar dari sang penulis buku.

Kemudian ada juga buku yang ditulis oleh Mu ammad ‘Abd al-Rasy d yang berjudul Mak nat al-Im m Abī anīfah Fī al- adīts.49 Sebagaimana tertera di

dalam judul buku tersebut, buku ini hanya memfokuskan pada pemikiran Abū

an fah dalam bidang adīts tanpa menyebutkan pemikirannya dalam hal akidah kecuali hanya sedikit.

Ada juga buku yang ditulis oleh Abū ‘Abdill h Mu ammad bin A mad bin

‘Utsm n al-Dzahab yang berjudul Man qib al-Im m Abī anīfah.50 Buku ini

hanya menceritakan kisah perjalanan hidup Abū an fah tanpa menyinggung

pemikirannya dalam hal akidah.

Buku yang cukup serius membahas tentang pemikiran Abū an fah ditulis oleh Mu ammad Abū Zahrah yang berjudul Ab anīfah. Walaupun Abū Zahrah

sendiri nampaknya meragukan sebagian karya Abū an fah yang sudah tersebar

luas, tetapi ia menulis dengan sangat bagus dan jernih perihal pemikiran kalam Abū

an fah meliputi masalah keimanan, pelaku dosa besar Ẓmurtakib al-kabīrah),

qudrat dan ir dat, dan masalah kemakhlukan al-Qur’ n.51 Walaupun tidak dapat

49 Mu ammad ‘Abd al-Rasy d, Mak nat al-Im m Abī anīfah Fī al- adīts ẒBeirut: D r

Basy ’ir al-Isl miyyah, t.tẓ

50Abū ‘Abdill h Mu ammad bin A mad bin ‘Utsm n al-Dzahab , Man qib al-Im m Abī

anīfahv Wa ibayh Abī Y suf Wa Mu ammad bin al- asan (Hyderabad: Lajnah I y ’ al

-Ma‘ rif, t.tẓ

51

Mu ammad Abū Zahrah, Ab anīfah: ay tuhu Wa ‘A aruhu Ar ’uhu Wa Fiqhuhu


(32)

ditampik banyak reduksi yang dilakukan terhadap pemikiran kalam Abū an fah

lantaran sikap skeptisnya tersebut.

E.Metodologi Penelitian

1. Sumber Data

Penelitian ini merupakan library research yang menggunakan referensi utama buku-buku karya Abū an fah di antaranya al-Fiqh al-Akbar yang sudah diberi komentar oleh al-Mull ‘Al al- anaf dengan judul Syar al-Fiqh al-Akbar

Li Im m Abī anīfah. Buku karangan Abū an fah yang lainnya adalah al-‘ lim

Wa al-Muta‘allim yang dicetak bersama dengan karyanya yang lain yaitu al-Fiqh

al-Absa dan Ris lahkepada ‘Utsm n al-Batt .52Karya Abū an fah lainnya adalah

al-Wa iyyah yang sudah diberi komentar oleh Akmal al-D n Mu ammad bin

Mu ammad al- anaf dengan judul Syar Wa iyyah al-Im m Abī anīfah.53

Selanjutnya adalah buku yang dikarang oleh Kam l al-D n A mad bin usayn al-Bay berjudul Isy r t al-Mar m Min ‘Ib r t al-Im m Abī anīfah al -Nu‘m n Fī U l al-Dīn.54 Buku ini merupakan kumpulan dari kelima karya Abū

an fah yang sudah dielaborasi dan dikomentari oleh sang penulis. Salah satu kelebihan dari buku ini adalah di mana di dalamnya terdapat petunjuk untuk memahami isi kalimat yang digunakan oleh Abū an fah sehingga memudahkan pembaca dalam memahami pemikirannya.

Adapun data sekunder yang digunakan adalah buku-buku karya ulama-ulama terdahulu maupun buku-buku yang ditulis oleh ulama sekarang khususnya yang ada

52Abū an fah, Al-‘ lim Wa al-Muta‘allim (Kairo: al-Anw r, 1368 H)

53 Akmal al-D n al-B bart , Syar Wa iyyah al-Im m Abī anīfah Ẓ‘Amm n: D r al-Fat ,

2009).

54Kam l al-D n A mad bin usayn al-Bay , Isy r t al-Mar m Min ‘Ibar t al-Im m Abī


(33)

kaitannya dengan pembahasan pada penelitian ini. Terlebih karena pada penelitian ini akan membahas pemikiran kalam ulama salaf dengan membandingkan dengan pemikiran ulama yang sezaman dengannya, maka dibutuhkan pula buku-buku per-bandingan yang mengemukakan tentang pemikiran para ulama salaf yang lainnya, di antaranya:

Buku yang ditulis oleh Abū Ja‘far al- a w yang berjudul ‘Aqīdah al -a wiyyah,55selanjutnya buku yang ditulis oleh Abū asan al-Asy‘ar yang berju -dul al-Ib nah ‘An U l al-Diy nah,56 al-Luma‘,57 dan al-Maq l t al-Isl miyyīn,58 dan buku yang ditulis oleh Abū Man ūr al-M tur d Ẓw.333 H) yang berjudul Kit b

al-Taw īd,59 dan Syar al-Fiqh al-Akbar,60 akan banyak dikutip dalam penelitian

ini sebagai perbandingan antara pemikiran kalam Abū an fah dan kelompok ahl al-sunnah wa al-jam ‘ah.

Buku lainnya yang akan banyak dikutip sebagai perbandingan adalah karya al-Q ‘Abd al-Jabb r yang berjudul Syar al-U l al-Khamsah,61 yang merupa-kan representasi dari pendapat kelompok Mu‘tazilah.

Buku sekunder lainnya adalah buku yang ditulis oleh para sejarawan awal dalam bidang pemikiran Islam seperti karya al-Syahrast n Ẓw.548 Hẓ yang berjudul

55Ibn Ab al

-‘Iz, Syar ‘Aqīdah al- a wiyyah (Beirut: al-Maktabah al-Islam , 2006)

56Abū al- asan ‘Al bin ‘Ism ‘ l al-Asy‘ar , al-Ib nah ‘An U l al-Diy nah ẒBeirut: D r al

-kutub ‘Ilmiyyah, 2011ẓ

57 Al-Asy‘ar , al-Luma‘ Fī al-Radd ‘Al ’ Ahl al-Ziyagh Wa al-Bida‘ (Kairo: Syirkah

Mus hamah, 1955ẓ.

58 Al-Asy‘ar , Al-Maq l t al-Isl miyyīn Wa Ikhtil f al-Mu allīn (Beirut: Maktabah

al-‘A riyyah, 1990)

59Abū Man ūr al-M tur d , Kit b al-Taw īd ẒBeirut: D r dir, t.tẓ 60 Al-M tur d ,Syar al-Fiqh al-Akbar (Qatar: al-Syu’ūn al-D niyyah, t.tẓ


(34)

al-Milal Wa al-Ni al,62 dan buku karya ‘Abd al-Q hir al-Baghd d (w.429 H) yang

berjudul al-Farq Bayn al-Fir q.63

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis yaitu dengan mendeskripsikan secara terperinci terkait dengan masalah yang hendak diteliti kemudian menganalisis setiap masalah untuk memperoleh pemahaman secara komprehensif.

3. Teknik Pengumpulan Data

Karena penelitian ini termasuk penelitian library research, maka teknik pengumpulan data dilakukan di sebagian besar perpustakaan, baik perpustakaan utama UIN Jakarta, perpustakaan Fakultas Ushuluddin, perpustakaan Darus-Sunnah International Institut For Hadith Sciences, maupun perpustakaan pribadi yang menyediakan literatur atau referensi yang berkaitan dengan tema yang diangkat pada penelitian ini. Semua buku yang berkaitan dengan pembahasan penelitian ini dikumpulkan dan diklasifikasi berdasarkan relevansi terhadap pemba-hasan penelitian ini. Setelah semua buku telah diklasifikasikan maka langkah selan-jutnya adalah dibaca dan diteliti, dan pada akhirnya dimasukkan pada pembahasan penelitian yang diangkat.

4. Teknik Analisis Data

Semua buku yang berkaitan dengan tema pembahasan ini dibaca dengan cermat dan mendetail. Semua kata-kata yang penting diberikan tanda khusus (dikasih stabilo) supaya mempermudah dalam penalaran data yang akan

62 Mu ammad bin ‘Abd al-Kar m al-Syahrast n , Al-Milal Wa al-Ni al ẒBeirut: D r al-Kutub

al-‘Ilmiyyah, 2011ẓ


(35)

kan. Karena analisis pada penelitian ini berkutat antar teks, maka sedikit banyak digunakan berbagai metode, baik itu metode hermeneutik,64 semantik,65 maupun filologis. Teknik penulisan pada penelitian ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiyah tahun 2007 yang diterbitkan oleh penerbit CeQda. Adapun transliterasi menggunakan Jurnal Ilmu Ushuluddin tahun 2013.

F. Sistematika Pembahasan

Pembahasan penelitian ini disusun dalam lima bab. Bab I adalah pendahulu-an. Di dalamnya menjelaskan tentang latar belakang masalah dan rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Di dalam bagian ini juga dikemukakan bahwa

Abū an fah adalah pemikir awal Islam yang sudah concern pada masalah akidah/

kalam. Dalam menjelaskan pemikiran kalamnya Abū an fah tidak jauh berbeda

dengan manh j yang digunakan oleh ahl al-sunnah dan ahl al- ad ts pada umumnya yaitu berdasarkan argumen-argumen yang sesuai dengan al-Qur’ n, ad ts dengan ditopang hasil penalaran rasio (akal).

Pada bab II, akan diuraikan tentang biografi Abū an fah mulai dari kepriba -dian sampai perjalanan intelektualnya. Pada bab ini juga akan diuraikan tentang

pandangan para kritikus tentang pribadi Abū anfah yang didakwa mempunyai

paham yang sama dengan Murji’ah sekaligus bantahan terhadap pendapat tersebut. Terakhir akan disebutkan beberapa karya Abū an fah yang masih ada hingga

64 Hermeneutik merupakan proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi

mengerti. Dalam definisi yang agak berbeda dikatakan bahwa hermeneutik sebagai suatu metode atau cara untuk menafsirkan simbol berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks untuk dicari arti dan maknanya. Mudjia Raharjo, Dasar-Dasar Hermeneutika: Antara Intensionalisme dan Gadamerian (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2008), h. 29.

65 Semantik adalah suatu studi dan analisis tentang makna-makna linguistik. Ilmu ini

membahas tentang telaah makna, lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna dan

hubungan makna yang satu dengan yang lainnya. Abd. Mu’in Salim, Metode Ilmu Tafsir


(36)

sekarang sekaligus dijelaskan pula tentang kebenaran karya tersebut sebagai karya

asli dari Abū an fah.

Pada bab III, akan diuraikan pandangan Abū an fah tentang Tuhan. Menu -rutnya All h haruslah disifati dengan apa yang telah disifatkan oleh diri-Nya sendiri sebagaimana yang terdapat di dalam al-Qur’ n dan ad ts Nabi yang a īh. Adapun ayat-ayat yang mengindikasikan tajsīm dan tasybīh ditetapkan sebagaimana layak-nya All h mempunyai sifat tersebut tanpa adanya ta‘ īl dan tasybīh. Menurutnya

All h bisa dilihat di akhirat kelak dengan mata kepala yaitu dengan tersingkapnya

tirai antara manusia dan All h tanpa diketahui caranya Ẓbil kayf). Dari sini akan diketahui bahwa pendapatnya dalam hal sifat Tuhan sama seperti mayoritas ulama

al-salaf al- li īn dari kalangan ahl al-sunnah wa al-jam ‘ah.

Pada bab IV, akan diuraikan pandangan Abū an fah tentang manusia. Dalam bab ini akan diuraikan pendapatnya tentang kemampuan akal. Bahwa manusia dengan akalnya wajib mengetahui adanya Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Selain itu juga akan dijelaskan tentang masalah iman dan kafir. Bahwa All h tidak menciptakan manusia dalam keadaan beriman atau kafir, tetapi manusia sendirilah yang mengupayakan perbuatannya. Berangkat dari pendapat tersebut kemudian ia memproklamasikan teori kasb yang merupakan ciri khas dari pandangan ahl al-sunnah wa al-jam ‘ah. Pada bab ini juga akan dijelaskan bantahan terhadap

kelompok Khaw rij, Murji’ah dan Mu‘tazilah dalam masalah status pelaku dosa

besar dan paham kebebasan berkehendak.

Kesimpulan pada penelitian ini akan dibahas pada bab V. bab ini akan mem-berikan kesimpulan dari seluruh pembahasan yang dijelaskan oleh penulis dari bab-bab sebelumnya. Dalam bab-bab ini pula akan memberikan jawaban terhadap masalah


(37)

yang menjadi fokus dalam penelitian ini yaitu seputar pemikiran kalam Abū an fah. Tidak lupa pula saran-saran dan rekomendasi yang bersifat konstruktif seputar pemikiran kalam di dalam dunia Islam pada umumnya dan pemikiran kalam

Abū an fah pada khususnya.


(38)

A.Latar Belakang Keluarga

Nama lengkap Abū an fah adalah al-Nu‘m n bin Ts bit bin Zū ’ bin M h.1 Ada juga yang mengatakan al-Nu‘m n bin Ts bit bin al-Nu‘m n bin Marzub n.2

Para sejarawan berselisih pendapat mengenai nama kakek dari Abū an fah, ada yang berpendapat bahwa kakeknya bernama al-Nu‘m n bin al-Marzub n, dan sebagian yang lain berpendapat bernama Zū ’ bin M h. Para peneliti telah mengompromikan beberapa pendapat di atas dengan mengatakan bahwa arti kata Zū ’ sendiri menurut bahasa Arab sama dengan kata al-Nu‘m n, dan arti kata M h adalah al-Marzub n.3 Ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa Abū an fah

bernama ‘At k bin Zū arah kemudian ia menamakan dirinya dengan al-Nu‘m n dan ayahnya dengan Ts bit.4

Mengenai nama asli dari Abū an fah, cucunya pernah berkata: ‘Saya berna-ma Ism ‘l bin amm d bin al-Nu‘m n bin Ts bit bin al-Nu‘m n bin Marzub n.5

Pendapat dari Ism ‘l bin amm d ini sekaligus menetapkan nama asli dari Abū

an fah yang menjadi perdebatan di kalangan ulama.

Al-Nu‘m n bin Marzub n ẒZū ’ bin m h)—kakek Abū an fah—berasal dari K bul—ibukota Afganistan sekarang—ada juga yang mengatakan bahwa

al-Nu‘m n berasal dari Babilonia, pendapat yang lain mengatakan berasal dari Amb r, ada juga yang menyebut Nas ’, dan Tirm dz. Al-Nu‘m n sudah memeluk Islam

1Wahb Sulaym n Gh wij , Ab anīfah al-Nu‘m n: Im m al-A’immah al-Fuqah ’ (Beirut:

D r al-Qalam, 1993), h. 47-8. (Selanjutnya disebut Wahb Sulaym n, Ab anīfah)

2 A mad bin Mu ammad bin Khallik n, Wafiy t al-A‘y n Wa Anb ’ Abn ’ al-Zam n

(Beirūt: D r al- adr, t.t), Juz. 5, h. 405. (Selanjutnya disebut Ibn Khallik n, Wafiy t al-A‘y n)

3Wahb Sulaym n, Ab anīfah, h. 48.

4 A mad bin ‘Al al-Kha b al-Baghd d , T rīkh Baghd d ẒBeirut: D r al-Gharb al-Isl m ,

2002), Juz. 15, h. 444. (Selanjutnya disebut Al-Kha b al-Baghd d , T rīkh Baghd d)


(39)

pada masa kekhalifahan ‘Umar bin al-Kha b kemudian bermigrasi ke Kūfah

Ẓ‘Ir qẓ dan menetap di sana.6

Beberapa penilaian jelek pernah dialamatkan kepada keluarga Abū an fah di antaranya bahwa Ts bit—ayahnya—adalah seorang Nasrani.7 Tuduhan ini dila-kukan karena menyangka bahwa al-Nu‘m n bin Marzub n belum memeluk Islam dan masih beragama Nasrani. Pendapat tersebut nampaknya akan segera dinafikan mengingat menurut pendapat yang paling masyhur bahwa Ts bit dilahirkan sudah masuk Islam.8 Bahkan di dalam kitab-kitab sejarah disebutkan bahwa Ts bit

mengenal dekat sahabat ‘Al bin Ab lib sebagaimana dikisahkan berikut: Pada suatu hari Ts bit datang kepada sahabat ‘Al bin Ab lib meminta didoakan baginya dan keturunannya dengan suatu kebaikan. Kemudian All h mengabulkan apa yang diminta oleh Ts bit dengan lahirnya Abū an fah yang kelak akan menjadi pemimpin, penguasa bumi, dan perkataannya dalam hal agama akan diikuti oleh banyak orang. Bahkan al-Nu‘m n bin al-Marzub n (ayahnya Tsabit) merupakan orang yang memberi f l dzaj (sejenis makanan khas dari Persia yang terbuat dari gandum) kepada sahabat ‘Al dalam pesta tahun baru (bagi bangsa Persia). 9

Penilaian negatif juga sering diarahkan kepada Abū an fah dengan mengata-kan bahwa ia adalah seorang budak dari Taymillah bin Tsa‘labah bin Bakar bin

W ’il yang pada kemudian hari dimerdekakan.10 Pendapat ini pertama kali

6Wahb Sulaym n, Ab anīfah, h. 47-8., Mu ammad bin A mad al-Dzahab , Siyar A‘l m

al-Nubal ’ (Beirut: Muassasah al-Ris lah, 1985ẓ, Juz. 6, h. 395. (Selanjutnya disebut Al-Dzahab ,

Siyar)

7 Al-Kha b al-Baghd d , T rīkh Baghd d, Juz. 15, h. 444. 8 Ibn Khallik n, Wafiy t al-A‘y n, Juz. 5, h. 405.

9Wahb Sulaym n, Ab anīfah, h. 48.

10 Al-Dzahabi, Siyar, Juz. 6, h. 390., Al-Dzahabi, Man qib al-Im m Abī anīfah Wa


(40)

kemukakan oleh Ibn Ism ‘ l bin amm d bin Ab an fah. Sedangkan Ibn Ism ‘ l

sendiri adalah orang yang tidak dikenal (majh l). Tentu saja pendapatnya tidak dapat diterima karena bertentangan dengan riwayat pendapat Ism ‘ l bin amm d (ayahnya) sendiri yang mengatakan bahwa keluarganya tidak ada yang pernah menjadi budak selama hidupnya. Pendapat yang menyatakan bahwa Abū an fah adalah bekas budak tentu saja tidak benar, yang benar adalah ia seorang keturunan Persia yang merdeka (min abn ’i f ris al-a r r).11

Kembali pada pembahasan kelahiran Abū an fah. Ia dilahirkan pada tahun 80 H12 pada periode igh r al- a bahdi Kūfah.13 Ia dibesarkan di dalam keluarga yang berkecukupan. Ayahnya adalah penjual sutera yang sukses di Kūfah dan ia sempat mengikuti jejak ayahnya berjualan sutera. Namun setelah itu ia tertarik untuk mengkaji dan menghafalkan al-Qur’ n. Ia merupakan orang yang paling banyak membaca al-Qur’ n bahkan di bulan rama an ia bisa mengkhatamkan

al-Qur’ n lebih dari 60 kali.14

Pada tahun 96 H. ketika berumur enam belas tahun Abū an fah dan ayahnya berangkat haji dan berziarah ke makam Nabi Saw. Di sana ia bertemu dengan orang tua (al-syaykh) yang sedang dikelilingi oleh banyak orang. Ia penasaran, apa gerangan yang membuat banyak orang menaruh simpati kepada orang tua tersebut. Lantas ia bertanya kepada ayahnya dan mendapati bahwa orang tersebut adalah sahabat Nabi Saw. yang bernama ‘Abdullah bin al- rits bin Jaz’ al-Zab d (w.97

11 Al-Kha b al-Baghd d , T rīkh Baghd d,Juz. 15, h. 444.

12 Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama sebagaimana yang telah ditarjī oleh

al-Dzahab . Adapun pendapat yang marj mengatakan bahwa Abū an fah dilahirkan pada tahun 61 H. Al-Dzahab , Man qib al-Im m Abī anīfah, h. 7.

13 Al-Kha b al-Baghd d , T rīkh Baghd d, Juz. 15, h. 444., Al-Dzahabi, Siyar, Juz. 6, h.

391.

14 Mu ammad Abū Zahrah, Ab anīfah: ay tuhu Wa ‘A aruhu Ar ’uhu Wa Fiqhuhu


(41)

H). Ia sedang mengajarkan beberapa ad ts kepada murid-muridnya. Ketika mende-kati majlis orang tua tersebut, ia mendengar sebuah ad ts yang berbunyi: هأه فعهنم

ب تحاهثيكهنمه ق، ههو م هه فكه اهنيل ‘Siapa yang memperdalam ilmu agama maka

akan dicukupi segala kebutuhannya dan diberikan rizki yang tidak diduga-duga’.15 Ketika mendengar ad ts di atas, All h telah membuka hati Abū an fah kepada jalan yang benar dan diri ai-Nya di mana ia mulai tergerak untuk terus belajar ilmu-ilmu agama dan menyibukkan diri dengan belajar. Berkat keseriusannya dalam memperdalam ilmu agama inilah pada kemudian hari menjadikannya sebagai orang yang paling ‘ lim pada masanya.

Disiplin ilmu yang pertama kali menarik minat Abū an fah adalah ilmu kalam atau u l al-dīn (pokok-pokok agama) atau debat (al-jid l). Ilmu kalam menurutnya adalah ilmu yang paling utama (af al al-‘ul m) karena dapat mengeta-hui hakikat sesuatu. Berkat kecerdasan yang dimilikinya dan kemampuan mengana-lisis suatu masalah dengan cermat, ia cepat menguasai dan menjadi ahli dalam bidang kalam walaupun pada saat itu umurnya baru menginjak 20 tahun, sehingga banyak orang yang kagum atas kepakarannya tersebut.16

Tentang kepakaran Abū an fah dalam bidang kalam dan mendebat ber-bagai macam kelompok dalam masalah akidah dapat dibuktikan dengan kritik-annya yang sangat tajam terhadap beberapa kelompok yang menurutnya mempunyai pemikiran yang rancu dan sesat terutama dari kalangan ateis (ahl al-il dẓ dan bid‘ah Ẓahl al-bida‘) khususnya dari kelompok Mu‘tazilah, Khaw rij,

dan Sy ‘ah. Bahkan diceritakan, ia keluar-masuk Ba rah lebih dari 27 kali hanya

15Wahb Sulaym n, Ab anīfah, h. 50. 16Abū Zahrah, Ab anīfah, h. 26.


(42)

untuk berdebat dan beradu argumentasi dengan kelompok-kelompok yang menyimpang dari ketentuan agama Islam dan menunjukkan kembali pada ajaran yang benar. Di antara orang yang mendapatkan kritikan yang tajam dari Abū

an fah adalah Jahm bin afw n17 sampai tidak dapat berkata apapun.18 Dalam hal ini, argumentasi yang digunakan Abū an fah dalam menyerang kelompok yang

mempunyai paham menyimpang dari agama Islam, banyak diterima oleh banyak kalangan sehingga banyak orang dari kalangan ahl al-bida‘ diberi hidayah oleh

All h Swt. untuk kembali pada ajaran yang benar.

Setelah beberapa tahun bergumul dalam dunia kalam dengan selalu berdebat dengan berbagai macam kelompok ahl al-bida, kemudian ia mengalihkan

perhati-an kepada ilmu fikih. Adapun sebab orientasi Abū perhati-an fah berubah dari diskursus

seputar kalam ke fikih adalah lantaran ia tidak bisa menjawab pertanyaan seputar masalah fikih yang diajukan oleh seorang perempuan. Wahb Sulaym n di dalam

biografi Abū an fah menceritakan sebagai berikut:

Pada suatu hari Abū an fah ditanya oleh seorang perempuan tentang seorang

lelaki yang ingin menceraikan istrinya dengan talak yang sesuai Sunnah. Bagai-mana ia harus menceraikannya? Mendengar pertanyaan tersebut Abū an fah hanya bisa berdiam diri dan menyarankan perempuan tersebut bertanya kepada

17

Jahm bin afw n memiliki kunyah Abū Mu arraz budak Bani R sib. Ada yang mengata -kan ia berasal dari Samar-kand ada juga yang mengata-kan dari Tirmidz. Ia merupa-kan murid al-Ja‘d bin Dirham. Jahm dikenal sebagai ahli debat yang handal yang selalu mengandalkan kecerdasan akalnya dalam setiap berdebat. Di antara bukti kecerdasannya adalah ketika ia berdebat dengan kelompok Samaniyah dari India. Mereka (Samaniyah) bertanya: kamu percaya Tuhan? Ya. Jawab Jahm. Pernah tahu wujud-Nya? Tidak. Pernah mendengar ucapan-Nya? Tidak. Pernah mencium bau-Nya? Tidak. Kamu dapati Dia berbentuk materi atau bisa diraba? Tidak juga. Lantas bagaimana kamu tahu Dia Tuhan? Jahm balik bertanya kepada mereka. Kalian percaya di dalam tubuh ada ruh? Ya. Apakah kalian melihatnya? Tidak. Pernah mendengar suaranya? Tidak. Kalian dapati dia

berbentuk materi atau bisa diraba? Tidak. Begitu juga All h, tidak bisa dilihat mempunyai wajah, suara, mempunyai tempat dan lainnya. Al-Ghur b , T rīkh al-Firaq al-Isl miyyah, h. 22-3.


(1)

Razaq, Abdul dan Rasihan Anwar. Ilmu Kal m. Bandung: Pustaka Setia, 2011. Al-R z, Fakhr al-D n. Maf tī al-Ghayb. Beirut: D r al-I y ’ al-Tur ts al-‘Arab ,

1420 H

Al-R z , Ibn Ab tim. al-Jar wa al-Ta‘dīl. Beirut: D r I y ’ al-Tur ts, 1952. Al-R z , Mu ammad bin Ab Bakr. Mukht r al- i . Beirut: D r al-Fikr, 2009. Al-R ziq, Mu af ’ ‘Abd, Tamhīd Li T rīkh al-Falsafah al-Isl miyyah. Kairo:

Lajnah al-Ta’l f wa al-Tarjamah, 1959.

Al- būn , ’Ism ‘ l bin ‘Abd al-Ra m n. ‘Aqidah al-Salaf wa A b al- adīts. Riy : D r al-‘ imah, 1998.

Al- afad , al al-D n. al-W fī Bi al-Wafiyy t. Beirut: D r I y ’ al-Tur ts, 2000. Sasrayelli. Konsepsi Rukhsah Abu Hanifah dan al-Syafi‘i Dalam Pelaksanaan

Hukum Islam. tesis. Jakarta: Pascasarjana UIN JKT, 2002.

Sazk n, Fuad. T rīkh al-Tur ts al-‘Arabī, Penerj. Ma mūd Fahm ij z . Riy : J mi‘ah al-Im m Mu ammad bin Su‘ūd al-Isl miyyah, 1991.

Sholahuddin. ‘Al-Im m Abū an fah wa al-Im m al- Sy fi‘ wa Manhajuhum f al -Ijtih d’. Skripsi. Jakarta: UIN JKT, 2002.

Syahin, Abdussabur. Sejarah al-Qur’an. Ter. Ahmad Bachim. Jakarta: Rehat Publika, t.t.

Al-Syahrast n , Mu ammad bin ‘Abd al-Kar m. Al-Milal wa al-Ni al. Beirut: D r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2011.

Al-Syayb n , Mu ammad bin asan. al-J mi‘ al- aghīr Wa Syar ih al-N fi‘ al -Kabīr. Beirut: ‘ lam al-Kutub, 1406 H.

Sukron. ‘Hukum Perempuan Memilih Pasangan Nikah Dalam Pandangan Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi‘i’. Skripsi. Jakarta: UIN JKT, 2007.

Thamrin, Husni. ‘Kedudukan Anak Yang Lahir di Luar Nikah Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Asy- Syafi‘i’. Skripsi. Jakarta: UIN JKT, 2006.

Vebriani. ‘Perkawinan Usia Dini Berdasarkan Pandangan Asy- Syafi‘i dan Abu Hanifah Serta Kaitannya Dengan Usia Nikah di Indonesia’. Skripsi. Jakarta: UIN JKT, 2006.

Al-W di‘ , Abū ‘Abd al-Ra m n Muqbil bin H d . Nasyr al- a īfah Fī Dzikr al-a ī Min Aqw l A’immah al-Jar wa Ta‘dīl fī Abī anīfah. Kairo: D r al


(2)

151

Al-Zab d , Mu ammad bin Mu ammad. It f al-S dah al-Muttaqīn Bi Syar I y ’ ‘Ul m al-Dīn. Beirut: D r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009.

Zahrah, Mu ammad Abū. Ab anīfah: ay tuhu Wa ‘A aruhu Ar ’uhu Wa Fiqhuhu. Beirut: D r al-Fikr, t.th.

__________.Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam. Penerj. Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2011.

Al-Zarq n , Mu ammad ‘Abd al-‘A m, Man hil al-‘Irf n fī Ul m al-Qur’ n. Kairo: D r al- ad ts, 2001.


(3)

yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleransi.

Ahl Ra’yi : orang-orang yang menempatkan rasio pada posisi tertinggi Aksiden (‘ara ) : sesuatu yang wujudnya membutuhkan kepada tempat seperti warna yang memerlukan tubuh. Aksiden terbagi dua: yang menetap pada dz t seperti putih dan hitam, dan yang tidak menetap pada dz t seperti gerak dan diam.

Anthropomorphisme: paham yang menganggap bahwa Tuhan sama dengan makhluk (tasybīh) dan menganggap-Nya mempunyai anggota tubuh seperti muka, tangan, kaki, dan sebagainya layaknya manusia (tajsīm).

Arbitrase (ta kim) : mediasi, peristiwa ini bermula ketika terjadi peran iff n antara ‘Al bin Ab lib dan Mu‘ wiyah bin Ab Sufy n. Di antara keduanya menyepakati perjanjian damai dengan menunjuk Abū Mūs ’ al-Asy‘ar dari pihak ‘Al dan ‘Amr bin ‘ dari pihak Mu‘ wiyah sebagai mediator ( kim). Dari peristiwa arbitrase ini pula bermunculan kelompok-kelompok keagamaan seperti Khaw rij, Murji’ah, dan Sy ‘ah.

Dalil Aqli: argumentasi yang dibangun atas dasar penalaran rasio manusia yang benar yang tidak keluar dari ketentuan yang telah digariskan oleh na .

Dalil Naqli: argumentasi yang dibangun atas dasar al-Qur’ n dan ad ts Ḥad ts: segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw. berupa perbuatan, perkataan atau ketetapannya.

Ḥaur rā’: Sebuah desa di pinggiran kota Kūfah yang menjadi basis pertama terbentuknya kelompok Khaw rij. Nama desa ini pula yang nantinya dijadikan sebagai nama awal dari kelompok Khaw rij yang dipimpin oleh ‘Abdullah bin Wahb al-R sib.

Iqrār: mengucapkan dengan lisan bahwa tidak ada Tuhan selain All h dan Mu amad adalah utusan-Nya.

Jabariyyah: paham yang mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya.


(4)

153

Kalam lafzī: kalam yang bersifat baru yang tertulis di dalam surat-surat dan ayat-ayat al-Qur’ n. Yaitu al-Qur’ n yang ditulis di dalam mu af dengan tangan-tangan kita, yang hurufnya dapat dibaca, terjaga di dalam hati sehingga dimungkin-kan menghadirdimungkin-kan ayat tersebut ketika membayangdimungkin-kannya dengan bentuk lafa - lafa yang abstrak, dan dapat dibaca dengan lisan kita dengan huruf-hurufnya yang terjaga dan diperdengarkan.

Kalam nafsī: kalam All h yang bersifat dahulu (qadīm) yang tidak tersusun atas huruf atau lafa yang dapat dibaca oleh manusia. Kalam jenis ini kekal dan abadi karena termasuk sifat All h yang qadīm yang tersimpan di dalam lau ma f ẓ.

Kasb: daya yang diciptakan oleh All h kepada manusia untuk melakukan segala macam perbuatan di dunia berupa perbuatan baik dan buruk. Aktualitas dari daya itu sendiri sehingga menghasilkan sebuah perbuatan pada hakikatnya adalah perbuatan manusia itu sendiri, bukan secara majazī dari perbuatan Tuhan.

Khawārij: pendukung ‘Ali yang setia, namun setelah Al menerima arbitrase (ta kimẓ, mereka keluar dari barisan Al dan menganggapnya kafir. Setelah itu mereka membuat suatu perkumpulan yang berjumlah dua belas ribu orang di sebuah desa yang bernama aurūr ’di Kūfah dan menunjuk ‘Abdullah bin Wahb al-R sib sebagai imam menggantikan ‘Al bin Ab lib.

Ma‘rifat: mengetahui secara pasti tentang apa yang diyakini yang dihasilkan melalui penjelasan-penjelasan rasional bukan sebatas penjelasan yang didapat melalui pendengaran (sama) semata.

Mu‘tazilah: kelompok ini didirikan oleh W il bin ‘A ’ (80-131 H) di Ba rah dan sezaman dengan Abū an fah (80-150 H). Doktrin yang ditinggalkan W il dikenal sebagai al-U l al-Khamsah yang mencakup al-taw īd, al-‘adl, al -wa‘d wa al-wa‘īd, al-manzilah bayn al-manzilatayn, al-amr bi al-ma‘r f wa al -nahy ‘an al-mungkar.

Mukawwan: objek yang diciptakan

Mumk n al-Wuj b: wujud yang potensial, yang tidak dapat menjadi aktual kecuali ada yang mengaktualisasikannya. Jika wujud ini diaktualisasikan oleh Wajib al-Wujūd maka akan ada, dan juga sebaliknya jika tidak akan menjadi potensialitas atau mumtani‘.


(5)

Murji’ah: kelompok ini muncul berbarengan dengan Khaw rij. Doktrin umum kelompok ini adalah menangguhkan klaim kafir kepada kehendak mutlak Tuhan. Karena menurut kelompok ini pelaku dosa besar tidak akan merusak iman sebagaimana ketaatan tidak akan merubah kekafiran.

Musyabbihah: kelompok yang menganggap bahwa All h mempunyai bentuk seperti manusia. Hal ini berdasarkan deskripsi tentang All h di dalam al-Qur’ n yang secara eksplisit menyebutkan sifat-sifat manusia kepada diri-Nya sendiri.

Mutakallim: setiap orang yang mempertahankan akidah (yang benar) dari akidah ahl al-bid‘ah dengan menggunakan argumentasi rasional.

Qadariyyah: paham yang mengatakan bahwa manusia mempunyai kebebas-an dkebebas-an kekuatkebebas-an sendiri untuk mewujudkkebebas-an perbuatkebebas-an-perbuatkebebas-annya.

Qad m: terdahulu, tidak ada yang mendahului selain-Nya, senantiasa dalam wujud aktual dari zaman azalī.

Sifat Dzāt (esensial): sifat yang tidak boleh diberikan kepada All h dengan sifat negatif atau (All h) mampu untuk bersifat dengan sifat tersebut. Seperti sifat Tuhan bahwa Dia mengetahui. Ketika Dia disifati dengan sifat ini, maka tidak boleh bagi-Nya disifati dengan sifat bodoh atau (All h) mampu bersifat bodoh.

Sifat Fi‘l (perbuatan): sifat yang boleh diberikan kepada All h dengan sifat negatif atau (All h) mampu untuk bersifat dengan sifat tersebut. Seperti sifat marah, maka Dia boleh disifatkan dengan sifat marah dan cinta, dan Dia boleh disifatkan dengan sifat adil dan (mampu bersifat) lalim.

Substansi (jauhar): sesuatu yang berdiri sendiri pada dz t-Nya tanpa membutuhkan yang lainnya. Selain itu jauhar adalah tempat berdirinya sifat-sifat (a‘r ) dan bentuk-bentuk (kayfiyy t).

Syay’iyyah: kesesuatuan, yaitu All h adalah sesuatu yang Ada tetapi keberadaan-Nya tidak menyerupai dengan makhluk.

Sy ‘ah: kelompok ini mulai muncul ke permukaan sejarah pada masa akhir pemerintahan ‘Utsm n bin ‘Aff n. Selanjutnya kelompok ini tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan ‘Al bin Ab lib. Ada juga yang mengata-kan bahwa Sy ‘ah muncul ketika berlangsung perang antara ‘Al dan Mu‘ wiyah yang dikenal dengan perang iff n. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas


(6)

155

penerimaan ‘Al terhadap arbitrase yang ditawarkan Mu‘ wiyah, dan pasukan yang tetap setia dan mendukung ‘Al disebut Sy ‘ah

Ta‘addud al-Qudamā’: istilah yang digunakan oleh kelompok Mu‘tazilah untuk menyatakan bahwa sifat Tuhan tidaklah kekal seperti dz t-Nya. Seandainya sifat sama kekal dengan dz t-Nya akan timbul persepsi banyak yang kekal.

Tafw ḍ: menyerahkan segala urusan kepada All h karena menyadari bahwa akal tidak sanggup membuka tirai hikmah ketuhanan.

Takwil Global (al-ta’wīl al-ijm lī): tidak merinci lebih jauh sifat-sifat All h yang terdapat di dalam na seraya mempunyai keyakinan bahwa All h tidak sama dengan makhluk-Nya.

Takwil Partikular (al-ta’wīl al-taf īlī): menjelaskan sifat-sifat All h yang terdapat di dalam na dengan cara menginterpretasikan ayat-ayat tersebut dengan mendatangkan arti baru dengan tujuan menghilangkan kesan bahwa All h sama dengan makhluk-Nya. Seperti menginterpretasikan kata yad dengan kekuasaan, dan lain sebagainya.

Tanz h: menyucikan All h dari segala hal yang dapat mencederai kesucian-Nya seperti menganggap All h sama dengan manusia dan lain sebagainya seraya menetapkan segala macam sifat yang dideskripsikan oleh diri-Nya sendiri di dalam na .

Taṣd q: membenarkan di dalam hati bahwa tidak ada Tuhan selain All h dan Mu ammad utusan-Nya.

Wajib al-Wuj d: wujud yang pasti, yaitu wujud yang ada dengan sendirinya atau wujud yang tidak dapat tidak ada.

Wājib Li Dzātihi: wujud yang dapat mengaktualisasikan dirinya sendiri tanpa bantuan yang lain. Wujud ini adalah sumber keberadaan wujud-wujud yang lain. Pernyataan ini digunakan untuk All h Swt.

Wājib Li Ghayrihi: wujud yang tidak dapat mengaktualisasikan dirinya sendiri tanpa bantuan yang lain.