mengatakan Dz t Tuhan melekat pada diri ‘Al kemudian menjelma dalam dirinya
alla fī ‘Alī juz‘un il hiyyun wa ittakhadza bi jasadihi.
108
Bahkan ‘Abdullah bin Sab ’ terang-terangan mengatakan di depan ‘Al , ‘anta al-il h’.
109
Abū an fah jelas menolak semua paham yang menyerupakan All h dengan makhluk-Nya dengan mengemukakan prinsip kesesuatuan
syay’iyyah seperti disebut di atas. Al-
Bay memperjelas statemen Abū an fah dengan mengatakan tidak mungkin dua entitas yang berbeda bergabung menjadi satu kesatuan. Hal ini
akan memunculkan persepsi bahwa All h sebagai Dz t yang wajib adalah makhluk
sebagai Dz t yang mumkin, tentu ini mustahil adanya.
110
Oleh karenanya, All h
tidak sama dengan makhluk-Nya baik dari segi sifat atau perbuatan-Nya.
D. Melihat Allāh Ru’yat Allāh
Pandangan
Abū an fah dalam hal melihat All h tidak terlepas dari kritikan- nya kepada Jahm bin
afw n yang mengatakan bahwa manusia tidak akan bisa melihat All h baik di dunia maupun di akhirat. Karena menurutnya, All h tidak
menempati suatu tempat atau bisa berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.
111
Pendapat Jahm di atas sangat erat kaitannya dengan pandangannya tentang penegasian sifat nafy al- ifat
ẓ bagi All h yang mengindikasikan mempersamakan All h dengan makhluk-Nya. Jika menetapkan kemungkinan manusia dapat melihat
All h maka akan berimplikasi menetapkan suatu tempat bagi-Nya. Karena melihat mengharuskan adanya media seperti tempat atau ada jarak antara yang melihat dan
yang dilihat. All h sebagai objek yang dilihat dengan demikian menempati suatu
108
Al- Syahrast n , Al-Milal wa al-Ni al, h. 122.
109
Al- Syahrast n , Al-Milal wa al-Ni al, h. 140.
110
Al- Bay , Isy rat al-Mar m, h. 96.
111
Al- Ghur b , T rīkh al-Firaq al-Isl miyyah, h. 24.
tempat layaknya manusia. Jelas ini tidak dapat dibenarkan karena telah memper- samakan tasyabbuh
ẓ All h dengan makhluk-Nya. Abū an fah membangun doktrin tentang ketidakmustahilan manusia dapat
melihat All h dengan persepsi bahwa All h adalah sesuatu yang Ada Ẓwuj d. Sedangkan segala sesuatu yang ada tidak mustahil dapat dilihat oleh mata kepala
walaupun sesuatu tersebut bersifat immaterial. De ngan demikian All h sebagai
sesuatu yang immaterial tidak diragukan lagi atau tidak mustahil bisa dilihat oleh mata manusia di akhirat nanti. Ia mengatakan dalam al-Wa iyyah sebagai berikut;
اكهةتهجاهل هّ عه اهء ّ ه
ة جهاهه ي شتهاههةيفيكهاا .
112
Berj umpa dengan All h bagi penghuni surga adalah benar tanpa cara, tanpa
serupa, dan tanpa arah. Ucapan di atas mempunyai dua pengertian, pertama, berjumpa dan melihat
All h di akhirat bagi penghuni surga adalah benar karena hal tersebut telah disebut- kan secara jelas di dalam al-
Qur’ n dan ad ts. Di antaranya surat al-Qiy mah [75] ayat 22-3 yang menyebutkan;
هٌقَ يِ َنهٍذيئَمررَيهٌهرُجُه ه.
هٌقَر يظ َنه َ ِ َ ه َ
ّي .
Wajah-wajah orang mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.
Di dalam ad ts a ī yang diriwayatkan oleh Muslim bin ajj j, nabi Saw.
bersabda; م ّاهاذ هنهرعه مكهيكت هنهرحهيكتن
ره هضؤ هىهنرتو لعها
.
113
Sungguh kalian akan melihat Tuhan seperti kalian melihat bulan purnama ini, tidak ada yang menghalangi penglihatan kalian kepadanya.
112
Akmal al- D n al-B bart , Syar al-Wa iyyah, h. 132.
113
Muslim bin ajj j, a ī Muslim ẒBeirut: D r al-J l, t.t, Jld. 2, h. 113.
Kedua, All h dapat dilihat oleh mata kepala manusia Ẓpenghuni surgaẓ di
akhirat kelak tanpa menyerupakan dengan makhluk-Nya seraya menyucikan-Nya dari berhadapan, mempunyai arah, dan keadaan. Hal ini termasuk perkara tambahan
amr z ’id atas sifat mengetahui ‘ilmẓ All h Swt.
114
Menurut keterangan al- Bay , All h akan memberikan kekuatan kepada mata manusia untuk melihat-Nya
secara langsung yaitu dengan menciptakan kekuatan untuk melihat quwwah al- idr k bagi manusia tanpa harus adanya kontak langsung antara manusia dan All h
atau berhadapan antara satu dengan lainnya.
115
Pernyataan Abū an fah tentang melihat All h seperti dijelaskan di atas juga sebagai tanggapan atas berbagai macam kelompok yang berkembang pesat di ‘Ir q
pada saat itu seperti kelompok Jahmiyyah, Khaw rij, Mu‘tazilah dan sebagian
Murji’ah yang menegasikan melihat All h tanpa tempat Ẓbil mak n dan arah bil jihhah, karena menurut pandangan mereka keadaan melihat mengharuskan ada
tempat dan arah bagi subjek yang melihat dan objek yang dilihat. Sedangkan All h
Maha Suci munazzah dari mempunyai tempat lahu mak n dan arah jihhah.
Bahkan kelompok Mu‘tazilah menakwilkan ayat n ẓirah pada surat al-Qiy mah [75] ayat 23 sebagai munta
ẓiroh hal menunggu sebagai argumentasi bahwa All h tidak dapat dilihat, bukan mempunyai pengertian melihat dengan mata kepala
sesuai dengan firman-Nya لا اه ك عا.
116
114
‘Al al- anaf , Mina al-Raw al-Azhar Fī Syar al-Fiqh al-Akbar Ẓt.tp: D r al-Basy ’ir al-
Isl miyyah, 1998ẓ, h. 246.
115
Al- Bay , Isy r t al-Mar m, h. 171.
116
Ibn ajar al- ‘Asqal n , Fat al-B rī Bi Syar a ī al-Bukh rī ẒBeirut: D r al-Fikr, t.tn,
Jld. 13, h. 426., menurut Mu af ’al-Ghur b , sebenarnya Mu‘tazilah tidak menegasikan melihat
All h di akhirat kelak melalui dalil l tudrikuhu al-ab r. Melalui ayat tersebut Mu‘tazilah hendak mengatakan bahwa
dz t-Nya tidak bisa dijangkau oleh penglihatan manusia l tu ī u bihi al-ab r bukan menganggap menegasikan melihat All h di akhirat sama sekali. Al-Ghur b , T rīkh al-Firaq
al- Islm miyyah, h. 60.
Sementara di lain pihak ada kelompok Musyabbihah yang menganggap All h dapat dilihat di akhirat kelak dengan mempunyai tempat dan arah. Bahkan menurut
mereka, All h mempunyai tubuh, batas, dan bertempat di ‘Arasy seperti layaknya manusia. Kelompok Musyabbihah dalam hal ini bersikap berlebihan
tafrī dalam memahami ayat al-
Qur’ n yang menunjukkan All h dapat dilihat di akhirat dengan menempelkan segala atribut sifat yang dimiliki manusia kepada-Nya.
117
Menurut Abū an fah, All h dapat dilihat di akhirat kelak dengan menegasi-
kan cara kayfiyyah dan arah jihhah yang biasa disematkan untuk melihat tubuh jism dan aksiden
‘ara di dunia. Melihat All h juga tidak melalui pengindraan yang mengharuskan adanya objek yang dilihat
mar’ī berhadapan langsung dengan subjek yang melihat sehingga ada istilah dekat-jauh, dan sebagainya.
Abū an fah menyebut kedekatan antara hamba dan Tuhannya dengan mengatakan tidak ada
jarak antara dia dan dz t-Nya wal yak nu baynahu bayna khalqihi mas fah yang berarti tidak ada jarak dekat atau jauh dan tidak ada i
j b di antara keduanya. Karena istilah-istilah tersebut hanya berlaku kepada sesuatu yang menetap
istiqr ’ dan All h tidak menetap pada suatu tempat tertentu, terlebih kejadian yang akan
terjadi di akhirat tidak sama dengan kejadian yang terjadi di dunia.
118
Abū an fah menolak semua anggapan di atas dengan mengatakan bahwa hal dekat-jauhnya Al
l h tidak bisa dikonsepsikan dengan cara mengukur panjang- pendeknya jarak di antara keduanya, akan tetapi dipahami dalam pengertian
alegoris maj zī yaitu adanya kemuliaan kar mah yang didapat oleh manusia
kelak di akhirat. Orang yang taat mu ī mempunyai pengertian dekat dengan All h
117
‘Abd al-Q hir bin hir al-
Baghd d , al-Farq Bayn al-Firaq Beirut: D r al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, t.t, h. 170.
118
Al- Bay , Isy r t al-Mar m, h. 173.
tanpa cara bil kayf, dan orang yang bermaksiat ‘ ī mempunyai pengertian jauh
dari All h tanpa cara Ẓbil kayf.
119
Pendapat di atas menunjukkan perihal dekat-jauh yang dinisbatkan kepada All h dalam masalah ini tidak dapat dipersepsikan dengan suatu cara bil kayf;
baik dalam arti berhadapan muq balah, mempunyai jarak mas fah, dan arah
jihhah karena yang demikian hanya diperuntukkan untuk benda yang konkret sy hid berupa tubuh jism ataupun aksiden ‘ara , bukan untuk hal yang abstrak
gh ’ib. Jadi yang dimaksud dengan melihat All h oleh Abū an fah adalah kelak
manusia akan memperoleh ketersingkapan ingkisy fẓ melihat kepada dz t All h
seperti ketersingkapan mata melihat berbagai macam warna dan cahaya. Ketersing- kapan itu sendiri mengharuskan ada kesesuaian antara subjek yang melihat dengan
objek yang dilihat. Jika objek yang dilihat maksy f mempunyai arah dan tempat,
maka ketersingkapan juga mempunyai pengertian arah dan tempat. Begitu juga jika objek yang dilihat terbebas munazzah dari arah dan tempat maka ketersingkapan
terbebas munazzah dari pengertian arah dan tempat.
120
All h sebagai Dz t Yang Maha Suci dari arah dan tempat dengan demikian dapat dilihat dengan melalui
ketersingkapan tanpa arah dan tempat pula. Al-
M tur d menafsirkan perkataan Abū an fah di atas dengan mengatakan All h dapat dilihat bukan dengan cara mengetahui dz t-Nya mempunyai tubuh
seperti anggapan yang dinegasikan oleh Mu‘tazilah melalui ayat l tudrik al-ab r. Dalam ayat di atas hanya menegasikan mengetahui nafy al-
idr k bukan menegasi-
119
‘Al al-Q r , Syar al-Fiqh al-Akbar, h. 154-5.
120
Al- Bay , Isy r t al-Mar m, h. 173.
kan melihat nafy al- ru’yahẓ All h. Kata idr k dalam terminologi Arab mempunyai
makna yang lebih khusus dari kata ru’yah. Karena mengetahui idr k mempunyai
pengertian mencakup i ah terhadap objek yang menjadi batasan ma
d d yang bertujuan membatasi kepada sesuatu yang lebih besar dari subjek itu sendiri,
sementara All h tidak mempunyai batas Ẓ ad dan tidak bisa dicakup dengan akal manusia.
121
Dengan demikian, kata idr k berarti melihat batas sesuatu dan dengan batas
tersebut sesuatu tersebut dapat diketahui. Seperti bayangan al- ẓill pada hakikatnya
dapat diketahui jika ada matahari. Dengan demikian matahari menjadi batasan ada- nya bayangan tersebut. Jika tidak demikian, niscaya bayangan akan tetap diketahui
dengan hilangnnya matahari. Berbeda dengan ru’yah yang tidak menghendaki
adanya pembatasan terhadap objek yang dilihat, bahkan tidak dapat diketahui hakikatnya oleh manusia dengan bentuk tubuh jism.
122
Maka tidak heran jika al- M tur d mempertegas di dalam Kit b al-Taw īd;
ْ فعاههكا ل هْغهنمهاكههّ،اه ن ه هلجهه هفرّاهةضؤ هأه ر ّا .
123
ه Melihat All h adalah suatu kemestian dan benar tanpa idr k dan tafsīr.
Lalu bagaimana dengan ayat al- Qur’ n surat al-A‘r f [7] ayat 143; lan
tar nī;
124
yang mengindikasikan All h tidak dapat dilihat oleh mata kepala manusia? Bukankah sesuatu dapat dilihat jika memenuhi delapan syarat yang harus
dipenuhi yaitu; sehat pancaindra, adanya sesuatu yang memungkinkan untuk dilihat, antara subjek yang melihat dan objek yang dilihat berhadapan satu dengan
121
Al- M tur d , Kit b al-Taw īd, h. 145.
122
Al- M tur d , Kit b al-Taw īd, h. 146.
123
Al- M tur d , Kit b al-Taw īd, h. 141.
124
Teksnya sebagai berikut; هُ َن َاَمهرَ َهرحاه يني َكه يلَهَ
ر جاه
َ ّي هرر ُ رناه ينيك
ََّهه يِاَرَعهرنَّهَ َقهَكر َيي هررُ رنَثه يِي َثه ِفَ هَ َق
lainnya, adanya objek yang dilihat, tidak terlalu dekat atau tidak terlalu jauh, ukuran objek yang dilihat tidak terlalu lembut, tidak terlalu kecil, dan tidak ada penghalang.
Jika kedelapan syarat di atas tidak terpenuhi maka tidak akan terjadi proses melihat. Pertanyaannya bagaimana meletakkan kedelapan syarat di atas jika diterapkan
kepada dz t All h Yang Maha Suci? Menurut pendapat al-
B bart di dalam Syar al-Wa iyyah, keenam syarat awal di atas jelas tidak dapat dianalogikan kepada All h karena hal tersebut khusus
untuk sesuatu yang mempunya i arah dan tempat, sedangkan All h Maha Suci dari
dua hal tersebut. Sedangkan sisanya yaitu adanya pancaindra dan sesuatu yang memungkinkan untuk dilihat dapat diterapkan sebagai bukti bahwa All h dapat
dilihat. Adapun pancaindra yang digunakan tidak sama dengan yang digunakan untuk melihat sesuatu yang konkret
sy hid di dunia karena dz t All h bersifat immaterial. Bisa jadi untuk melihat-Nya tidak membutuhkan persyaratan panca-
indra seperti di dunia tetapi All h menciptakan penglihatan yang baru kepada manusia untuk melihat-Nya yaitu dengan menciptakan kekuatan untuk melihat
quwwah al- idr k.
125
Jadi yang dimaksud dengan ru’yah melihat di sini tidak
sama dengan ru’yah dengan pancaindra yang mengharuskan ada beberapa syarat di
dalamnya, tetapi harus dilihat sebagai sesuatu yang terjadi di luar kebiasaan kh riq
li al- ‘ dah.
126
Adapun na yang menunjukkan bahwa All h tidak bisa dilihat dengan dalil
lan tar nī seperti yang katakan oleh Mu‘tazilah tidak menunjukkan menegasikan melihat All h untuk selamanya Ẓlan li al-ta’bīd al-nafy. Tetapi menunjukkan
125
Akmal al- D n al-B bart , Syar al-Wa iyyah, h. 136.
126
‘Al al- anaf , Mina al-Raw al-Azhar, h. 247.
memperkuat penegasian lan li al- ta’yīd al-nafy bahwa manusia tidak akan
sanggup melihat All h di dunia karena hal tersebut akan didapatkan oleh manusia sebagai tambahan keutamaan
ziy dah al-fa l dari sisi All h swt. All h dapat dilihat mata kepala di akhirat tanpa menyifati-Nya dengan berdiri atau duduk,
bersandar atau bergantungan, menempel atau menyambung, berhadapan atau membelakangi, pendek atau tinggi, berbentuk cahaya atau gelap, diam atau
bergerak, dan sebagainya.
127
---o0o---
127
Al- M tur d , Kit b al-Taw īd, h. 151.
96
BAB IV PEMIKIRAN
AB ḤAN FAH TENTANG MANUSIA A.
Konsep Iman dan kafir
Konsep iman dan kafir merupakan salah satu tema pembahasan yang paling banyak mendapat perhatian dari
Abū an fah setelah pembahasan tentang sifat- sifat Tuhan. Hal ini tidak mengherankan karena pada masa di mana ia hidup kedua
tema pembahasan ini menjadi tema sentral khusunya setelah terjadi peristiwa arbit- rase ta kim.
1
Dampak dari adanya peristiwa ini adalah munculnya kelompok firqoh kalam seperti Khaw rij yang mengangkat isu-isu kalam awal; yaitu status dan nasib
pelaku dosa besar murtakib al-kab īrah: apakah melakukan dosa besar menjadikan
seorang kafir atau tidak. Menurut pandangan ekstrimis Khaw rij jelas menganggap
orang seperti itu sebagai kafir. Pada si si lain ada ekstrimis Murji’ah yang menilai
para pelaku dosa besar masih termasuk orang beriman dan tindakan mereka bukanlah bagian dari iman. Karena bagi mereka tidak ada satu dosa pun yang akan
membuat seorang yang beriman menjadi kafir dan tidak ada satu amal baik pun yang memberi faidah bagi seorang kafir.
2
Abū an fah menjawab semua persoalan di atas dengan sangat dialektis yaitu menggunakan pendekatan rasionalis filosofis dalam setiap argumentasi yang
1
Peristiwa ini bermula ketika terjadi peran iff n antara ‘Al bin Ab lib dan Mu‘ wiyah
bin Ab Sufy n. Di antara keduanya menyepakati perjanjian damai dengan menunjuk Abū Mūs ’ al-
Asy‘ar dari pihak ‘Al dan ‘Amr bin ‘ dari pihak Mu‘ wiyah sebagai mediator Ẓ kim. Di lain pihak ada kelompok yang tidak setuju dengan kesepakatan yang dibuat ‘Al dan Mu‘ wiyah
untuk melakukan mediasi ta kīm tersebut dan menganggap semua pihak yang menyetujui
perjanjian itu sebagai kafir. ‘Abd al-Q hir bin hir al-
Baghd d , al-Farq Bayn al-Firaq Beirut: D r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.tẓ, h. 50., ‘Abd al-Q hir al-Baghd d , U l al-Dīn Istanbul: al-Dawlah,
1928, h. 291- 2., ‘Al Mu af ’ al-Ghur b , T rīkh al-Firaq al-Isl miyyah Wa Nasy’at ‘Ilm al-Kal m
‘Ind al-Muslimīn Kairo: Maktabah Mu ammad ‘Al ab h wa Awl duhu, t.tẓ, h. 18.
2
Seyyed Hossein Nasr, ed., Ensiklopedi Tematis Islam Filsafat Islam: Buku Pertama Bandung: Mizan, 2003, h. 98.