Standardisasi pengafiran Pelaku dosa besar

Siapa yang berzina dan meminum arak maka All h telah melepas iman dari dirinya seperti manusia melepas baju dari kepala badannya. Abū an fah jelas mempercayai segala apa yang disampaikan oleh Nabi Saw. tetapi tidak lantas mempercayai kepada orang yang mengatakan atas nama Nabi Saw. Abū an fah tidak mempercayai ad ts di atas karena tidak percaya dengan rawi yang meriwayatkan ad ts tersebut. Karena menurutnya hadis tersebut bertentangan dengan al- Qur’ n yang secara jelas tidak menganggap pelaku dosa besar telah hilang imannya seperti dalam surat al- Nūr [24] ayat 2; ِا ّاههةينا ّا di mana All h tidak menegasikan iman di dalam diri pelaku dosa besar. Dalam kasus di atas, Abū an fah menolak periwayat yang mengatasnamakan Nabi yang bertentangan dengan al- Qur’ n, bukan mendustakan perkataan Nabi itu sendiri. 80

3. Standardisasi pengafiran

Walaupun Abū an fah masih menganggap pelaku dosa besar sebagai mukmin tetapi ia membuat standardisasi pengafiran terhadap pelaku dosa besar. Standardisasi tersebut didasarkan atas sikap menghalalkan terhadap perbuatan dosa besar. Menurutnya menghalalkan perbuatan dosa baik yang tergolong dosa kecil maupun besar adalah kafir jika perbuatan tersebut sudah jelas keharamannya berdasarkan dalil qa ‘ī. Abū Yūsuf, pengikut paham Abū an fah, mengatakan bahwa barangsiapa yang menghalalkan perbuatan yang haram yang sudah jelas keharamannya di dalam pegangan l yu‘tabar bi adītsihiẓ. Terlebih antara ‘Abdull h bin al-Wal d dan rawi sebelumnya Ibn al- ujayrah terdapat keterputusan inqi ‘ sanad. ad ts di atas juga bertentangan dengan ad ts a ī lainnya yang menyebutkan pelaku dosa besar tetap dianggap mukmin, seperti ad ts; هِ يا نمؤوهر ههِ يهنكهِا ّا . . Lihat pendapat al- Kawtsar dalam Abū an fah, al-‘ lim Wa al-Muta‘allim, h. 24. 80 Abū an fah, al-‘ lim Wa al-Muta‘allim, h. 25. Islam seperti nikah dengan mahramnya, meminum arak, memakan bangkai, darah, atau daging babi tanpa terpaksa ar rat maka orang tersebut telah kafir karena telah ingkar dengan kete ntuan All h. Hal ini sejalan dengan definisi kafir yang dikatakan oleh Abū an fah sebagai sifat mengingkari ingk r, ju d, dan mendustakan takdzīb kepada All h Swt. 81 Adapun seorang yang tidak mengetahui hukum asal perbuatan tersebut lantaran kebodohan dirinya terhadap ilmu agama sehingga menganggap halal meminum arak, maka ia masih mukmin. Berbeda dengan orang yang menganggap bahwa zina itu tidak haram, kebolehan membunuh jiwa manusia tanpa hak adalah kafir karena keharaman kedua masalah di atas sudah ada disemua agama dan terdapat hikmah di dalamnya. Siapa yang mengindahkan hikmah tersebut maka ia telah menganggap semua hukum All h tidak ada hikmah- nya. Ini yang namanya ketidaktahuan akan Tuhan al-jahl bi al-rabb dan pelaku- nya dicap sebagai kafir. 82 Oleh karenanya selama seseorang yang beriman kepada All h dan tidak menganggap halal perbuatan yang sudah jelas keharamannya berdasarkan dalil qa ‘ī maka ia masih dianggap mukmin karena masih terdapat iman di dalam dirinya. Abū an fah menyebut pelaku dosa besar dengan tiga nama yang berbeda. Ada mukmin, mukmin-fasik atau dalam satu keterangan dinamakan musī’ pelaku maksiat. Sebagai contoh orang yang meninggalkan kewajiban seperti salat, puasa, dan lain-lain tanpa ia mendustakan perbuatan tersebut maka dinamakan sebagai musī’, tetapi jika meninggalkan sekaligus mendustakannya maka ia adalah kafir telah keluar dari Islam. 83 81 Abū an fah, al-‘ lim Wa al-Muta‘allim, h. 19. 82 ‘Al al-Q r , Syar al-Fiqh al-Akbar, h. 226. 83 Abū an fah, al-‘ lim Wa al-Muta‘allim, h. 19.

C. Free Will dan Predestination