Iman tidak hilang karena melakukan dosa besar

dianggap mukmin, jika meninggal belum sempat bertaubat nasibnya ditentukan oleh kehendak mutlak All h. Jika All h menghendaki maka akan diampuni dan dimasukkan di surga dan jika All h menghendaki maka akan dimasukkan ke dalam neraka tetapi tidak kekal selamanya.

2. Iman tidak hilang karena melakukan dosa besar

Sebagaimana telah diketahui bahwa hakikat iman menurut Abū an fah adalah iqr r dan ta dīq, sedangkan perbuatan ‘amal berada di luar iman. 75 Oleh karenanya pelaku dosa besar masih tetap dianggap mukmin yang sempurna iman- nya dan kadar keimanan tidak akan hilang atau keluar dari dirinya. Hal ini disebab- kan melakukan perbuatan dosa tidak akan menegasikan keimanan yang ada di dalam diri setiap orang. Antara iman dan perbuatan tidak mempunyai hubungan kausalitas sehingga melakukan perbuatan dosa tidak akan menyebabkan hilangnya sifat iman. Di antara keduanya mempunyai tempat yang berbeda. Iman bertempat di dalam hati sedangkan perbuatan ada di badan dan di antara keduanya tidak ada saling keterpengaruhan. Dengan demikian, orang yang melakukan dosa besar murtakib al- kabīrah masih dianggap sebagai mukmin karena masih terdapat iman di dalam hatinya. 76 Pendapat ini juga sebagai tanggapan atas pendapat kelompok Mu‘tazilah yang menganggap sifat keimanan bagi pelaku dosa besar telah gugur atau hilang yang membawa mereka pada sifat kefasikan dan akan masuk ke dalam neraka selamanya. Sedangkan menurut Abū an fah, orang yang berlaku fasik dan mela- 75 Akm l al-D n al-B bart , Syar al-Wa iyyah, h. 74. 76 Mu ammad bin Bah ’ al-D n, al-Qawl al-Fa l Syar al-Fiqh al-Akbar Istanbul: Hakikat Kitabevi, 1990, h. 306. kukan perbuatan maksiat imannya tidak akan hilang dari dalam tubuh sehingga masih dinamakan mukmin bukan kafir. Wahb Sulaym n menambahkan bahwa selama seorang tidak melakukan perbuatan yang secara jelas menunjukkan kekafiran bagi yang melakukan seperti menganggap bahwa yang dimaksud dengan salat far u adalah hanya berdoa bukan salat yang dikenal selama ini ma ‘h dah, atau mengatakan bahwa Malaikat Jibr l telah salah dalam menyampaikan wahyu kepada nabi Mu ammad yang seharusnya menerima wahyu tersebut adalah ‘Al , dan lain-lain, maka tidak boleh menganggap- nya kafir karena di dalam dirinya masih terdapat iman dan imannya tidak akan hilang sebab melakukan perbuatan dosa besar murtakib al- kabīrah. 77 Adapun orang yang melakukan perbuatan yang secara jelas menunjukkan kekafirannya seperti contoh di atas maka ia termasuk kafir karena ia telah mendustakan takdzīb terhadap All h swt. karena perbuatan tersebut telah disepakati oleh para ulama ijm ‘ akan kemutawatirannya dan yang tidak mempercayainya telah ingkar akan ketentuan All h. 78 Lalu bagaimana dengan sabda Nabi Saw. yang secara eksplisit menyatakan bahwa pelaku dosa besar imannya telah hilang dan jika bertobat maka imannya kembali lagi di dalam dirinya, seperti yang diriwayatkan oleh al- kim di dalam Mustadrak; حث هنمههيم ّاهن ن،اه قخه مكهن مي،اه همه اهع نهرم اهفرههى،هنم . 79 ه 77 Lihat pendapat Wahb Sulaym n dalam ta‘līq kitab ‘Al al-Q r , Mina al-Raw al-Azhar F ī Syar al-Fiqh al-Akbar t.tp: D r al-Basy ’ir al-Isl miyyah, 1998ẓ, h. 212. 78 Hal ini sejalan dengan definisi Abū an fah tentang kafir sebagai sifat mengingkari akan All h. Abū an fah, al-‘ lim Wa al-Muta‘allim, h. 19. 79 Mu ammad bin Abdull h al- kim al-Nays būr , al-Mustadrak ‘Al al- a ī ayn Kairo: D r al- aramayn, 1997, Jld. 1, h. 66., al-Kawtsar telah mentakhrij ad ts di atas dan mempunyai kesimpulan bahwa di dalam transmisi sanad ad ts tersebut terdapat ‘Abdull h bin al-Wal d yang dianggap a‘if oleh al-D ruqu n dan Ibn ajar, dengan mengatakan ad tsnya tidak dapat dijadikan Siapa yang berzina dan meminum arak maka All h telah melepas iman dari dirinya seperti manusia melepas baju dari kepala badannya. Abū an fah jelas mempercayai segala apa yang disampaikan oleh Nabi Saw. tetapi tidak lantas mempercayai kepada orang yang mengatakan atas nama Nabi Saw. Abū an fah tidak mempercayai ad ts di atas karena tidak percaya dengan rawi yang meriwayatkan ad ts tersebut. Karena menurutnya hadis tersebut bertentangan dengan al- Qur’ n yang secara jelas tidak menganggap pelaku dosa besar telah hilang imannya seperti dalam surat al- Nūr [24] ayat 2; ِا ّاههةينا ّا di mana All h tidak menegasikan iman di dalam diri pelaku dosa besar. Dalam kasus di atas, Abū an fah menolak periwayat yang mengatasnamakan Nabi yang bertentangan dengan al- Qur’ n, bukan mendustakan perkataan Nabi itu sendiri. 80

3. Standardisasi pengafiran