Latar Belakang Keluarga AB ḤAN FAH: RIWAYAT, PEMIKIRAN, DAN KARYANYA

24

BAB II AB ḤAN FAH: RIWAYAT, PEMIKIRAN, DAN KARYANYA

A. Latar Belakang Keluarga

Nama lengkap Ab ū an fah adalah al-Nu‘m n bin Ts bit bin Zū ’ bin M h. 1 Ada juga yang mengatakan al-Nu ‘m n bin Ts bit bin al-Nu‘m n bin Marzub n. 2 Par a sejarawan berselisih pendapat mengenai nama kakek dari Abū an fah, ada yang berpendapat bahwa kakeknya bernama al- Nu‘m n bin al-Marzub n, dan sebagian yang lain berpendapat bernama Z ū ’ bin M h. Para peneliti telah mengompromikan beberapa pendapat di atas dengan mengatakan bahwa arti kata Z ū ’ sendiri menurut bahasa Arab sama dengan kata al-Nu‘m n, dan arti kata M h adalah al- Marzub n. 3 Ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa Abū an fah bernama ‘At k bin Zū arah kemudian ia menamakan dirinya dengan al-Nu‘m n dan ayahnya dengan Ts bit. 4 Mengenai nama asli dari Abū an fah, cucunya pernah berkata: ‘Saya berna- ma Ism ‘ l bin amm d bin al-Nu‘m n bin Ts bit bin al-Nu‘m n bin Marzub n. 5 Pendapat dari Ism ‘ l bin amm d ini sekaligus menetapkan nama asli dari Abū an fah yang menjadi perdebatan di kalangan ulama. Al- Nu‘m n bin Marzub n ẒZū ’ bin m h—kakek Abū an fah—berasal dari K bul —ibukota Afganistan sekarang—ada juga yang mengatakan bahwa al- Nu‘m n berasal dari Babilonia, pendapat yang lain mengatakan berasal dari Amb r, ada juga yang menyebut Nas ’, dan Tirm dz. Al-Nu‘m n sudah memeluk Islam 1 Wahb Sulaym n Gh wij , Ab anīfah al-Nu‘m n: Im m al-A’immah al-Fuqah ’ Beirut: D r al-Qalam, 1993, h. 47-8. Selanjutnya disebut Wahb Sulaym n, Ab anīfah 2 A mad bin Mu ammad bin Khallik n, Wafiy t al-A‘y n Wa Anb ’ Abn ’ al-Zam n Beirūt: D r al- adr, t.t, Juz. 5, h. 405. Selanjutnya disebut Ibn Khallik n, Wafiy t al-A‘y n 3 Wahb Sulaym n, Ab anīfah, h. 48. 4 A mad bin ‘Al al-Kha b al-Baghd d , T rīkh Baghd d ẒBeirut: D r al-Gharb al-Isl m , 2002, Juz. 15, h. 444. Selanjutnya disebut Al-Kha b al-Baghd d , T rīkh Baghd d 5 Al-Kha b al-Baghd d , T rīkh Baghd d, Juz. 15, h. 444. pada masa kekhalifahan ‘Umar bin al-Kha b kemudian bermigrasi ke Kūfah Ẓ‘Ir qẓ dan menetap di sana. 6 Beberapa penilaian jelek pernah dialamatkan kepada keluarga Abū an fah di antaranya bahwa Ts bit —ayahnya—adalah seorang Nasrani. 7 Tuduhan ini dila- kukan karena menyangka bahwa al- Nu‘m n bin Marzub n belum memeluk Islam dan masih beragama Nasrani. Pendapat tersebut nampaknya akan segera dinafikan mengingat menurut pendapat yang paling masyhur bahwa Ts bit dilahirkan sudah masuk Islam. 8 Bahkan di dalam kitab-kitab sejarah disebutkan bahwa Ts bit mengenal dekat sahabat ‘Al bin Ab lib sebagaimana dikisahkan berikut: Pada suatu hari Ts bit datang kepada sahabat ‘Al bin Ab lib meminta didoakan baginya dan keturunannya dengan suatu kebaikan. Kemudian All h mengabulkan apa yang diminta oleh Ts bit dengan lahirnya Abū an fah yang kelak akan menjadi pemimpin, penguasa bumi, dan perkataannya dalam hal agama akan diikuti oleh banyak orang. Bahkan al-Nu ‘m n bin al-Marzub n ayahnya Tsabit merupakan orang yang memberi f l dzaj sejenis makanan khas dari Persia yang terbuat dari gandum kepada sahabat ‘Al dalam pesta tahun baru bagi bangsa Persia. 9 Penilaian negatif juga sering diarahkan kepada Abū an fah dengan mengata- kan bahwa ia adalah seorang budak dari Taymillah bin Tsa ‘labah bin Bakar bin W ’il yang pada kemudian hari dimerdekakan. 10 Pendapat ini pertama kali di- 6 Wahb Sulaym n, Ab anīfah, h. 47-8., Mu ammad bin A mad al-Dzahab , Siyar A‘l m al- Nubal ’ Beirut: Muassasah al-Ris lah, 1985ẓ, Juz. 6, h. 395. Selanjutnya disebut Al-Dzahab , Siyar 7 Al-Kha b al-Baghd d , T rīkh Baghd d, Juz. 15, h. 444. 8 Ibn Khallik n, Wafiy t al-A‘y n, Juz. 5, h. 405. 9 Wahb Sulaym n, Ab anīfah, h. 48. 10 Al-Dzahabi, Siyar, Juz. 6, h. 390., Al-Dzahabi, Man qib al-Im m Abī anīfah Wa ibayh Abī Y suf Wa Mu ammad bin al- asan Hyderabad: Lajnah I y ’ al-Ma‘ rif, t.t, h. 15. kemukakan oleh Ibn Ism ‘ l bin amm d bin Ab an fah. Sedangkan Ibn Ism ‘ l sendiri adalah orang yang tidak dikenal majh l. Tentu saja pendapatnya tidak dapat diterima karena bertentangan dengan riwayat pendapat Ism ‘ l bin amm d ayahnya sendiri yang mengatakan bahwa keluarganya tidak ada yang pernah menjadi budak selama hidupnya. Pendapat yang menyatakan bahwa Abū an fah adalah bekas budak tentu saja tidak benar, yang benar adalah ia seorang keturunan Persia yang merdeka min abn ’i f ris al-a r r. 11 Kembali pada pembahasan kelahiran Ab ū an fah. Ia dilahirkan pada tahun 80 H 12 pada periode igh r al- a bah di Kūfah. 13 Ia dibesarkan di dalam keluarga yang berkecu kupan. Ayahnya adalah penjual sutera yang sukses di Kūfah dan ia sempat mengikuti jejak ayahnya berjualan sutera. Namun setelah itu ia tertarik untuk mengkaji dan menghafalkan al- Qur’ n. Ia merupakan orang yang paling banyak membaca al- Qur’ n bahkan di bulan rama an ia bisa mengkhatamkan al- Qur’ n lebih dari 60 kali. 14 Pada tahun 96 H. ketika berumur enam belas tahun Ab ū an fah dan ayahnya berangkat haji dan berziarah ke makam Nabi Saw. Di sana ia bertemu dengan orang tua al-syaykh yang sedang dikelilingi oleh banyak orang. Ia penasaran, apa gerangan yang membuat banyak orang menaruh simpati kepada orang tua tersebut. Lantas ia bertanya kepada ayahnya dan mendapati bahwa orang tersebut adalah sahabat Nabi Saw. yang bernama ‘Abdullah bin al- rits bin Jaz’ al-Zab d w.97 11 Al-Kha b al-Baghd d , T rīkh Baghd d, Juz. 15, h. 444. 12 Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama sebagaimana yang telah dit arjī oleh al- Dzahab . Adapun pendapat yang marj mengatakan bahwa Abū an fah dilahirkan pada tahun 61 H. Al- Dzahab , Man qib al-Im m Abī anīfah, h. 7. 13 Al-Kha b al-Baghd d , T rīkh Baghd d, Juz. 15, h. 444., Al-Dzahabi, Siyar, Juz. 6, h. 391. 14 Mu am mad Abū Zahrah, Ab anīfah: ay tuhu Wa ‘A aruhu Ar ’uhu Wa Fiqhuhu ẒBeirut: D r al-Fikr, t.th, h. 21. Selanjutnya disebut Abū Zahrah, Ab anīfah H. Ia sedang mengajarkan beberapa ad ts kepada murid-muridnya. Ketika mende- kati majlis orang tua tersebut, ia mendengar sebuah ad ts yang berbunyi: هأه فعهنم ب تحاهثيكهنمه ق، ههو م هه فكه اهنيل ‘Siapa yang memperdalam ilmu agama maka akan dicukupi segala kebutuhannya dan diberikan rizki yang tidak diduga- duga’. 15 Ketika mendengar ad ts di atas, All h telah membuka hati Abū an fah kepada jalan yang benar dan diri ai-Nya di mana ia mulai tergerak untuk terus belajar ilmu- ilmu agama dan menyibukkan diri dengan belajar. Berkat keseriusannya dalam memperdalam ilmu agama inilah pada kemudian hari menjadikannya sebagai orang yang paling ‘ lim pada masanya. Disiplin ilmu yang pertama kali menarik minat Ab ū an fah adalah ilmu kalam atau u l al- dīn pokok-pokok agama atau debat al-jid l. Ilmu kalam menurutnya adalah ilmu yang paling utama af al al- ‘ul m karena dapat mengeta- hui hakikat sesuatu. Berkat kecerdasan yang dimilikinya dan kemampuan mengana- lisis suatu masalah dengan cermat, ia cepat menguasai dan menjadi ahli dalam bidang kalam walaupun pada saat itu umurnya baru menginjak 20 tahun, sehingga banyak orang yang kagum atas kepakarannya tersebut. 16 Tentang kepakaran Abū an fah dalam bidang kalam dan mendebat ber- bagai macam kelompok dalam masalah akidah dapat dibuktikan dengan kritik- annya yang sangat tajam terhadap beberapa kelompok yang menurutnya mempunyai pemikiran yang rancu dan sesat terutama dari kalangan ateis ahl al- il dẓ dan bid‘ah Ẓahl al-bida‘ khususnya dari kelompok Mu‘tazilah, Khaw rij, dan Sy ‘ah. Bahkan diceritakan, ia keluar-masuk Ba rah lebih dari 27 kali hanya 15 Wahb Sulaym n, Ab anīfah, h. 50. 16 Abū Zahrah, Ab anīfah, h. 26. untuk berdebat dan beradu argumentasi dengan kelompok-kelompok yang menyimpang dari ketentuan agama Islam dan menunjukkan kembali pada ajaran yang benar. Di antara orang yang mendapatkan kritikan yang tajam dari Abū an fah adalah Jahm bin afw n 17 sampai tidak dapat berkata apapun. 18 Dalam hal ini, argumentasi yang digunakan Abū an fah dalam menyerang kelompok yang mempunyai paham menyimpang dari agama Islam, banyak diterima oleh banyak kalangan sehingga banyak orang dari kalangan ahl al-bida ‘ diberi hidayah oleh All h Swt. untuk kembali pada ajaran yang benar. Setelah beberapa tahun bergumul dalam dunia kalam dengan selalu berdebat dengan berbagai macam kelompok ahl al-bida ‘, kemudian ia mengalihkan perhati- an kepada ilmu fikih. Adapun sebab orientasi Abū an fah berubah dari diskursus seputar kalam ke fikih adalah lantaran ia tidak bisa menjawab pertanyaan seputar masalah fikih yang diajukan oleh seorang p erempuan. Wahb Sulaym n di dalam biografi Abū an fah menceritakan sebagai berikut: Pada suatu hari Abū an fah ditanya oleh seorang perempuan tentang seorang lelaki yang ingin menceraikan istrinya dengan talak yang sesuai Sunnah. Bagai- mana ia harus menc eraikannya? Mendengar pertanyaan tersebut Abū an fah hanya bisa berdiam diri dan menyarankan perempuan tersebut bertanya kepada 17 Jahm bin afw n memiliki kunyah Abū Mu arraz budak Bani R sib. Ada yang mengata- kan ia berasal dari Samarkand ada juga yang mengatakan dari Tirmidz. Ia merupakan murid al- Ja‘d bin Dirham. Jahm dikenal sebagai ahli debat yang handal yang selalu mengandalkan kecerdasan akalnya dalam setiap berdebat. Di antara bukti kecerdasannya adalah ketika ia berdebat dengan kelompok Samaniyah dari India. Mereka Samaniyah bertanya: kamu percaya Tuhan? Ya. Jawab Jahm. Pernah tahu wujud-Nya? Tidak. Pernah mendengar ucapan-Nya? Tidak. Pernah mencium bau-Nya? Tidak. Kamu dapati Dia berbentuk materi atau bisa diraba? Tidak juga. Lantas bagaimana kamu tahu Dia Tuhan? Jahm balik bertanya kepada mereka. Kalian percaya di dalam tubuh ada ruh? Ya. Apakah kalian melihatnya? Tidak. Pernah mendengar suaranya? Tidak. Kalian dapati dia berbentuk materi atau bisa diraba? Tidak. Begitu juga All h, tidak bisa dilihat mempunyai wajah, suara, mempunyai tempat dan lainnya. Al- Ghur b , T rīkh al-Firaq al-Isl miyyah, h. 22-3. 18 Wahb Sulaym n, Ab anīfah, h. 50. amm d bin Ab Sulaym n yang pada saat itu antara majlisnya dengan majlis amm d berjarak cukup dekat. Setelah menanyakan kepada amm d, perempuan tersebut menghampiri Abū an fah lagi dan menjelaskan jawaban sebagaimana yang dikatakan amm d, ‘lelaki itu dapat menceraikan istrinya ketika istrinya dalam keadaan suci dari haid dan tanpa melakukan hubungan suami istri. Setelah itu, istrinya diberi waktu sampai dua kali haid. Saat istrinya sudah suci dari dua kali haid itu maka ia sudah halal untuk dinikahi’. Mendengar jawaban dari perempuan tersebut dari ammad, spontan Abū an fah mengatakan, ‘sekarang saya sudah tidak membutuhkan i lmu kalam lagi’. Setelah itu ia langsung pergi dan menghadiri majlis amm d, mendengarkan apa yang dikatakan olehnya sampai hafal apa yang diucapkannya. 19 Pernyataan Abū an fah, ‘Saya sudah tidak membutuhkan ilmu kalam lagi’ tidak mengindikasikan ia sepenu hnya meninggalkan dunia kalam atau bahkan ‘anti’ dengan diskursus kalam. Dalam artian ia —dalam periode ini—lebih memfokuskan diri dengan ilmu fikih dan tidak banyak terlibat dalam persoalan jidal. Karena dalam beberapa kasus ia tetap mendebat beberapa kelompok yang menyimpang mainstream umum umat Islam dan memberikan pemahaman yang benar kepada mereka. Terlebih ats r pemikirannya dalam hal kalam yang bersifat rasional mem- beri dampak pada corak pemikiran fikihnya yang terkenal rasionalis terutama dalam masalah qiyas. Ia pernah melihat empat sahabat di antaranya Anas bin M lik, ‘Abdullah bin Ab Awf di Kūfah, Sahal bin Sa‘d al-S ‘id di Mad nah, dan Abū al- ufayl ‘ mir bin W tsilah di Makkah, akan tetapi tidak pernah bertemu secara langsung dan tidak 19 Wahb Sulaym n, Ab anīfah, h. 52-3. mengambil ilmu kepada mereka. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa Abu Hanifah pernah bertemu langsung dan meriwayatkan hadis dari mereka, tetapi pendapat ini tidak kuat. 20 Abu Hanifah wafat pada pertengahan bulan s yaww l, ada juga yang mengata- kan rajab, dan sebagian yang lain pada s ya‘b n pada tahun 150 H pada usia 70 tahun. 21 Ia wafat di dalam penjara dalam keadaan sujud dan dimakamkan di pemakaman Khayzar n, Baghd d. 22 Dikisahkan ketika Abu Hanifah wafat, banyak orang yang menyalatkan jenazahnya sampai tempat untuk menyalatkannya tersebut tidak memadai untuk diisi oleh semua orang dan akhirnya mereka bergantian sampai enam kali. 23

B. Kondisi Kebudayaan dan Keagamaan di ‘Irāq