Problematika Kemakhlukan al-Qur’ān

perbuatan-Nya fi‘l All h karena ada keterkaitannya dengan makhluk manusia yang baru. Sehubungan dengan itu maka mutakallim pembicara menurut mereka adalah subjek yang berbicara f ‘il al-kal m, oleh karena itu, kalam sebagai perbuatan All h tergolong kepada baru, karena ia tidak ada, kecuali ketika All h menghendaki berbuat kalam. 68

2. Problematika Kemakhlukan al-Qur’ān

Abū Hil l al-‘Askar Ẓw.395 Hẓ mengatakan di dalam al-Aw ’il bahwa perde- batan seputar kemakhlukan al- Qur’ n mulai muncul pada masa Abū an fah. Adapun orang pertama yang mengatakan al- Qur’ n makhluk adalah al-Ja‘d bin Dirham w.124 H yang kemudian diikuti oleh Jahm bin afw n Ẓw.132 Hẓ. 69 Ada satu riwayat yang dituduhkan kepada Abū an fah ketika ia ditanya apakah al- Qur’ n itu makhluk atau bukan? Ia menjawab bahwa al-Qur’ n adalah makhluk. Ia beralasan bahwa orang yang bersumpah dengan mengatakan, ‘Demi al-Qur’ n, saya tidak melakukan perbuatan ini ’, maka ia telah bersumpah dengan nama selain All h. Sedangkan sesuatu selain All h adalah makhluk. 70 Abū an fah— seperti yang diduga oleh Abū Hil l al-‘Askar —menyamakan masalah kemakh- lukan al- Qur’ n dengan memakai pendekatan fikih dalam masalah sumpah 68 Ahmad Ismakun Ilyas, Pemikiran Kalam Abu Mansur al-Maturidi, disertasi Jakarta: Pasca Sarjana UIN, 2009, h. 138. 69 Ibn al- Jawz al-Baghd d , Talbīs Iblīs ẒBeirut: D r al-J l, t.tẓ, h. 92. Secara genealogi Jahm bin afw n mengambil paham tentang kemakhlukan al-Qur’ n dari al-Ja ‘d bin Dirham dari Ab n bin Sam‘ n dari lūt dari Lubayd bin al-A‘ am al-Yahūd , dia adalah orang yang pernah menyihir Nabi Saw. Ibn Ab tim berkata di dalam kitab al-Rad ‘Al al-Jah - miyyah bahwa al- Ja‘d mengatakan al-Qur’ n adalah makhluk pada tahun 120an H. Baru kemudian Jahm bin afw n mengikuti paham ini sekaligus mendeklarasikannya pada tahun 130 H. Lihat catatan kaki Ibn Qutaybah, Al- Ikhtil f Fī al-Lafẓ Wa al-Rad ‘Al al-Jahmiyyah Wa al-Mutasyab - bihah, h. 47. 70 Al- ‘Askar , al-Aw ’il, h.115. yamīn. 71 Jika sumpah dengan nama selain All h maka sumpahnya tidak sah. Dalam hal ini al- Qur’ n bukan termasuk nama All h, maka sumpah dengan nama al- Qur’ n Ẓseperti wa al-Qur’ n, demi al-Qur’ nẓ tidak sah. Karena segala sesuatu selain All h adalah makhluk. Al-Qur’ n bukan All h, maka ia makhluk. 72 Dari pendapat Abū Hil l al-‘Askar di atas yang mengatakan bahwa Abū an fah berpendapat al-Qur’ n adalah makhluk muncul persoalan teologis lain, apakah penisbatan tersebut benar atau tidak. Karena di dalam kitab al-Fiqh al- Akbar, Abū an fah secara jelas mengatakan keqadīman al-Qur’ n sebagai berikut: هىههوءهرخخ مهنخخ ّ اهىههومرخخفآهفرخخق ّاه ههفرخخهموهفك خخل اهأها خخ عه اهّ هنترخخ ّا هتبنا ه هه.لرخقوهْخغهنترخ ّاههوةخقرقوه ه خهعاءارقههولرخقوهنتر ّ خاه خه فّههو وخمهّاخ ّاههقاخلّاه خيق هقاخلّاهي يخق هء خي ن اهنخمههْخغههورخوهنخ هةياكهنتر ّاهأها عه اهركذه مه هنرخ ركهنخ ههّاخ ّاه .لرخخقوهنقرخخق اهنخخمههْخخغههورخخوهّلههولرخخقوهْخخغه اهّلهه.ي هخخ ه خخه هكخخّذهتن خخكهو يخخقاإه ه يي خخقهرخخ كها خخ عه اهّ هنترخخ ّاه ه ا ه خخ م ه اه خخقه خخمكهّ خخ عه اهّ هّاخخ ّاه خخيق هورخخوه مخخحههي ميقكعهوروه اهي ت لههّ ع . 73 ه Al- Qur’ n adalah kalam All h yang ditulis di dalam mu af, dijaga di dalam hati, dibaca di lidah, serta diturunkan kepada nabi Mu ammad Saw. Pelafalan dan bacaan kita terhadap al- Qur’ n adalah makhluk, tetapi al-Qur’ n itu sendiri bukan makhluk. Apa yang All h sebutkan di dalam al-Qur’ n berupa kisah t entang Mūs ’ dan para nabi lainnya, serta kisah tentang Fir‘aun dan Iblis adalah kalam All h yang mengisahkan tentang mereka. Kalam All h sendiri bukan makhluk, sedangkan perkata an Mūs ’ dan makhluk lainnya adalah makhluk. Al- Qur’ n adalah kalam All h yang qadīm berbeda dengan 71 Untu k lebih mengetahui pendapat dari Abū an fah dan pengikutnya Ẓ anafiyyah dalam masalah sumpah yamīn secara komprehensif bisa dilihat dalam karya fikih yang berafiliansi pada madzhab anaf , seperti Mu ammad bin asan al-Syayb n , al-J mi‘ al- aghīr Wa Syar ih al- N fi‘ al-Kabīr ẒBeirut: ‘ lam al-Kutub, 1406 H, h. 274., ‘Al bin Ab Bakar al-Murghay n , al- Hid yah Syar Bid yah al-Bubtadī Beirut: Maktabah al-Isl miyyah, t.tẓ, Jld. 2, h. 72., ‘Umar bin Is aq al- Ghaznaw , al-Ghurrah al-Munīfah Fī Ta qīq Ba‘ Mas ’il al-Im m Abī anīfah t.tp: Mu’assasah al-Kutub al-Tsaq fiyyah, 1986ẓ, h. 178. 72 Al-Nasysy r, Nasy’at al-Fikr al-Falsafī, Jld. 1, h. 238. 73 ‘Al al-Q r , Syar al-Fiqh al-Akbar, h. 40. kalam makhluk yang baru sebagaimana dalam firman- Nya, ‘Dan All h berbicara kepada Mūs ’ dengan langsung’. Pendapat Abū an fah tentang al-Qur’ n sebagaimana disebut di atas sangat jelas menyatakan bahwa al-Qu r’ n adalah qadīm bukan makhluk baru. Apakah ada pertentangan antara perkataan di dalam al-Fiqh al-Akbar dengan pendapat Abū Hil l al-‘Askar ? Bagaimana cara mengompromikan kedua pendapat yang nampak bertentangan antara satu dengan lainnya? Terlebih pendapat Abū an fah tentang kemakhlukan al- Qur’ n sesuai dengan pendapat madzhab anaf —dalam bidang fikih —dalam masalah sumpah yamīn. ‘Al S m al-Nasysy r menawarkan ada tiga macam cara menyelesaikan masalah di atas yaitu; 74 Pertama, kita menolak bahwa kitab al-Fiqh al-Akbar sebagai karangan ta - ngan dari Abū an fah tetapi karangan yang dinisbatkan kepadanya yang ditulis oleh murid-muridnya. 75 Kedua, persoalan tentang kemakhlukan al- Qur’ n memang sudah menjadi concern Abū an fah dan pada awalnya ia berpendapat bahwa al-Qur’ n adalah makhluk. Kemudian para muridnya mengganti pendapat gurunya tersebut dan menetapkan ke qadīman al-Qur’ n. Ketiga, Abū an fah—dalam persoalan kemakhlukan al-Qur’ n—membagi kalam menjadi dua macam, yaitu kalam nafsī yang bersifat qadīm dan kalam lafẓī yang bersifat baru. 74 Al-Nasysy r, Nasy’at al-Fikr al-Falsafī, Jld. 1, h. 238. 75 Nasysy r sendiri nampaknya lebih cenderung mengatakan bahwa kitab al-Fiqh al-Akbar tidak seratus persen karya Abū an fah, tetapi ada improvisasi dari para pengikutnya bahkan jauh setelah Abū an fah wafat. Oleh karenanya Nasysy r banyak meragukan teks yang ada di dalam al- Fiqh al-Akbar sebagai karya asli dari Abū an fah. Ada juga yang berpendapat tuduhan kepada Abū an fah bahwa al-Qur’ n adalah makhluk sebaiknya dibiarkan saja karena tidak mencederai diri mur ’ah Abū an fah sendiri, itu merupakan bagian dari siasat politik. Bukan hanya Abū an fah yang dituduh mengatakan bahwa al-Qur’ n adalah makhluk, tetapi banyak dari ulama-ulama salaf lainnya yang dituduh demikian seperi al- Bukh r pengarang kitab al- a ī dan Dawūd bin ‘Al pendiri madzhab hir . 76 Tetapi banyak juga ulama terdahulu al-salaf al- li īn yang melakukan pembelaan dan klarifikasi terkait persoalan ini. Salah satunya adalah statemen yang dikemukakan oleh ‘Abdullah bin al-Mub rak bahwa tidaklah Abū an fah meninggal dunia dengan meyakini al- Qur’ n adalah makhluk. 77 Nampaknya pendapat kemakhlukan al- Qur’ n yang dialamatkan kepada Abū an fah berasal dari penda pat Sufy n al-Tsawr Ẓw.161 Hẓ ketika mengatakan Abū an fah pernah diminta bertaubat karena menganggap al- Qur’ n adalah makhluk. Sontak pendapat Sufy n ini mendapat reaksi keras dari ‘Abdullah bin D wud dengan mengatakan, ‘Demi All h ucapan ini adalah dusta’. Ibn D wud meneruskan, bagaimana tidak, pada saat itu di Kūfah ada ‘Al dan al- asan bin li yang keduanya wara‘ di tempat tersebut, tetapi mereka tidak mengkritisi pendapat Abū an fah. Terlebih saya ẒIbn D wudẓ sudah lama tinggal di Kūfah dan tidak pernah mendengar Abū an fah mengatakan demikian al-Qur’ n adalah makhlukẓ. 78 Kalau kita merujuk langsung kepada pendapat Abū an fah yang terdapat di dalam al-Wa iyyah, maka akan didapati pendapatnya yang membagi kalam menjadi dua macam yaitu kalam nafsī dan kalam lafzī. Kedua pembagian kalam yang 76 Al-Nasysy r, Nasy’at al-Fikr al-Falsafī, Jld. 1, h. 238. 77 Ibn Qutaybah, Al- Ikhtil f Fī al-Lafẓ Wa al-Rad ‘Al al-Jahmiyyah Wa al-Musyabbihah ẒBeirut: D r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1985, h. 49. 78 Ibn Qutaybah, Al- Ikhtil f Fī al-Lafẓ, h. 49. terdapat di dalam al-Wa iyyah ini dapat dijadikan jawaban atas dualisme pendapat Abū an fah tentang al-Qur’ n yang bertentangan secara diametral. Ia mengatakan: ه اهّ هنترخخ ّا هول خخه ّاه خخ كثه خخ تن هلرخخقوه خخ نهةخخا همّاهه خخغاّاههغخخ اهه.......هلرخخقوهْخخغ هةخخج هنترخخ ّاهةخخّالهك خخيآاههك خخمدّاههآهرخخ اههةخخا همّاهتن هولرخخقوهْخخغهّ خخ عهه ن هخخحه اهّله اهّلههو ي هل ه ّا . عاذاهيه قهّ عه 79 Al- Qur’ n adalah kal mullah bukan makhluk ...... tinta, kertas dan tulisan di dalam al- Qur’ nẓ semuanya adalah makhluk karena hasil karya manusia. Kal mullah itu sendiri bukan makhluk. Hal ini karena tulisan, huruf, kalimat, ayat di maksudkan untuk kepentingan manusia sendiri, sedangkan kal mullah berdiri pada dz t-Nya. Kalam nafsī yang bersifat qadīm adalah termasuk sifat All h yang terdahulu al-azaliyyah al- qadīmah. Sedangkan kalam lafẓī yang bersifat baru adalah yang tertulis di dalam surat-surat dan ayat-ayat al- Qur’ n. Yaitu al-Qur’ n yang ditulis di dalam mu af dengan tangan-tangan kita, yang hurufnya dapat dibaca, terjaga di dalam hati kita sehingga dimungkinkan menghadirkan ayat tersebut ketika memba- yangkannya dengan bentuk lafa -lafa yang abstrak, dan dapat dibaca dengan lisan kita dengan huruf-hurufnya yang terjaga dan diperdengarkan, inilah yang dimaksud dengan al- Qur’ n sebagai makhluk yang tidak bisa dijadikan sebagai sumpah. 80 Selain Abū an fah yang berpendapat al-Qur’ n adalah bukan makhluk, mayoritas ulama salaf juga berpendapat demikian. Banyak karya-karya dari mereka yang mengindikasikan bahwa al- Qur’ n adalah bukan makhluk. Hal ini dapat di- lihat dari karya-karya yang mereka tulis di antaranya seperti A mad bin anbal dalam al- Rad ‘Al al-Zan diqah Wa al-Jahmiyyah, 81 al- Bukh r dalam Khalq Af‘ l 79 Akmal al- D n al-B bart , Syar Wa iyyah, h. 93. 80 Al-Nasysy r, Nasy’at al-Fikr al-Falsafī, Jld. 1, h. 238. 81 A mad bin anbal, al- Rad ‘Al al-Zan diqah Wa al-Jahmiyyah dalam ‘Al S m al- Nasysy r Ẓed., ‘Aq ’id al-Salaf Alexandria: al-Ma‘ rif, 1971ẓ, h. 75. al- ‘Ib d, 82 Ibn Qutaybah dalam al- Ikhtil f fī Lafẓ Wa al-Rad ‘Al al-Jahmiyyah Wa al-Musyabbihah, 83 ‘Utsm n bin Sa‘ d al-D rim dalam al-Rad ‘Al al-Jahmiyyah 84 dan dalam al-Rad al- Im m al-D rimī ‘Al al-Marīsī, 85 dan lain sebagainya.

C. Ayat Tasybīh dan Tajsīm Anthropomorphisme