i. Paman-paman saudara-saudara lelaki ibu al-akhwal
53
Mereka dalam Al-Quran tidak memperoleh kesempatan disebut secara tegas dan jelas sehingga para sahabat Rasulullah
SAW, sepakat meletakannya sebagai dzawil arham.
F. Asas-asas kewarisan Islam
Hukum kewarisan Islam merupakan sub sistem dari keseluruhan hukum Islam yang khusus mengatur peralihan harta seorang yang telah
meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup, suatu sistem adalah kumpulan asas-asas yang terpadu yang merupakan landasan,
dimana dibangun tertib hukum. Adapun asas-asas hukum kewarisan islam dapat digali dari keseluruhan ayat-ayat hukum yang terkandung
dalam Al-Quran dan as-sunnah yang terjelma dalam Kompilasi Hukum Islam. Asas-asas itu adalah:
a. Asas Ijbari yaitu peralihan harta seseorang yang meninggal kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya secara ijbari
menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris maupun ahli warisnya. Unsur ijbari ini dapat dilihat dari
surat An-Nisa’ ayat 7 yang menjelaskan bahwa bagi laki-laki maupun perempuan ada hak bagian harta peninggalan ibu-bapak
dan kerabatnya. Dari makna ayat ini, pasal 171 huruf a dan b kompilasi menetapkan hak ijbari dalam kewarisan islam sesuai
53
Ibnu Rusyd, Terjemahan Bidayatul Mujtahid, jilid 5, Jakarta: Pustaka Amani, 1995. h. 19
dengan prinsip bahwa peralihan harta warisan bersifat memaksa dalam arti sejak warisan terbuka untuk dibagikan kepada ahli waris
yang berhak dan pembagian itu berpatokan pada ketentuan yang telah pasti.
b. Asas Bilateral berarti bahwa seseorang menerima hak dan kewarisan dari kedua belah pihak, yaitu garis keturunan laki-laki
maupun garis keturunan perempuan. Asas ini dapat dilihat dalam surat an-Nisa ayat 7,11,12, dan 176.
c. Asas Individual adalah setiap ahli waris secara individu berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat oleh ahli waris lainya.
Ketentuan asas ini dapat dijumpai dalam ketentuan al-Quran surat an-Nisa ayat 7 yang mengemukakan bagian masing-masing.
d. Asas keadilan berimbang adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan
keperluan dan kegunaan. Dasar hukum asas ini dapat dijumpai dalam surat an-Nisa’ ayat 7,11, dan 176.
e. Kewarisan semata akibat kematian Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta
semata-mata disebabkan adanya kematian. Dengan perkataan lain harta seseorang tidak dapat beralih dengan pewarisan seandainya dia masih
hidup.
54
Dengan demikian, hukum Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan, yaitu warisan akibat kematian.
Selain memiliki sistem kewarisan, Islam juga memiliki sistem hibah dan sistem wasiat.
Di dalam syara’ hibah berarti akad yang pokok persoalanya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu ia masih
hidup tanpa adanya imbalan. Allah telah mensyariatkan hibah, karena hibah itu menjinakkan
hati dan meneguhkan kecintaan diantara manusia. Hal ini disebutkan dalam hadis Nabi:
ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳﺮﻟا لﻮﻘﯾ ﮫﻨﻋ ﷲا ﻲﺿر ةﺮﯾﺮھ ﻰﺑا ﻦﻋ :
اﻮﺑﺎﺤﺗ اودﺎﮭﺗ .
Artinya: Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasullah saw, bersabda: “Saling memberi hadiahlah, maka kamu akan saling mencintai”.
55
Pelaksanaan hibah dipandang sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat-syarat hibah:
a. Rukun Hibah Yang menjadi rukun hibah adalah:
56
54
Suhrawardi K. Lubis, Komes Simanjuntak, Hukum Waris Islam,Jakarta: Sinar Grafika,1995 h. 36-38
55
Abi Abdillah Muhammad Bin Ismail al-Bukhari, Sahih Bukhari, juz VII, Daarul Fikri, tt. h. 20
56
Umar Said, Hukum Islam Di Indonesia, Waris, Wasiat, Hibah, dan Wakaf, Surabaya: Cempaka, 1997. h. 129
1 Ijab dan qabul 2 Orang yang menghibahkan
3 Orang yang menerima hibah 4 pemberianya
b. syarat-syarat hibah Untuk sahnya hibah, harus memenuhi beberapa syarat baik
dari penghibah, orang yang menerima hibah, maupun pemberianya barang yang dihibahkan. Syarat-syarat tersebut antara lain:
1 Penghibah memeliki apa yang dihibahkan 2 Penghibah harus dewasa dan berakalsehar
3 Penghibah itu tidak dipaksa atau dengan kehendak sendiri 4 Benar-benar ada waktu diberi hibah
5 Harta yang bernilai 6 Dapat memiliki zatnya
7 Penghibah dilaksanakan semasa hidup, demikian juga barang yang dihibahkan.
57
57
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 14, bandung: PT. Maarif, 1987. h. 179
Dalam pemberian hibah kepada anak-anaknya hendaknya orang tua berlaku adil dan merata. Sebgaimana petunjuk
Rasulullah saw: “Jika anak-anakmu yang lain tidak engkau beri dengan pemberian yang sama, maka tarik kembali”.
58
Sedangkan bentuk pemberian yang berlaku setelah pewaris meninggal disebut dengan wasiat.
Kata wasiat wasiyah diambil dari kata wasaitu Asy-Syaia, wusiihi, artinya ausathuhu aku menyampaikan sesuatu. Maka
muusi orang yang berwasiat adalah orang yang menyampaikan pesan diwaktu ia masih hidup untuk dilaksanakan sesudah dia
mati.
59
Dalam istilah syara’ wasiat itu adalah pemberian seseorang kepada orang lain berupa barang, piutang atau manfaat untuk
dimiliki oleh orang lain yang berwasiat sesudah orang yang berwasiat meninggal.
Wasiat itu disyariatkan melalui kitab, sunnah, ijma’. Di dalam Al-quran Allah berfirman:
58
Umar Said, Hukum Islam Di Indonesia, Waris, Wasiat, Hibah, dan Wakaf, Surabaya: Cempaka, 1997. h. 157
59
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 14, bandung: PT. Maarif, 1987. h. 230
ةﺮﻘﺒﻟا 2
: 180
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan tanda-tanda maut, jika ia meninggalkan
harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, ini adalah kewajiban atas
orang-orang yang bertaqwa.QS. Al-Baqarah. 180.
60
Tentang hukum wasiat, para ulama berbeda pendapat, mayoritas ulama berpendapat bahwa wasiat itu tidak fardhu ‘ain,
baik kepada orang tua atau kerabat yang sudah menerima warisan. Alasanya, pertama, andai kata wasiat diwajibkan niscaya Nabi saw,
menjelaskanya. Kedua, para sahabat dalam prakteknya juga tidak melakukan wasiat. Ketiga, wasiat adalah pemberian hak yang tidak
wajib diserahkan pada waktu yang berwasiat meninggal dunia. Seperti halnya hibah, wasiat juga dipandang sah apabila memenuhi
rukun dan syarat-syaratnya: a. Rukun wasiat
1 Ijab dan qabul 2 Pewasiat
3 Penerima wasiat 4 Benda yang diwasiatkan
60
Depaq RI., Al-Quran... h. 230
Wasiat itu tidak menjadi hak orang yang diberinya, kecuali setelah pemberianya meninggal dan melunasi hutang-hutangnya,
sebagaimana firman Allah SWT:
….
......
ءﺎﺴﻨﻟا 4
: 12
Artinya: “… Sesudah dipenuhi wasiat yang dia buat, atau sesudah dibayar hutangnya …”.QS. An-Nisa’ :12.
61
b. Syarat-syarat wasiat Yang menjadi syarat wasiat adalah;
1. Disyaratkan agar orang yang memberi wasiat itu mempunyai kecakapan
2. Tidak ada unsur paksaan dari pihak manapun 3. Usia dewasa
4. Merdeka 5. Dia bukan ahli waris dari orang yang memberi wasiat
6. Hanya dapat memiliki setelah pewasiat meninggal 7. Disyaratkan agar orang-orang yang diberi wasiat tidak
membunuh orang yang memberinya 8. Harta yang diwasiatkan harus bernilai dan tahan lama.
62
61
Ibid., h. 44
Dengan adanya syarat-syarat di atas, maka wasiat dipandang batal atau tidak sah jika menghilangkan salah satu
syarat tersebut. Sedangkan wasiat yang diperlukan adalah wasiat sepertiga harta dan tidak diperbolehkan wasiat yang melebihi
sepertiga.
62
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 14, bandung: PT. Maarif, 1987. h. 242
49
BAB III POTRET MASYARAKAT DESA TUNGGUL KECAMATAN PACIRAN