3. Alasan-alasan tetap memakai hukum adat
Negara Indonesia dikenal kaya dengan beragan adat dan keunikan budayannya. Adat yang dimiliki setiap daerah dan suku yang satu dengan
yang lain berbeda-beda baik dalam caranya maupun pelaksanaannya, meskipun dasar atau sifatnya adalah satu yaitu keindonesiaan, sehingga adat
bangsa Indonesia ini dikatakan merupakan “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya berbeda-beda di daerah suku-suku bangsannya tetapi tetapi satu juga
yaitu dasar dan sifat keindonesiaannya. Seperti halnya pada masyarakat Jawa yang mempunyai beragam adat
yang berbeda-beda yang dilakukan oleh para tokoh-tokoh adat jaman dahulu dan sampai sekarang tetap digunakan. Khususnya pada masyarakat yang ada
di desa Tunggul, walaupun mayoritas beragama Islam, tetapi desa Tunggul mempunyai budaya hukum tersendiri yang mana sudah menjadi keyakinan
mereka dalam kehidupan berkeluarga maupun bermasyarakat, diantara budaya hukum tersebut yang diwariskan oleh tokoh-tokoh adat jaman
dahulu yang utama adalah dalam hal kewarisan. Kewarisan masyarakat di Desa Tunggul Kecamatan Paciran
Kabupaten Lamongan mengerti tentang cara pembagian harta warisan menurut hukum Islam yakni ilmu fara’idh, sebagaimana yang diterangkan
dalam bab II. Namun, dalam membagikan harta warisan atau kekayaan dari orang tua, masyarakat ini lebih menggunakan cara adat dalam
menyelesaikan kewarisan.
Pada awalnya, pembagian warisan di desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan mengikuti cara yang diajarkan oleh para kiayi
atau para tokoh-tokoh agama dengan istilah “ Sepikul Segindong ”, bagi ahli waris laki-laki mendapatkan “ Sepikul ”, karena laki-laki lah yang akan
menjadi kepala rumah tangga yang bertanggung jawab mencari nafkah untuk kehidupan dan kebahagiaan anak dan istrinya. Sedangkan ahli waris
perempuan mendepatkan “ Segindong ”,karena tanggung jawab seorang perempuan tidak sebesar laki-laki, karena dengan alasan itulah, bagian
antara laki-laki lebih besar dari perempuan. Namun, seiring perkembangan jaman, tata cara seperti itu tidak digunakan lagi, dan itu disebabkan karena
laki-laki dan perempuan saat ini sama-sama bekerja mencari nafkah untuk kehidupan keluarga dan anaknya, oleh sebab itu pembagian kewarisan di
desa Tunggul tidak membedakan bagian antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, mereka mendapatkan bagian yang sama rata.
Sebagaimana pendapat Kepala Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan mengatakan bahwa 99 penduduk masyarakat desa
Tunggul menyelesaikan pembagian warisan menurut hukum adat, dan anak merupakan ahli waris utama, sedangkan hanya 1 masyarakat desa
Tunggul menyelesaikanya dengan menggunakan menurut hukum Islam yakni fara’idh, biasannya dilakukan oleh kerabat atau keluarga kiayi , begitu
juga dikalangan organisasi masyarakat desa Tunggul yakni Nahdhatul
Ulama dan Muhamadiyah. Kedua organisasi masyarakat ini dalam menyelesaikan harta warisan sama menggunakan adat setempat.
10
Jadi, jika dilihat dari alasan-alasan dan pendapat masyarakat desa Tunggul yang ada, maka bisa dikatakan bahwa cara adat yang digunakan
oleh masyarakat desa Tunggul itu disebabkan karena telah berlaku sejak jaman dahulu kala, cara ini diwariskan oleh para tokoh-tokoh adat dan tetap
membudaya hingga kini, sehingga sudah menjadi kebiasaan dan keyakinan mereka dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Bahkan, cara adat
telah diyakini oleh masyarakat desa Tunggul lebih mencerminkan rasa persaudaraan, keakraban, kehangatan, perdamaian, dan keadilan, serta
tolong-menolong antar sesama ahli waris. C.
Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penyelesaian Waris Menurut Hukum Adat.
A. Sebab menyelesaikan waris menurut hukum adat Seperti yang telah dipaparkan dalam pembahasan hasil penelitian
penulis sebelumnya, bahwa Desa Tunggul memiliki adat kewarisan yang sudah menjadi tradisi turun temurun dan menjadi keyakinan mereka dalam
hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Di dalam hukum adat tidak mengenal cara pembagian dengan
perhitungan ilmu fara’id, tetapi didasarkan atas pertimbangan hukum adat,
10
Wawancara Pribadi dengan Bapak Drs. M. Yasin. Tunggul, 28 September 2010.
mengingat wujud benda dan kebutuhan waris yang bersangkutan.
11
Seperti halnya adat kewarisan yang ada di masyarakat desa Tunggul, disana juga
tidak mengenal pembagian secara fara’id, tetapi selalu didasarkan pada pertimbangan dengan cara mengumpulkan keluarga dan bermusyawarah.
Sedangkan proses pelaksanaan pengalihan harta tersebut dilakukan ketika pewaris masih hidup dan memprioritaskan anak sebagai ahli waris yang
utama. Di desa Tunggul sendiri, ada dua organisasi masyarakat yaitu
Nahdhatul Ulama NU dan Muhamadiyah. Kedua organisasi masyarakat ini baik dari Nahdhatul Ulama maupun Muhamadiyah dalam
menyelesaikan pembagian harta warisan sama, yakni menggunakan hukum adat setempat.
12
Berdasarkan pada tabel yang ada pada bab III diketahui bahwa mayoritas masyarakat desa Tunggul adalah beragama Islam dan
berpendidikan yang berbasis keagamaan. Namun dalam hal kewarisan mereka tetap menggunakan hukum adat setempat. Hal inilah yang
mendorong penulis untuk menganalisis dengan hukum Islam. Seperti yang telah dijelaskan pada bab II, bahwa membagi harta
waris dengan hukum kewarisan Islam adalah suatu bentuk kewajiban fardhu ‘ain sebagaimana yang terdapat dalam hadis Rasulullah saw :
11
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Waris Adat, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1990. h. 105
12
Wawancara Pribadi dengan Bapak Abdul Mu’in. Tunggul, 25 Juli 2010.
لﺎﻗ سﺎﺒﻋ ﻦﺑا ﻦﻋ :
و ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر ﺾﺋاﺮﻔﻟا ﻞھا ﻦﯿﺑ لﺎﻤﻟا ﻮﻤﺴﻗا ﻢﻠﺳ
ﷲا بﺎﺘﻛ ﻰﻠﻋ .
Artinya: “Bagikanlah harta waris di antara ahli waris menurut kitabullah”.
13
Begitu juga yang belum mengerti, suatu bentuk kewajiban seorang muslim untuk mempelajarinya. Adapun perintah belajar dan mengajarkan
hukum waris Islam dijumpai dalam teks hadis Rasulallah saw : ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟا ناةﺮﯾﺮھ ﻰﺑأ نأو
: ﻒﺼﻧ ﮫﻧﺎﻓ ﺎھﻮﻤﻠﻋو ﺾﺋاﺮﻔﻟا اﻮﻤﻠﻌﺗ
ﻠﻌﻟا ﻲﺷ لوأ ﻮھو ﻰﺴﻨﯾ ﻮھو ﻢ
عﺮﺘﯾ ء ﻦﻣ
ﻲﺘﻣأ .
Artinya : Dari Abu Harairah, bahwa Nabi saw, bersabda: “Pelajarilah fara’idh dan ajarkan kepada manusia, karena fara’idh
adalah sejarah dari ilmu dan akan dilupakan, fara’idhlah ilmu yang pertama kali dicabut dari umatku”.
14
Perintah tersebut berisi perintah wajib. Hanya saja kewajiban belajar dan mengajarkanya itu gugur, apabila sebagian orang yang telah
melaksanakanya. Akan tetapi, jika tidak ada seorangpun yang mau melaksanakanya, semua orang Islam akan menanggung dosa.
Sebagaimana hasil penelitian penulis pada penjelasan sebelumnya, bahwa yang menyebabkan masyarakat Islam desa Tunggul menyelesaikan
pembagian harta waris menurut hukum adat, karena adat tersebut sudah menjadi tradisi turun temurun dan tetap membudaya sampai sekarang,
mencerminkan tolong menolong, perdamaian, dan keadilan.
13
Al-Imam Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Sahih Muslim, juz III, Beirut, tt. h. 1234
14
Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwaini, Sunnah Ibnu Majah, juz II, Daarul Fikri, tt. h. 107
Hukum Islam adalah fiqh yakni hasil daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam yang bersumber pada al-Quran, al-
Sunnah, Ijma’ para sahabat dan tabiin.
15
Hukum fara’idh merupakan hukum yang sudah jelas ketentuannya dalam al-Quran dan juga hadis dan merupakan bentuk kewajiban bagi
kaum muslimin untuk melaksanakanya. Akan tetapi, hukum Islam mempunyai beberapa keistimewaan dan keunggulan yang menyebabkan
hukum Islam menjadi hukum yang paling kaya dan paling dapat memenuhi hajat masyarakat, serta menjamin ketenangan dan kebahagiaan
masyarakat. Di antara keunggulan hukum Islam adalah : hukum Islam itu mudah, jauh dari sulit dan sempit, segala hukumnya dapat berjalan dengan
seiring dengan fitrah manusia. Dalam hal ini, hukum Islam mempunyai kaedah :
ﺎﻣ ﻊﺴﺗا ﻻا ﺊﯿﺷ قﺎﺿ
Artinya : “Tidaklah sempit, karena ia menjadi luas”. Banyak ayat al-Qur’an yang menandaskan bahwa hukum Islam
adalah yang mudah dipikul manusia. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:
….
......
ةﺮﻘﺒﻟا
2 :
185
15
Teungku Muhammad Hasbi Ali Ash-Shiddiqy, Falsafat Hukum Islam, Semarang, Pustaka Rizki Putra, 2001. h. 29
Artinya: “ …. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan dia tidak menghendaki kesulitan bagi kalian ….”. al-Baqarah: 185.
Dalam hal kewarisan, masyarakat Islam desa Tunggul lebih memilih adat dalam menyelesaikan pembagian harta waris. Sedangkan,
adat merupakan kebiasaan yang dapat ditarik suatu hukum. Hal ini sesuai dengan kaedah fiqh:
دﺎ ﻌﻟا ة
ﺔ ﻤﻜﺤﻣ “Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai
hukum”.
16
Adat dianggap sebagai hukum, apabila sudah menjadi kebiasaan yang sering dilakukan oleh manusia terus menerus, dari generasi ke
generasi baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sedangkan adat yang berlawanan dengan nash atau jiwa syariat yang oleh karenanya tidak boleh
dijadikan sumber hukum, di antaranya adalah adat yang menghilangkan hak waris anak wanita, adat yang membolehkan mengawini bekas istri
ayah ibu tiri dan sebagainya.
17
Adat kewarisan yang dilakukan oleh masyarakat Islam desa Tunggul seperti yang dipaparkan di atas, sebagai hasil dari penelitian,
maka dapat dianalisis bahwa masyarakat Islam dalam hal kewarisan menyamakan dengan muamalah, karena Islam mendasarkan muamalah
atas dasar rela sama rela. Dan hukum Islam tentang muamalah bersifat fleksibel dan dinamis. Hal ini sesuai dengan kaedah fiqh:
16
Muslih Usman, Kaedah-Kaedah Ushuliyah Dan Kaedah Fiqhiyah, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1997. h. 140
17
Miftahul Arifin, Faisal Haq, Ushul Fiqh II, Surabaya, Biro Penerbitan Dan Pengembangan Perpustakaan, 1996. h. 94-95
ﻌﻟا ﻲﻓ ﻞﺻﻷا ﻢﯾﺮﺤﺘﻟاو نﻼﻄﺒﻟا ﻰﻠﻋ ﻞﯿﻟد مﻮﻘﯾ ﻰﺘﺣ ﺔﺤﺼﻟا تﻼﻣﺎﻌﻤﻟاو دﻮﻘ
. Artinya: “Kebolehan kita menyusun, mengatur, dan mengerjakan
segala apa yang kita kehendaki selama belum lagi datang kita peroleh larangan yang mencegahnya atau mengharamkanya”.
18
Dalam hal ini, berarti masyarakat Islam desa Tunggul memandang bahwa ketentuan pembagian harta waris yang ada dalam al-Qur’an dan al-
Hadis sifatnya hanya mengatur, tidak memaksa. Sehingga, jika dipandang dari alasan-alasan dan kaedah-kaedah
fiqh yang ada, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa masyarakat Islam Desa Tunggul dalam menyelesaikan pembagian harta waris tidak
bertentangan dengan syariat Islam, walaupun sudah ada ketentuan sendiri tentang pembagian harta waris dalam al-Qur’an .
B. Implementasi Pembagian Waris Menurut Hukum Adat Tingkat peradapan, maupun cara penghidupan yang modern,
ternyata tidak mampu menghilangkan adat kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Paling yang terlihat dalam kemajuan jaman adalah bahwa adat
tersebut menjadi kekal dan tetap segar.
19
Demikian pula yang terjadi pada masyarakat Islam desa Tunggul bahwa harta yang dimiliki orang tua beralih kepada anaknya dengan cara
18
Hasbi Ash-Shidiqqiey, Pengantar Hukum Islam Jilid II, semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2001. h. 355
19
Soerojo Wignyo Dipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung, 1995, h. 13
mengumpulkan keluarga ahli waris dan sudah menjadi tradisi yang tetap membudaya sampai sekarang.
Sejauh penulis ketahui walaupun proses pengalihan harta orang tua kepada anaknya dilakukan dengan cara musyawarah, namun musyawarah
merupakan anjuran agama untuk memecahkan persoalan hidup, mencari titik temu kebenaran dan untuk mencapai mufakat seperti yang tersurat
dalam firman Allah SWT yang berbunyi: ......
…. ناﺮﻤﻋ لا
3 :
159
Artinya : “…. Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu urusan dunia”QS:Al-Imran ayat 159.
20
Di dalam masalah waris, memang musyawarah untuk mencapai mufakat dapat diterapkan, walaupun dalam al-Qur’an sudah jelas bagian
masing-masing ahli waris. Disini kita hanya dapat mengambil kearifan. 1. Sistem Pembagian Harta Waris
Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, bahwa sistem pembagian harta waris desa Tunggul dilakukan ketika orang tua masih
hidup. Selain itu, pembagian harta waris juga ketika orang tua sudah meninggal dunia, jika ketika masih hidup orang tua belum sempat
membagikan hartanya.
20
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahanya, h. 103
Di dalam hukum kewarisan, Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya semata-mata disebabkan karena
adanya akibat kematian. Dengan perkataan lain, harta seseorang tidak akan beralih dengan pewarisan, jika dibagi ketika orang tua masih
hidup. Oleh karena itu, dalam hukum Islam dijelaskan bahwa
terjadinya pemberian harta warisan milik seseorang kepada orang lain ketika ia masih hidup tidaklah dinamakan dengan kewarisan, tetapi
disebut hibah. Dalam hal ini sangatlah berbeda dengan kebiasaan yang terjadi di desa Tunggul, bahwa pengalihan harta ketika orang tua
masih hidup bukan lagi dinamakan dengan hibah, tetapi sudah termasuk harta waris. Sebab, kalau orang tua sudah meninggal dunia,
anak-anak yang sudah diberi harta tersebut semasa hidupnya tidak mendapatkan apa-apa lagi atau bagiannya dikurangi ketika pembagian
harta waris. Dari penjelasan di atas, maka penulis dapat menganalisis
bahwa adat pembagian harta waris ketika orang tua masih hidup yang dilakukan oleh masyarakat desa Tunggul, berdasarkan landasan teori
yang ada pada bab II, maka pengalihan harta kekayaan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai proses kewarisan, tetapi hibah. Sebab
kewarisan hanya dapat terjadi berdasarkan atas kematian.
Jika dilihat dari syarat-syarat hibah yang ada di bab II, maka pembagian hibah haruslah adil dan merata. Oleh karena itu,
pelaksanaan hibah di Desa Tunggul belum memenuhi syarat-syarat hibah.
Pembagian harta kekayaan ketika orang tua masih hidup dapat dilakukan dengan cara pengalihan dan penunjukan. Dengan cara
pengalihan, ahli waris dapat menguasai harta tersebut tanpa harus menunggu pewaris meninggal dunia. Sedangkan dengan cara
penunjukan harta dapat dikuasai secara penuh oleh ahli waris setelah pewaris meninggal dunia.
Dengan demikian, maka pelaksanaan pembagian harta waris ketika pewaris masih hidup di desa Tunggul tersebut, tidak semuannya
dikatakan sebagai hibah, akan tetapi pembagian yang dilaksanakan dengan penunjukan disebut dengan wasiat. Karena harta tersebut baru
dapat dimiliki setelah pewaris meninggal dunia sebagaimana yang dijelaskan pada bab II.
Disini dapat diketahui dengan jelas bahwa antara hibah dan wasiat adalah berbeda. Dalam hal ini, perbedaannya terdapat pada
proses pengalihan barang tersebut. Disebut hibah, jika barang yang dapat dimiliki sebelum pemberi meninggal. Disebut wasiat, jika barang
dapat dimiliki sesudah pemberi meninggal dunia.
Pelaksanaan pembagian harta kekayaan setelah pewaris meninggal dunia yaitu harta dibagi setelah upacara selametan yang ke
40 hari, 100 hari, dan seribu hari pewaris meninggal dunia dengan alasan bahwa pada hari itu ahli waris masih berkumpul, suasana duka
sudah berkurang dan agar tidak terkesan mengharapkan kematian pewaris.
Walaupun dengan alasan yang rasional, namun jika berangkat dari konsep kewarisan Islam pada bab II, maka hal ini tidak sesuai
dengan hukum Islam terutama pada asas ijbari, yaitu dalam hal hukum waris, berarti terjadinya peralihan harta seseorang yang telah
meninggal dunia terjadi dengan sendirinya tanpa adanya pernyataan kehendak dari pewaris dan hukum Islam menghendaki harta waris
untuk segera dibagi tanpa harus ditangguhkan. 2. Ahli Waris Yang Berhak Menerima Harta Waris.
Yang dimaksud dengan ahli waris di Desa Tunggul adalah orang yang berhak menerima harta waris yang disebabkan karena
adanya hubungan nasab. Dan orang yang berhak menerima harta waris itu adalah:
1. Anak-anak dari oarng tua yang meninggal dunia. 2. Saudara-saudara bapak-ibu baik laki-laki maupun perempuan dari
orang yang meninggal dunia.
Dari kenyataan-kenyataan tersebut, maka dapat dianalisis bahwa ahli waris yang berhak menerima harta waris tidaklah sesuai
dengan hukum Islam, karena pada bab II menjelaskan bahwa yang menyebabkan saling mewarisi adalah karrena adanya hubungan nasab,
perkawinan dan wala’. Dengan demikian, anak bukan merupakan ahli waris yang
paling utama, karena orang tua juga merupakan ahli waris yang tidak dapat dihijab oleh siapapun, ia hanya dapat dihijab nuqson oleh anak
perempuan cucu perempuan dan anak laki-laki atau cucu laki-laki. a. Anak kandung
Anak kandung adalah anak yang lahir dari kandungan orang tuanya. Anak kandung mempunyai bagian penuh atas harta
dari orang tuanya, baik laki-laki maupun perempuan. Masyarakat desa Tunggul mempunyai adat membagi harta waris tidak
membedakan bagian anak laki-laki dan anak perempuan, mereka lebih mengutamakan persamaan hak. Jadi ditinjau dari segi hukum
Islam, maka hal ini bertentangan dengan firman Allah SWT:
...... ءﺎﺴﻨﻟا
4 :
11
Artinya :“Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak-anakmu yaitu: bagian anak laki-laki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan ….”QS:An-Nisa’ ayat 11.
21
Adat kebiasaan masyarakat di Desa Tunggul tidak hanya menyamakan bagian anak laki-laki dan bagian anak perempuan,
bahkan suatu saat bagian diantara keduannya ada yang lebih banyak bagiannya, karena mereka yang telah merawat orang tua
semasa hidup sampai meninggal dunia. Model seperti ini dalam hukum Islam tidak dikenal. Akan tetapi, hal ini dapat membawa
kemaslahatan terutama orang tua serta anak dengan rasa keadilan yang merupakan subtansi ajaran Islam.
Dengan demikian, maka penulis dapat menganalisis tentang adat pembagian harta waris di desa Tunggul yaitu
memprioritaskan anak yang merawat orang tua baik itu laki-laki maupun perempuan, sehingga bagian di antara saudara-saudara
yang lain lebih besar bagiannya terhadap warisan tersebut. Dan itu bukan merupakan bagian yang dilarang oleh agama Islam. Akan
tetapi, itu merupakan ongkos konpensasi atau jerih payah anak yang telah merawat orang tua. Hal ini tidaklah menyalahi aturan
yang didasarkan pada asas kewarisan yaitu asas keadilan berimbang.
Asas keadilan berimbang dalam hukum kewarisan adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban, keseimbangan antara
21
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahanya, h. 116
yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Sebagaimana pada bab II landasan teori.
b. Anak angkat Anak angkat atau dalam istilah jawa anak pupon adalah
yang diambil dari orang lain untuk dijadikan anggota keluarga atau suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga
sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang di pungut itu timbul suatu hubungan
kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.
Pengangkatan anak yang terjadi di desa Tunggul dilakukan atas dasar karena mereka tidak mempunyai keturunan, sehingga
mereka khawatir tidak ada yang mengurus atau merawatnya dikemudian hari.
Jika ditinjau dengan hukum Islam pengangkatan anak dalam bahasa Arab di kenal dengan istilah “Tabanni” yang artinya
mengambil anak angkat atau menjadikanya seseorang sebagai anak.
22
Atau bisa juga yang bersumber pada Al-Quran dan sunnah serta hasil ijtihad yang berlaku yang diformalisasikan dalam
berbagai produk pemikiran hukum Islam, baikdalam bentuk fikih,
22
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Juga Kamus Munjid, Dalam Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dengan Tiga Sistem Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2002. Cet. Ke 4. h.
17-18.
fatwa, putusan pengadilan, maupun peraturan perundang- undangan.
23
Termasuk didalamnya Kompilasi Hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam KHI sebagai pedoman hukum
yang materiil Peradilan Agama memberikan pengertian anak angkat dalam pasal 171 huruf h bahwa anak angkat adalah anak
yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawab dari orang tua
asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan pengadilan.
24
Ketentuan pasal tersebut secara implisit menegaskan bahwa terjadinya pengangkatan anak berakibat pada beralihnya tanggung
jawab dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya dalam hal pemeliharaan untuk hidup sehari-hari, biaya pendidikan, dan
sebagainya. Sedangkan hubungan nasab, wali nikah bagi anak angkat perempuan dan hak saling mewarisi dengan orang tua
kandungnya tidak terputus.
25
Maka dapat dianalisis bahwa pengangkatan anak tidak menyebabkan seseorang untuk saling mewarisi, karena prinsip
pokok hukum kewarisan Islam adalah adanya hubungan darah,
23
Mukti Arto, Garis Batas Kekuasaan Pengadilan Agama Dan Pengadilan Negeri, Dalam Varia Peradilan Tahun XXI No. 52, MA RI, Jakarta, 2006.
24
UU-RI No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan KHI, Penerbit “Citra Umbara” Bandung. h. 290-291
25
Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari Terj H. Zainudin Hamidy, dkk, Jakarta, widjaya, tt Jilid I. Juz. IV, h. 50
perkawinan, dan wala’. Jadi menurut hukum Islam anak angkat hanya dapat saling mewarisi dengan ibu kandungnya saja.
Oleh karena itu, anak angkat hanya dapat menerima harta sebagai hibah atau wasiat ketika orang tua angkat masih hidup. Hal
ini dimaksudkan sebagai balas jasa karena telah merawat orang tua angkat semasa hidupnya.
Jadi, pelaksanaan pembagian harta waris untuk anak angkat di desa Tunggul tidak sesuai dengan konsep kewarisan Islam
sebagaimana yang ada pada bab II.
D. Analisis Penulis.