1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap kehidupan dari suatu persekutuan hukum, baik dalam bentuk besar seperti Negara, atau dalam bentuk yang lebih kecil seperti suku,
mempunyai identitas diri yang memberikan suatu corak yang berbeda dengan Negara atau dengan suku yang lain. Identitas itu timbul karena adanya unsur
yang menjelma dan mencerminkan suatu kepribadian dan jiwa dari Negara bangsa atau suku itu sendiri. Corak yang demikian itu dikenal dengan istilah
adat. Di dalam Negara Republik Indonesia ini, adat yang dimiliki daerah-
daerah dan suku-suku bangsa adalah berbeda, meskipun dasar atau sifatnya adalah satu yaitu keindonesiaan. Oleh karena itu adat bangsa Indonesia
dikatakan merupakan “Bhineka” berbeda-beda di daerah suku-suku bangsanya dan “Tunggal Ika” tetapi tetap satu juga, yaitu dasar dan sifat
keindonesianya.
1
Keberadaan suatu suku atau suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh adat atau kebiasaan yang berlaku, namun juga ditentukan oleh sesuatu yang
dapat mempengaruhi tindakan dari pada anggota suku tersebut, misalnya agama yang diakuinya itu sendiri.
1
Soerojo Wignyo Dipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung, 1995, h. 13
Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Islam adalah agama yang tidak sulit. Allah Azza wa Jalla menghendaki kemudahan kepada
umat manusia dan tidak menghendaki kesusahan kepada mereka. Allah Azza wa Jalla mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat. Semua perintah
dalam Islam mengandung banyak manfaat. Sebaliknya, semua larangan dalam Islam mengandung banyak manfaat. Karena itu, umat Islam berkewajiban
memegang teguh syariat Islam dan mengamalkanya dalam kehidupan sehari- hari.
Allah menjanjikan kemenangan kepada setiap orang yang berpegang teguh kepada ajaran agamanya dengan baik. Selain itu, setiap orang juga
meyakini keesaan Allah, menjauhkan segala perbuatan syirik, mendalami ilmu agama dan mengamalkannya.
Seperti masyarakat Desa Tunggul misalnya Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan. Mayoritas penduduknya beragama Islam dan taat
menjalankan syari’at agama. Hal itu dibuktikan dengan hidupnya kegiatan keagamaan serta banyak berdirinya tempat-tempat ibadah. Di desa di pesisir
pantai utara Lamongan ini juga banyak lembaga pendidikan Islam dan organisasi sosial kemasyarakatan yang berbasis agama.
Namun, masyarakat dan tokoh Islam di desa ini punya hukum tersendiri dalam hal-hal tertentu berdasarkan adat masyarakat yang telah
dilakukan secara turun temurun dari nenek moyangnya. Hukum berdasarkan
adat ini bahkan telah menjadi keyakinan mereka dalam kehidupan bermasyarakat, salah satu soal hukum dan tata cara membagi harta warisan.
Umat Islam di Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan ini lebih mengutamakan penerapan Hukum Adat dari pada Hukum
Islam dalam pembagian harta warisan. Hal itu terjadi bukan karena pemahaman masyarakat terhadap hukum Islam yang kurang, termasuk ilmu
fara’idh, tapi karena keyakinan masyarakat bahwa adat itu bisa menjadi hukum. Perlu diketahui, sebagian besar penduduk desa pernah mengenyam
pendidikan di pondok pesantren. Bahkan, di daerah ini banyak berdiri pondok pesantren tua dan bersejarah perkembangan Islam di pantai utara Jawa Timur.
Dalam Hukum Waris Adat dikenal beberapa sistem, diantaranya: sistem keturunan, sistem pewarisan individual, sistem pewarisan kolektif, dan
sistem pewarisan mayorat.
2
Berdasarkan penelitian penulis, penyelesaian pembagian harta waris di desa ini menggunakan sistem individual, yakni setiap ahli waris mendapatkan
harta warisan menurut bagian masing-masing. Menurut Hilman Hadi Kusuma, sistem pewarisan individual, adalah sistem pewarisan yang setiap ahli waris
mendapatkan bagian untuk dapat menguasai dan memiliki harta warisan itu diadakan pembagian. Masing-masing ahli waris dapat menguasai dan
memiliki bagian harta warisannya untuk diusahakan, dinikmati, atau dialihkan
2
Soerjono Soekanto dan Sulaiman B. Taneko, Hukum Adat Di Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1986, h. 85
kepada sesama waris, anggota kerabat, tetangga atau orang lain.
3
Sistem individual yang berlaku di Desa Tunggul tersebut sesuai dengan sistem
kekerabatan parental, yakni sistem keturunan yang ditarik menurut garis orang tua atau menurut garis dua sisi, yaitu bapak-ibu.
Tradisi pewarisan masyarakat Desa Tunggul dalam pembagian harta warisan tidak membedakan anak laki-laki dan perempuan, mereka
mendapatkan bagian yang sama. Anak merupakan pewaris utama yang berhak mendapatkan seluruh harta waris orang tuanya. Oleh karena itu apabila anak
mewarisi bersama ahli waris lain, ahli waris tersebut menjadi mahjub. Ada dua kemungkinan dalam pembagian harta waris, yaitu:
1. Dilakukan sesudah lama pewaris meninggal dunia, yakni anaknya sesudah mentas mandiri.
2. Terkadang harta warisan dibagikan semasa pewaris masih hidup. Kewarisan merupakan salah satu masalah pokok yang banyak
dibicarakan dalam Al-Qur’an sendiri, kewarisan pada dasarnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hukum, sedang hukum adalah bagian dari
aspek ajaran Islam yang pokok, ketika seseorang ingin mengkaji sistem kekeluargaan atau keturunan dalam masyarakat pastilah ia harus mempelajari
sistem perkawinan yang ada dalam masyarakat itu, sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh seorang pakar hukum Islam, menurut Hazairin. “Hukum
menentukan bentuk masyarakat. Masyarakat yang belum dikenal dapat dicoba
3 Hilman Hadi Kusuma, Hukum waris Adat, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1990, h. 24
mengenalnya pada pokok-pokoknya dengan mempelajari hukum yang berlaku dalam masyarakat itu. Seiring perkembangan pemikiran umat Islam dan juga
relisasinya tentang kewarisan yang telah diatur oleh Al-Qur’an ternyata amat beragam.
4
Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam dan merupakan wahyu Allah yang sengaja diturunkan kepada manusia yang dibawa oleh utusannya agar
dijadikan sebagai petunjuk dan pedoman hidup, sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah 2: 1:
.
ةﺮﻘﺒﻟا :
1
Artinya: “Kitab Al-Quran ini tidak ada keraguan didalamnya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”.
5
Ayat tersebut menjelaskan bahwa setiap manusia yang menyatakan beriman kepada ajaran Allah harus merasa terikat pada seluruh aturan hukum
yang terdapat dalam Al-Qur’an. Untuk itu, setiap manusia yang menyatakan beriman kepada kitab Allah berkewajiban mentaati dan melaksanakan
perintahnya serta menjauhi larangannya. Salah satu segi hukum yang terdapat dalam al-Qur’an adalah tentang
kewarisan sebagaimana yang tercantum dalam surat al-Nisa’ 4:7:
4
Al yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah. Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqih Mazhab Jakarta: INIS, 1998 h. 17
5
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahanya, h. 8
.
ءﺎﺴﻨﻟا :
7
Artinya:”Bagi orang -laki laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabat-kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian pula
dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang ditetapkan”.
6
Disamping surat al-Nisa’ ayat 7 terdapat juga pada ayat 11, 12, dan 176. Dan terdapat pula dalam hadits Shahih Bukhari, yakni:
ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟا ﻦﻋ ﺎﻤﮭﻨﻋ ﷲا ﻲﺿر سﺎﺒﻋ ﻦﺑا ﻦﻋ ﻲﻘﺑ ﺎﻤﻓ ﺎﮭﻠھﺄﺑ ﺾﺋاﺮﻔﻟا اﻮﻘﺤﻟا ﻢﻠﺳو
ﺮﻛذ ﻞﺟر ﻰﻟوﻵ ﻮﮭﻓ .
Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata: Rasulullah SAW, bersabda: “serahkanlah warisan-warisan itu kepada ahlinya, adapun sisanya bagi ahli
waris laki-laki yang terdekat”.
7
Hadits itu menjelaskan tentang sisa harta warisan setelah adanya pembagian yang diterima oleh furud al-muqaddarah.
Tata aturan membagi warisan antara pewaris merupakan manifestasi dari pengakuan adanya hak milik perorangan, baik terhadap harta bergerak
maupun harta tidak bergerak, dan suatu manifestasi pula, bahwa harta milik seseorang setelah meninggal berpindah kepada ahli waris dan harus dibagi
secara adil, baik laki-laki maupun perempuan, baik kecil maupun besar. Islam memang punya ketentuan dalam pembagian harta warisan.
Namun, ajaran Islam tidak kaku. Artinya situasi, kondisi dan adat masyarakat juga bisa diakomodir. Terkait pembagian harta warisan, diantara masyarakat
banyak yang menggunakan cara adat dari pada cara Islam. Salah satunya
6
Ibid, h. 116
7
Abi Abdillah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, Shahih al-Buhkari, juz VIII, h. 5
terjadi di desa Tunggul. Cara adat diyakini masyarakat lebih menjamin rasa keadilan bagi sesama ahli waris dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Oleh sebab itu, penulis memandang perlu untuk meneliti pelaksanaan
“TRADISI PENYELESAIAN WARIS DESA TUNGGUL KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN”
, yang nantinya dituangkan dalam bentuk skripsi.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah