Sebab Menyelesaikan Waris Menurut Hukum Adat

56

Bab IV TRADISI PENYELESAIAN WARIS

DESA TUNGGUL KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN

A. Sebab Menyelesaikan Waris Menurut Hukum Adat

Berdasarkan bukti tabel pada bab III di atas menunjukan bahwa masyarakat Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan adalah mayoritas beragama Islam dan taat menjalankan ibadah. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya lembaga-lembaga pendidikan Islam, baik formal maupun non formal, sarana beribadatan dan organisasi-organisasi masyarakat Islam. Walaupun begitu, masyarakat desa Tunggul mempunyai budaya hukum tersendiri yang mana sudah menjadi keyakinan mereka dan kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Diantara budaya hukum tersebut yang utama adalah dalam hal kewarisan. Setiap daerah di Indonesia ini mempunyai keunikan budaya yang berbeda-beda, yang mana setiap daerah yang satu dengan yang lain berbeda caranya maupun pelaksanaannya. Khususnya pada masyarakat di Desa Tunggul, mayoritas masyarakatnya beragama Islam yang mempunyai kebiasaan membagikan warisan dengan mengumpulkan keluarga dengan bermusyawarah. Biasanya musyawarah dipimpin oleh anak yang paling tua, sehingga dalam pembagian tersebut nampak suasana persaudaraan dengan penuh kehangatan dan keakraban, sehingga mudah diambil kesepakatan. Di dalam pelaksanaannya, masyarakat Desa Tunggul mempunyai adat membagi harta kekayaannya dengan dua cara, yakni pembagian harta kekayaan ketika pewaris masih hidup dan pembagian harta kekayaan setelah pewaris meninggal dunia. Pihak yang berhak menjadi ahli waris utama adalah anak, saudara-saudara, baik laki-laki maupun perempuan. Untuk lebih jelasnya dapat diketahui pada pembahasan pembagian berikutnya tentang pelaksanaan adat kewarisan di desa Tunggul. Seperti fakta yang ada di atas, bahwa dapat diketahui masyarakat Desa Tunggul mayoritas beragama Islam yang taat menjalankan perintah agama. Namun, mereka tetap menggunakan adat dalam membagi warisan. Awalnya, pembagian warisan di desa ini mengikuti cara yang diajarkan para kiai atau para tokoh agama dengan istilah “Sepikul dan Segendong”. Bagi para ahli waris laki-laki mendapat “Sepikul”, karena kelak laki-laki lah yang menjadi kepala keluarga. Ia bertanggung jawab mencari nafkah untuk kehidupan istri dan anak-anaknya. Sedangkan ahli waris perempuan mendapat “Segendong”. Sebab, tanggung jawab perempuan tidak sebesar laki-laki. Karena alasan itulah, bagian laki-laki lebih besar dari perempuan. Namun, seiring perkembangan jaman, tata cara itu tidak digunakan lagi. Sebab baik laki-laki maupun perempuan saat ini sama-sama bekerja mencari nafkah untuk kehidupan keluarga dan anak-anak. 1 Lebih jelasnya, masyarakat desa Tunggul sebenarnya mengerti tentang cara pembagian harta warisan menurut hukum Islam atau fara’id sebagaimana diterangkan dalam bab II. Namun, dalam membagikan harta kekayaan dari orang tua, masyarakat ini lebih memilih menggunakan cara adat dalam menyelesaikan waris. Cara adat digunakan karena telah berlaku sejak jaman dahulu kala. Cara itu diwariskan oleh para tokoh-tokoh adat dan tetap membudaya hingga kini. Bahkan, cara adat telah diyakini lebih mencerminkan rasa persaudaraan, kehangatan, keakraban, perdamaian, keadilan dan saling tolong-menolong antar sesama ahli waris. 2

B. Implementasi Pembagian Waris Menurut Hukum Adat